Friday, December 1, 2006

Sungai Kapuas: Antara Mitos, Kutukan dan Kenyataan

Oleh; Muhlis Suhaeri

Siapa orang di Indoensia yang tak kenal sungai Kapuas?

Kalau ada yang mengaku tak kenal sungai Kapuas, aku yakin, nilai pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)-nya, pasti jelek. Bukankah, sejak kita sekolah dasar, guru selalu memberi pertanyaan.

Apa nama sungai paling panjang di Indonesia? Jawabnya; sungai Kapuas. Titik.

Ketika itu, bila menyebut nama sungai Kapuas, selalu muncul bayangan, akan suatu petualangan seru. Menyusuri kelok alur sungai. Singgah di perkampungan. Mengamati pola hidup masyarakat, unik dan sahaja. Atau, malah dikejar-kejar penduduk lokal, karena mengintip gadis-gadis kampung sedang mandi.

Ya, bayangan dan fantasi itu muncul, karena aku begitu menikmati tokoh Tom Sawyer karya Mark Twain. Atau, pengembaraan para tokoh di buku Dr Karl May.


Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia. Sungai itu membentang sepanjang 1086 km dari hulu di Kabupaten Putussibau, hingga Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Sungai Kapuas melewati Kabupaten Sintang, Sekadau, Sanggau, Pontianak dan Kota Pontianak. Lebar alur sungai Kapuas sekitar 70-150 meter, dengan kedalaman puluhan meter. Sungai ini, tidak pernah kering sepanjang tahun.

Semua kehidupan di Kalbar, seolah tak lepas dari aliran airnya. Sungai Kapuas menjadi urat nadi. Tak heran, di sepanjang aliran sungai Kapuas, segala yang berbau kehidupan, bakal muncul. Contoh saja, ketika orang Dayak mendirikan rumah betang (rumah panjang). Mereka akan mendirikan rumah di sepanjang aliran sungai. Tujuannya tak lain, memudahkan berbagai aktifitas kehidupan.

Sungai Kapuas menjadi jalur transportasi pengangkutan barang hingga kini. Bahkan, ketika beberapa wilayah kabupaten belum terhubung jalan raya, alur sungai Kapuas sangat penting peranannya. Orang menggunakan alur sungai Kapuas, untuk mengangkut sembilan kebutuhan pokok, hasil kebun, karet, bahkan manusia. Mereka menggunakan perahu motor bandung.

Ini perahu khas. Lebar 4-6 meter dengan panjang belasan meter. Bagian atas perahu menyerupai rumah. Bunyi mesin perahu menggelegar. Berirama ritmis dan konstan. Dung-dung-dung. Itulah yang membuat perahu ini, dinamakan perahu motor bandung.

Ketika RI konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963, jalur sungai Kapuas begitu penting. Mobilisasi pasukan dari Pontianak ke sepanjang perbatasan, menggunakan perahu motor bandung.

Hingga kini, sungai Kapuas menjadi tempat berlabuh kapal barang dan penumpang dari luar propinsi. Artinya, sungai Kapuas menjadi pintu utama, keluar dan masuknya barang, dan manusia di Kalimantan Barat. Tak hanya itu, sungai Kapuas menjadi air kehidupan bagi masyarakat Kalbar. Masyarakat menggunakan sungai Kapuas untuk air minum, mandi, mengairi sawah dan kebun.

Sungai Kapuas menghidupi segala bentuk kehidupan masyarakat. Tak bisa dibayangkan, seandainya sungai Kapuas, tiba-tiba menghilang. Segala bentuk kehidupan juga bakal terampas.

Orang tidak bisa lagi mendayung sampan, menjual jasa menyeberangi sungai Kapuas. Anak kecil tak lagi berenang dan mandi, barang dan jasa dari luar atau dalam propinsi terhenti, dan Perusahaan Air Minum (PAM) tidak bisa beroperasi, karena tidak ada pasokan air. Apa jadinya?

Bagi aku, sungai Kapuas punya kenangan sendiri. Ini berhubungan dengan mitos dan kutukan. Ada kepercayaan di masyarakat Kalbar, bila orang sudah minum air sungai Kapuas, mereka akan kembali lagi ke Kalbar.

Ketika mendengar cerita ini, aku senyum-senyum saja. Ah, tahyul, kataku. Bagi orang yang telah mempelajari, dan berkutat dengan filsafat Materialisme, Dialektika, dan Historis (MDH), Karl Mark, cerita seperti itu, tentu aku anggap angin lalu saja.

Lalu, apa hubungan sungai Kapuas dengan aku?

Lima belas tahun silam, aku pernah berkeliaran, selama beberapa bulan di Kalbar. Menyambangi kawan. Bergaul di jalanan. Nongkrong di warung kopi. Minum dan mandi di sungai Kapuas. Begadang di tepian alurnya, sambil menikmati air sungai pasang. Pokoknya, tak bisa dipisahkan dengan aliran sungai Kapuas.

Di balik keterbukaan masyarakat, dan sifat kekeluargaannya, ada aura terpendam dan menyimpan bara. Masyarakat tersekat dalam berbagai isu etnis, agama, dan golongan. Alamnya ekstrem dan panas. Sulit mendapat air bersih, karena tanah gambut, dan kadar zat besinya tinggi. Jalan putus di mana-mana. Listrik selalu mati.

Segala konotasi buruk itulah, yang membuatku kembali ke Jawa. Aku ingat betul, sebelum kapal meninggalkan bibir sungai Kapuas, menuju lautan lepas, aku mengeluarkan sebuah kutukan dalam hati, “Aku tak ingin lagi melihat Kalbar.”

Selama belasan tahun, aku melupakan aliran sungai Kapuas. Aku menjalani rutinitas hidup di Jakarta. Tiba-tiba, ada seorang teman mengajak ke Kalbar. Menulis buku. Aku tercenung. Bayangan dan alur sungai Kapuas, kembali hadir. Sebelum pesawat lepas landas dari Cengkareng, aku seolah mencium bau dan aroma sungai Kapuas. Warna airnya. Kuat arusnya. Bonggol kayu terapung yang memenuhi aliran sungai. Ah, ia terlihat begitu dekat.

Menjelang pesawat mendarat, sebuah pemandangan hadir. Nun jauh di bawah, terlihat garis coklat memanjang. Berkelok-kelok tanpa putus di antara warna hijau pudar. Sepanjang sungai Kapuas, hutan telah gundul. Berbagai cabang anak sungainya, membuat sungai Kapuas seperti naga sedang tidur. Yang meletakkan kaki, sungut, dan kepalanya, untuk rehat.

Begitu mendarat, aku langsung bergumam. “Inilah tanah kutukan.” Aku dikutuk. Termakan mitos sungai Kapuas. Barang siapa telah minum air sungai Kapuas, ia akan kembali lagi.

Nyatanya, kutukan berlanjut. Selama hidup hampir setahun di Kalbar, aku harus memutuskan satu perkara. Yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Pernikahan. Kalimat apa itu? Bagiku, pernikahan adalah “kutukan”.

Bagaimana tidak?

Kita dipaksa memahami istri. Keluarga istri. Ayah, ibu, kakak, adik, paman, bibi, atau sederetan nama lainnya. Memaklumi kemauannya. Kesalahannya. Entah apa lagi. Semua itu, tentu menguras energi. Coba tanya, apa devinisi pernikahan pada seribu orang? Niscaya kita akan mendapat seribu jawaban berbeda. Pernikahan, begitu penuh misteri. Ada sesuatu yang harus kita pelajari, tiada henti.

Karena aku merasa telah dikutuk, aku harus bahagia dengan pernikahan ini. Kalau tidak bahagia, aku hanya membuang waktu saja. Begitulah, pikiranku menyikapi arti pernikahan.

Istriku lahir, besar, kuliah, mencari makan untuk hidup, di kota yang dialiri sungai Kapuas. Dalam daging dan aliran darahnya, mengalir denyut sungai Kapuas. Dia juga menjadi saksi dan memberitakan, segala peristiwa yang pernah terjadi di sepanjang sungai Kapuas.

Ya, begitulah. Faktanya, kehidupanku kini, tak lepas dari denyut sungai Kapuas. Sungai yang pernah kukutuk, dan tidak kupercayai mitosnya.

Kini, aku harus meleburkan diri.
Mencari makna mitos dan kutukan sungai Kapuas, dengan kebahagiaan.
Merangkul dan menikmati, setiap aliran dan arus sungai Kapuas, dengan gelegak energi. Memandang dan menikmati tetes demi tetes reguk airnya.

Meski, aliran sungai itu….
telah mengandung merkuri dan berbagai bahan beracun lainnya……

Foto Lukas B. Wijanarko


5 comments :

Wirdha said...

saya setuju..pernikahan adalah kutukan..

Wirdha said...

saya setuju, Pernikahan adalah Kutukan

Unknown said...

mantap bang bacaan nya.. jadi pengen ke ponti.. liat sungai
dan menggali inspirasi di sungai kapuas ^^

dw said...

Kok kisah kita kyknya sama ya bang..

Dhenis subyanto said...

hugo@ try & kmu ngk bkln bs mlpkn kota pontink..
this true coz i'm pontiank ladys