Dialog Naga dan Barongsai Tak Hasilkan Kesepakatan
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Ruangan yang tertutup rapat itu, serentak buncak oleh teriakan. Puluhan orang yang sedari tadi hanya menunggu, tanpa dikomando langsung ikut berteriak. Teriakan bergelora, begitu dilihat para pemimpin yang mereka tunggu, keluar dari ruang rapat itu.
Suasana segera terlihat begitu emosional. Berbagai teriakan dan kalimat, meluncur begitu deras, dari wajah-wajah yang terlihat gelisah. Suasana memanas. Namun, tak ada gerakan atau kehendak untuk merusak. Semua masih terkendali. Masing-masing berusaha menahan diri. Massa membubarkan diri.
Saat itu, sedang berlangsung dialog tentang penyelenggaraan iring-iringan Naga dan Barongsai pada perayaan Imlek. Dialog yang difasilitasi Walikota Pontianak, Sutarmidji, berlangsung di kantor walikota, Kamis (22/1). Dalam dialog itu, hadir para utusan dari aparat kepolisian, Kodim, Muspida, tokoh masyarakat Majelis Adat Budaya Melayu (MABM).
Mereka yang baru saja keluar dari ruangan rapat adalah Gerakan Barisan Melayu Bersatu (GBMB). Mereka tidak ikut rapat. Kedatangan massa yang menggunakan satu truk bak terbuka ini, hanya ingin menyampaikan sebuah pendapat. Menolak penyelenggarakan arak-arakan Naga.
Erwan Irawan, ketika ditemui dalam barisan massa menyatakan, ”Tak ada dialog untuk arak-arakan Naga dan Barongsai.”
Kedatangannya ke ruang rapat, tidak untuk membicarakan mengenai dialog Naga dan Barangsai. Ia hanya ingin menyampaikan sebuah surat pernyataan. Dalam surat pernyataan yang ditandatangani dan mengatasnamakan GBMB, ia menyatakan, ”Menolak adanya permainan arakan Naga dan Barongsai untuk bermain di tempat-tempat umum di wilayah Kota Pontianak.”
Nazaruddin yang ikut dalam rombongan dan mengatasnamakan warga di Sungai Jawi, ikut memberikan pendapatnya. Ia tak setuju dengan arak-arakan Naga dan Barongsai. Alasannya, saat umat Islam akan melaksanakan arak-arakan keliling Kota Pontianak, dalam rangka memeriahkan Tahun Baru Islam, 1 Muharram, Pemkot melarang arak-arakan yang dilakukan.
”Ini namanya tidak adil,” katanya, dengan wajah emosi.
Sementara itu, di ruang pertemuan ruang walikota, masih berlangsung dialog. Suasana cair. Tak ada ketegangan. Dalam sebuah pernyataannya, Sutarmidji mengimbau pada warga yang ingin menyampaikan pendapat, agar berlaku sopan dan lemah lembut.
”Sampaikan sesuai dengan adat dan budaya Melayu,” katanya, ”ide boleh keras, tapi cara menyampaikan harus santun.”
Ia yang kelahiran Melayu Pontianak, dalam kehidupan sehari-hari, tak lepas dari adat dan budaya Melayu.
Menurutnya, ia sudah mengajak umat untuk datang pada perayaan 1 Muharram di Lapangan Makorem. Namun, yang datang sedikit saja. Hanya ada sekitar 70 mobil. ”Itupun yang banyak anak-anak,” kata Sutarmidji.
Pelaksanaan arak-arakan Naga dan Barongsai, seolah memang bagai benang kusut di Kota Pontianak. Pemerintah, melalui Walikota Buchary Abdurrachman, pernah mengeluarkan peraturan, SK Walikota Nomor 127 tahun 2008, untuk melarang arak-arakan Naga dan Barongsai di tempat tempat umum. Kini, peraturan itu telah dicaut.
Walikota terpilih, Sutarmidji, yang baru sebulanan menapak tampuk kepemimpinan, mendapat tekanan dari warga yang tak setuju peraturan itu dicabut.
Pada dialog terakhir, aparat kepolisian yang diwakili Wakasat Reskrim Poltabes, Muktar AP, hanya mendukung saja keputusan apa yang bakal dilaksanakan walikota. ”Karena belum ada keputusan, maka kami akan menunggu perkembangan yang akan disampaikan,” katanya.
”Bagaimanapun, semua budaya harus berkembang. Untuk mengembangkan budaya, semua harus bersemangat,” kata Setiman, dari aparat TNI yang ikut dalam rapat tersebut. Nah, kalau ada turis yang datang dan mengeluarkan uang untuk belanja, tentu yang bakal menikmati, masyarakat Kota Pontianak.□
Saturday, January 24, 2009
Posted by Muhlis Suhaeri at 3:08 AM 0 comments
Friday, January 23, 2009
Dialog Naga Tak Capai Mufakat
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Ruangan yang tertutup rapat itu, serentak buncak oleh teriakan. Puluhan orang yang sedari tadi hanya menunggu, tanpa dikomando langsung ikut berteriak. Teriakan bergelora, begitu dilihat para pemimpin yang mereka tunggu, keluar dari ruang rapat itu.
Suasana segera terlihat begitu emosional. Berbagai teriakan dan kalimat, meluncur begitu deras, dari wajah-wajah yang terlihat gelisah. Suasana memanas. Namun, tak ada gerakan atau kehendak untuk merusak. Semua masih terkendali. Masing-masing berusaha menahan diri. Massa membubarkan diri.
Saat itu, sedang berlangsung dialog tentang penyelenggaraan iring-iringan Naga dan Barongsai pada perayaan Imlek. Dialog yang difasilitasi Walikota Pontianak, Sutarmidji, berlangsung di kantor walikota, Kamis (22/1). Dalam dialog itu, hadir para utusan dari aparat kepolisian, Kodim, Muspida, tokoh masyarakat Majelis Adat Budaya Melayu (MABM).
Mereka yang baru saja keluar dari ruangan rapat adalah Gerakan Barisan Melayu Bersatu (GBMB). Mereka tidak ikut rapat. Kedatangan massa yang menggunakan satu truk bak terbuka ini, hanya ingin menyampaikan sebuah pendapat. Menolak penyelenggarakan arak-arakan Naga.
Erwan Irawan, ketika ditemui dalam barisan massa menyatakan, ”Tak ada dialog untuk arak-arakan Naga dan Barongsai.”
Kedatangannya ke ruang rapat, tidak untuk membicarakan mengenai dialog Naga dan Barangsai. Ia hanya ingin menyampaikan sebuah surat pernyataan. Dalam surat pernyataan yang ditandatangani dan mengatasnamakan GBMB, ia menyatakan, ”Menolak adanya permainan arakan Naga dan Barongsai untuk bermain di tempat-tempat umum di wilayah Kota Pontianak.”
Nazaruddin yang ikut dalam rombongan dan mengatasnamakan warga di Sungai Jawi, ikut memberikan pendapatnya. Ia tak setuju dengan arak-arakan Naga dan Barongsai. Alasannya, saat umat Islam akan melaksanakan arak-arakan keliling Kota Pontianak, dalam rangka memeriahkan Tahun Baru Islam, 1 Muharram, Pemkot melarang arak-arakan yang dilakukan.
”Ini namanya tidak adil,” katanya, dengan wajah emosi.
Sementara itu, di ruang pertemuan ruang walikota, masih berlangsung dialog. Suasana cair. Tak ada ketegangan. Dalam sebuah pernyataannya, Sutarmidji mengimbau pada warga yang ingin menyampaikan pendapat, agar berlaku sopan dan lemah lembut.
”Sampaikan sesuai dengan adat dan budaya Melayu,” katanya, ”ide boleh keras, tapi cara menyampaikan harus santun.”
Ia yang kelahiran Melayu Pontianak, dalam kehidupan sehari-hari, tak lepas dari adat dan budaya Melayu.
Menurutnya, ia sudah mengajak umat untuk datang pada perayaan 1 Muharram di Lapangan Makorem. Namun, yang datang sedikit saja. Hanya ada sekitar 70 mobil. ”Itupun yang banyak anak-anak,” kata Sutarmidji.
Pelaksanaan arak-arakan Naga dan Barongsai, seolah memang bagai benang kusut di Kota Pontianak. Pemerintah, melalui Walikota Buchary Abdurrachman, pernah mengeluarkan peraturan, SK Walikota Nomor 127 tahun 2008, untuk melarang arak-arakan Naga dan Barongsai di tempat tempat umum. Kini, peraturan itu telah dicaut.
Walikota terpilih, Sutarmidji, yang baru sebulanan menapak tampuk kepemimpinan, mendapat tekanan dari warga yang tak setuju peraturan itu dicabut.
Pada dialog terakhir, aparat kepolisian yang diwakili Wakasat Reskrim Poltabes, Muktar AP, hanya mendukung saja keputusan apa yang bakal dilaksanakan walikota. ”Karena belum ada keputusan, maka kami akan menunggu perkembangan yang akan disampaikan,” katanya.
”Bagaimanapun, semua budaya harus berkembang. Untuk mengembangkan budaya, semua harus bersemangat,” kata Setiman, dari aparat TNI yang ikut dalam rapat tersebut. Nah, kalau ada turis yang datang dan mengeluarkan uang untuk belanja, tentu yang bakal menikmati, masyarakat Kota Pontianak.□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 23 Januari 2009.
Foto Muhlis Suhaeri
Posted by Muhlis Suhaeri at 3:08 AM 0 comments
Labels: Budaya
Sunday, January 18, 2009
Solidaritas yang Tertumpah
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Sebuah peristiwa kemanusiaan terjadi,
pada sebuah sisi dunia yang selalu menjadi bara,
tanah bernama Palestina.
Di tanah itu, pertumpahan dan pertikaian terjadi,
sejak dulu kala. Ketika budaya dan peradaban baru tumbuh,
tergerus, oleh nafsu yang saling memangsa.
Kini, tragedi dan pembantaian kembali terjadi.
Membuat seisi dunia bergerak, untuk segera menyerukan,
penghentian dan penghilangan generasi yang sedang berjalan.
Berbagai cara dilakukan, bagi solidaritas yang kian tak tertahan....
Demo digelar. Spanduk dibentangkan.
Teriakan lantang dikumandangkan. Do’a dipanjatkan.
Bendera sebagai simbol identitas,
dibakar dan dimusnahkan.
Solidaritas ini, mesti mengumandangkan nilai kemanusiaan,
bukan simbol agama dan etnisitas,
bagi sebuah dunia yang damai dan abadi.
Satu bumi tanpa penindasan.....
Foto : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Edisi cetak di Borneo Tribune 18 Januari 2008
Posted by Muhlis Suhaeri at 7:46 PM 0 comments
Labels: Essai Foto
Topi dan Sebuah Kisah
Borneo Tribune, Pontianak
Apa terjadi di dunia ini, terkadang paradok dan bertolak belakang. Ada suka, ada duka. Ada kejujuran, ada kebohongan. Ada perdamaian, ada peperangan. Repotnya lagi, dua kata itu seolah selalu bersanding, bila kita menyebutkan satu kata diantaranya.
Begitu juga dengan pengalamanku. Ada pengalaman yang membuat aku gembira, sekaligus sedih. Begini ceritanya: seorang adik kelas ketika kuliah jurnalistik di Jakarta, tiba-tiba datang ke kantor Borneo Tribune di Pontianak.
Ia kameramen televisi berita nasional di Jakarta. Pagi itu, ia datang bersama reporter perempuan. Setelah bercerita dan bicara banyak tentang profesi kami, ia minta diantarkan ke salah satu narasumber, yang pernah aku wawancara.
Oh, bolehlah, jawabku.
Tak berapa lama, kami sampai di sebuah rumah. Letaknya di sudut jalan. Rumah itu sederhana. Sebagian halamannya, tergenang banjir, bila ada air pasang.
Seorang pemuda keluar rumah. Ia mempersilakan kami masuk. Kami berbincang. Di sudut ruangan, pada sebuah kursi, seorang tua sedang duduk. Ia menyandarkan badan dan kepalanya di kursi. Tangannya selalu bergerak tak teratur. Ia terkena parkinson.
Setelah berbincang-bincang, kami mengemukakan tujuan kedatangan. Begitu mendengar maksud kedatangan, si anak empunya rumah langsung berkata, ”Bukannya tidak boleh wawancara dengan Bapak, tapi kondisi beliau sudah droup,” katanya.
Sejenak, ia melihat ke arah bapaknya yang duduk di kursi.
”Bapak, ini ada orang mau wawancara.”
”Tak ingat. Lupa.”
Yah, kami percaya, ketika melihat kondisinya. Ia sudah sepuh. Tak mungkin mewawancarainya. Kami maklum. ”Sudah enam bulan ini, kondisi bapak droup,” katanya.
Ia bercerita, bahwa ada jurnalis yang setahun lalu, wawancara dengan bapaknya. Ketika itu, kondisi sang bapak masih bagus. Ia juga sedang giat-giatnya ingin bercerita. Banyak hal ingin disampaikan. Pengalamannya segudang. Namanya juga orang tua.
Sang bapak adalah mantan Waasintel Kodam Kodam XII Tanjungpura, pada 1967. Ketika itu, Kodam masih berada di Kalbar. Sekarang, markas Kodam VI ada di Balikpapan. Ia tahu banyak tentang sejarah pergolakan di Kalbar.
Si empunya rumah cerita, sang jurnalis lupa dengan barangnya. ”Tuh, topinya tertinggal di sini,” katanya, sambil menunjuk sebuah topi warna hitam. Topi itu dicantolkan pada sebuah paku. Debu memenuhi permukaan topi.
Aku langsung deg-degan. Jangan-jangan.
Ah, ternyata benar. Topi itu modelnya seperti yang biasa dipakai tentara Mao Tse Tung, dari China. Aku sangat menyukai topi ini. Semenjak kuliah selalu memakai model topi ini. Bukan bermaksud kekiri-kirian, tapi memang menyukai modelnya. Dengan model rambut yang selalu panjang, kalau memakai topi itu, kayak tokoh revolusioner dari Kuba, Che Guevara. Begitulah, pikiranku kalau sedang memakai topi itu. Waakakakakak......
Aku memang pelupa. Sering kehilangan barang. Terutama rokok dan korek api. Padahal, aku perokok aktif. Dan, topi itu, korban dari otak yang selalu pelupa ini. Sering kali istri marah, karena kalau mau berangkat kerja, kunci, atau apapun selalu tertinggal. Kami harus balik lagi ke rumah.
Karena kebiasaan inilah, istri sering senewen. Dan, aku menanggapinya dengan ringan saja. ”Yaaaaa, yang penting tidak lupa sama anak dan istri.”
Tapi, istriku tahu betul, kalau aku selalu ingat setiap kalimat penting, dari orang yang aku wawancara. Misalnya saja wawancara lima orang dalam satu hari. Hasil wawancara sudah jadi dalam bentuk tulisan di kepala. Beserta kalimat pembuka, alur cerita, berbagai kutipannya, dan kalimat penutupnya.
Ketika mengantar adik kelas itulah, aku dapat pengalaman cukup kontadiktif dalam hidupku. Aku senang karena menemukan topi kesayanganku. Tapi, juga sedih, karena tak bisa menggali sumber sejarah untuk Kalbar.
Ironis memang. Topi itu menghubungkan aku dengan sebuah realitas. Seiring dengan berjalannya waktu, makin banyak sumber dan saksi sejarah, bakal hilang. Meninggal termakan usia.
Aku jadi berpikir, bagaimana sejarah Kalbar kedepan, bisa dipelajari para generasi penerus. Ketika semuanya saksi sejarah sudah meninggal.
Di zaman yang serba materialistik seperti sekarang ini, segala pencapaian dan ukuran sukses, hanya dihitung berdasarkan barang apa yang mereka miliki. Orang tidak berpikir tentang sejarah yang menciptakan diri, lingkungan dan kesejatian mereka.
Bah, menyebalkan....□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 18 Januari 2009
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:22 AM 0 comments
Labels: Essai
Sunday, January 11, 2009
Zaman (Singkong) Bergerak
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dalam deretan batang yang sejajar dan segaris,
puluhan batang Singkong, berderet menapak langit.
Coba menyapa zaman yang terus berkembang cepat,
ligat dan tak ada kompromi.
Singkong memiliki nilai ekonomis,
Batang, daun, dan umbinya. Semua bisa digunakan.
Ia memberi hidup, bagi yang memelihara dan merawatnya.
Ia menghasilkan pundi-pundi, bagi ketelatenan yang telah dilakukan.
Singkong tak hanya makanan.
Ia juga simbol,
bagi zaman yang terus bergerak...
Simbol yang satire,
bagi kehidupan yang dianggap papa.
Tak heran,
penggambaran ideal bagi sebuah ketertinggalan,
adalah, Zaman Singkong.
Ada Singkong, ada Keju
Manusia hidup, harus maju....
Foto : Yusriadi
Teks : Muhlis Suhaeri
Edisi cetak di Borneo Tribune, 11 Januari 2008
Posted by Muhlis Suhaeri at 7:35 PM 0 comments
Labels: Essai Foto
Negeri Dongeng
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Ini negeri dongeng. Tempat antara batas realitas dan fiksi, sungguh terasa absurd dan tak bertepi.
Ini negeri dongeng. Tempat para begajul dan lanun, coba mencitrakan diri jadi malaikat dan peri. Tak heran, berbagai cara ditempuh untuk menyepuh daki, dan menggantinya agar terlihat bersinar dan tak basi.
Ini negeri dongeng. Karenanya, siapapun Anda, bakal bisa dipilih dan dijadikan pemimpin. Tentunya, bila Anda berani mengumbar banyak uang, untuk menyogok dan membayar para pemilih. Dan, jangan lupa, kawan, ini bisa dilakukan dengan berbagai paket. Mulai dari paket kecil hingga besar. Sendiri atau rombongan.
Ah, pokoknya gampang diatur itu.
Lalu, setelah terpilih, Anda berhak merampok dan menguras habis semua yang ada. Toh, Anda sudah mengeluarkan modal, bukan? Anggap saja impas. Kebebasan diserahkan sepenuhnya. Tergantung sejauhmana perut Anda sanggup menampung, apa yang bakal Anda makan.
Eeiit, tunggu dulu. Masih ada fasilitas lagi. Anda bisa memilih semua fasilitas sebagai tambahan. Liburan di pulau terpencil, lengkap dengan berbagai fasilitas ”plus-plus” di dalamnya.
Ini negeri dongeng. Karenanya, Anda boleh melabrak siapa saja, yang telah mencela dan mengkritik reputasi Anda.
Menculiknya. Membanduli kepalanya dengan batu. Menyemplungkannya ke danau dalam dan tak berdasar. Bahkan, menggelitiknya, hingga orang itu semaput sekalipun. Anda punya banyak fariasi untuk melakukannya. Toh, semuanya diperkenankan. Jangan takut bakal melanggar HAM.
Di negeri dongeng ini, HAM, demokrasi, nilai kemanusiaan, hanya barang picisan. Ia hanya laku sekopek. Sepicis. Mungkin, malah tak ada harganya sama sekali.
Oh, ya, satu lagi. Ini masih negeri dongeng yang sama. Anda tak diperbolehkan mengeluarkan pendapat melalui lisan atau tulisan. Bakal kena cekal. Buku Anda bakal kena bakar.
Di negeri dongeng ini, tak dibutuhkan akal dan pikiran. Semua masalah bisa diselesaikan dengan sangat singkat, efektif dan tuntas. Sikat dan bakar.
Tak mengherankan bila, berdasarkan riset terbaru, kondisi otak manusia di negeri dongeng, masih sangat bagus dan orisinil, hingga ajal menjemput. Maklumlah, semasa hidup, otak itu tak pernah dipakai dan dipergunakan.
Ini negeri dongeng. Jadi, jangan marah dan tersinggung, ya.....Hikss, namanya juga dongeng.?
Edisi cetak di Borneo Tribune, 11 Januari 2009
gambar dari http://www.g2glive.com
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:27 AM 0 comments
Labels: Essai
Wednesday, January 7, 2009
Perang Tiada Akhir
Borneo Tribune, Pontianak
Konflik dan peperangan, seolah tak bisa dipisahkan dari wilayah di Timur Tengah. Perang berkepanjangan selalu menorehkan luka, di wilayah tempat diturunkannya para Nabi dan Rasul. Juga, tempat yang menjadi awal dari sebuah peradaban dunia.
Perang menjadi siklus bagi tumbuh dan hilangnya sebuah peradaban. Pemenang perang akan menunjukkan eksistensinya dengan berbagai monumen-monumen baru, yang menjadi simbol bagi bermulanya sebuah peradaban.
Perang Iran dan Irak. Perang Kuwait dan Irak. Perang atas nama minyak dan mengakhiri kekuasaan Saddam yang dilakukan Amerika Serikat. Hingga, perang tiada akhir yang terjadi antara Palestina dan Israel.
Perang apapun itu alasannya, selalu membuat rakyat menderita. Perang tetap saja membuat dua pihak sama-sama menderita. Ibaratnya, menang jadi arang. Kalah jadi abu. Sama-sama merugi.
Perang dalam sejarahnya, selalu bermuara pada kebutuhan, mendapatkan berbagai sumber kehidupan. Air, tanah, dan udara. Kolonialisme, penjajahan model lama, semi modern atau modern, bahkan yang sedang menjadi tren, globalisasi, selalu mensyaratkan tiga hal itu.
Perbedaannya adalah, dulu praktek untuk melakukannya dibatasi oleh wilayah negara. Sekarang tak ada batas negara.
Perang dalam sejarah dan perkembangannya, tak lepas dari proses produksi yang semakin melimpah dan menumpuknya modal. Bila itu terjadi, bisa dipastikan, bakal mensyaratkan perang dalam sebuah proses produksi.
Perang bisa dilindungi dengan banyak wajah, bagi mengalirnya modal yang harus dilakukan. Atas nama mendapatkan bahan baku dan pemasaran sebuah produksi, mencaplok sebuah negara atau wilayah, syah saja dilakukan. Semuanya, tak lepas dari nilai kapital yang menghalalkan berbagai cara, bagi tujuan yang ingin dicapai.
Dalam perkembangan, kebutuhan dasar itu membias dalam wujudnya yang lain. Agama, nasionalisme, demokrasi, HAM, dan terorisme. Ada pembiasan isu.
Pembiasan itu merupakan wujud nyata dari kamuflase untuk mendukung, bagi perang yang sedang atau bakal dilakukan. Sebab, hal itu merupakan cara paling mudah dan bisa diterima, bagi alasan melangsungkan sebuah peperangan.
Perang yang terjadi di Timur Tengah, tak lepas dari proses produksi sebuah negeri yang penuh dengan komoditas minyak ini. Alasan mendapatkan dan menguasai sumber-sumber energi, mewujud melalui tangan raksasa dari berbagai perusahaan dunia, yang ingin menjalankan roda dan penumpukan kapitalnya, bagi proses produksi yang mereka lakukan.
Hasilnya adalah peperangan tiada akhir. Sebab, perang merupakan darah segar, bagi sistem kapitalisme yang sedang kolaps dan sekarat, seperti sekarang ini. Dengan perang, infrastruktur yang hancur bisa diperbaiki. Pasokan energi bagi industri bisa diperoleh kembali. Perusahaan konstruksi bisa mendapatkan proyak-proyek baru. Begitu juga perusahaan-perusahaan farmasi, senjata, pertanian, dan lainnya.
Semua mendapatkan darah segar, bagi peperangan yang baru saja dijalankan. Tak peduli, rakyat atau negara mana yang sedang dikorbankan.□
Edisi 7 Januari 2007
Foto dari Jordantime.com
Posted by Muhlis Suhaeri at 1:38 AM 0 comments
Labels: Opini
Sunday, January 4, 2009
Nasib Manusia Kayu
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Kemarin, hari ini, lusa, atau hari-hari kedepannya….
pergulatan nasib sebuah komunitas manusia kayu
terus saja berlanjut.
Tak ada yang berganti,
kecuali batangan-batangan kayu yang semakin rentan dan mengecil.
Karena tak ada lagi penanaman ulang dan yang bisa ditebang.
Namun, harapan hidup janganlah terus dilimpahkan,
pada setiap jengkal tanah yang semakin gundul,
tak terurus, dan kering ini.
Karena hukum tak bakal lagi mentolerir,
pada hajat hidup,
yang membuat orang lain susah, akibat
banjir yang bakal ditimbulkannya.
Hari itu, pemangkasan kembali dilakukan,
terhadap mereka yang kembali membengkas alam,
di sebuah tempat bernama Sungai Ambawang.
Jangan atas namakan kemiskinan,
Bagi pemakluman kejahatan pada alam
yang bakal dilakukan….
Foto : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Posted by Muhlis Suhaeri at 7:18 PM 0 comments
Labels: Essai Foto