Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Setiap ada hajatan pemilihan legislatif (Pileg), selalu saja ada kasus ijasah palsu.
Munculnya kasus ini, tentu tidak berdiri sendiri. Ini menyangkut sistem yang melibatkan banyak orang dan institusi.
Ada orang yang terlibat. Ada sekolah atau kampus yang dianggap berperan melegalkan. Atau, ada orang yang memfasilitasi praktek tersebut.
Pendidikan sebagai salah satu syarat keikutsertaan seseorang dalam suatu proses politik, tentu membawa sebuah konsekwensi bahwa, mereka yang tak pernah mengenyam pendidikan secara formal, akan terganjal partisipasi politiknya.
Pendidikan sebagai salah satu syarat ikut partisipasi politik, tentu punya argumentasi tersendiri. Sebab, orang yang akan menjunjung nasib warga, harus memiliki dasar yang baik. Salah satunya tentu saja dari segi pendidikan. Sebab, dengan pendidikan yang baik, akan membuat cara berpikir seseorang, menjadi baik. Itu konsekwensi logis saja.
Bila salah satu syarat itu tak terpenuhi, orang melakukan cara singkat atau potong kompas, untuk atasi tak adanya dokumen atau ijazah, sebagai salah satu syaratnya.
Cara ini dianggap paling gampang. Apalagi dengan buruknya sistem administrasi kependudukan atau pendataan kita. Sehingga orang sulit untuk dicek ulang bila terjadi pelanggaran terjadi.
Ini tentu suatu ironi. Orang yang akan memanggul tanggung jawab sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan suatu praktek yang tak mencerminkan prilaku yang patut dan mencerminkan etika, atau moral yang baik. Belum menjabat saja sudah melakukan suatu praktek kecurangan yang sangat mendasar, apalagi bila mereka berkuasa nanti.
Inilah yang selalu terjadi dan terus terjadi. Ijazah palsu menjadi mata rantai yang seakan tak ada putusnya. Sanksi terhadap munculnya kasus ini yang dianggap tak terlalu keras, juga kerap melatarbelakangi orang melakukan praktek pemalsuan ijazah.
Padahal, sanksi terhadap permasalahan ini sangat jelas. Polisi berhak melakukan pemeriksaan. Nah, tentunya harus ada yang melaporkan. Kalaupun sudah ada yang melaporkan, kasus ini masih bisa terus berjalan. Tentunya, polisi yang harus punya kehendak.
Di sanalah hukum berperan. Apakah keadilan memang bisa ditegakkan dengan sebaik-baiknya, atau hanya orang yang punya kuasa dan uang, bisa membeli hukum.
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri pada aparat penegak hukum, memperlihatkan sejauhmana kredibilitas mereka di bidangnya.
Pengadilan yang adil dan memenuhi rasa keadilan bagi seluruh masyarakat, tentu menjadi harapan semua warga. Nah, bagaimana kasus ini akan tertangani. Mari kita lihat bersama.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 16 September 2009
Wednesday, September 16, 2009
Kisruh Ijazah Palsu
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment