Wednesday, August 5, 2009

Matinya Nurani, Listrik, Air, dan Kabut Asap

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Setiap tahun tiga peristiwa yang sama selalu terulang. Selalu ada listrik mati. Air PDAM payau dan mati, dan kabut asap. Padahal, dalam zaman modern seperti sekarang ini, peralatan apa yang tidak membutuhkan listrik, sebagai energi pengeraknya. Semua orang juga membutuhkan air bagi kelangsungan hidupnya.

Ketika hal-hal itu tidak terpenuhi dengan baik, tentu berakibat pada semua hal. Orang mengalami kerugian, karena tidak bisa berusaha. Kantor tidak bisa beroperasi memberikan pelayanan, karena listrik mati. Atau, sektor pelayanan publik, seperti rumah sakit, mengalami berbagai kendala, karena kurang pasokan energi.


Listrik dan air, juga salah satu yang berperan penting bagi masuknya investor ke Kalbar, selain berbagai syarat lainnya. Karenanya, bila tidak terpenuhi listrik dan air, jangan harap ada investor tertarik masuk dan menanamkan modalnya di Kalbar.

Repotnya lagi, para pihak yang berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap permasalahan itu, seperti lepas tangan. Sungguh suatu sikap yang tak bisa ditoleransi. Seharusnya, kalau memang mereka tak sanggup menangani permasalahan itu, harus berani berkata atau mengundurkan diri dari jabatannya.

Kenyataannya, mereka diam seribu bahasa. Tak memberikan suatu penjelasan tentang kondisi yang terjadi. Kalaupun memberikan, hanya sekedar sebuah kamuflase dan menimpakan permasalahan yang terjadi, pada pihak lain. Saling lempar tanggung jawab. Itulah mental pemangku kekuasaan. Hanya mengambil enaknya, tak berani memperjuangkan apa yang jadi tanggung jawabnya.

Hal itu bisa dilihat dari berbagai pernyataan para pejabat di media massa, ketika memberikan sikap menanggapi pertanyaan masyarakat melalui media massa. Lebih kacau lagi, berbagai argumen tak masuk akal diberikan dengan melakukan justifikasi pada provinsi lain, atau pihak lain.

Ini bisa dilihat ketika muncul permasalahan kabut asap. Para pemangku kebijakan hanya saling lempar tanggung jawab dan menyalahkan orang atau institusi lain. Atau, paling parah lagi, hanya berharap pada hujan, agar kabut asap segera berhenti. Suatu penanganan yang sama sekali tidak memberikan perspektif mendidik, atau memang tak mengerti harus berbuat apa, terhadap permasalahan yang dihadapi.

Ini sesuatu yang aneh. Seorang pemangku kebijakan dan bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapi warga, tapi tak bisa memberikan solusi kongkrit. Namun, hanya bersandar pada alam yang akan memberikan hujan, agar kabut asap bisa berkurang atau berhenti.

Mendengar dan melihat cara berpikir pejabat seperti ini, kita seperti dihadapkan pada sebuah kondisi atau zaman beribu tahun sebelumnya. Dimana ilmu pengetahuan belum dimiliki manusia, untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Atau, memang hati dan nurani mereka sudah mati. Sehingga tak peduli dengan apa yang terjadi. Bila hal itu yang terjadi. Sudah saatnya masyarakat bergerak, menyampaikan tuntutan-tuntutan.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 5 Agustus 2009

No comments :