Sunday, January 1, 2006

Mendampingi dengan Nurani

KESUMA, kelompok dampingan keluarga yang anaknya terinveksi virus HIV/AIDS

Oleh: Muhlis Suhaeri


“PADA AWALNYA, kita ini seperti terisolasi dari masyarakat. Merasa, kita ini tidak ada manfaatnya. Rasanya, kita ini banyak dosanya,” kata lelaki berkaca mata itu.

Ada nada gugatan pada kalimat yang ia lontarkan. Namun, ada juga kepasrahan. Ya, seperti itulah pikiran pak Udin, 61 tahun, ketika pertama kali diberitahu, anaknya terinveksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Ketika orang terinveksi HIV, akan berpengaruh terhadap pikiran dan perasaan. Orang seolah sudah tahu, kapan kematian bakal menjemput.

Bagaimanapun, ia sempat goncang. Apa kekeliruannya dalam mendidik anak? Dosa apa yang telah ia lakukan? Mengapa cobaan itu ditimpakan padanya? Itulah, lontaran pertanyaan di benaknya, menyikapi peristiwa yang menimpa anaknya. Sebagai orang tua, tentu ia merasa sedih.


Orang yang pertama kali memberitahu anaknya terinveksi HIV, adalah anak itu sendiri. “Pak, karena saya menggunakan jarum suntik, saya tertular HIV,” kata anaknya. Ia tahu anaknya pengguna narkoba. Karena itu, ia merehabilitasi anaknya di Jakarta. Butuh waktu 14 bulan. Anak itu menjalani pendidikan di Jawa.

Selepas menjalani rehabilitasi, anaknya sering ikut pelatihan dan seminar mengenai HIV dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Anak itu bisa memberikan penjelasan padanya. Dokter dan ahli mengenai HIV/AIDS, juga memberikan penjelasan langsung. Dari sanalah ia tahu, bahwa ODHA (orang dengan HIV/AIDS), bisa hidup normal. Virus tersebut ada obatnya. Tidak membunuh virus, tapi memperlambat laju pertumbuhan virus.

Kakak si ODHA, bisa memahami dan menerima kenyataan. Ya, wajar dan biasa saja. Anaknya yang lain tahu, bahwa keluarga harus memberikan perhatian. ODHA memerlukan perhatian khusus, bukan kasih sayang khusus.

Pada awalnya berat. Secara bertahap bisa menerima. Waktu untuk melakukan penerimaan sekitar tiga bulan. Pada akhirnya, semua keluarga di rumah mendukung dan menerima. Sekarang ini, anaknya sudah minum obat ARV (antiretroviral). Keluarga selalu mengingatkan, kapan harus minum obat. Istri dan ibunya, selalu mengingatkan.

Lingkungan sekitar rumah belum tahu kondisi anaknya. Kuatirnya, bukan mendapat kebaikan, mungkin malah mudharat. Bisa dibayangkan, pemahaman yang belum tahu. Para medis saja, terkadang masih melakukan diskriminasi. Secara perlahan, udin memberikan pengertian secara bertahap kepada kerabat dan keluarga besar lainnya. Dalam memberikan pemahaman, tentu harus selektif. Kerabat itu harus punya wawasan, sehingga bisa menerima penjelasan. Yang dianggap belum ada wawasan, ia menahan diri untuk memberitahu. Ia menjelaskan tentang, apa itu HIV/AIDS, bagaimana cara penularan, pencegahan dan perawatannya.

Kini, Udin, menjadi Sekretaris Kesuma, organisasi pendampingan bagi keluarga ODHA. Keikutsertaanya dalam Kesuma, lahir dari sebuah perjalanan panjang.

Awalnya, ia diundang mengikuti workshop mengenai HIV/AIDS oleh Dinas Kesehatan Propinsi Kalbar. Narasumber acara itu, para mantan pemakai narkoba, dokter dan ahli tentang HIV/AIDS. Dari berbagai pemaparan, ia mengambil hikmah. Betapa pentingnya mensinergikan antara anak, orang tua dan pemerintah, untuk menghadapi orang terkena narkoba atau HIV/AIDS. Ia tidak bisa sendiri. Maka, ada kesepakatan membentuk kelompok dampingan untuk keluarga ODHA. Yang diberi nama Kesuma, singkatan dari Keluarga Sehat untuk Semua.

Alasan utama pembentukan Kesuma, ada rasa saling kebersamaan menanggung masalah bersama. Mereka punya anak yang ketergantungan dengan Napza (narkotika dan zat adiktif lainnya). Pemakai Napza beresiko terhadap HIV. Dan korban Napza maupun HIV, membutuhkan perhatian dan dukungan. Dukungan paling besar berasal dari keluarga. Karenanya, orang tua berhimpun. Ada latar belakang sama. Membicarakan satu masalah sama. Berbagi pengalaman, serta getir perihnya punya anak ketergantungan Napza dan HIV/AIDS.

Awalnya, ia merasa ada keraguan. Apakah perkumpulan itu bisa berjalan. Setelah berjalan sekitar 6 bulan, ia mulai merasakan bahwa kelompok dampingan itu, makin menemukan jati dirinya. Dari berbagai pertemuan yang dilakukan, ia makin tahu, betapa banyak masalah mesti diketahui sebagai OHIDA (orang hidup dengan ODHA).

Dalam setiap pertemuan dengan anggota Kesuma, ia melihat, mendengar dan merasakan, berbagai permasalahan tentang ODHA. Ada tangisan dan kepedihan mendalam. Ada semangat untuk saling berbagi dan mendukung. Namun, semua cerita itu berhenti di ruang pertemuan. Ketika selesai pertemuan, para anggota punya kesadaran tidak membicarakan permasalahan keluar. Alasannya, bisa menimbulkan masalah dan fitnah.

Ia mendapat banyak masukan dan tantangan. Dan tantangan itu memang nyata. Terutama stigma dan diskriminasi. Orang tua sangat merasakan hal itu. Misalnya dengan dokter. Ada kalanya dokter menutup jalan keluar suatu masalah dengan Napza atau ODHA.

”Nah, dengan adanya Kesuma, mereka menjadi terbuka,” kata Udin.

Yang pasti, ia merasa tidak sendiri lagi. Ia ingin melakukan sesuatu ke depan. Saling memberi informasi, mendukung, tukar pengalaman dan mengeluarkan unek-unek. Setelah bertemu dengan keluarga lain, ia merasa hidup lagi. Tidak perlu meratapi masalah, bicara kepedihan atau kesedihan lagi. Tapi, harus bicara kedepan. Ia harus berpikir, bagaimana yang lebih baik. Dan ternyata banyak orang berempati terhadap hal itu.

Menurutnya, latar belakang keluarga dan pendidikan, turut berpengaruh terhadap aktifnya seseorang di Kesuma. Namun, tidak mutlak. Yang pasti, hati nurani memegang peranan penting. Keluarga berpendidikan tinggi, belum tentu ikut dan aktif di Kesuma. Ada orang pendidikannya tinggi, tapi karena punya sifat tidak peduli, mereka tidak mau ikut. Contohnya? Salah satu contoh, ketika ia mendatangi pejabat tinggi di Kalbar. Dari awal hingga akhir bicara mengenai masalah HIV. Tapi, pejabat itu tidak mau menanggapi. Padahal, ada satu anaknya terinveksi HIV.

Ia tidak mau memaksakan masalah. Yang terpenting, silaturahmi. Ia selalu menekankan hal itu. Ada berbagai alasan, keikutsertaan seseorang di Kesuma. Ada orang tua yang peduli. Namun, karena kesibukannya luar biasa, sehingga tidak terlalu aktif. Jadi, ia melihat, pendidikan dan kesibukan seseorang. Yang membuat mereka bisa aktif atau tidak di Kesuma. Ia kebetulan sudah pensiun. Jadi, punya waktu luang. Selain itu, ia ingin melakukan sesuatu untuk kemanusiaan, sosial dan ibadah. Itulah motifasi yang membuatnya ikut Kesuma.

Selama melakukan pendampingan, ia merasa belum ada pengalaman berat. Tapi, biasanya perasaan dan hatinya yang kena. Harusnya, ajal belum menjemput ODHA. Tapi, harus melepas mereka. Ada kenyataan seperti itu. Seandainya, mereka mengetahui dari awal, mungkin hal itu bisa lebih diselamatkan. Bukan berarti ia ingin melawan kehendak Tuhan. Bukan.

Ia berpikir, perlu ketulusan, keihlasan dalam memahami hal ini. Itu yang penting. Baik dari pihak pemerintah atau lainnya. “Tanpa keihlasan akan sulit untuk melakukan hal itu,” kata Udin.


BEBERAPA ORANG sedang berbincang. Mereka terlihat akrab. Satu orang sedang mengetik di komputer. Lainnya, berbincang tentang program yang akan dibuat. Suasana dinamis meliputi pertemuan. Itulah kondisi kantor Pontianak Plus Support (kelompok dukungan sebaya). Kesuma juga berkantor di sana. Kantor keduanya masih menyatu. Kesuma dan Pontianak Plus merupakan satu mitra, melakukan pendampingan terhadap ODHA dan OHIDA.

Kantor itu berupa kamar dengan luas sekira tiga kali lima meter. Di dalamnya berisi seperangkat komputer dan printer. Berbagai poster menempel pada dinding bercat putih itu. Pada satu sisi dinding, sebuah kertas karton hitam menjadi tempat menempel berbagai post card dan foto.

Bangunan itu mulanya garasi mobil. Hanya ada beberapa pancang kayu menjadi pembatas. Kini, telah bertembok bata. Pembangunannya sumbangan dari seorang anggota Kesuma dari Singkawang. Ia memberikan bahan bangunan, semen dan lainnya. Kebetulan, ia pemborong bangunan.

Kehadiran Kesuma lahir dari sejarah panjang. Pada 1999, sudah ada beberapa orang mengajak para pecandu narkoba, membicarakan masalahnya. Garis besar permasalahan adalah, kenapa masalah ketergantungan obat tidak kunjung tuntas. Lalu, muncul Kelompok 12 Langkah, pada 2000. Kelompok ini merupakan para pecandu yang ingin berhenti dari ketergantungan narkoba. Mereka berkumpul dan saling bantu. Itu semacam terapi kelompok. Tapi, Kelompok 12 Langkah belum ada pengawasan.

Para jungkies mengusulkan, dibentuknya pusat rehabilitasi ketergantungan narkoba di Pontianak. Dr Benny Ardjil merespon hal itu. Ia dokter dan Kepala Rumah Sakit Jiwa Pontianak. Ia mengurus berbagai syarat bagi pusat rehabilitasi. Dia juga yang melatih dan membentuk tenaga medisnya. Akhirnya, terbentuklah Wisma Sirih, pada 2002.

Kesuma awalnya merupakan perkumpulan orang tua. Yang anaknya menjadi pecandu narkoba dan sedang direhabilitasi di Wisma Sirih. Pada perkembangannya, isu yang merebak dan lebih berbahaya adalah HIV. Kesuma menjadi kelompok dampingan bagi keluarga ODHA. Alasannya, kalau sudah mencakup hal yang lebih sulit, faktor pecandu juga akan tertangani. Jadi, ada dua masalah terselesaikan. Yaitu, masalah pecandu dan HIV/AIDS.

Pada Juli 2004, Dinas Kesehatan Kalbar bekerja sama dengan Pontianak Plus mengadakan workshop mengenai HIV/AIDS di Pontianak. Workshop mengundang ahli HIV/AIDS. Acara dihadiri OHIDA, Dinas Kesehatan Kalbar, dokter dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Prof. Samsuridjal Jauzi dari RS Kanker Dharmais, Jakarta, menghadiri acara tersebut.

Dalam workshop itu, sepekat membentuk kelompok dampingan bagi ODHA. Ketika itu, muncul usulan berbagai nama dari peserta. “Justru dari keluarga-keluarga yang hadir banyak nama dan singkatan yang keluar. Tapi, akhirnya nama Kesuma yang dipilih,” kata Dr. Ayie Sri Kartika, dari Instalasi Pemulihan Ketergantungan Napza RS Marzoeki Mahdi, Bogor. Dr Ayie mengusulkan nama Kesuma. Usulan diterima. Alasannya, Kesuma tidak sekedar nama bunga. Tapi punya arti, Keluarga Sehat untuk Semua. Audien yang hadir merespon dan setuju.

Pada awalnya, Kesuma terdiri dari 8 keluarga, dan 6 dari unsur medis maupun pemerhati HIV/AIDS. Kesuma terbentuk pada 28 Juni 2004. Sekarang, Kesuma mempunyai anggota 48 keluarga. Diantaranya, ada 3 keluarga dari Singkawang. Dari sanalah dibentuk kepengurusan sederhana.

Kesuma merupakan perkumpulan atau paguyuban. Bukan organisasi hirarkis dan berbadan hukum. Kesuma membawa kesetaraan dan kebersamaan. Motto dan semangat itu yang diciptakan. Kesuma mencoba memotifasi, bahwa hidup seseorang tidak berakhir, ketika terinveksi HIV.

Tidak ada syarat formal menjadi anggota. Yang penting, ada kesadaran menghadapi masalah sama, dan menanganinya. Keanggotaan Kesuma tidak hanya orang tua yang anaknya kena HIV/AIDS. Tapi juga masyarakat. Tentunya, mereka yang punya pendirian, konsekwen dan memelihara etika. Artinya, mesti menjaga kerahasiaan anggota. Anggota Kesuma terdiri dari keluarga ODHA, medis, dan pemerintah. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Ada mantan pejabat, dokter, dosen, pengusaha, dan orang Dinas Kesehatan. Tidak semua anggota aktif. Alasan pekerjaan, kesehatan, membuat anggota tidak sepenuhnya aktif. Dan hal itu bisa dimaklumi.

Kepengurusan Kesuma terbentuk secara spontan pada acara workshop. Tidak ada model calon atau dipilih orang tertentu. Pokoknya langsung dipilih oleh peserta. Pemilihan berlangsung secara demokratis. Hasil pemilihan menempatkan H. Syarif Toto Thaha Alkadrie sebagai ketua. Kesuma mempunyai wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan wakil bendahara. Dalam kepengurusan, ada empat nama perempuan dan dua lelaki.

Ada beberapa alasan, mengapa peserta memilih Toto. Selama workshop berlangsung, ia aktif berbicara. Figurnya meyakinkan menjadi ketua. Selain itu, kekuatan dan jalur hubungannya luas. Dengan modal itu, diharapkan ia dapat memimpin dan menembus berbagai permasalahan. Yang bakal dihadapi Kesuma, kelak.

Toto pernah menjadi anggota DPR, dan Ketua DPD Partai Golkar Kota Pontianak. Tapi, bukan karena Golkar-nya, ia dipilih. Anggota Kesuma tidak bicara masalah itu. Alasan lain, bagi masyarakat Pontianak, umumnya sudah mengenal sosok Toto. Jadi, alasan memilihnya positif saja. Alasan memilih perempuan sebagai Wakil Ketua Kesuma, supaya ada kebersamaan. Peran perempuan sangat penting dalam kelompok dukungan.

Uniknya, kepengurusan pada setiap pertemuan Kesuma, tidak terlalu mutlak ditonjolkan. Semakin banyak anggota sanggup dan mampu menjadi motifator, semakin baik. Kesuma sebagian besar anggotanya mengalami musibah, karena anaknya ODHA. Tentunya, beda dengan organisasi yang anggotanya sehat lahir dan batin. Mereka merasakan perihnya hidup sebagai OHIDA.

Kesuma mempunyai pertemuan rutin tiap bulan sekali. Pertemuan berupa arisan keluarga di rumah tiap anggota secara bergilir. Biasanya dilaksanakan pada minggu pertama setiap bulan. Kesuma mengundang peserta melalui undangan. Waktu pelaksanaan acara, biasanya dari pukul 16.00-18.00. Pertemuan mendadak juga bisa dilakukan. Misalnya, bila ada anggota Yayasan Spiritia, Jakarta. Atau, bila ada ahli mengenai HIV/AIDS berkunjung ke Kalbar.

Sebelum pertemuan, biasanya dimulai dengan doa bersama. Doa tidak ada yang memimpin, karena anggota berasal dari berbagai agama. Doa dipanjatkan bagi mereka yang telah meninggal, dan kesehatan ODHA. Acara kedua, biasanya pengumuman tentang ODHA yang mendapat prestasi, menikah atau lainnya.

Di pertemuan, setiap anggota melakukan tukar pengalaman. Mereka bisa juga langsung tanya pada dokter atau ahli. Yang memang diundang di pertemuan. Masalah yang ditanyakan biasanya seputar kesehatan ODHA. Seperti, bagaimana mengatasi frustasi karena terinfeksi HIV, diare, kulit melepuh hitam karena obat, badan demam setelah minum obat, diare, kapan harus minum obat ARF dan lainnya. Setiap pertemuan, biasanya dihadiri sekitar 60 persen anggota. Kalau ada anggota baru, dilakukan perkenalan. Dalam pertemuan terkadang tidak ada materi. Jadi, tukar pendapat saja.

Pertemuan merupakan wadah mengeluarkan berbagai permasalahan. Sebab, membuka berbagai ruang tidak mudah. Untuk mengajak orang datang ke pertemuan juga sulit. Ini memerlukan proses dan seni berkomunikasi. Orang tidak bisa langsung masuk, dan bicara mengenai HIV/AIDS.

“Itu yang dapat saya petik. Adanya suatu ruang komunikasi. Yang merupakan kesempatan dari suatu minat para keluarga ODHA,” kata Toto.

Bagi calon anggota baru, biasanya diajak melalui pertemuan. Setelah kenal, percaya, baru bisa menjadi anggota Kesuma. Yayasan Spiritia Jakarta memberi dukungan dengan cara, memberi kesempatan pada anggota Kesuma, menghadiri pertemuan di berbagai propinsi. Hal itu sebagai langkah untuk membuka wacana dan pengetahuan. Kesuma juga melakukan berbagai kunjungan ke rumah sakit.


KESUMA TERBENTUK karena adanya penyalahgunaan Napza dalam keluarga mempunyai dampak sangat berat. Namun, di satu sisi, keluarga juga kurang memahami perilaku pecandu. Berangkat dari itulah, para orang tua, pemerhati dan medis, sepakat membentuk kelompok yang diberi nama Kesuma Family Support.

Kesuma mempunyai visi membebaskan pecandu dari ketergantungan Napza, lewat pendekatan. Menjadikan kwalitas hidup ODHA sejajar dengan masyarakat umum, juga salah satu tujuannya. Selain itu, kehadiran Kesuma ingin menghilangkan rasa kesendirian, keputusasaan, dan kepedihan keluarga. Yang menjadi pecandu maupun berstatus ODHA. Menghilangkan rasa kesendirian, caranya dengan mengunjungi ke rumah keluarga ODHA. Dengan cara itu, mereka merasa tidak sendiri.

Dalam menjalankan misinya, Kesuma memberdayakan mantan pecandu. Pemberdayakan dilakukan pada ODHA, untuk lebih semangat menjalani hidup normal dan sehat. Ketika satu keluarga menjadi korban Napza, maupun OHIDA, Kesuma melakukan pendampingan dan memberikan keyakinan pada keluarga tersebut. Bahwa, hidup masih bisa berjalan seperti biasa. Keluarga diberi keyakinan, supaya dapat menerima kenyataan dan menjalani kehidupan. Sehingga bisa menatap masa depan lebih baik.

Kesuma melakukan penanggulangan terhadap HIV/AIDS secara aktif. Caranya, dengan memberi berbagai akses informasi dan rujukan tentang pemulihan pecandu, dan pengobatan untuk ODHA. Dan yang terus dilakukan adalah menghapus stigma dan diskriminasi, baik kepada pecandu maupun kepada ODHA/OHIDA. Cara menjembatani informasi, dilakukan dengan memberi berbagai pengetahuan dan pelatihan.

Dalam menjalankan programnya, Kesuma selalu melakukan pengembangan, pemberdayaan, dan pendampingan. Entah itu, secara individu maupun kelompok. Pengembangan dan penguatan kelompok dilakukan melalui kelompok dukungan keluarga (family support). Penyebaran informasi mengenai HIV/AIDS dan Napza, dilakukan dengan mengembangkan pusat informasi. Berbagai acara dan penggalangan dana, juga dilakukan melalui acara amal. Tak ketinggalan, Kesuma selalu melakukan peningkatan ilmu pengetahuan kepada anggotanya.

Pada awal perkembangannya, Kesuma membuat jaring-jaring kerja. Mulailah diskusi dengan berbagai dinas pemerintah, rumah sakit rujukan, dan LSM yang peduli terhadap pelayanan obat-obatan HIV. Secara pelan, Kesuma membina hal itu. Dalam melakukan kegiatannya, Kesuma mempunyai mitra, Dinas Kesehatan Propinsi Kalbar, RSU Sudarso Pontianak, RSU Antonius Pontianak, RS Khusus Ali Anyang Pontianak, Spiritia Jakarta, dan Yayasan Pontianak Plus.

Kesuma mempunyai logo, jalinan pita merah dan biru yang ditengahnya terdapat bunga. Pita warna biru melambangkan pemerhati narkoba. Pita warna merah melambangkan pemerhati HIV. Pada bagian atas, terdapat garis coklat menyerupai atap rumah. Atap melambangkan rumah dan tempat perlindungan. Dan, bunga di tengah mengandung harapan, bahwa keindahan, kesehatan sangat diperhatikan. Dalam rumah tangga sehat, akan dihasilkan kehidupan dan generasi sehat.

Seiring bergulirnya waktu, Kesuma berkembang lebih luas lagi. Kesuma tidak hanya memperhatikan OHIDA, tapi juga ODHA. Memang diperlukan dukungan dari keluarga kepada ODHA. Itupun masih terjadi stigma kepada keluarga.


KEHADIRAN KESUMA tidak bisa dipisahkan dengan makin meluasnya penyebaran HIV/AIDS di Kalbar. Keprihatinan itu muncul, seiring dengan makin besarnya jumlah orang terinveksi HIV, karena berbagai sebab.

Berdasarkan data dari Departeman Kesejahteraan Rakyat (Kesra), hingga Agustus 2006, jumlah penderita AIDS di Indonesia sebesar 11.165 orang. Di Kalbar? Kalbar digolongkan sebagai kelompok 16 propinsi prioritas dalam masalah HIV/AIDS. Terhitung hingga Juli 2006, Kalbar menempati urutan ke 6 terbesar di Indonesia. Urutan itu tergantung dari berapa kecepatan data yang masuk ke pusat. Jadi, masalah urutan tergantung yang melaporkan berapa. Urutan dihitung berdasarkan jumlah penderita dan jumlah penduduk suatu wilayah.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kalbar, Dr. Oscar Primadi, M. Ph, “Masalah HIV/AIDS tidak bisa dipisahkan dari fenomena dan permasalahan krusial yang terjadi. Baik dilihat dari segi aspek demografisnya, mobilitas penduduknya, pesatnya angka kelahiran dan pertambahan penduduk.”

Makin pesatnya pola dan longgarnya norma sosial, turut berpengaruh dan memberi dampak pada masalah kesehatan. Pada akhirnya, HIV/AIDS bukan lagi penyakit yang diderita orang perorang. Tapi, sudah mengarah dan terjadi secara cluster. Jadi, dalam satu keluarga, bisa terdapat beberapa orang. “Hal ini, membuat kita harus melakukan kewaspadaan. Apalagi melihat perhitungan estimasi dari Departemen Kesehatan pada 2003, Kalbar bisa mencapai 3.000 orang ODHA,” kata Oscar.

Sebanyak 5021 orang telah melakukan VCT (Voluntary Counseling and Testing) dan tes HIV 4787. Dari angka itu, sebanyak 489 orang positif HIV. Namun, yang minum ARF 184 orang. “Sekarang ini yang minum ARV memang sedikit, karena tidak semua yang HIV minum obat. Tahun ini targetnya 250 orang,” kata Mur Achmadi, S.Pd, Provincial Project Officer on AIDS Kalbar. Ia orang Dinas Kesehatan Kalbar, yang khusus menangani masalah HIV/AIDS. Dia juga yang turut membentuk Pontianak Plus dan Kesuma. Menurutnya, jumlah kumulatif HIV/AIDS sejak tahun 1993 hingga Juli 2006 sebanyak 841. Diantaranya 72 telah meninggal.

“Saat ini, penyebaran HIV/AIDS yang paling besar adalah melalui hubungan seks berganti-ganti pasangan. Penyebab ini, berkejar-kejaran dengan IDUs, angkanya,” kata Rizal, dari Global Fund.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kalbar, dari 841 penderita HIV/AIDS, 423 berasal dari kelompok heteroseksual. Dari jumlah itu, 312 positif HIV dan 111 AIDS. Pengguna narkoba jarum suntik 120. Yang positif HIV 120 orang, dan AIDS 65 orang. Homoseksual, HIV 85 orang, dan AIDS 33 orang. Tak diketahui penyebabnya 86 orang. Yang positif HIV 86 orang, dan AIDS 13 orang. Sisanya melalui biseksual, perinatal, dan tranfusi darah.

Kenapa faktor seks sangat besar? Karena berhubungan dengan faktor geografis Kalbar. Yang bisa dijangkau dari berbagai sisi oleh negara lain. Kalau pecandu, tentu mereka butuh penyaluran seks. Akibatnya, bisa menular.

Nah, Kesuma terbentuk karena adanya kesadaran dari orang tua, memberikan pengetahuan pada orang tua yang belum tahu tentang HIV/AIDS. Kesuma menyampaikan program pemerintah berkaitan dengan HIV/AIDS. Program itu misalnya, pelayanan VCT, pengobatan gratis, dan lainnya. Kesuma memberikan advokasi pada orang tua. Yang anaknya ODHA. Kesuma membangun pemberdayaan di kalangan keluarga ODHA. Melakukan pendekatan orang tua dengan orang tua. Metodenya, pendekatan personal sesama orang tua.

Ada beberapa kesulitan awal menangani ODHA. Pertama, keterbukaan dan pengakuan diri. Kebanyakan mengalami ketakutan dan trauma dengan kondisi yang dihadapi, karena divonis HIV. Mereka tidak mau disalahkan, malah menyalahkan orang lain. Kedua, masalah lingkungan. ODHA takut dikucilkan lingkungannya. Belum lagi, jika mereka menghadapi terapi obat. Bila ODHA telah minum obat ARF, selamanya ia harus minum obat. Terkadang mengalami resistensi obat.

Hal spesifik yang bisa dilihat dari ODHA, terutama IDU’s sangat kompak dan dekat. Kalau ODHA waria, dekat dengan siapa pun.

Metode mengatasi trauma dan masalah lingkungan, melalui metode pendampingan. Bahwa, ketika orang terinveksi HIV, bukanlah akhir dari segalanya. Cara menjalani hidup, tetap ada. ODHA tidak sendiri. Ada orang lain peduli. Intinya, mendekati ODHA harus dengan empati. Mereka bisa hidup berdampingan dengan orang lain.

Manfaat dan keberadaan Kesuma, dirasakan bagi keluarga ODHA. Salah satunya Rolink, 36 tahun. Sehari-hari ia bekerja di Yayasan Budha Darma Indonesia, sebagai tenaga pembina, khususnya generasi muda. Daerah tugasnya meliputi Kota Singkawang dan Kabupaten Ketapang.

Ketika anggota keluarganya terinfeksi HIV, ia merasa masa depan seolah menjadi suram dan tidak berdaya. Dari tugas yang dijalani, ia melihat dan mengamati langsung anak muda terinveksi HIV. Ia pernah mengunjungi rumah sakit yang menangani HIV/AIDS. Dari sanalah, muncul sebuah kepedulian dan keikutsertaan secara pribadi.

“Ini berkaitan dengan masa depan Indonesia,” kata Rolink.

Apa jadinya, kalau persoalan ini terus terjadi dan semakin meluas? Tentu akan menimbulkan banyak korban. Tentu sangat memprihatinkan, kata warga keturunan Tionghoa ini, dengan mimik serius.

Ia merasakan sekali, ketika adiknya dirawat selama belasan hari di salah satu rumah sakit Jakarta, pada 2004. Setelah melihat realitas itu, muncul sebuah pemikiran di benaknya, bahwa suatu usaha harus dilakukan.

Semenjak anggota keluarganya menjalani perawatan, ia mencari berbagai informasi mengenai HIV/AIDS dari internet, majalah, koran dan lainnya. Semua informasi untuk memperkaya dan memperluas wawasannya tentang HIV/AIDS. Sehingga, ia dapat memberikan dukungan dan penanganan lebih maksimal. Ia juga mencari organisasi yang berhubungan dan peduli dengan HIV/AIDS di Pontianak. Dari seorang teman, ia mendapatkan nama Kesuma dan Pontianak Plus. Kebetulan teman tersebut aktif di Kesuma.

“Jadi, saya menemukan tempatnya di Kesuma,” kata Rolink.

Ia merasakan betul manfaat menjadi anggota Kesuma. Misalnya, ketika anggota keluarganya menghadapi masalah berkaitan dengan infeksi oportunistik (IO). Infeksi ini muncul, karena sistem kekebalan dan pertahanan tubuh tidak bisa mengatasi bakteri, jamur atau virus di tubuh. IO merupakan salah satu tahap dari HIV ke AIDS. IO yang paling umun adalah infeksi paru, kanker kulit, infeksi mempengaruhi mata, dan kandidiasis atau infeksi jamur pada mulut, tenggorokan dan vagina.

Nah, Kesuma atau Pontianak Plus, memberikan penjelasan, informasi, cara menangani, dan tenaga medis mana yang cocok dan biasa menangani HIV/AIDS. Ia juga pernah mendapatkan penjelasan mengenai obat ARF, ketika anggota keluarganya mau memakai obat itu.

Di Kesuma, ia dapat saling tukar pengalaman, informasi, memberikan dukungan, merajut kebersamaan dan mengatasi masalah. Suatu masalah, bila diselesaikan secara bersama, akan terasa lebih ringan, tentunya. “Permasalahan HIV/AIDS harus dihadapi bersama dan secara terbuka. Dengan cara itu, penanganan dan pencegahannya akan lebih gampang,” kata Rolink.

Dalam melakukan kegiatannya, Kesuma bekerja sama dengan berbagai dinas pemerintah, Pontianak Plus, dan institusi yang peduli penanganan HIV/AIDS. Bahkan, organisasi PBB seperti ILO (International Labour Organisation), menawarkan pinjaman usaha. ILO menawarkan kredit usaha bagi ODHA dan keluarganya. Tapi, Kesuma menanggapi tawaran dengan hati-hati. Bagaimanapun, kredit harus dibayar. Apalagi bila dana itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Pada akhirnya, bakal susah melakukan kerja sama dengan institusi lain, dikemudian hari.

Keterbatasan tenaga menjadi kendala tersendiri di Kesuma. Karenanya, ada agenda meningkatkan kemampuan beberapa pengurus, maupun anggota. Pelatihan merupakan kebutuhan dan dukungan bagi ODHA. Selain itu, Kesuma terus menambah kontak orang dalamnya, sehingga jejaringnya terus bertambah. Yang perlu dicontoh dari Kesuma adalah masalah pemberdayaan.

Kesuma mengkordinasikan ODHA dengan dinas kesehatan dan rumah sakit. Rumah sakit rujukan menggunakan ODHA sebagai pendamping, atau manager proyek. Kesuma menarik semacam pengacara, ketika ODHA mendapat masalah. Misalnya, suatu instansi mengeluarkan ODHA dari tempat kerjanya.

“Kesuma sudah terbukti dan teruji berakselerasi dengan berbagai lembaga, institusi dan lainnya,” kata Toto, Ketua Kesuma. Benarkah demikian?

Mur Achmadi, dari Dinas Kesehatan Kalbar mengemukakan, “Mereka sangat berperan dalam berbagai kerja pendampingan kepada OHIDA.” Kesuma melakukan kerja apa adanya. Tidak dengan unsur paksaan. Perjuangan Kesuma menghilangkan berbagai stigma, sudah cukup terbukti di lapangan. Kesuma ingin menyakinkan masyarakat, bahwa orang tidak boleh membedakan ODHA. Entah itu dari segi pelayanan, maupun keberadaannya.

Tri Yoga Vontiano, 28 tahun, Case Manager VCT RSU Sudarso, Pontianak menuturkan pengalamannya tentang Kesuma. Sebagai seorang manager kasus, ia biasa menangani berbagai masalah menyangkut penanganan narkoba, ODHA dan lainnya. Pekerjaannya mendengarkan masalah orang, mengarahkan, dan memberi jalan keluar, sesuai dengan cara yang ia ketahui.

Ia biasa jalan sendiri menangani berbagai kasus tersebut. Ada beberapa kasus bisa selesai, ketika ia menangani. Tapi, ada juga beberapa kasus tidak tertangani. Contohnya pada 2005, ia mendatangi suatu keluarga ODHA. Ia menjelaskan berbagai permasalahan yang dialami anak keluarga tersebut. Namun, keluarga itu tidak mau mendengar apa yang bicarakan. Mungkin, keluarga itu menganggap, ia masih muda.

Nah, ketika menemui jalan buntu, ia mencari langkah penyelesaian lain. Kalau orang tua, biasanya lebih bisa menerima omongan orang tua. Ia minta bantuan pada anggota Kesuma. Melalui orang tua, keluarga ODHA bisa menerima.

Ada satu peristiwa lagi bisa menjadi contoh, pentingnya keberadaan Kesuma. Suatu ketika klien Yoga meninggal dunia. Kebetulan orang tua si ODHA sudah meninggal, dan tinggal abangnya. Ketika meninggal, ODHA mengalami pendarahan di sekujur tubuhnya. Keluarga ODHA tidak ada yang berani memandikan. Peristiwa pemusalaran jenasah itu terjadi sekitar Oktober 2005. Tidak semua keluarga bersikap seperti itu. Tapi, setidaknya dari 10 kasus, ada 2 kasus muncul.

Wawar, 28 tahun, menuturkan pengalamannya tentang Kesuma. Ketika ia mendapat perawatan di rumah sakit, Kesuma membantu menyelesaikan berbagai permasalahan. Terutama menyangkut kondisinya sebagai ODHA. Menurutnya, Kesuma bagus untuk menjaga anak, supaya tidak terlibat lagi dengan narkoba. Di Kesuma belajar bagaimana mengatasi anak, belajar psikologi anak, dan lainnya. Banyak orang tua trauma, sehingga mereka membuat perkumpulan itu.

Ketika Wawar sakit, ibunya mendapat undangan untuk hadir pada acara Kesuma. Tapi, karena ibunya sedang tidak sehat, tidak bisa menghadiri undangan itu. Sekarang ini, istri Wawar belum tahu tentang Kesuma. Istrinya tertarik dengan Kesuma. Tapi, belum ada undangan ikut rapat, atau kegiatan Kesuma.

“Kekurangan Kesuma, karena yang bergerak para orang tua, terkadang tidak ada pengeraknya,” kata Wawar. Jadi, tidak ada koordinator dan menjadi penggerak bagi kegiatan itu.

Meski demikian, seorang OHIDA, belum tentu tahu keberadaan Kesuma. Sebut saja Wahyu, 29 tahun. Ia tidak tahu tentang Kesuma. Kalau ada undangan atau ajakan dari Kesuma, dengan senang hati akan bergabung. Alasannya, dengan cara itu, mungkin ia bisa membantu kedua adiknya. Ia ingin menambah pengetahuan tentang HIV/AIDS. Menurutnya, karena Kesuma sifatnya langsung ke orang tua, akan lebih bagus. Namun, sebelum masuk Kesuma, ada syarat harus ia ketahui.

“Tentu saya harus tahu dulu, apa kegiatannya. Visi dan misinya. Dan ingin lebih tahu, arah dan tujuannya kemana,” kata Wahyu.

Kalau memang bagus, tidak menutup kemungkinan, ia akan mengajak orang tuanya terjun langsung ke Kesuma. Ia ingin adiknya mendapat dukungan dari keluarga. “Sekarang ini, semua keluarga belum tahu, kecuali saya,” kata Wahyu, menanggapi status adiknya. Ia ingin memberitahu status adiknya pada keluarga. Tapi, ia belum tahu, bagaimana caranya. Ia ingin sekali membantu adiknya, supaya keluarga tahu semua. Meski demikian, ia juga merasa kuatir, nanti keluarga malah shock.

“Kalau semua keluarga tahu, tentu dukungan akan semakin kuat pada adik. Kebetulan keluarga sibuk semua. Sehingga untuk kumpul dan membicarakan masalah itu, belum ada kesempatan,” kata Wahyu dengan penuh harap.


PADA 2003, orang melakukannya komunikasi, informasi dan edukasi terhadap HIV/AIDS, dengan cara door to door. Tak jarang pengusiran kerap menimpa orang bersangkutan. “Kawan pun turut mengusir,” kata Hermia Fardin, Ketua Pontianak Plus. Ia biasa dipanggil Mia, dan menyebut dirinya ODHA berdaya.

“Sebelum terinveksi virus HIV, hidup saya tidak teratur dan amburadul. Boros, dan hidup tidak sehat,” kata Mia. Jadi, hal-hal yang berhubungan dengan ketidakdewasaan. Ia tidak patuh. Juga tidak mendengar nasehat orang tua. “Selalu menipu. Dan, berbagai hal itulah yang tidak ingin saya terapkan kembali,” kata Mia.

Ketika terinveksi HIV, ia mendapat perawatan di Jakarta dengan sistem therapeutic community. Itu terapi pemulihan bagi pecandu narkoba. Sesama pecandu membantu pecandu yang lain. Dimana pola pikir dirubah, prilaku dirubah, spiritual dirubah, hal-hal yang menjadi kebiasan dirubah. “Dan orang tua saya juga membantu. Semua keluarga besar membantu saya dalam masa penyembuhan,” kata Mia.

Menurutnya, sebagian besar orang tua mendukung penanganan terhadap HIV/AIDS. Cuma, orang tua tidak sepenuhnya tahu tentang hal itu. Seorang anak tidak mungkin memecahkan masalahnya sendiri. Anak butuh bantuan. Dan bantuan yang pertama kali diminta adalah dari orang tua.

“Orang tua inilah yang mendukung dan memberi support pada kita. Orang tua menjadi ujung tombak dalam mendampingi ODHA,” kata Mia.

Ia dan ODHA pada umumnya, sering mendapat diskriminasi dari masyarakat. Ada temannya dimasukkan kandang ayam oleh keluarga sendiri, karena mereka takut tertular HIV. Begitupun ketika ia ingin membentuk kelompok dampingan sebaya, Pontianak Plus. Teman sendiri mengusirnya. Namun, pengalaman paling pahit adalah banyak teman yang meninggal akibat HIV/AIDS.

Pengalamana sama juga dialami Wawar. Ketika pertama kali terinveksi HIV dan mendapat perawatan di rumah sakit, ia merasa terdiskriminasi. Ruangan dan peralatan makan sendiri. Ia merasa tertekan. Semua suster yang merawatnya, menggunakan penutup hidung dan sarung tangan. Masyarakat melakukan diskriminasi.

Bahkan, salah satu koran daerah, harian Equator, memberitakan dirinya sebagai orang yang terinveksi HIV. Ketika berita itu tersiar, sebagian besar lingkungan tinggalnya tahu. Bahkan, teman pergaulan semasa kuliah, banyak yang langsung memeriksakan diri dengan tes HIV.

Bagaimana hubungan dengan pacar, setelah ia tahu kena HIV? Justru, pacarnya itulah yang pertama kali mengantar ke rumah sakit. Setelah tahu, Wawar mempersilahkan pacarnya untuk memilih. Tetap bareng dengannya, atau meninggalkannya. Pacarnya memilih tetap dengannya.

Wawar punya pengalaman memberi pencerahan pada keluarga calon istrinya. Ia bicara pada calon mertuanya mengenai apa itu HIV/AIDS. Ia memberikan buku tentang HIV/AIDS. Ia minta calon mertua membaca buku itu. Wawar berpesan, bila kurang jelas atau tidak tahu, supaya tanya padanya. Mertuanya tanya pada Wawar beberapa kali, ketika tidak tahu mengenai sesuatu di buku itu. Setiap yang ia tidak tahu, selalu tanya pada Wawar. “Ini maksudnya apa, War?”

Setelah merasa saatnya tepat, Wawar dan calon istri datang ke rumah calon mertuanya. Ia langsung melamar. Apa jawaban orang tua itu pada Wawar?
“Yang menjalani hidup kalian berdua.”

Ya, akhirnya, lamaran diterima. Wawar menikah pada Juli 2006. Ketika kabar itu tersiar pada temannya, berbagai pertanyaan muncul.
“War, kok kamu bisa nikah?”
“Bisalah. Kan itu hak kita. Kita ini diciptakan Allah dengan berpasangan.”

Istrinya sampai sekarang belum siap diajak tes HIV. “Kalau kau nyaman. Setelah kena HIV, ada kehidupan baru. Semangat timbul lagi,” kata istri Wawar.
Keluarga besar mertua, seperti paman, bibi dan lainnya tidak tahu, kalau Wawar kena HIV. Yang tahu hanyalah keluarga di rumah, seperti ayah, ibu, adik dan kakaknya.

Yang paling berperan memberi semangat ketika Wawar sakit adalah orang tua perempuan dan keluarga. Terutama pacarnya. Ibunya selalu menerima keadaan Wawar. “Kalau itu memang kehendak Allah, ya, harus diterima,” kata ibunya.
Ia merasa beruntung punya keluarga pengertian.

Menurutnya, paling kasihan ketika ODHA tidak diterima orang tuanya. Bahkan, saat ada orang terdeteksi HIV di rumah sakit, orang tuanya langsung meninggalkan dan tidak merawatnya. Akhirnya, si ODHA meninggal dunia di rumah sakit. Setelah itu, keluarganya baru datang mengambil jenasahnya di rumah sakit.

Wawar lebih mendekatkan diri pada Allah. Menjalankan salat dan perintah agama. Dulu, mana ingat dengan hal itu. Pokoknya badung, terus. Main obat, dan lainnya. Omongan orang tua tidak pernah didengar. Setelah kejadian, ia baru sadar.

“Ini ibaratnya, peringatan dari Allah,” kata Wawar.

Sekarang ini, kegiatannya membantu kawan bila mereka butuh obat atau bantuannya. Misalnya, kawan kesulitan mencari obat, atau mendapatkan perawatan. Biasa juga mencarikan darah bagi teman yang butuh darah transfusi. Wawar kerja di Global Fund sebagai tenaga dampingan bagi ODHA.

Dalam melakukan pendampingan, ia selalu memberi informasi mengenai HIV/AIDS, akibat orang menggunakan narkoba, dan memberikan buku pelatihan. Cara tersebut cukup efektif memberikan penyadaran. Selain itu, menyerap berbagai informasi di masyarakat, merupakan satu cara efektif melihat permasalahan HIV/AIDS. Namun, kerap kali anggota Kesuma, Pontianak Plus atau pendamping, kesulitan menghadapi kondisi di lapangan.

Rolink punya pengalaman tersendiri, ketika merespon isu di masyarakat. Tahun lalu, ketika tugas ke Singkawang, ia mendengar ada ODHA di sana. Ia mendengar berita dari mulut ke mulut. Singkawang kota kecil. Ketika ada orang terinveksi HIV, informasi itu cepat tersebar dan menjadi perbincangan. Rolink menyerap informasi itu. Secara pribadi, ia memberanikan diri mendatangi alamat rumah si ODHA.

Kebetulan si ODHA adalah ibu rumah tangga. Perempuan itu punya masalah cukup berat. Suaminya meninggal karena AIDS. Dari perkawinannya, ia punya tiga anak. Selain itu, ia harus menghadapi kenyataan, bahwa dirinya ODHA. Ia tertular dari suaminya.

Ketika bertemu, Rolink berbagi pengalaman dengan perempuan itu. Lalu, cara apa yang ia lakukan, ketika berbicara dengan perempuan itu pertama kali?

“Kita tidak bisa mengharapkan orang lain untuk terbuka dulu dengan kita. Maka, saya yang mulai membuka diri, dan bercerita tentang masalah saya,” kata Rolink.

Ia berkata pada perempuan itu, dalam menghadapi masalah HIV/AIDS, jangan terlalu memikirkan diri sendiri, bahwa dirinya ODHA. Tapi, harus berpikir, bahwa mereka sedang menghadapi masalah itu. Jadi, harus berani berpikir dan melakukan sesuatu, selanjutnya apa. Sembari berbincang, Rolink melihat respon dan ekspresi orang yang diajaknya bicara. Perempuan itu tersentuh hatinya. Akhirnya, ia mulai cerita tentang masalahnya.

Selanjutnya, Rolink mengajak perempuan tersebut, mengikuti seminar HIV/AIDS di salah satu biara di Kota Singkawang. Pesertanya para pelajar di Kota Singkawang. Perempuan itu cukup antusias mengikuti seminar. Rolink mengenalkan perempuan itu ke Pontianak Plus. Sekarang ini, ibu muda itu menjadi aktifis dan tenaga andalan dalam masalah HIV/AIDS di Kota Singkawang.

Menurut Rolink, kendala utama seseorang tidak terbuka dalam masalah HIV/AIDS adalah soal aib, dan rasa malu. Ketika seseorang membuka diri dan statusnya, mereka berpikir, orang lain akan menilai, dan menjauhi dirinya. Tiba-tiba, ODHA menjadi sosok mahlug menakutkan.

Penanganan ODHA pada akhirnya, kembali pada setiap pribadi. Dalam arti, kalau ODHA punya semangat hidup besar, dia akan menghadapi permasalahan dengan penuh semangat, energi dan optimisme. Tapi, bila ODHA pasrah dan pesimis dengan hidupnya, pendampingan tidak akan membuahkan hasil.

Ketika melakukan pendampingan, Rolink tidak mendapatkan dana operasional dari Kesuma. Ia memahami dan maklum adanya. Kesuma organisasi keluarga. Jadi, untuk program dan tunjangan fasilitas, tidak ada. Sifatnya suka rela. Ia terjun ke lapangan atas inisiatif sendiri. Tapi, perkembangan apa saja, tetap ia sampaikan ke Kesuma. Ia menghubungkan jaringan ODHA di Singkawang pada Kesuma dan Pontianak Plus.

Selama ini, ia melakukan pendekatan lebih pada lembaga non formal. “Kalau ke pemerintah masih hanya sebatas wacana. Belum sampai tahap terjun langsung ke lapangan atau apa,” kata Rolink.

Hal itu dibenarkan Udin. Kesuma telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan unsur pemerintah, seperti, menteri kesehatan, gubernur, kepala dinas kesehatan, dan KPA. Biasanya tanggapan pejabat ketika pertemuan sangat bagus. “Tapi, tindak lanjutnya tidak ada,” kata Udin . Ia tidak tahu, apakah karena pejabat yang ada dibawah kurang sambung, atau apa. Namun, tidak mau berburuk sangka.

Menurutnya, kesulitan mendasar Kesuma melakukan pendampingan adalah, kembalinya si anak dalam jerat narkoba. Nah, bila anak telah ODHA, adalah mengenai pemakaian obat ARF. Kehidupan tidak teratur, tentu berimbas pada pemakaian obat ARF. Bila ODHA tidak teratur dalam memakai obat, tubuhnya akan melakukan penolakan. Sekali saja ia berhenti minum obat, maka obat itu tidak akan berfungsi lagi. Ia harus ganti obat jenis baru.

Nah, ketika kondisi seperti itu terjadi, Kesuma tidak bisa berbuat terlalu jauh. Kesuma hanya menginformasikan, seandainya ada orang ketergantungan obat, bagaimana menanganinya, prosedur mendapatkan obat, atau mengakses obat lebih mudah.

Kesulitan lain misalnya, bila ada keluarga di rumah sakit tidak mau menerima anaknya yang ODHA. Kesuma tidak bisa memaksakan diri bicara dengan orang tua si ODHA. Kesuma mencari paman atau anggota keluarga lain yang bisa diajak bicara. Langkah berikutnya adalah mencari alamat atau nomor telpon yang bisa dihubungi. Dalam pembicaraan awal, ia tidak akan bicara mengenai HIV/AIDS. Tapi, bicara mengenai narkoba misalnya. Langkah itu yang harus diperhatikan. Setelah ketemu, ia akan berbincang, sehingga sampai pada taraf perbincangan mengenai penyakit.

Butuh seni berkomunikasi yang baik, ketika berbincang dengan OHIDA atau ODHA. Ada cara tersendiri. Tidak semua orang bisa melakukannya. Kemampuan berkomunikasi diperoleh melalui tukar pendapat dan pengalaman, serta dari berbagai informasi dari narasumber.

Meski fungsinya cukup strategis, Kesuma lemah dari segi pendanaan. Untuk menjangkau daerah dan melakukan pendampingan, tentu saja perlu dana operasional. Kesuma dapat dana dari Yayasan Spiritia Jakarta, Rp 1,5 juta perbulan. Pada tahun 2006, Pemprov Kalbar memberi dana Rp 5 juta, setahun. Baru tahun ini, dana dikucurkan. Sebelumnya tidak pernah ada. Kesuma masih berusaha mendapatkan sumber dana lain.

“Selama ini, kita memang tidak ada dana dukungan dan operasional. Selain itu, pemerintah seharusnya memberikan dana dukungan bagi LSM yang bergerak dalam bidang HIV/AIDS,” kata Toto, Ketua Kesuma.

Selain faktor internal, masalah juga muncul dari pihak dari luar. Misalnya dari pihak kesehatan. Medis masih melakukan berbagai diskriminasi terhadap ODHA. Lalu, apa tanggapan dinas kesehatan menyikapi hal tersebut?

“Soal diskrimasi memang kita akui. Ada hal-hal yang bisa saja terjadi,” kata Oscar Primadi, Kadis Kesehatan Kalbar.

Ada kewaspadaan terhadap masalah HIV/AIDS. Ada kaedah mesti dilakukan. Ada kewaspadaan dini di kesehatan. Ia sudah memberi berbagai pemahaman kepada petugas kesehatan. Pemenuhan kebutuhan standar minimal juga dilakukan. Misalnya, penyediaan kebutuhan rumah sakit. Seperti, sarung tangan dalam bekerja, dan lainnya. Hal itu secara pelan dipenuhi.

Oscar melihat, HIV/AIDS harus dihadapi. Tapi, bukan berarti, melakukan tindakan pemecatan terhadap petugas. Yang dianggap melakukan tindakan tidak disiplin. Bila menemukan petugas melakukan diskriminasi, ia memanggil petugas tersebut dan memberi berbagai arahan. Ada pentahapan. Tidak serta merta dipecat. Merubah sesuatu yang sulit harus bertahap.

Meski begitu, toh, tidak ada dana kucuran dari dinas kesehatan pada Kesuma. “Masalah pendanaan memang tidak kita dukung. Dan kita berharap mereka bisa mandiri,” kata Oscar.


HINGGA KINI, keberadaan Kesuma sebagai kelompok dukungan bagi keluarga ODHA, telah banyak dirasakan manfaatnya. Meski demikian, keberadaan Kesuma masih sebatas orang tertentu saja yang mengetahui. Dari kelompok dukungan atau manager kasusnya saja.

“Masyarakat umum, kurang bisa menembus Kesuma,” kata Yoga. Tapi, ia menyadari, bahwa anggota Kesuma terdiri dari orang tua. Mungkin, mereka harus kerja untuk cari nafkah. Dan ia mengerti kondisi itu.

Menurutnya, pentingnya dukungan keluarga terhadap ODHA, membuat peran Kesuma lebih dibutuhkan. Lebih aktif lagi. Sekarang ini, informasi tentang Kesuma tidak terlalu menyebar. Kesuma harus lebih mensosialisasikan diri.

Ketua Kesuma mengakui hal itu. “Selama ini Kesuma mengendap, bukan berarti jalan di tempat. Tapi, Kesuma bersinergi dengan pers, dan mencoba membuka ruang-ruang publikasi melalui jurnalis di media cetak atau elektronik,” kata Toto.

Ia menganggap sudah waktunya melakukan itu. Kenapa? Pertama, Kesuma sudah membuat kekuatan di organisasi. Kedua, Kesuma secara bergantian mengikuti pelatihan yang dilakukan Yayasan Spritia. Baik itu mengenai perawatan, workhsop, dan berbagai kegiatan lainnya. Kesuma mengikuti terus kegiatan tersebut. Hasil kegiatan dilakukan bagi pengembangan dan menjabarkannya di lingkungan Kesuma.

Kesuma berkeinginan dan berorietasi pada lain daerah. Ada keinginan memperluas jangkauan pada keluarga ODHA. Untuk itulah, Kesuma ingin mempercepat kemampuan SDM anggotanya. Sebab, makin banyak jangkauan yang bisa dibantu, Kesuma semakin dilihat orang.

Hermia Fardin mempunyai pendapat tersendiri tentang Kesuma, “Banyak juga dari orang tua yang kurang paham mengenai organisasi, belum ada dana, dan mereka tidak punya gaji di Kesuma. Sehingga ketika menangani jadi tidak maksimal.”

Drs. H. Syakirman, Ketua KPAD (Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah), sekaligus Sekda Kalbar, meminta Kesuma kerja sama dengan pemerintah dan memberikan masukan. Ada harapan, Kesuma lebih terbuka. “Dengan keterbukaan, pemerintah bisa mengambil berbagai langkah,” kata Syakirman.

Sekarang ini, Kesuma programnya dianggap hanya kumpul dan arisan saja. Makin bertambahnya kasus HIV/AIDS di Kalbar, tentu membutuhkan peran lebih besar bagi Kesuma. Karenanya, program Kesuma harus lebih berfariasi, dan tidak sekedar arisan keluarga. Semoga. ***

Edisi cetak ada di buku; 22 Jurnalis Bicara Mengenai Perempuan, Orientasi Seks, dan HIV/AIDS. Penerbit LP3Y-Yogyakarta
Fotografer : Lukas B. Wijanarko

2 comments :

BORNEO PARADISE said...

Wah tulisan yang super panjang dan begitu menyeluruh, awalnya saya pikir ini tulisan awal tahun 2008 ternyata awal tahun 2006....

hebat dan menunjukan kemampuan menulis yang prima !

salam hangat !

Andreas Acui Simanjaya

Unknown said...

Mohon info ny, nama dokter spesialis hiv dan aids di pontianak?