Tuesday, January 17, 2006

Bagaimana Peluang Ekonomi dan Kebijakan Moneter 2006?

Oleh: Muhlis Suhaeri

Apa yang terjadi, seandainya lingkungan kampung Anda sedang dilanda kekacauan? Tentu saja, keluarga Anda juga akan mengalami kecemasan, kebingungan, dan perasaan takut lainnya. Bagaimana cara Anda keluar dari kemelut itu? Anda tentu saja harus melihat, sejauhmana permasalahan itu mucul, menganalisa dan membuat hipotesa. Lalu, muncul sebuah cara menghadapi masalah itu.

Begitu pun dengan masalah perekonomian. Ketidakseimbangan ekonomi global, tentu saja berpengaruh pada ekonomi regional. Sekarang ini, hampir di sebagian besar belahan dunia, mengalami kondisi yang sangat berat secara politik dan ekonomi. Kondisi itu biasa disebut dengan istilah global in balancing, atau ketidakseimbangan kondisi ekonomi secara global.


Ketidakseimbangan itu muncul, lantaran pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Cina sangat bagus, dan menyedot hampir seluruh finansial di dunia. Salah satunya juga dari Asia. Kenaikan harga minyak dunia yang sangat tinggi, juga memacu inflasi yang cukup tinggi. Yang pada akhirnnya, memaksa sebagian besar Bank Central menaikkan suku bunga bank. Hal ini tentu saja sebuah situasi yang tidak menguntungkan di seluruh dunia. Termasuk juga di Indoensia.

“Kalau dilihat secara keseluruhan, kinerja ekonomi kita pada tahun 2005, tidak terlalu jelek,” kata Ferry Warjiyo, Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kajian Moneter Bank Indonesia.

Jika pertumbuhan ekonomi pada tahun 2004 sebesar 5,1 %, maka pada tahun 2005, diperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai angka 5,7 %. Nah, pertumbuhan ekonomi untuk triwulan ketiga tahun 2006, diperkirakan mencapai angka 5,9 %, atau lebih rendah 0,2 % dari perkiraan semula. Hal itu memberi makna, ada kemajuan dalam perekonomian Indonesia. Dari segi pertambahan ekonomi, Indonesia berarti lebih baik dari beberapa negara tetangga.

Bila tahun-tahun sebelumnya, daya dukung ekonomi Indonesia murni dari konsumsi, maka mulai tahun 2004, investasi sudah meningkat dan mencapai angka sekitar 15 %. Tahun 2005 investasi agak menurun. Meski demikian, investasi masih menembus angka sekitar 14 %. Tahun depan diperkirakan sekitar 14,5 %.

Karena itulah, ada fokus yang dilakukan dan menyangkut beberapa aspek. “Memang ada sisi kelambatan dari sisi kita,” tutur Ferry. Khususnya, terkait dengan beberapa permasalahan di sektor real, iklim investasi, permasalahan struktural yang masih menganggu, persepsi konsumen yang turun, juga aspek-aspek yang terkait dengan stabilitas makro.

Meski secara keseluruh kondisi ekonomi Indoensia relatif cukup baik, tetap saja ada gejala-gejala pemanasan. Hal itu tentu saja harus dilihat dari sisi aspek sektor real, maupun pengedalian stabilitas makro. Yaitu yang terkait dengan inflasi dan nilai tukar.

Inilah yang harus dihadapi Bank Indoensia, dalam menentukan kebijakan moneternya. Nantinya, dunia perbankan juga akan terkait dengan implikasi-implikasi, dan hal itulah yang harus dilihat kedepannya.

Bila dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi, ekspor belum memberikan kontribusi apa-apa. Bahkan, nilainya masih negatif. Ekonomi yang cepat, menyebabkan impor angkanya sangat tinggi, sementara ekspor relatif tidak besar. Nilai impor sekitar 30 %, sementara ekspor hanya 15 %. Hal ini terjadi karena adanya pelambatan. Selain itu ada beberapa aspek seperti biaya produksi, melemahnya nilai tukar, dan masalah iklim investasi.

Lalu, sektor mana yang menjadi dukungan ekonomi pada 2006?

Secara sektoral, ekonomi Indonesia didukung oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi. Hal ini bisa dimaklumi. Ibaratnya, setelah sakit, orang tentu saja makan banyak. Nah, semenjak krisis terjadi tahun 1997, maka konsumsi menjadi dukungan, sehingga masalah perdagangan selalu menjadi dukungan ekonomi. Setelah itu tentu saja orang akan mulai berinvestasi. Industri kemudian mulai backing up.

Ada beberapa aspek yang perlu dicermati. Dengan kondisi yang agak menurun seperti sekarang ini, masalah minyak, nilai tukar, ekonomi global yang menurun, membuat persepsi bisnis juga menurun. Dari segi potensial, posisi itu tentu masih berada di bawah posisi potensial. Ekonomi potensial Indonesia masih berada di bawah out put potensialnya.

Karena itulah, ekonomi bisa dipacu lebih tinggi lagi. Permasalahannya, investasi belum setinggi sebelum terkena krisis. Dulu sekitar 30 % dari Produk Dometik Bruto (PDB) untuk investasi, sekarang masih 22 %. Dan hal itu masih bisa ditingkatkan lagi.

Karenanya, masalah perbaikan investasi di daerah dan pusat sangat diperlukan. Tidak hanya untuk memulihkan persepsi bisnis, juga untuk menggenjot investasi. Masalah-masalah yang terkait dengan investasi, tentu saja harus memperhatikan aspek legal, perburuhan, otonomi daerah dan lainnya. Semua harus diatasi secara bersama, sehingga kapasitas yang ada dapat dipacu lagi.

Aspek lain, ekonomi yang meningkat sebenarnya berimbas pada permintaan yang juga menguat. Namun, karena produksi dalam negeri masih berada dibawah out put, akibatnya tidak bisa memproduki sesuai dengan permintaan yang ada. “Akhirnya, kita terlalu banyak mengimpor barang konsumsi, barang baku atau barang modal. Inilah gejala-gejala dan sedikit pemanasan dalam ekonomi kita,” kata Ferry.

Ditambah harga minyak yang melambung tinggi, akhirnya terjadi ketidakseimbangan secara eksternal. Neraca pembayaran menjadi tidak seimbang. Pemerintah terlalu banyak menggunakan devisa keluar, sementara devisa yang masuk sedikit. Inilah masalahnya. Akibatnya, hal itu yang menjadi tekanan dinilai tukar rupiah.

Pada saat bersamaan, terjadi kondisi ekonomi dunia yang kurang menguntungkan. Yang ditandai dengan penguatan nilai dollar, suku bunga bank, harga minyak cukup tinggi dan sentimen terhadap kebijakan viskal pemerintah, karena terlalu banyaknya subsidi.

Yang lain dan terkait dengan stabilitas adalah kenaikan harga-harga akibat inflasi di dalam negeri. Dengan naiknya harga BBM, inflasi bulan Oktober 2005 mencapai angka sekitar 8,7 %. Angka itu lebih tinggi dari perkiraan. Kenaikan selama tahun ini sebarannya mencapai 17,9 %.

Nah, ini karena dampak dari kenaikan BBM, baik langsung atau dampak kenaikan angkutan. Inflasi sampai akhir tahun masih relatif tinggi, hingga 17 %. Meskipun ada keyakinan, bahwa inflasi akan turun dari bulan ke bulannya. Tapi, karena sudah terlalu tinggi, penurunannya tidak bisa berlangsung secara cepat.

Karena itulah, dalam melakukan kebijakan moneter lebih diarahkan untuk menstabilkan masalah harga. Termasuk juga pengaruh dari nilai tukar. Perlu menggunakan suku bunga BI rate sebagai suku bunga referensi. Proses perumusan juga mulai melihat, bagaimana prakiraan inflasi kedepan dengan ekonominya.

“Dan kita juga transparan dari segi komunikasi dan kordinasinya dengan pemerintah. Ini beberapa polecy yang kita tempuh,” ungkap Ferry.***


Foto by Muhlis Suhaeri, "Pantaiku Sayu."
Edisi Cetak, minggu ketiga Januari 2006, Matra Bisnis

No comments :