Sunday, September 6, 2009

Jurnalis Mesti Mampu Sajikan Informasi Bermutu

Eko Susilo
Borneo Tribune, Pontianak
Pelajaran berharga diberikan dua wartawan senior yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi lesehan bertema “Merespon Isu, Mengolah Berita” yang digelar Sekretariat Bersama (Sekber) 43, bersama Tribune Institute, didukung FLEGT, di markas Sekber Jalan Karimana No. 43 Pontianak, Sabtu (5/9).

Diskusi diikuti jurnalis-jurnalis dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik ini, mengupas sisi kesalahan perspektif jurnalis dalam merespon isu baik di tingkat lokal maupun nasional.


Ahmad Yunus, freelance writer menuturkan kelemahan jurnalis saat ini adalah, tidak mampu menangkap realita yang terjadi di masyarakat. Hal ini bisa terlihat dari kebiasaan jurnalis yang lebih banyak mewawancarai narasumber yang berasal dari kalangan pejabat, polisi dan kalangan birokrat lainnya ketimbang mewawancarai petani, buruh, nelayan dan lainnya.

“Dan apapun yang mereka katakana, akan kita tulis tanpa mengecek kebenarannya,” kata Ahmad.

Padahal, tugas jurnalis adalah bagaimana melihat konteks-konteks itu dan menangkap suara-suara yang tidak pernah didengar. Sehingga pada nelayan dan petani dan masyarakat umum ini tidak hanya menjadi warga yang pasif, tetapi menjadi publik yang aktif. Mereka tidak hanya berbicara pada media. Tetapi juga berbicara dalam kebijakan publik.

Dalam peliputan konflik menurut Ahmad, jurnalis tidak bertugas untuk meredam konflik melalui tulisan yang dibuatnya, karena pilihan tersebut akan datang dari masyarakat sendiri. Yang harus dilakukan jurnalis adalah, membuka ruang seluasnya dan menjelaskan substansi masalah sebanyak mungkin, sehingga informasi ini semakin bermutu.

“Kita jangan terjebak pada peristiwa, tapi kita berbicara pada konteks, karena bisa jadi seseorang yang disebut korban, pada konteks sebelumnya dia adalah pelaku konflik,” tuturnya.

Dalam jurnalisme konflik ini, sang jurnalis perlu membuat tulisan yang sangat mendasar, bukan hanya pada tataran permukaan. Berbeda dengan pola-pola jurnalisme tradisional yang cenderung menyalahkan seseorang. Oleh karena itu, jurnalis harus berupaya membangun perspektif dari dirinya sendiri.

“Dengan susunan redaksi yang semakin beragam akan menumbuhkan kematangan redaksi itu sendiri,” tuturnya.

Ahmad mengatakan, dalam peliputan konflik, jurnalis harus menjaga independensinya untuk tetap mengatakan kita adalah wartawan di lapangan. “Bukan justru mewakili etnis atau agama tertentu,” ucapnya.

Tanggung jawab media menurutnya adalah, bagaimana menghasilkan berita yang bermutu dan beragam sehingga pembaca memiliki banyak pilihan.

Ahmad Yunus dalam sesi terakhirnya juga berbicara mengenai Pecojon. Sebuah lembaga yang mendidik para jurnalis, untuk menulis dan menanggapi sebuah konflik dengan perspektif seorang jurnalis yang sensitif dengan konflik yang terjadi.

Sedangkan wartawan senior Farid Gaban, mengatakan, kesalahan media dari sisi pemberitaan yang cenderung memanipulasi fakta dan menjerumuskan pembaca.

Ia mengambil contoh pemberitaan yang dibuat oleh media nasional yang mengangkat isu yang saat ini sedang hangat, yaitu isu terorisme dan klaim kebudayaan oleh negara tetangga, Malaysia.

“Hal-hal seperti SARA sangat mudah dimanipulasi untuk memunculkan sensasi berita,” kata Farid.

Menurut mantan Managing Editor Majalah Tempo dan Harian Republika ini, contoh kasus terorisme, banyak media yang menghukum orang yang belum diketahui, apakah benar-benar merupakan tokoh teroris atau bukan. Media ini kebanyakan menuliskan berita hanya dari satu narasumber, yaitu polisi.

“Dan akan jadi dosa besar wartawan bila seseorang yang dinyatakan sebagai teroris ternyata tidak terbukti,” katanya.

Dalam peliputan isu terorisme, jurnalis sering kali sudah menjadi hakim hanya melalui pernyataan dari polisi. Pemberitaan yang belum tentu benar ini akan menimbulkan dampak yang besar karena akan menimbulkan rasa takut pada masyarakat dan secara tidak langsung media sudah menjadi alat propaganda polisi.

Farid mengungkapkan berita-berita yang muncul ini merupakan bias dari orang-orang yang berada di Jakarta. Padahal, orang Jakarta tidak memiliki pemahaman yang sama dengan orang-orang yang berada di Kalimantan. Contoh kasus dalam persoalan hubungan Indonesia-Malaysia yang akhir-akhir ini sedikit menegang, akibat munculnya pemberitaan soal klaim Malaysia terhadap tari Pendet yang berasal dari Bali.

“Mereka (orang Jakarta) mudah saja berpikir untuk berperang, tanpa memikirkan orang-orang yang berada di perbatasan,” paparnya.

Oleh karena itu, menurut Farid, media dalam merespon isu harus memperhatikan kepentingan publik. Jangan sampai karena mengejar sensasi, sehingga mengesampingkan kepentingan publik, kemudian mengutamakan kepentingan pribadi atau perusahaan medianya.

“Media saat ini sudah terjebak pada satu agenda yang dibuat oleh orang lain,” katanya.

Bagaimana seseorang jurnalis membangun sebuah berita yang layak? Farid Gaban memaparkan sembilan elemen jurnalisme yang dirumuskan Bill Kovach dan Tom Roshentiel. Elemen jurnalisme ini meliputi jurnalis sebagai pencari kebenaran, loyalitas utama jurnalisme kepada warga negara serta disiplin verifikasi.

“Jurnalis harus menjaga independensinya, serta membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan,” kata Direktur PENA Indonesia ini.

Menurutnya, jurnalis memiliki tanggung jawab untuk mendapatkan semua fakta serta menyusunnya dalam sebuah konteks yang tepat. Tugas jurnalis adalah membuat verifikasi dan membuat filter berita yang penting dan berita yang tidak penting. Kualitas profesional seorang jurnalis juga dapat diketahui dari rasa ingin tahu yang besar, kematangan dan tanggung jawab, pengetahuan umum yang luas, kreativitas dan imajinasi serta kesabaran dan ketekunan.

“Memiliki keberanian, kejujuran dan integritas serta memiliki cara berpikir independen dan selalu mencari jawaban atau suatu gejala atau masalah,” ucap Farid.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, edisi 6 September 2009
Foto by Andi Fahrizal


No comments :