Oleh: Muhlis Suhaeri
Suatu budaya atau kepercayaan agama, tentu saja tidak absolut untuk dimaknai. Terkadang, dia surut seiring dengan bergulirnya waktu. Pemaknaan pun menjadi tidak rigid. Apalagi, bila kepercayaan dan budaya itu, telah mulai tergusur oleh kepercayaan lain.
Lambat laun, datangnya hari besar suatu agama atau budaya, hanyalah suatu kegiatan yang sifatnya rutinitas dan seremonial belaka. Nah, bagaimana orang memaknai Imlek dan Cap Go Meh, mari kita lihat pendapat seorang tetua dan sesepuh masyarakat Tionghoa, X. F. Asali.
Datangnya Imlek pada tanggal 29 Januari 2006, yang bertepatan dengan tanggal 1 bulan 1 tahun 2557, tahun Imlek Ping Shuk, Shio Anjing, mempunyai makna tersendiri bagi semua kalangan. Lalu, apa dari makna Imlek itu sendiri?
Makna harfiah dari Imlek adalah, bulan penanggalan. Im berarti bulan dan Lek berarti penanggalan. Karena di negeri Tiongkok merupakan negara agraris (pertanian), maka Imlek disebut juga Nung Lek (pertanian penanggalan). Sistem penanggalan Imlek sama dengan penanggalan kalender Islam, yang menggunakan bulan sebagai acuan. Pergerakan bulan dijadikan patokan bagi penanggalan atau biasa disebut lunar kalender.
Ada hal yang membedakan perayaan Imlek di Indonesia dengan Tiongkok. Di Tiongkok, biasanya Imlek dilakukan bertepatan dengan awal datangnya musim semi. Hal itu bisa dimaklumi, karena Tiongkok terdiri dari 4 musim, yaitu; musim semi, panas, gugur dan dingin. Karena negara agraris, tentu saja setiap musim sangat dihitung.
Ini berkenaan dengan, kapan harus mulai menyemai benih, menanam, panen dan lainnya. Kalau tidak dihitung dengan seksama, dikhawatirkan panen akan gagal. Menurut Asali, bagi masyarakat yang tinggal di Indonesia, Imlek tidak ada pengaruhnya. Karena di Indonesia hanya terdiri dari dua musim.
“Tradisi Imlek di Indonesia dibawa masyarakat Tionghoa perantauan, seiring masuknya mereka ke Indonesia, sekitar 300 tahun, lalu. Kalau menurut antropologi sekitar 600 tahun yang lalu,” kata Asali.
Imlek sekarang ini sifatnya hanya tradisi. Apalagi bagi anak muda yang berusia dibawah 40 tahun. Biasanya mereka ini kurang memahami makna dari Imlek.
Tradisi Imlek dirayakan sesuai dengan perayaan musim. Karena di Indonesia tidak ada empat musim, maka perayaan itu bukan menjadi suatu kewajiban. Kalau di Tiongkok, Imlek sangat berpengaruh. Karena itu tadi, berhubungan dengan masalah pertanian.
Menurut Asali yang disadur dari buku karangan Dr Kai Kuok Liang, berjudul Festifal Budaya Tionghoa, Imlek dirayakan sedari zaman Kaisar Huang Ti Yu (2698 SM), dan Kaisar Dinasti Qin (221-206 SM). Kaisar Qin Che Huang bahkan mencatat, bahwa masyarakat telah merayakan Imlek secara merata. Tak hanya itu, perayaan itu juga didasari dengan semangat persatun dan kesatuan bangsa Han.
Ada beberapa benda yang selalu menyertai perayaan Imlek. Benda itu adalah, kertas atau kain merah yang ditulisi kata bijak, mercon, kartu merah ucapan selamat tahun baru, jeruk Bali, dan kue keranjang. Kain atau kertas warna merah yang ditulisi kata bijak, biasanya digantungkan di depan pintu rumah.
Penggunaan mercon sekarang telah dilarang, karena bisa mengakibatkan bahaya. Jeruk Bali biasanya diletakkan di ruang tamu suatu rumah. Tak lupa, kue keranjang sebagai makanan turut dihidangkan pada tradisi Imlek. Semua benda itu merupakan simbol dan mempunyai makna, dan sejarah tersendiri.
Imlek atau Cap Go Meh, bila diatur dengan baik, tentu akan menghasilkan devisa dan menggerakkan perekonomian. Bila tidak, Imlek dan Cap Go Meh tak ada nilainya. Jadi, tergantung bagaimana pemerintah daerah mengembangkannya potensi itu.
“Kalau dari segi ekonomi tidak ada yang menguntungkan sama sekali,” kata Asali. Kecuali, bagi orang yang profesinya membuat naga, membuat kembang api. Bila dipikir, ketika Imleh dan Cap Go Meh, berapa ton dupa dan lilin akan terbakar dan habis. Berapa duit yang terbuang?
Hitung-hitungan sederhananya, untuk sekali sembahyang orang harus menggunakan dupa, lilin, dan kertas sembahyang. Semua peralatan itu dibeli. Minimal sekali beli, Rp 10 ribu. Terkadang ada orang membawa berbagai persembahan seperti ayam, kambing, kepala babi dan lainnya. Semua tergantung kemampuan ekonominya. Total jenderal, sekali melakukan sembahyang orang harus punya uang Rp 50-100 ribu. Seperti juga dalam sembahyang kubur, yang paling sederhana saja, orang harus mengeluarkan Rp 300 ribu untuk satu kuburan.
Bila itu dikalikan dengan jumlah penduduk yang ada, berapa nilainya?
Imlek bagi sebagian orang dianggap membuat uang habis. Selain itu perayaan, dalam 3 hari orang tidak melakukan kegiatan atau usaha. Dengan tidak masuk kerja atau usaha, tentu saja tidak ada pemasukan.
Tiga hari tidak kerja selama Imlek mempunyai cerita tersendiri. Menurut kepercayaan, janganlah orang menghina orang yang rendah. Orang yang rendah seperti penyapu jalanan pun, harus istirahat selama tiga hari. Dulu orang Tionghoa kerja 365 hari. Mereka istirahat dan makan besar hanya 8 kali setahun. Ditambah libur Imlek tiga hari. Yang betul-betul dirayakan makan besar hanya 4 kali. Jadi, dalam satu tahun, masyarakat Tionghoa ketika itu, hanya 7 hari istirahat dari pekerjaan. Dari sini sangat terlihat sekali, bagaimana etos kerja di masyarakat Tionghoa. Pekerja keras dan ulet.
Imlek antara tradisi dan ritual agama memang ada ciri tersendiri. Bagi masyarakat yang masih memegang kepercayaan Tri Darma, Budha, Konghucu dan Taoisme, Imlek mempunyai makna yang begitu penting. Tapi, bagi masyarakat Tionghoa yang tidak lagi memeluk agama lain, Imlek hanya sekedar suatu tradisi.
Namanya juga tradisi. Dilakukan boleh, tidak dilakukan tidak apa-apa. Namun, tradisi saling mengunjungi dan membina hubungan masih tetap dilakukan. tradisi makan kue keranjang dan memberikan angpao juga tetap dilakukan.
Memberi angpao biasanya dilakukan pada malam menjelang tahun baru Imlek.
Makna ampao, diberikan pada malam sebelum Imlek. Yek Sui Chien, tujuannya supaya anak bertambah umur, karena besok ganti tahun, sehingga umurnya bertambah. Ada makna filsafat di sana. Pada tahun baru Imlek, anak tidak boleh meminta uang. Makanya, angpao diberikan duluan. Angpao biasanya diberikan pada keluarga terdekat.
Pada perkembanganya, angpao juga diberikan pada orang lain. Misalnya, atasan pada bawahannya. Angpao tidak bisa ditentukan berapa besarnya. Tergantung pribadi punya kekayaan. Ada orang kaya yang memberi ke semua orang. Imlek bagi generasi muda sekarang seolah-olah hanya mengharap dapat angpao, kata Asali.
Imlek identik dengan kunjungan dan saling mengunjungi. Yang muda pada yang tua. Ada satu filsafat yang harus selalu dipegang berbunyi, chun lao fu yu, artinya, menghormati yang tua dan melindungi yang kecil atau lemah.
Falsafah itu sudah diberikan dan dididik dari kecil. Karenanya, kekerabatan dan fungsi sosial keluarga sangat penting sekali dalam hal ini.
Sekarang ini dengan berkembangnya jaman, sudah banyak perubahan terjadi. Dengan majunya teknologi, pikiran, orang mulai kurang percaya lagi dengan dongeng-dongeng, masa lampau. Imlek, tak ada suatu kewajiban apapun. Imlek hanya menjadi semacam tali silaturahmi saja.
Mengenai tradisi memakai pakaian baru, sepatu baru, atau apapun ketika Imlek, Asali menanggapi. “Hal itu bukan suatu kewajiban, tapi harus,” katanya.
Kalau orang tidak mampu membeli, sebenarnya tidak apa-apa. Tapi karena tradisi, begitu melekat pada masing-masing keluarga, maka Imlek identik dengan sesuatu yang baru. Terutama bagi anak kecil.
Imlek dan Cap Go Meh, memang tergantung kepercayaan seseorang. Bagi orang Taoisme, itu merupakan sesuau yang luar biasa. Karenanya, orang merayakannya dengan berbagai cara, bahkan hingga orang kesurupan. Seperti, tatung. Kalau dari agama Budha tidak ada kesurupan. Bagi orang yang menganut Taoisme, Imlek dianggap sebagai awal atau hari yang baik memulai suatu usaha dan menentukan sesuatu. Seperti, menikah atau memulai suatu kegiatan biasanya dihitung waktunya.
Memang ada sesuatu yang bergeser. Namun, tetap ada yang terlestarikan.*
Edisi Cetak, minggu pertama, Januari 2006, Matra Bisnis.
Foto Lukas B. Wijanarko
Saturday, January 7, 2006
Memaknai Imlek
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment