Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Ada sesuatu yang selalu membuat aku resah, akhir-akhir ini. Sebuah peristiwa yang begitu menyakitkan. Penghancuran sebuah situs sejarah dan cagar budaya.
Kalaupun mereka tidak mengakui bangunan itu termasuk dalam kategori kedua determinasi yang dibuat, apakah mereka bisa mengelak, bahwa di bangunan itulah, sebuah proses sejarah dari daerah yang bernama Kalimantan barat, tak bisa dilepaskan dari bangunan yang dirobohkan.
Ini namanya vandalisme!!!
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1989), vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya. Bisa berupa keindahan alam, bangunan, fasilitas umum, dan lainnya.
Vandalisme seringkali muncul dalam berbagai aktivitas yang bersifat negatif. Misalnya, mencorat-coret dinding bangunan, fasilitas umum, bahkan, merusak benda cagar budaya.
Di sebagian besar kota di Indonesia, tindakan vandalis kerap muncul dan menampakkan wajahnya yang lebih nyata, dalam berbagai bentuk dan ekspresi. Ada kemarahan, ketidakteraturan, dan tindakan tidak bertanggung jawab.
Bagaimana dengan proses pembangunan?
Vandalime kerap muncul dalam wujudnya yang lebih nyata, melalui pembongkaran berbagai bangunan situs bersejarah dan cagar budaya. Bagi yang tidak memahami sejarah perkembangan sebuah kota, memahami konteks sejarah dan pembentuk peradaban kota, akan dengan mudah melakukan vandalisme.
Atas nama pembangunan dan perkembangan kota, berbagai bangunan sejarah dan cagar budaya, dengan mudah digusur dan dirobohkan. Padahal, bangunan itulah yang menghubungkan masa lalu perkembangan sebuah masyarakat, dengan masa kini dan masa yang akan datang.
Pembongkaran bangunan bersejarah dan cagar budaya, bakal menghilangkan tali sejarah. Tindakan itu juga menghilangkan ingatan sejarah masyarakat, tentang apa yang pernah terjadi. Sejarah dibuat terputus.
Bisa dibayangkan, apa yang terjadi dengan sebuah masyarakat, yang berjalan tanpa memahami sejarah, dan pembentuk jati dirinya. Jawabannya adalah, masyarakat yang amburadul.
Pontianak sudah kehilangan sejarah dengan pembongkaran bangunan penjara menjadi Rumah Sakit Santo Antonius (RSAA). Padahal, di penjara ini, beberapa pahlawan Kalbar yang berjuang melawan penjajah, ditembak dan dieksekusi.
Dengan roboh dan hilangnya bangunan, ingatan masa lalu tentang tempat kejadian, turut pula hilang. Bangunan yang menjadi pengingat dan pengikat pikiran manusia, tentang sebuah peristiwa heroik dan keberanian para pahlawan yang berani mengorbankan nyawa demi kemerdekaan sebuah bangsa, turut hilang.
Bangunan yang menjadi cantelan masa lalu, kini dan masa depan, tak lagi bisa mengikat pikiran sebuah masyarakat, tentang orang yang telah dengan gagah berani mengobarkan nyawanya. Demi tujuan luhur yang tak pernah mereka nikmati dan rasakan.
Ironis memang. Pikiran dan ingatan masa lalu masyarakat diputus begitu saja, tanpa ada yang merasa kehilangan atau mempertanyakan. Atau, kita memang telah begitu bebal, sehingga tak menyadari atau memang tidak mau tahu. Bahwa, eksistensi kekinian manusia, berawal dan berwujud dalam sebuah rangkaian panjang yang bernama sejarah. Dan kita tak pernah mau tahu, arti dan apa pentingnya rangkaian itu bagi diri kita, lingkungan dan bangsa ini.
Kejadian terbaru di Pontianak adalah, dirobohkannya sebuah rumah yang memiliki nilai sejarah. Dari sinilah orang tahu, di Kalbar pernah menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Rumah itu pernah ditinggali para pendiri, dan orang yang begitu peduli dengan keberadaan Kalbar. Tercatat, Sultan Hamid II, Ovaang Oeray, pernah tinggal dan menempati rumah itu. Juga beberapa penerusnya.
Pembangunan yang tidak menggunakan berbagai pendekatan, kontek budaya, dan sosial, memang cenderung bersifat merusak. Yang muncul hanya pendekatan bersifat kamuflase. Seremoni. Dan, hal-hal yang hanya bersifat permukaan.
Tak menjawab isi dan konteks.□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 22 Februari 2009
Foto dari hellojupiterart.com
Sunday, February 22, 2009
Vandalisme Pembangunan
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:06 AM 0 comments
Labels: Essai
Wednesday, February 18, 2009
Budaya Mistik
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Manusia Indonesia tak bisa dipisahkan dari budaya mistik. Karena itulah, ketika Tan Malaka menulis buku Madilog, singkatan dari Materialisme, Dialektika dan Logika, antara 1942-1943, memberi penekanan besar pada pentingnya menggunakan rasionalitas atau akal pikiran, untuk membuat sebuah keputusan dalam menentukan sebuah sikap.
Manusia sebagai mahluk sosial, selalu berinteraksi dengan masyarakat. Karenanya, sangat penting menggunakan akal dan rasionalitas. Namun, pada kenyataannya, hingga penghujung abad ke 21, masyarakat Indonesia masih tetap percaya dengan sesuatu yang mistis. Padahal, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sudah begitu berkembang. Bahkan, manusia sudah berpikir dan berusaha tinggal di luas angkasa. Anehnya, budaya kita malah mundur dan bergerak kebelakang.
Salah satu contoh adalah, kepercayaan masyarakat untuk berobat pada seorang tabib kecil, Ponari. Hanya berbekal batu yang dicelupkan ke air, orang berduyun-duyun datang untuk berobat demi sebuah kesembuhan. Bagaimana mungkin, manusia menyandarkan nasibnya dari seorang bocah kecil, yang untuk mengurusi dirinya saja tak sanggup. Malah dijadikan sebagai tabib untuk mengobati kesembuhannya. Sesuatu yang tak masuk akal dan penalaran.
Bukan kesembuhan yang didapat. Yang ada malah nyawa melayang, karena orang tidak sabar dan saling berdesakan.
Ini sesuatu yang ironi. Bagaimana dalam Iptek yang semakin global dan maju seperti sekarang, manusia malah berpikir mundur, dan tak menggunakan rasionalitas dalam menganalisa sesuatu.
Sikap ini memang tak berdiri sendiri. Pendidikan memegang peran penting, dalam sikap dan budaya masyarakat. Kemiskinan yang sudah begitu akut, dan buruknya sistem kesehatan, turut menyumbang sikap masyarakat dalam memandang nilai sebuah pengobatan. Mahalnya biaya pengobatan di masyarakat, juga mendorong orang mencari jalan pintas, bagi suatu penyakit yang diderita.
Apa boleh buat, sesuatu yang tak masuk akal dan penalaran, jadi sandaran dan pilihan masyarakat, ditengah mahal dan sulitnya akses kesehatan. Kalau sudah begini, apa kata dunia......?!?
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 18 Februari 2008
Gambar diambil dari nextreformation.net
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:22 AM 0 comments
Labels: Essai
Sunday, February 15, 2009
Bertemu Kawan Lama
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Bertemu kawan lama merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Ada banyak cerita dan hal baru bisa kita dengar dan dapat, dari kawan yang telah lama tak bertemu. Seperti cerita yang bakal aku paparkan kali ini.
Pada sebuah siang, telepon genggam berdering. Istri yang mengangkat, karena kebetulan aku tak berada di dekat telepon tadi. Sebuah suara dari seberang terdengar. “Suaranya berat dan sopan,” kata istriku, “Aria Kusumadewa.”
Oh, kataku.
Aku menelepon balik. Ini kebiasaanku. Bukankah, kalau ada orang yang menghubungi kita, adalah sebuah kewajiban untuk meneleponnya kembali. Atau mengucapkan terima kasih, bila ada yang memberikan informasi melalui SMS yang diberikan. Siapapun dia.
Singkat kata, Aria mau berangkat ke Singkawang, untuk membuat suatu dokumenter mengenai budaya Cap Go Meh.
Aku menjemputnya di Bandara Supadio. Dia bersama rombongannya dari Jakarta. Ada Leoni, mantan Trio Kwek-kwek yang sekarang menjadi artis sinetron dan film. Leoni main di film terbaru Aria, yang berjudul Identitas. Dalam film itu, Dedi Miswar dan Coki Situmurang, menjadi eksekutif produser dan produsernya.
Leoni datang bersama kedua orang tuanya. Kebetulan, dia ada acara juga di Jawai, Sambas. Kami berangkat bersama.
Bertemu Aria, ibarat bertemu magnet yang luar biasa besar. Dia selalu menyebarkan energi tentang kreativitas, kekaryaan dan pencapaian. Dalam banyak hal dan kekaryaan, aku sering satu ide dengannya. Kegelisahannya tentang kondisi dan realitas di sekitarnya, dia tuangkan dalam media yang dikuasainya, film.
Sejak mengenalnya ketika, dia membuat Novel Tanpa Huruf R pada 2001, aku mulai mengenal dan memahami berbagai ide, realitas dan simbol-simbol yang selalu dimunculkan dalam film dan karyanya.
Simbol yang kadang membuat orang lain meradang, karena tak memahami dan mengusik sisi-sisi kemapanan, dan cara beragama yang cenderung dogmatis dan tak menghargai perbedaan dan pluralitas. Ia tak suka dengan perbedaan, yang selalu dipertajam dengan berbagai perilaku, demi kepentingan politik dan kekuasaan.
Filmnya selalu menguak hegemoni kekuasaan dan perilaku manusia-manusia di dalamnya, dengan cara satire dalam setiap adegan dan shot di filmnya.
Aria selalu menghadirkan realitas dan sisi kehidupan manusia yang paling ekstrem sekalipun. Filmnya, menjadi cermin dari kehidupan manusia. Kehidupan yang timpang, retak dan tak berbentuk. Manusia bakal dibuatnya gelisah, karena realitas yang ditampilkannya.
Mereka bakal “marah” karena ia menguliti bopeng wajah kehidupan manusia. Aneh memang. Ketika manusia diperlihatkan pada ketidaksempurnaan yang mereka miliki, mereka bakal tak menerimanya. Karena, manusia terkadang memang lebih suka dipuja-puja dan disanjung. Kritik dianggap sebuah permusuhan. Padahal, kritik sebenarnya adalah bagian dari kasih sayang, yang merepresentasikan wujudnya dalam bentuk lain.
Nyatanya, manusia memang lebih suka berada dan memposisikan diri sebagai, manusia yang selalu dipuja dan disanjung atau menjadi para penjilat. Apalagi bagi mereka yang suka dan gila kekuasaan.
Ah, dia memang “nakal”. Selalu mengkritisi dan mengusik sisi-sisi kemapanan sebuah sistem sosial. Membuat pertanyaan pada publik dengan caranya sendiri.
Hampir semua film Aria, melibatkan unsur live, science dan religion. Ada kehidupan, ilmu pengetahuan, dan religi. Tiga sudut pandang itu selalu ada dalam filmnya.
Bahkan, dalam trilogi film yang bakal dibuatnya, tiga unsur itu juga bakal hadir. Tiga film yang digabung menjadi satu itu, atau biasa disebut three angle movie, berjudul Tuhan Beri Aku Kentut, mengenai politik atau science. Identitas, mengenai kehidupan. Metamorfosa, mengenai religi.
Dia memberikan skenario tiga film itu. Aku menyimpannya di laptop. Membacanya. Menganalisanya. Membuat beberapa catatan. Dan, aku tersenyum sendiri.
Ah, Aria Kusumadewa. Kamu masih saja nakal, ya….
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 15 Februari 2008
Foto dari fourstarters.com
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:13 AM 0 comments
Labels: Essai
Sunday, February 8, 2009
Ketika Lingkungan Terkoyak
Oleh Muhlis Suhaeri
Alih fungsi rawa dan mangrofe menjadi tambak, membuat lingkungan asli buaya rusak. Kerusakan lingkungan membuat buaya keluar dari habitatnya. Terjadi perebutan ruang. Buaya mengamuk dan memangsa manusia.
Amok Buaya
Senja baru saja purna. Cuaca cerah dan bagus. Jarum jam menunjuk angka tujuh malam. Dua orang sedang berada di atas sampan di Sungai Puake, Desa Tanjung Saleh, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Sekitar tempat itu, tak ada pemukiman. Hanya laut membentang.
Dua lelaki itu, Cemad bin Hamid dan Andika, warga Parit Kasan, Punggur Besar, Sungai Kakap. Cemad kelahiran tahun 1949. Andika cucu Cemad, usianya 12 tahun. Sudah tiga hari, Andika ikut kakeknya memukat atau menjaring ikan. Kebetulan sekolah libur.
Malam itu, Cemad mengenakan kaos lengan panjang warna hijau, dipadu celana pendek warna abu-abu. Seperti biasanya, Cemad memasang pukat dari depan perahu. Andika duduk di bagian belakang mengendalikan kemudi perahu.
Cemad duduk bersila. Karena perahu kecil, dengkulnya lebih tinggi dari badan perahu. Dengkul itu agak keluar. Selepas makan, Cemad menghisap rokok. Asap memendar dan membumbung membelah semesta. Tak berapa lama, sebuah teriakan nyaring memecah keheningan.
“Uwak mekik minta tolong,” kata Andika. Ia memanggil kakeknya dengan sebutan Uwak.
Dengkul Cemad disambar buaya. Ia tercebur ke air. Sampan sempat oleng. Sebagian air masuk ke sampan. Andika tak ikut jatuh. Ia langsung berteriak dengan keras.
Dua pencari ikan yang berada di dekat tempat tersebut, segera mendekat dan menolong. Namanya, Tangguk dan Jamal. Mereka warga Parit Berkat, di dekat Pasar Ikan Punggur. Kebetulan mereka bertetangga, walaupun agak jauh.
Andika ditenangkan. Selepas itu, ketiganya langsung pulang ke Punggur Besar. Sekitar pukul 22.00 Wib, mereka tiba di kampung dan memberitahu keluarga korban di Parit Kasan. Begitu diberitahu, keluarga korban beserta warga setempat, langsung menuju tempat kejadian. Sekitar 60 orang ikut serta dalam rombongan. Ada lima motor air dengan berbagai ukuran berangkat. Motor air kecil hingga besar, dengan mesin TS 60 yang sanggup memuat barang dua ton.
Sesampai di Sungai Puake, konvoi rombongan langsung menyisir tempat tersebut. Tak jauh dari tempat kejadian, sekitar enam meter, jenazah Cemad ditemukan. Jenazah ditemukan dalam posisi berdiri dan mengambang. Jenazah ditemukan sekitar pukul 24.00 Wib.
“Tempat kejadian dalamnya sekitar dua depa,” kata Ibrahim (30), keponakan korban.
Masyarakat menggunakan ukuran depa, untuk menandai sebuah ukuran. Ukuran itu diambil dari panjang dua tangan orang dewasa yang direntangkan. Satu depa sekitar 150-170 cm.
Menjelang tengah malam hingga tengah hari, biasanya kondisi perairan mulai surut. Kalau surut, dasar tanah terlihat. Kedalaman satu meter saja.
Ketika ditemukan, hanya bagian lutut Cemad yang terluka. Ada bekas gigitan. Bagian depan perahu sebelah kiri, juga ada bekas gigitan buaya.
Kejadian berlangsung pada, Kamis, 26 Juni 2008. Keluarga menyebutnya, pas pada malam Jum’at. Paginya, jenazah Cemad dikuburkan. Penguburan berlangsung pada pukul 11.00 Wib. Sekitar satu jam, ritual penguburan rampung.
Istri Cemad, Normah, tak banyak bicara. Perempuan itu bekerja sebagai petani dan mengasuh cucu dalam kesehariannya. Perkawinan mereka dikaruniai lima anak. Tiga lelaki dan dua perempuan. Satu perempuan sudah meninggal.
Salah satu anak perempuannya, Halija (30) menikah dengan Jon M. Dari pernikahan itu, lahirlah Andika (12) dan Alpine (13). Andika kelas tiga SD 02 Punggur Besar. Ia anak yatim. Bapaknya meninggal ketika usianya 7 bulan. Ayahnya, Jon M, seorang Kepala Kamar Mesin (KKM) Panji Setia. Ini jenis kapal kayu, dan sanggup mengangkut beban hingga 100 ton. Kapal itu tenggelam dalam pelayaran ke Jawa.
Jon beralamat di Jalan Lodan, Jakarta Utara. Ia pernah mendapatkan penghargaan atas partisipasi dan jasanya, ikut serta menyukseskan pelaksanaan lomba perahu layar motor tradisional 4/1999 (Pelra Race 4/1999), 1 Agustus 1999. Piagam itu ditandatangani Kepala Staf TNI AL, Laksamana Tanto Koeswanto.
Kehilangan sang ayah, membuat Cemad hadir sebagai pengayom dan pengganti ayah bagi Andika. Dalam keseharian, Andika sangat dekat dengan Uwaknya. Andika menangis kalau bicara tentang kejadian itu. Bahkan, sekarang ini, untuk mengayuh sampan di parit depan rumahnya, ia tak berani. Trauma.
Kematian Cemad menyisakan kesedihan bagi keluarga. Ia kalem pembawaannya. Tak suka turut campur urusan orang. Cemad suka menolong tetangga. Kalau dapat ikan, ia selalu menyisihkan buat tetangga, sebelum dijual. Bila ada tetangga punya gawe, kalau tak bisa bantu dengan uang, biasanya bantu dengan tenaga.
Adakah firasat dan pertanda, sebelum kejadian itu terjadi?
Sebelum kejadian, Cemad mengganti kayu yang dipakainya pada Ibrahim (30), keponakannya. “Ganti kayu mau pakai duit. Mumpung saya sehat, rejeki ada. Baik saya ganti,” kata Ibrahim, menirukan ucapan Cemad.
Ibrahim dalam keseharian juga melaut dan bertani. Sejak kejadian tersebut, ia takut melaut. Sehari sebelum kejadian, Cemad juga bicara ke pemilik toko di depan rumah. Ia minta semua hutangnya dihitung. Cemad biasa belanja di warung itu, bagi berbagai keperluan sebelum berangkat memukat.
“Mumpung ada rejeki,” kata Cemad. Namun, pemilik warung mempersilakan, bila Cemad memakai uang itu.
“Kalau mau pakai duitnya, tak usah dibayar dulu,” kata pemilik toko.
“Tak apa, nanti kalau kurang bisa hutang lagi,” kata Cemad.
Jarak rumah Cemad ke tempat biasa mencari ikan sekitar 1,5 jam dengan menggunakan sampan bermesin. Ia pakai mesin GX 160, EXXO 5,5. Pukatnya kecil. Saat itu, bensin masih seharga Rp 6.500 setiap liternya. Biasanya habis dua liter, untuk pergi dan pulang.
Cemad biasa berangkat pukul 15.00 Wib. Pulang pada pukul 9.00-10.00 Wib. Pada jam tersebut, biasanya air timpas atau turun. Perairan menjadi dangkal. Biasanya ikan juga tak ada. Pada kondisi itu, buaya biasanya berjemur di beting atau pinggiran sungai.
Kalau tak dapat ikan, terkadang dua hingga empat hari, Cemad baru pulang ke rumah. Namun, kalau satu hari sudah dapat banyak ikan, biasanya pulang. Hasilnya ikan Kebali, ikan Duri dan lainnya. Kadang dapat 10 kilogram. Tapi, bisa saja cuma 3 kilogram. Biasanya, ikan banyak pada Juni hingga September. Pada musim seperti itu, kadang ia bisa mendapatkan hasil hingga 40 kilogram.
Ikan dijual sendiri ke pasar ikan atau ke penampung di depan rumah. Ikan Kebali seharga Rp 8.000 perkilogram. Ikan Duri Rp 6.000 perkilogram. Hasil memukat tak tentu pendapatannya.
Meski tak tentu pendapatannya dan ada kejadian diserang buaya, masyarakat tetap saja mencari ikan ke daerah itu. Mereka tak ada pilihan lagi. Namun, sebagian warga lagi, mulai takut mencari ikan ke laut. Mereka memilih menggarap ladang atau sawah saja sebagai mata pencarian.
Dimangsa Buaya
Duka masih tergambar di wajah Lehut (40), ketika kami bicara tentang suaminya, Kalot Amin (50). Ia warga Selat Perupuk, Desa Tanjung Saleh, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya (KKR). Di daerah ini, ada tiga warganya diterkam buaya. Untuk menuju daerah itu, butuh waktu sekitar satu setengah jam dengan speed boat 40 PK.
Seperti juga sebagian besar rumah warga Tanjung Saleh, rumah Lehut berada di pinggir parit. Lebar parit sekitar enam hingga delapan meter. Kedalaman parit mencapai dua meteran. Parit berujung di muara.
Lehut sudah 12 tahun di sana. Sebelumnya, ia tinggal di Sepok Keladi. Lehut tak banyak bicara. Hanya satu dua kalimat mengalir dari bibir perempuan sederhana ini. Bila musim berladang tiba, ia selalu menggarap ladang. Modelnya ladang berpindah. Hasil padi untuk kebutuhan sendiri.
Dari pernikahan Kalot Amin dan Lehut, lahirlah Modar (11). Bocah ini punya cita-cita jadi pemain bola profesional. Pemain pujaannya, David Becham, asal Inggris.
Saat kami ke sana, kebetulan padi baru panen. Selain ladang berpindah, masyarakat juga menangkap ikan atau menjala udang di laut sekitar tempat tinggal mereka.
Begitupun dengan Kalot Amin. Ia biasa menyisir rompong. Ini semacam kayu yang dijejer dan dibenamkan dalam air. Setengah kayu berada di atas air. Jejeran kayu membentuk segi tiga. Pada ujung deretan kayu diberi jaring dan ada rumah-rumahan kecil.
Kalot Amin biasa mencari ikan di rompong pada pagi hari. Seperti juga pagi itu, Rabu, 23 April 2008. Kepergian Kalot Amin ke rompong, tak mengisyaratkan tanda apapun.
“Sebelum pergi tak ada pesan apa-apa,” kata Lehut.
Kalot berangkat sekitar pukul 8.00 Wib. Jarak rumahnya ke rompong sekitar 15 menit, pakai sampan kayuh.
Tiba di rompong, Kalot mulai memeriksa dan melengkungkan rompong. Penghasilan merompong tak tentu. Biasanya dapat udang. Kadang Rp 7.000 sehari. Terkadang lebih. Udang galah harganya Rp 55-65 ribu perkilogram. Udang biasa yang agak besar Rp 30 ribu perkilogram. Udang kecil Rp 10 ribu perkilogram.
Seperti biasanya, pagi itu, air di pinggiran beting sekitar Sepok Perupuk, sudah mulai surut. Kalot Amin mulai bekerja. Ia membetulkan rompong dan merawai udang. Posisinya sambil berdiri di atas sampan kecilnya. Sekitar pukul 10 Wib, Kalot sudah mengitari dan memeriksa rompongnya sebanyak tiga kali.
Ketika sedang asyik memeriksa rompong, tiba-tiba betis sebelah kanannya disambar buaya. Kalot terjatuh. Ia masih sempat teriak minta tolong. Setelah itu, ia hanya melambaikan tangan saja. Posisinya mundur terus karena ditarik buaya.
Teriakan Kalot didengar Hamid (40). Kebetulan, ia juga sedang berada di rompong. Dengan sampan, ia mengejar ke arah Kalot. Hamid membawa kayu dari rompong sepanjang dua depa. Mereka berhadap-hadapan. Hamid mulai mengangkat kayu, hendak memukulkan kayu ke moncong buaya. Sebelum kayu terayun, buaya melepas gigitannya pada tubuh Kalot.
“Saat melihat buaya melepas gigitannya, Pak Kalot langsung saya selamatkan,” kata Hamid, pada jurnalis Borneo Tribune.
Hamid segera menaikkan tubuh Kalot Amin ke sampan. Buaya masih menunggu. Jarak mereka sekitar lima meter. Setelah menaikkan Kalot ke atas sampan, teman satunya, Pani, segera membawa Kalot. Hamid pun kembali memperbaiki rompong.
Sekitar 15 menit, Pani tiba di rumah Kalot. Oleh keluarga dan warga sekitarnya, Kalot segera dibawa ke Puskesmas Pembantu di Tanjung Saleh. Di perjalanan, nyawa Kalot tak tertolong.
Tubuh Kalot banyak bolong. Pada bagian dada dan paha, ada bagian lebuk atau bekas gigitan sebanyak 17 lubang.
Warga berduka. Kalot orang baik. Dia suka bercanda. Dia juga salah satu pengurus masjid di kampung itu. Masjid Jamiatul Khair. Kalot dikenal rajin. Dia selalu menebas rumput di sekitar masjid.
Kalot bukan korban terakhir. Nasir Muslim, Kades di Kalimas, pada jurnalis Borneo Tribune mengatakan, “Sejak tahun 2005 hingga sekarang (akhir 2008-red), menurut data di Kabupaten Kubu Raya saja, sudah dua puluh orang menjadi korban, baik itu tewas maupun yang luka-luka.”
Dari data yang dihimpun, sepanjang tahun 2007-2008, ada tujuh warga diterkam buaya. Pertama, Ibrahim Anong (50), warga Sepok Keladi. Dia diterkam buaya sekitar Juni 1997, di Selat Panjang, Desa Sepok Laut. Kedua, Bun Akoi (25). Diterkam buaya di Selat Labi-labi. Ketiga, Nardi (28). Diterkam buaya di Selat Panjang. Keempat, Kalot Amin (50). Diterkam buaya di muara Sepok Perupuk. Kelima, Nawir, warga Tanjung Saleh. Diterkam buaya awal Februari 2008. Keenam, Erwin, warga Punggur Besar, Sungai Kakap. Dia diterkam buaya di Sungai Nyirih, pada Rabu, 9 April 2008, sekitar pukul 16.30 Wib. Ketujuh, Muhammad Yusuf (42), warga Teluk Pakedai, diterkam buaya pada Jumat, 9 November 2008.
Namun, ada juga korban selamat, meski sempat mengalami luka pada tangannya. Salmah (29) dan Tia (8). Salmah diterkam buaya ketika sedang gosok gigi di sungai. Tiba-tiba buaya menghampiri dan mencengkram tangannya. Darah mengalir dengan deras dari tangan kirinya. Ia berteriak sekuat-kuatnya. Buaya melepasnya. Salmah sempat dibawa ke rumah sakit. Jiwanya tertolong.
Banyak juga warga dikacau buaya. Tapi tak sampai meregang nyawa. Ahmad Kaluk (58) pernah dihantam buaya. Peristiwa terjadi pada Februari 2008. “Kejadiannya tak terduga. Tak ada bayang-bayang. Tiba-tiba buaya datang,” kata Ahmad. Yang dia ingat, kejadian sekitar pukul 03.00 Wib, subuh.
Sampannya ditabrak buaya. Sampan sepanjang delapan meter, dan sanggup mengangkut 800 kilogram barang. Sampan patah satu keping papannya. Tak hanya itu. Ekor buaya menampar ke lengan sebelah kanan. Pundaknya terkena sabetan. Kaki kiri juga berdarah. Ia terjatuh ke parit berkedalaman lima depa.
Ahmad berenang ke tepi. Ia selamat dari maut. Namun, ia harus istirahat sebulan.
“Sudah sekitar dua tahun ini, buaya mengganas,” kata Ahmad.
Tak hanya Ahmad, Usman Latif dari Teluk Besar, pantatnya pernah koyak karena digigit buaya. Saat itu dia sedang merawai. Kejadian sekitar pukul 04.00 Wib subuh.
“Meski ada buaya sering mengganggu orang, penduduk tak ada pilihan lain, sehingga harus tetap melaut,” kata Ahmad.
Pengalaman berhadapan dengan buaya, juga dialami Junaedi (28). Ia biasa merawai udang. Dalam perjalanan merawai udang, ia biasa ketemu empat hingga enam buaya. Buaya biasanya berjemur di beting atau bantaran sungai, saat air kering dan mulai panas. Buaya jarang bergerombol. Biasanya menyebar pada beberapa tempat.
“Kalau perahu diam, buaya bisa tiba-tiba ada di samping perahu. Kalau perahu jalan, tak ada yang dekat,” kata Junaedi.
Ia pernah alami langsung kejadian dengan buaya. Menurutnya, kejadian dengan buaya sudah sering terjadi. Suatu hari, sekitar jam tujuh malam, ia sedang merawai dengan Idris (28). Keduanya sepupu sekali. Jarak sampan mereka berdekatan.
Sampan Idris sepanjang enam meter dan lebar satu meter. Sampan ditabrak buaya hingga oleng. Idris melompat ke sampan Junaedi. Keduanya selamat. Kini, Idris lebih banyak menggarap ladang, dari pada merawai ke laut.
Dengan adanya berbagai kejadian, masyarakat berharap, pemerintah menangani permasalahan itu, dengan serius. “Kalau mau melawan, apa harus melawan buaya?” kata Junaedi, seolah bertanya.
Berburu Buaya
Idris (40), berjuang sendirian menahan tali pancing yang sudah dimakan buaya. Ia, Ketua RT 20/RW 4 Selat Perupuk, Desa Tanjung Saleh. Warga Selat Perupuk lainnya, menunggu di sepanjang selat. Tak ada yang berani mendekat.
Adu tarik itu bukan tanpa sebab. Dua hari sebelumnya, seorang pawang buaya, Usman Dullah (63), telah memasang tujuh pancing. Setiap pancing berisi satu ekor bebek. Keberadaan Usman Dolek, demikian ia biasa dipanggil, atas undangan warga.
“Sejak tiga orang warga Selat Perupuk menjadi korban buaya, warga mulai berpikir, bagaimana melawan buaya,” kata Idris.
Warga berembug. Kesepakatan dicapai. Mereka bakal mendatangkan pawang buaya. Warga mengumpulkan uang secara patungan. Untuk menurunkan pawang, bisa habis Rp 800 ribu. Biaya itu bagi penjemputan pawang di Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya. Biaya operasional, beli bensin dan perbekalan. Beli bebek sebagai umpan. Satu ekor bebek seharga Rp 35-50 ribu.
Sebelum dijadikan umpan, bebek disembelih dulu. Kemudian diikat di pancing. Pancing terbuat dari besi baja seukuran 5 mm dengan panjang sekitar 20 cm. Bentuknya menyerupai huruf U. Bagian ujung runcing dan tajam. Nah, pada ujung lengkungan pancing sepanjang 5 cm itulah, bebek dikaitkan.
Pada bagian pangkal pancing, ada lubang untuk mengaitkan tali. Tali dibuat panjang. Sekitar 20 meter. Pada ujung tali diberi pelampung dari jerigen minyak 5 kilogram. Tujuannya, kalau umpan dimakan buaya, pelampung itu yang bisa menjadi penanda keberadaan buaya.
Setelah semua siap, sekitar pukul 13.00 Wib, pancing dipasang di beberapa tempat yang dianggap ada buayanya. “Buaya paling suka di daerah cekungan selat,” kata Usman Dolek.
Besoknya pancing dilihat. Hari pertama belum ada isi. Buaya tak tertarik dengan daging segar. Buaya lebih suka daging busuk. Hari kedua, pancing ada yang hilang satu. Warga menyisir daerah itu. Jarak pencarian hingga sekitar dua kilometer dari asal pancing. Warga mencari ke berbagai daerah yang dianggap habitat buaya. Mereka menyisir sungai Selat Kering. Selat Ule. Lubuk Berembang. Namun, buaya tak ditemukan.
Setelah melakukan penyisiran, pelampung ditemukan di ujung Selat Panjang. Setelah ditemukan, ujung tali pelampung ditarik. Tali ditarik di tepi Selat Panjang. Begitu ditarik, buaya lari. Setelah satu jam, buaya belum bisa ditarik keluar dari air.
Usman Dolek bergerak. Tempuling disiapkan. Ini sejenis tombak yang ujungnya terbuat dari baja. Bentuknya runcing dan tajam. Gagang tempuling ada lubang selebar 2-3 cm. Pada lubang dimasukkan kayu sepanjang dua meter sebagai gagang. Gagang bisa dari kayu Meranti, Jawi-jawi atau kayu lainnya.
Usman menusukkan dua tempuling ke kepala buaya. Buaya masih sempat lari. Setelah itu, mata buaya ditusuk dengan kayu Embal yang telah diruncingkan ujungnya. Tak hanya itu, buaya juga dipotong tengkuknya. Akhirnya, tamat sudah riwayat sang buaya.
Lalu, buaya ditarik dengan motor air. Ukuran buaya sekitar 4,5 meter. Beratnya sekitar 500 kg. Untuk mengangkat buaya dari air, dibutuhkan sekitar 12 orang.
Setelah menarik tali, besoknya telapak tangan Idris menggelembung semua karena memar. Namun, ia dan warga lainnya terlihat puas. Dendam terbayar sudah.
Sejak perburuan buaya dilakukan, sudah ada enam buaya ditangkap. Namun, sudah ada tujuh manusia yang ditangkap buaya. Skor masih satu kosong. Kemenangan masih untuk binatang reptilia ini.
Buaya yang ditangkap, tak hanya dibawa ke penangkaran di Sinka Island, Singkawang. Ada juga yang dibelah perutnya, untuk dilihat isinya. Seperti, kejadian pada Sabtu, 26 Juli 2008. Sekitar pukul 15.30 Wib, buaya yang tertangkap dibelah perutnya. Tidak ditemukan potongan tubuh atau tengkorak manusia. Dalam perut buaya terdapat bangkai binatang berkaki empat. Juga, banyak sampah, karung serta plastik.
Mengganasnya buaya memicu berbagai pihak untuk bicara. Syarif Abdullah Alkadrie, anggota DPRD Kalbar, kelahiran Tanjung Saleh, kepada jurnalis Borneo Tribune, mengusulkan pemerintah mengalokasikan dana dan anggaran untuk “berperang” melawan buaya.
Bagaimanapun, keberadaan buaya telah meresahkan masyarakat. Begitu argumentasinya.
Pemerintah juga memberi insentif bagi penangkapan buaya. Nasir Muslim, seorang Kepala Desa di Kalimas, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, menuturkan bahwa Pemkab Kubu Raya, telah menjanjikan hadiah uang sebesar Rp 1.250.000, bila ada warga yang bisa menangkap seekor buaya.
“Hidup atau mati,” kata Nasir kepada jurnalis Borneo Tribune. Tak hanya itu, pemerintah juga membentuk tim, terdiri dari Polsek, camat, dan penangkar buaya.
Sementara itu, Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar, M. Purba mengatakan, BKSDA selalu siap melakukan langkah menangani persoalan mengganasnya buaya, dan sudah memangsa manusia. Namun, Purba menyarankan masyarakat mengirim surat secara resmi kepada BKSDA. Sehingga bisa melakukan langkah maupun upaya, mengantisipasi persoalan tersebut. Caranya? Menembak buaya-buaya tersebut.
Kepada jurnalis Borneo Tribune Purba menyatakan bahwa, “Surat secara resmi itu menjadi penting bagi BKSDA, agar dapat dijadikan dasar melakukan tindakan dan tidak ada protes dari pihak lain.”
Pemerintah melalui BKSDA, menyediakan dana sekitar Rp 7,5 juta, untuk penangkapan buaya. Satu ekor buaya dihargai Rp 1 juta. Alhasil, enam ekor buaya tertangkap. Namun, warga tetap saja resah. Mereka masih tinggal di jalur pertikaian, antara manusia dan buaya.
Munculnya buaya, juga memicu para elit politik setempat, ketiban popularitas. Sebut saja nama M. Yamin Muslim, pengusaha, sekaligus Ketua PAC Partai Bintang Reformasi (PBR) di Sungai Kakap. Dalam beberapa kesempatan, ia mengundang jurnalis, melakukan peliputan terhadap isu mengganasnya buaya. Dia juga menjadi buah perbincangan di masyarakat, karena menyumbang korban yang diterkam buaya.
Begitupun, seorang calon kepala daerah yang bertarung pada Pilkada Kabupaten Kubu Raya (KKR). Dia menyumbang sampan beserta mesinnya, bagi sang pawang buaya. Isu buaya, tak hanya merambah wilayah ekologis dan ekonomis. Juga, isu politis.
Bukan Sembarang Parit
Adanya amok buaya, warga menjadi gelisah. Mereka bilang, dulu tak ada buaya mengamuk. Sekarang ada. Dulu, banyak ikan. Sekarang tak ada. Dulu, mereka tenang mencari ikan, meski ada buaya. Sekarang, mereka takut mencari ikan, karena ada ancaman buaya. Kini, mereka harus tetap melaut, karena kebutuhan hidup yang tak surut.
Begitulah kegelisahan warga Tanjung Saleh terhadap amok buaya. Sebaran penduduk di Tanjung Saleh, bisa dilihat berdasarkan tiga kelompok penduduk. Di Teluk Besar dihuni sebagian besar orang Bugis. Di Teluk Kecil berdiam orang Melayu. Di Parit Pangeran ditempati orang Madura, yang merupakan mantan pengungsi kerusuhan sosial Sambas 1999.
Nama Parit Pangeran diambil dari nama Syarif Ahmad Alkadrie. Dia mengungsi ke daerah itu, menghindari penangkapan Jepang. Ayahnya, Sultan Mahmud Alkadrie, dibunuh Jepang. Syarif Ahmad sempat ditahan Jepang. Namun, ia dilepas dan lari ke Tanjung Saleh. Tempat itu diberi nama Parit Pangeran.
Bujang Bacok (50), warga Tanjung Saleh yang sekarang tinggal di Sungai Jawi, Pontianak, menuturkan pengalamannya. Dulu, penduduk di Tanjung Saleh, masih sedikit. Ayahnya hidup sebagai nelayan. Sang ayah tak perlu jauh dari pantai, karena sudah banyak ikan. Ikan dijual tak laku, karena sangking banyaknya.
“Sekarang ini, buaya makin banyak dan orang makin ramai. Sehingga manusia dan buaya saling berebut ikan,” kata Bujang.
Ketika itu, orang tak takut dengan buaya, karena tak kejar orang. Kalau ada buaya, warga menghindar saja. Sekarang ini, warga takut dengan buaya. “Permasalahan ini muncul, karena buaya banyak dan lapar,” kata Bujang.
Yusmadi (48), dari Kuala Kapuas, Tanjung Saleh, mengemukakan kegelisahan yang sama. Di daerah itu, sudah 20 tahun tak ada buaya mengacau. Malah, orang cari buaya untuk penghasilan. Kulitnya laku dijual. Kalau tahu ada buaya di suatu tempat, orang berebut ke daerah itu, memburu buaya. Karenanya, buaya tak seberapa banyak. Warga biasanya berburu dengan cara aler atau memancing. Bahkan, ada orang yang ilmunya kuat, dengan jampi-jampi saja, buaya bisa naik ke atas daratan.
Warga percaya, kalau ada buaya makan manusia, pasti tertangkap. Karena yang makan umpan, biasanya buaya pemakan manusia tersebut. “Biasanya, buaya yang sering makan orang, buaya yang badannya pendek,” kata Yusmadi.
Menurut Yusmadi dan Bujang Bacok, buaya menyebar di beberapa daerah. Di Punggur, biasanya ada di Kalimas. Pulau Tahi Minyak, Baru, dan Lima.
Di Desa Tanjung Saleh, ada di Beting Tempurung, Selat Kelabau, Teluk Besar, dan Sungai Puake. Bahkan, Beting Tempurung dan Selat Kelabau, merupakan sarang buaya. Tak ada orang di sana. Sekali bertelur ada sekitar 40 butir.
Selat Kelabau kedalamannya sekitar 3-4 meter. Makin masuk ke bagian dalam, kedalamannya sekitar 5 meter, dan makin sempit. Di Selat Kelabau, sering ada babi menyeberang dengan bergerombol. Ada babi penuntun yang ketika menyeberang menggigit kayu. “Kayu itu biasa disebut kayu pesalang. Panjang sekitar 30 cm. Jarang ada babi dimakan buaya,” kata Bujang.
Di Sepok Perupuk, buaya biasanya ada di Tanjung Pak Kalung, Selat Labi-labi dan Perupuk, Tanjung Wak Akik. Di Sepok Keladi, biasanya ada di Sungai Siput dan Selat Panjang. Di Sepok Laut sudah tak ada buaya karena sudah termasuk air laut.
Buaya sering menangkap orang pas air sepinggang atau seleher, karena buaya bisa melompat di kedalaman itu.
Hidup di perairan yang selalu ada buaya, juga menghadirkan berbagai mitos tentang buaya. Warga di Tanjung Saleh percaya, kalau orang lagi makan, jangan sampai kena bayang-bayang kucing di piring. Nanti buaya akan menganggap orang itu sebagai kucing, sehingga akan dimakan buaya.
Begitu juga bila malam ke laut, harus pakai topi atau tudung kepala. Alasannya, supaya tidak disangka binatang. “Ini mitos. Karena kita berada di daerah buaya, mau tak mau kita percaya,” kata Bujang Bacok.
Simon (54), tokoh masyarakat Sungai Besar, Tanjung Saleh, mengungkapkan pengalaman sama. Menurutnya, 20 tahun lalu, buaya laku kulitnya. Sekarang tak dibolehkan. Tapi menyakitkan masyarakat. Sekarang ini, orang tidak berani berburu buaya, bahkan untuk membeli kulitnya.
Banyak warga pindah. “Sekarang untuk ambil air saja jadi takut,” kata Simon, mengemukakan kegelisahannya.
Apalagi dengan kematian beberapa warga, membuat masyarakat semakin gelisah. Namun, warga di sana, harus tetap mencari ikan, demi mempertahankan hidup. “Kita bukannya berani. Tapi, karena di dapur tak ada lauk. Di sini kalau tak melaut, tak makan,” kata Simon.
Repotnya lagi, masyarakat laut di sekitar Tanjung Saleh, sebagian besar menggunakan setrum kalau cari ikan. Awalnya hanya sebagian orang. Tapi, karena dengan setrum dianggap mudah, yang lain ikutan menggunakan setrum. Alat setrum biasanya untuk mencari udang. “Kita coba cari cara atasi, tapi tak bisa. Ada agen yang kasih modal,” kata Yusmadi.
Menyetrum menggunakan aki. Satu aki memiliki daya 60 volt. Harga satu aki sekitar Rp 500 ribu. Alat menyetrum menggunakan gagang yang dialiri setrum dari aki. Satu gagang berupa galah yang ujungnya ada jaring bulat. Alat ini dimasukkan ke air, untuk menadah ikan atau udang. Satu galah lagi, berisi setrum dari enam aki. Radius setrum hingga dua meteran.
Mencari ikan dengan setrum, dianggap cara paling cepat mendapatkan ikan. Namun, efeknya sangat merusak. Ikan kecil juga ikut mati kena setrum. “Dulu, anak udang suka timbul. Sekarang udang kecil saja sudah payah,” kata Yusmadi.
Cari ikan dengan setrum biasanya dua orang. Satu menyetrum, satu lagi tukang kemudi. Kalau ada buaya, setrum harus ditekan terus ke air, sambil tukang kemudi memundurkan sampannya. Kalau setrum diangkat, akan muncul buaya.
Tak hanya dengan setrum, warga juga menggunakan racun untuk menuba ikan.
Biasanya memakai racun serangga dan ulat. Namanya Mitador.
Penggunaan racun serangga berakibat pada matinya semua jenis ikan, termasuk ikan yang masih kecil. Dalam jangka tertentu, ini juga berakibat pada populasi ikan yang semakin menurun, karena tak ada perkembangan jumlah ikan.
Sistem penangkapan ikan berpengaruh terhadap sistem perairan. Sistem tuba membuat telur hingga ikan bisa mati. Setrum, untuk ikan tak bersisik akan mati dan pingsan. Secara langsung, buaya tidak punya pengaruh, karena buaya punya sisik yang tebal dan buaya bisa lari. Yang pasti, cara penangkapan ikan berpengaruh pada sistem rantai makanan.
Akibat cara mencari ikan dengan setrum dan menuba, membuat masyarakat gelisah. Ikan semakin berkurang. Ada kesadaran untuk melarang. Namun, mereka melakukan dengan caranya sendiri, mengatasi permasalahan. Misalnya dengan kekerasan. Mereka yang ketahuan melakukan setrum dan menuba, akan dipukul.
Di Sepok Keladi misalnya. Sebuah larangan menggunakan setrum dan menuba dipasang di depan parit masuk ke daerah tersebut. Masyarakat secara bersama-sama menjaga wilayah perairan itu, agar tak ada yang menyetrum dan menuba ikan.
“Saya bahkan pernah memlasah orang karena pakai setrum,” kata Idris (40). Siapa yang berani pakai setrum, bakal dipukul.
Tak hanya itu, Idris juga pernah mengumpulkan ikan yang mengambang karena telah terkena tuba. Ikan diambil, setelah itu dicincang semua. “Kalau ada yang marah, berarti orang itu yang melakukan peracunan,” kata Idris.
Sekarang ini, di Sepok Keladi tak ada yang berani pakai setrum dan menuba. Aman. Namun, kesadaran itu, tak dimiliki warga di daerah lainnya.
Untuk mengatasi masalah itu, warga harus bertemu. Kondisi muara di Sepok Laut dan sekitarnya, banyak sekali parit. Sehingga harus ada identifikasi. “Ada pertemuan warga, untuk menceritakan masalah dan keperluannya masing-masing,” kata Albertus Tjiu dari WWF.
Masyarakat harus merasa sebagai pemilik bersama di wilayah itu. Sehingga harus duduk bersama, membicarakan hal-hal yang dibutuhkan. Masyarakat butuh pendamping untuk duduk bersama. Harus ada orang yang bisa memberi pemahaman atau sebagai konseptor.
Harus ada kesepakatan komunal. Sehingga terjalin harmonisasi. Salah satu contoh di masyarakat di Danau Empangau di Bunut Hilir. Ini komunitas masyarakat Melayu. Masyarakat mempunyai aturan, bahkan tertulis untuk sebuah konservasi. Mereka memelihara danau yang ada ikan Arwana. Ada aturan kapan memanen, apa alatnya, dan lainnya. Itu untuk kepentingan mereka sendiri. Bila ada yang mencuri ikan dari danau tersebut, mereka merasa bahwa harta bersama dicuri orang.
Contoh, ketika ada yang mencuri ikan Arwana di danau tersebut, tak sesuai dengan kesepakatan dan waktu yang telah ditentukan. Orang tersebut diadili secara adat. Ia wajib membayar Rp 48 juta. Seluruh harta disita. Bila hartanya tidak cukup dan tak setara, pencuri akan diasingkan, dan keluar dari komunitas tersebut.
Ini menunjukkan kuatnya sistem sosial. Sampai saat ini, danau Empangau aman.
“Ini tergantung bagaimana masyarakat bisa berkumpul, membuat kesepakatan. Sehingga mereka bisa aman,” kata Albert.
Buaya Muara
Albert Tjiu merupakan species officer World Wild Fund (WWF) Kalbar. Ia sangat fasih dan paham, bicara mengenai Buaya Muara.
Orangnya enak diajak berbincang. Apalagi topik itu mengenai satwa. Ibaratnya, dia sudah hapal di luar kepala. Dunia satwa yang selalu digeluti, lulusan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura.
Buaya Muara termasuk dalam famili Crocodylidae. Termasuk species Crocodylus porosus. Nama Inggrisnya, Saltwater Crocodile. Di Australia, buaya Muara dinamakan Saltwater Aquarin. Buaya Muara sebarannya ada di Kepulauan Salomon, Australia, Indonesia, dan lainnya.
Buaya jenis reptilia paling bisa bertahan. Buaya satu angkatan dengan Dinosaurus. Yang lain sudah punah, buaya sanggup menyesuaikan diri dengan perubahan alam.
Dalam buku saku pedoman jenis-jenis satwa liar yang dilindungi di Kalimantan, terbitan WWF, Traffic, Departemen Kehutanan, dan Singapore Zoo, menyebutkan bahwa Buaya Muara dilindungi. Ia termasuk CITES II, LR, SK Mentan Nomor 716/K/U/10/1980. PP Nomor 7 Tahun 1999.
CITES kepanjangan dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora atau Konvensi Internasional Mengenai Perdagangan Hidupan Liar yang dibentuk dengan tujuan utama, sebagai kontrol terhadap perdagangan hidupan liar pada tingkat global. Pelaksanaan konvensi mulai diberlakukan pada 1 Juli 1975. Indonesia bergabung dalam CITES pada 28 Desember 1978. Indonesia merupakan negara ke 48 yang tergabung.
CITES II atau Apendik II, adalah jenis tumbuhan dan satwa yang pada saat ini, tidak termasuk dalam kategori terancam punah. Namun, memiliki kemungkinan terancam punah, jika tidak diatur. Perdagangan terhadap jenis Apendik II, dapat diperbolehkan. Asalkan, Otoritas Pengelola (Management Authory) dari negara pengekspor mengeluarkan izin ekspor.
LR kepanjangan dari Lower Risk. Bisa juga disebut NT kepanjangan dari Near Threatened atau Risiko Rendah. Artinya, suatu taksa dikatakan memiliki risiko yang relatif lebih rendah, bila terhadap taksa tersebut telah dilakukan evaluasi. Tapi, tidak memenuhi syarat digolongkan kategori kritis, genting, maupun rentan.
Buaya bernapas dengan paru-paru dan dibantu kulit. Sistem paru-paru buaya berkembang dengan baik, sehingga gelembung udara bisa baik. Bila manusia bisa mengapung hingga setengah jam lamanya, buaya bisa mengapung seharian.
Pada siang hari, buaya mencari makan dengan mengintai. Biasanya dengan cara diam dan mengapung. Sifatnya menunggu. Kalau diperhatikan secara sekilas, nampak seperti batang kayu terapung.
Kalau malam, sifat buaya mencari dan berbuat. Buaya termsuk binatang Nocturno atau binatang yang keluar pada malam hari. Buaya bisa menjelajah hingga 15-18 mil per jam. Satu mil setara dengan 1,6 km.
Kalau makanan berkurang, buaya akan cari makan di tempat lain. Saat sudah kenyang, buaya bisa bertahan tidak makan hingga 2-3 minggu. Buaya punya sistem pembuangan dalam tubuhnya.
Buaya Muara ukuran maksimumnya enam meter. Kalau mencapai tujuh meter, itu sesuatu yang spektakuler. Dari segi berat, buaya sanggup mencapai berat tujuh ton. Buaya seberat ini, umurnya bisa mencapai 70 tahun.
Buaya betina siap kawin, saat berusia 12-15 tahun. Buaya jantan pada 16 tahun. Buaya mencari
pasangan pada September-Oktober. Buaya bertelur pada November-Maret. Bila bertelur, buaya akan mencari tempat agak ke hulu. Kenapa? Karena butuh lebih banyak oksigen. Diperlukan suhu antara 30-32 derajat celsius, untuk bisa bereproduksi dan nyaman. Kalau suhu berubah, buaya juga berubah. Misalnya, bila ada kondisi dan aktivitas pembuangan limbah. Hal itu bakal membuat kondisi telur buaya tidak bisa menetas.
Banyaknya telur saat menetas sekitar 50 butir. Setelah 80-90 hari, telur menetas. Panjang anak buaya sekitar 30 cm. Berat sekitar 113 gram. Ketika menetas, buaya langsung berhadapan dengan berbagai pemangsa alaminya. Seperti, ikan, burung besar, buaya yang lebih besar, dan lainnya.
“Sebenarnya populasi buaya sudah dikendalikan oleh alam,” kata Albert. Populasi buaya secara ekologis sudah seimbang.
Buaya Muara tidak memangsa. Taring buaya untuk memegang mangsa. Kalau sudah terpegang moncong buaya, tak bakal bisa lepas. Kemampuan moncong buaya, saat mengatup atau menutup. Buaya tak punya kekuatan saat membuka. Karenanya, saat mulutnya diikat, buaya tak punya kemampuan lagi.
Saat menangkap mangsa, buaya bisa melompat vertikal dengan panjang badannya. Kalau badannya enam meter, buaya bisa melompat enam meter juga. Malah, buaya penyulung punya bola air, untuk menangkap mangsanya. Buaya penyulung biasa makan ikan dan binatang kecil yang hidup di pohon.
Buaya hidup di daerah pesisir. Kondisi ini membuat manusia dan buaya, bisa hidup dengan saling memahami. Buaya Muara tinggal di tempat payau. Pertemuan air sungai dan air laut.
Habitat pesisir yang paling disenangi buaya adalah, hutan Nipah dan Bakau. Sekarang ini, tempat hidupnya telah hilang. Makanan hilang. Rumah hilang. Sehingga buaya makan dan menyerang manusia. Ini yang dilihat secara ekologi.
“Buaya Muara sebenarnya tidak makan manusia. Manusia hanya rantai makanan terakhir,” kata Albert.
Permasalahan itu juga terjadi di Riau, ketika gajah menyerang pemukiman manusia. Atau serangan harimau di Jambi, karena habitat mereka diganggu manusia.
“Pembangunan bisa diperoleh dengan tidak harus merusak habitat buaya,” kata Albert.
Untuk mewujudkan hal itu, mesti ada pemahaman terhadap buaya. Bahwa, buaya juga butuh tempat tinggal.
Pada 1940-1970, buaya memang dikendalikan. Populasi buaya jatuh. Muncullah harapan untuk atasi populasi. Porosus masuk Appendik II, karena itu perlu kuota. Yang menentukan BKSDA. Kuota dikeluarkan Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), sebagai managemen yang bakal merekomendasi scientifik UPI. Bagaimana cara menentukan kuota, tentu dengan riset dan penelitian.
Nah, untuk melihat sejauhmana populasi buaya, ada yang namanya Base Management Practice (BMP). Pertama, kalau jumlahnya melebihi daya dukung lingkungan, belum boleh diburu. Di Kalbar, untuk Porosus belum. Mesti ada riset atau penelitian tentang jumlah buaya. Sebelum ada riset, semua harus menahan diri. Kedua, penyuluhan. Kampanye kesadartahuan tentang jenis ini. Tentang ekologi, habitat, dan lainnya. Sehingga manusia juga memahami buaya. Ketiga, informasi tentang kawasan-kawasan yang belum, untuk antisipasi kawasan penting bagi porosus. Keempat, para penangkar buaya harus ada laporan ke BKSDA. Misalnya, berapa buaya yang ditangkar, diperdagangkan, dan lainnya. Sehingga hal ini bisa membantu pemerintah ikut menentukan kuota. Mana yang bisa diambil dan mana tidak.
Harus melakukan wawancara dengan masyarakat, ketika faktor-faktor alam tidak bagus. Misalnya, banyak kasus tapi buaya tetap menyerang, LIPI yang akan menentukan. Satu contoh bagus bisa dilihat di Kinabatangan, Sabah, Malaysia. Buaya tidak menyerang manusia, bahkan untuk ecoturism. Di sana, sebagian besar adalah buaya Sapit atau Senyulong. Ia termasuk dalam famili Gavialidae. Buaya ini termasuk dalam species Tomistoma schlegelii. Nama Inggrisnya Tomistoma. Jenis ini termsauk Appendik I, dan genting.
Buaya biasa datang ke dermaga. Masyarakat memberi makan pada buaya ini. Albert pernah melakukan riset ke sana. Dalam satu malam, buaya yang datang ke dermaga, bisa mencapai sekitar 30 buaya. Artinya, buaya selain ancaman, bisa juga untuk peluang. Tergantung bagaimana memanfaatkan hal ini.
Kalau tidak ada penyerangan, manusia tidak usah mengubah atau mengganti bentang lahan. Menghentikan pembukaan tambak, terutama di pesisir. Manusia juga datang ke lubuk buaya. Seharusnya juga tak usah sampai ke sana.
“Sekarang, masyarakat harus lebih hati-hati, sehingga tidak menjadi sasaran buaya,” kata Albert.
Bicara mengenai buaya, tak bisa lepas dari masalah habitat dan makanan. Bila salah satu hilang, akan timbul masalah. Ledakan populasi bisa diselesaikan oleh alam. Manusia tidak boleh sembarangan memindahkan binatang. Harus tahu habitat dan ekologinya seperti apa. Bila buaya keluar dari habitatnya, biayanya sangat besar. Orang butuh dana besar untuk atasi itu. Harus ada cara supaya buaya tetap berada di habitatnya.
Manusia ketika bertahan hidup memang cenderung mempertahankan jenis mereka sendiri. Manusia bisa melakukan itu. Lain halnya dengan satwa liar.
“Suatu populasi kelompok satwa liar, bila rumah dan makanannya hilang, manusia harus siap-siap menerima akibatnya,” kata Albert.
Usman Dolek berperawakan kecil. Tubuhnya tak terlihat kekar. Tatapannya lembut dan selalu waspada. Pada ciri fisik lelaki ini, tak terlihat model kegarangan atau kasar. Biasa saja. Namun, sikap dan pembawaannya tergantikan, ketika mulai berhadapan dengan buaya.
Ia lahir di Desa Mengkalang, KKR, pada 1945. Usman punya lima anak. Dua perempuan dan tiga lelaki. Anaknya nomor tiga, Iwan, mengikuti jejaknya menangkap buaya. Sekarang ini, dia selalu menjadi juru kemudinya.
Usman keturunan Bugis. Ia memiliki pengalaman berburu buaya dari datuknya, Karim. Setelah itu, ikut berburu buaya dengan orang tuanya, Dolek.
Saat berburu buaya, ia selalu menjadi juru kemudi ayahnya. Biasanya, mereka berburu ke Teluk Melano atau Balai Bekuak di Ketapang. Dulu, jumlah buaya banyak sekali. Tak ada larangan berburu buaya. Setelah buaya ditangkap, lalu diambil kulitnya. Tahun 1985, satu inchi kulit buaya seharga Rp 17 ribu.
Usman pernah menangkap buaya sepanjang enam meter di Batu Ampar. Dalam tubuh buaya, ia menemukan cincin emas enam biji dan arloji. Umur buaya itu diperkirakan sekitar 25 tahun. Tahun 1986, ia berhenti menangkap buaya. Pemerintah mengeluarkan larangan menangkap buaya. “Dikerjakan pun tak boleh. Yang ngaco saja bisa,” kata Usman. Maksudnya, ia hanya menangkap buaya yang telah memangsa manusia.
Selepas jadi pawang buaya, ia berganti profesi sebagai nelayan di Muara Kubu. Nelayan kepiting, udang, ikan dan lainnya.
Ia mulai menangkap buaya lagi pada 2007, di Sungai Pulo, Teluk Pakedai. Waktu itu, warga minta tolong, karena buaya telah memangsa manusia. Pekerjaan kedua di Sepok Keladi, Tanjung Saleh.
Sebelum menangkap buaya, ia mempersiapkan berbagai peralatan. Ada tempuling dari besi runcing. Kayu gagang tempuling. Tali pengikat umpan. Juga, pelampung dari jerigen minyak ukuran lima liter.
Tak ada ritual khusus sebelum berburu. Namun, saat mengikat bebek yang sudah disembelih sebagai umpan, ia membaca mantra atau do’a. Doanya pakai bahasa Melayu. Ketika memasang pancing pun, ada do’anya. Pasang pancing bukan di tempat sembarang. Biasanya di ujung daun nipah. Atau, di sungai yang ada cekungan atau teluk. Buaya suka daerah yang agak melengkung atau teluk.
Seperti apa, lafal dari mantra itu?
“Tak bisa sembarang diberikan,” kata Usman. Kecuali, orang itu mau dan berniat jadi pawang buaya, dan membantu orang yang ditangkap buaya. Kalau sekedar ingin tahu, mantra atau ilmu itu tak bisa diturunkan. Itu pesan dari orang tua, kata Usman.
Ia berpendapat, buaya itu musuh. Karena biasa berhadapan dengan buaya, ia tak takut. Apalagi buaya itu makan manusia. Meski sudah lama bergelut dengan buaya, ada satu pantangan menangkap buaya.
“Jangan takabur,” kata Usman.
Dulu, ia menangkap buaya dengan menyewa perahu. Sewanya Rp 150 ribu per hari. Sekarang, ia menggunakan sampan mesin, pemberian seorang kandidat yang bertarung di Pilkada KKR. Karenanya, Usman kerap memakai topi dengan nama sang kandidat, bila berkeliling ke berbagai pelosok Kubu Raya.
Lalu, sampai kapan Usman bakal menangkap buaya? “Terserah masyarakat, saya akan siap membantu. Yang penting masih sehat,” kata Usman.
Selain Usman Dolek, seorang pawang buaya dari Desa Tanjung Saleh, Madun Ibrahim (60), juga berhasil menangkap dua ekor buaya di Tanjung Saleh, Selasa, 29 Juli 2008, dini hari. Buaya ditangkap, karena mulai masuk ke pemukiman warga di sana. Pemukiman warga sebagian besar memang berada di dekat sungai.
Buaya itu berukuran sekitar satu dan dua setengah meter. Buaya yang tertangkap dibawa ke Sinka Island, sebuah taman dan kebun binatang untuk umum di Singkawang. Pembawanya, tim dari BKSDA.
Madun telah lama jadi pawang buaya. Sejak umur 20 tahun. Namun, dia berhenti menangkap buaya, karena ada peraturan yang melarangnya. Ia kembali melakukan aktivitas menangkap buaya, karena menganggap buaya sudah mulai meresahkan masyarakat.
Menangkap buaya tidak boleh sembarangan. Ada ilmunya. Melalui ritual dan baca mantra, buaya datang dengan sendirinya. Setelah itu, ia menangkap buaya dengan menggunakan tempuling.
Menangkap buaya dengan ilmu tertentu, bukan hal baru bagi masyarakat yang biasa hidup di pesisir. Salah satunya Minhad (40), warga Sungai Kakap, KKR. Ketika masih remaja, awal tahun 1980-an, ia juga pernah melihat pawang memanggil buaya. Desanya bernama, Desa Segaran, Kecamatan Jawai, Kabupaten Sambas.
Ritual itu dilakukan, bila ada buaya memangsa manusia. Ritual memanggil buaya dilakukan dengan pembacaan mantera-mantera. Setelah itu, pawang menebar beras kuning dan retih atau beras yang disangrai. Dengan menjentik air tiga kali, buaya bakal datang dengan sendirinya. “Yang datang, biasanya buaya yang memangsa manusia,” kata Minhad.
Kisah Saudara Kembar Buaya
Setiap masyarakat memiliki nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal. Nilai dipertahankan, agar kehidupan masyarakat dan makhluk lain di semesta, tetap harmoni. Kearifan lokal dan tradisi, mewujud dalam berbagai bentuk upacara dan ritual.
Begitu juga dengan masyarakat Bugis. Yang tak bisa dipisahkan kehidupannya dengan air. Masyarakat memiliki ritual pasang Anca’.
H. Jamaluddin (63), tokoh masyarakat di Sungai Kakap bercerita tentang ritual tersebut. Dulu, di antara nenek moyang masyarakat Bugis, ada yang melahirkan kembar dengan buaya. Anak lahir, setelah itu lahir juga buaya.
“Konon, menurut kepercayaan warga, buaya leluhur jari kaki depan dan belakang berjumlah lima. Buaya biasa berjari empat,” kata Jamaluddin.
Untuk menghormati hal itu, keturunannya mengadakan upacara adat bernama Lao Suji atau mengantar sesajen. Upacara mempersembahkan makanan kepada ruh leluhur. “Ini kepercayaan leluhur kami di Kabupaten Wajok, Sulawesi Selatan,” kata Jamaluddin.
Cerita mengenai orang kembar buaya, juga dikisahkan Bujang Bacok (50). Neneknya kembar buaya. Namanya Wak Nabe’. Suaminya Muhammad Tara. Mereka memiliki empat anak. Setelah Wak Nabe’ lahir, diikuti dengan kelahiran buaya. Bentuknya kecil seperti cecak.
Buaya itu dipelihara hingga 40 hari. Setelah itu dilepas ke sungai. Dalam tradisi masyarakat Bugis, ada tradisi naik ayun atau naik tojang. Ini tradisi, ketika seorang bayi sudah bisa masuk ke ayunan. Setelah itu, orang tua perempuan bisa turun ke air atau sungai, untuk melakukan berbagai aktivitas.
Ritual Lao Suji dilaksanakan setiap tahun. Bisa juga pas ada hajatan. Seperti, pada upacara kawinan, sunatan, naik ayun atau naik tojang. Dalam ritual Lao Suji, biasanya diikuti dengan pemasangan Anca’.
Ketika ada ritual biasanya disediakan sesajian di rumah. Ada nasi empat jenis. Nasi kuning, hitam, putih dan merah. Nasi terbuat dari ketan. Ada telur ayam kampung. Ayam potong kampung. Kelapa bulat. Pinang sirih selengkapnya. Kayu Gaharu, kalau ada. Bila tidak, pakai setanggi. Ini untuk pewangi.
“Sekarang ini, ritual sudah jarang dilakukan,” kata Jamaluddin.
Namun, di Punggur Besar, sebuah keluarga keturunan Bugis, masih menyelenggarakan ritual Lao Suji, setiap tahunnya. Tujuannya, untuk keselamatan. Salah satunya, keluarga H Yahya (70). Ketika ditemui, lelaki pemilik puluhan hektar kebun tersebut, sedang sakit.
Seorang anak yang sedang berada di rumah, memaparkan ritual tersebut.
“Dari kecil sudah ada kegiatan itu di rumah,” kata Nia, mahasiswi Akademi Politeknik Pontianak.
Perayaan dilakukan setiap bulan Mei. Nia tak tahu persis, kapan ritual itu selalu dilakukan keluarganya. Yang pasti, semenjak kecil, ritual itu sudah dilakukan keluarganya. Seluruh keluarga harus hadir dalam kegiatan ini.
Barang yang mesti disiapkan dalam ritual, ketan putih 10 kg. Pulut dan telor harus ada dalam ritual tersebut. Yang mempersiapkan bernama Usnan. Dia tetua adat dan yang dituakan. Dia biasa melaksanakan ritual itu. Biaya menyelenggarakan ritual, sekitar Rp 2 juta.
Pelaksanaan ritual dimulai pukul 10.00 Wib. Upacara berlangsung sekitar satu jam. Tak ada pakaian khusus yang dikenakan. Biasa saja. Perempuan harus pakai kerudung, lelaki pakai kopiah.
Semua anak dalam keluarga, harus ikut kegiatan. Menantu hukumnya tak wajib. Acara dimulai dengan pembacaan doa. Kemudian, diikuti dengan menaruh Anca’ di depan rumah, yang merupakan parit selebar lima meteran. Parit itu terhubung dengan aliran Sungai Kakap yang lebih besar.
Selain menaruh Anca’ di sekitar perairan tersebut, Anca’ juga dilarung atau dihanyutkan di parit. Dalam ritual tersebut, telur ayam diletakkan di atas pulut. Pulut ada empat warna. Di samping telur, ada sirih dan rokok dari kertas. Makanan ada yang ditaruh di pinggir tempat berlangsungnya kegiatan, ada juga yang ikut dilarung.
Warga sekitar bisa langsung memanfaatkan makanan dan daging yang sudah ditaruh di tempat itu. Makanan dan minuman yang sudah dibawa keluar, tidak boleh dibawa masuk ke rumah lagi untuk dimakan. Alasannya, bisa membawa sial bagi keluarga.
Setelah ritual, keluarga Nia memanggil orang sekitar, untuk makan bareng di rumah. Orang yang diundang bisa mencapai seratusan orang. Yang diundang biasanya pasangan suami-istri. Acara makan berlangsung dari pukul 13.00-14.30 Wib. Acara makan dengan saprahan. Makannya dengan duduk di lantai secara bersama-sama.
Saat ditanya, apakah generasi yang lebih muda, bakal melanjutkan ritual tersebut?
Dengan santai Nia menjawab, “Tak melanjutkan karena rumit.” Selain itu, butuh biaya besar dalam penyelenggaraannya.
Di Kuala Teluk Besar, ritual pasang Anca’ setiap Juli. Acara dipimpin tetua adat. Namanya Wak Siku dari Sungai Bemban. Biaya penyelenggaraan diminta pada masyarakat. Setelah terkumpul, uang itu untuk membuat ritual pasang Anca’. Ada ayam mentah. Ayam panggang. Pulut hitam, merah, putih, dan kuning. Yang ikut ritual seluruh orang kampung. Setelah dilakukan doa bersama dipimpin tetua adat, Anca’ dibawa ke laut.
Anca’ digantung di pohon Jawi-jawi atau semacam Pohon Beringin. Anca’ juga dibawa dengan perahu kecil, sekira satu meter, lalu dibawa ke laut.
Selain faktor teknis dan biaya, seperti yang dikemukakan Nia, salah satu yang membuat budaya ini mulai hilang, adanya sebagian cara beragama yang melarang penyelenggaraan ritual dan tradisi.
“Agama membuat tradisi-tradisi seperti ini menjadi hilang, karena dianggap sirik atau menyekutukan Tuhan,” kata Handan Al Karim (58).
Hal itu tak bisa dipungkiri. Ada sebagian masyarakat memahami dan melakukan kegiatan beragama, cenderung kering karena selalu menghilangkan budaya dan tradisi setempat. Padahal, masuknya agama ke seluruh penjuru Nusantara, tidak lepas dari peran budaya lokal. Yang menjadi media dan pintu masuk bagi penyebaran sebuah agama.
Munculnya buaya dan menimbulkan korban terhadap warga, membuat berbagai pihak ikut bertanggungjawab. Mereka mulai angkat bicara. Salah satunya Bachtiar, Camat Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya.
Sepengetahuannya, keberadaan buaya sudah ada sedari dulu di wilayah yang dipimpinnya. Tapi tidak semonumental sekarang gaungnya. “Ini ada apa? Seolah buaya marah,” kata Bachtiar.
Akibatnya, mata pencarian warga jadi berkurang. Mereka tak berani turun ke air mencari ikan. Padahal, sebagian besar warga hidup dari perikanan. Sentra perikanan di Kecamatan Sungai Kakap, ada di Sepok Laut, Tanjung Saleh, Sungai Kakap dan Sungai Kupah.
Nelayan pengguna kapal besar, tak terpengaruh dengan masalah buaya, karena langsung ke laut. Nelayan kecil yang menggunakan sampan, hal tersebut sangat terasa. Mereka jadi korban langsung dari amok buaya.
Sekarang ini, manusia trauma kalau ada buaya timbul. Ia pernah bicara dengan berbagai lapisan masyarakat, mengapa ada masalah buaya. Apakah perlakuan manusia terhadap alam sudah benar?
Bachtiar menyebutkan, berbagai tindakan warga yang bisa membuat buaya marah. Misalnya, menggunakan racun rumput untuk menuba udang. Ini tentu berakibat pada mata buaya, ketika timbul ke air. Udang makanan buaya. Penggunaan setrum, karena masyarakat ingin dapatkan ikan dengan cara cepat, membuat buaya jadi terasa. Juga, karena pembukaan lahan yang menggunakan zat, limbahnya keluar dan mencemari perairan.
“Zat ini membuat binatang bereaksi, sehingga agresifitasnya tinggi,” kata Bachtiar.
Mengenai penangkapan yang kerap dilakukan warga terhadap buaya, ia kurang setuju dengan cara tersebut. “Penangkapan terhadap buaya, hanya penanganan sesaat,” kata.
Menurutnya, manusia harus introspeksi pada diri sendiri, bahwa mereka bisa hidup berdampingan dengan buaya. Ia berharap pada masyarakat, tidak merusak alam.
Ia melakukan berbagai penanganan. Salah satunya, bicara dengan para tokoh masyarakat. Di kampung ada yang namanya Kepala Parit. Mereka ini dianggap bisa berkomunikasi dengan binatang air.
Ia berharap, manusia bisa berdamai dengan buaya. Hal itu masih memungkinkan. Dengan penangkapan terhadap buaya, manusia seolah mengajak perang frontal dengan buaya. “Padahal, kita tidak tahu seberapa besar kekuatan buaya,” kata Bachtiar.
Pemerintah akan memfasilitasi. Ibaratnya ada perdamaian. Masyarakat pasang Anca’ diiringi dengan prosesi adat. Ini ritual masyarakat Bugis. Di Punggur Besar atau Punggur Kecil masih kental budaya Bugis. Biasanya dilakukan secara pribadi.
Meski sudah tujuh orang dimakan buaya, masyarakat akan tetap ke laut. Kehidupan mereka memang di laut. Ini hanya fenomena sesaat. “Kuncinya adalah, bagaimana masyarakat bisa mengubah cara menangkap ikan. Jangan menuba dan menyetrum ikan,” ujarnya.
Lalu, sejauhmana pembukaan lahan sebagai tambak, berakibat pada munculnya buaya? Ia tidak tahu persis mengenai tambak tersebut. Tapi, ada sekitar 500 hektar. Sebarannya ada di Sepok Laut.
“Saya tidak pernah mengeluarkan izin satu pun,” kata Bachtiar. Tapi, ia juga tidak mau mengomentari pejabat sebelumnya. Dari berkas yang ada, ia tak pernah temukan. Sebagian besar pemilik tambak orang luar Sepok Laut.
Mengenai tindakan yang harus dilakukan pemerintah terhadap permasalahan ini, ia memberikan argumen, hukum harus ditegakkan.
Sedari awal, ia tidak mengetahui hal itu. Kalau memang itu hutan lindung, ia berharap warga tak membuka lahan. Sejauh ini, ia tidak pernah ke sana. Ia khawatir, kalau meninjau ke lokasi tambak, seolah jadi pembenaran. Bahwa, ia merestui pembuatan tambak.
Ia menegaskan, “Kalau memang itu hutan lindung, ya, harus ditindak. Namun, kalau memang itu lahan bebas, ya, jangan ditindak.”
Mencari Peruntungan di Tanah Terjanji
Seorang lelaki berjalan mengendap. Pada sebuah malam sunyi dan sepi. Jarum jam menunjuk pukul 02.00 Wib, dini hari. Hatinya gundah. Bingung dan pusing. Ia berjalan meninggalkan rumah petak sederhana yang selama ini ditempati. Di rumah itu, istrinya baru saja melahirkan. Dua anaknya lagi, masih kecil.
Ia pergi dari rumah karena punya hutang pada banyak orang. Apalagi, istrinya baru saja melahirkan, butuh uang banyak.
Malam itu, sebuah keputusan besar dalam hidupnya harus dipilih. Ia ingin mengubah nasib. Mencari peruntungan di daerah baru. Sebuah pulau terjanjikan. Namanya, Kalimantan. Namun, ia pun tak tahu. Di mana pulau Kalimantan berada?
Begitulah jalan hidup Tarja (38). Ia kelahiran Karawang, Jawa Barat. Kini, ia menjadi penunggu tambak di Danau Besar, Sepok Laut, Sungai Kakap.
Tarja pertama kali ke Kalimantan Barat pada 2004. Ia menggunakan kapal laut dari pelabuhan Tanjung Priok. Ia sempat tinggal di Kota Pontianak, selama seminggu. Setelah itu, langsung masuk ke hutan.
Tarja bicara pada kenalannya, supaya diajak kerja. Pokoknya, kerja apa saja. Seorang kenalannya mengajak ke Kalimantan Barat. Namanya, Aseng (45). Lelaki itu tinggal di Pontianak. Keduanya telah lama kenal. Di Karawang, Aseng membuat tambak. Tapi, tambak bangkrut karena banyak pencuri. Terutama ketika bakal panen.
Tarja sudah 20 tahun kerja di tambak. Ia pernah bekerja di tambak Sudarmono, mantan Wapres. Menurut website tokoh Indonesia, Letnan Jenderal (Purn) Sudarmono, Wakil Presiden Kabinet Pembangunan V, 11 Maret 1988-11 Maret 1993. Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC), Kuningan, Jakarta, Rabu 25 Januari 2006 pukul 19.40 Wib. Tokoh kelahiran Gresik, Jawa Timur, lahir pada 12 Maret 1927. Ia pernah menjabat Menteri Sekretaris Negara tiga kali berturut-turut (1978-1988), dan mantan Wakil Presiden (Wapres).
Sudarmono memiliki tambak seluas 20 hektar di Karawang. Di sana, juga ada tambak Suharto, mantan penguasa Indonesia. Luasnya 1.200 hektar. Namun, antara 1992-1993, tambak itu alami bangkrut. Sebuah perusahaan minyak paling besar di Indonesia, membuang limbahnya di sekitar perairan itu. Karenanya, lingkungan jadi tercemar. Tambak alami gagal panen.
Aseng mengajaknya menggarap hutan di Sepok Laut. Tanah siapa?
“Ini tanah negara, tak ada yang punya. Kita coba-coba cari hidup di sinilah,” kata Tarja.
Saat pertama kali ke hutan di Sepok Laut, tak ada siapa-siapa. Lahannya masih terlantar. Belum ada yang menggarap. Kalau malam banyak binatang dan nyamuk. Ada babi hutan dan rusa. Namun, di sana tak ada buaya.
Pernah suatu malam, Tarja terbangun karena mendengar suara gemuruh, seperti suara pesawat terbang. Ketika bangun, dia terperanjat. Kaget. Bagaimana tidak, di hadapannya ratusan musang mulai berkerumun. Mendatangi gubuk dan tempatnya rehat di tambak. Musang mencari makan dari ikan di tambak. Tarja takut setengah mati.
Saat itu juga, ia ingin meninggalkan tambak dan balik ke Karawang. Namun, ia harus mengubah peruntungan keluarganya. Ia meneguhkan diri. Tak ada cara lain. Dia harus bertahan di sana.
“Sengsaranya luar biasa. Kalau saya punya musuh sekalipun, jangan alami sakit dan susah seperti saya,” kata Tarja.
Sebelumnya, di hutan sekitar Sepok Laut, sudah ada beberapa kavling tambak. Tapi, tak ada yang merawat. Banyak yang gagal. Dari tahun 2002-2004, tambak di daerah itu banyak alami kerugian, karena belum ada yang bisa kerja tambak. Tambak terbengkalai dan modal habis. Pada 2004-2008, ada peningkatan panen. Bahkan, banyak orang mulai tertarik membuat tambak.
Sejak tambak berhasil, penduduk mulai mematok tanah. Padahal, dulu orang dikasih saja tidak mau. Sekarang ini, per hektar Rp 4-5 juta. Kepala desa mulai menertibkan. Tujuannya, supaya tidak kelahi dengan sesama penduduk.
Saat ditanya mengenai status tanah itu, termasuk dalam kawasan hutan lindung dan Hutan Mangrove, ia malah balik bertanya.
“Hutan Makrof, kayak apa ya? Saya pun nggak ngerti. Itu hutan Bakau? Kita ini orang buta huruf. Tak tahu mana itu hutan lindung atau apa,” kata Tarja.
Menurutnya, tanah itu hutan negara. Tak ada yang punya. Termasuk tanah timbul. Hutan terbengkalai. Di daerah itu, kebanyakan orang bertani. Kalau di Dabong dan Sepok Penggalang, merupakan hutan bakau dan dilindungi. “Di sini hutan Api-api. Hutan ladang. Ya, menurut saya sih. Nggak tahu menurut orang yang diatas,” kata Tarja.
Albert dari World Wild Fund (WWF) menjelaskan, tentang strata hutan di pesisir. Di pesisir ada strata hutan. Paling dekat dengan air, adalah Nipah. Setelah itu ada tanaman Mangrove. Strata ketiga, Aveicenia atau Api-api dan Piyai. Strata terakhir dan dekat dengan daratan, merupakan dataran rendah yang ditumbuhi Palem, Nibung dan Jambu-jambuan.
“Api-api termasuk dalam komposisi Mangrove di pesisir. Tebal tipisnya berbeda. Api-api dipakai juga untuk arang,” kata Albert.
Pembukaan lahan di Sepok Laut, membuat kepala kampung yang pertama, Wak Enong, membuat peraturan. Siapa yang ingin menggarap tanah menjadi tambak, diberi kesempatan dan ada batasan. Tujuannya, supaya penduduk tidak saling bertengkar, dan ada pemasukan bagi kas desa dan pemerintah.
“Orang tambak sebenarnya mau, karena pemerintah tidak mau menjerumuskan rakyatnya,” kata Tarja.
Di Danau Besar, sekarang ini sudah penuh dengan tambak. Pemiliknya beragam. Ada Saleh, biasa dipanggil Wak Aleh, punya 10 hektar. Abun, 30 hektar. Adut, 20 hektar. Liangsun, 12 hektar. Nurdin, 3 hektar.
Usman Dja’far, ketika menjadi Gubernur Kalimantan Barat, pernah ke Sepok Laut. Dia bicara pada warga, untuk menggalakkan tambak perikanan, begitu kata Tarja.
Lalu, bagaimana prosedur membuka tambak?
Odang Prasetyo, Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Kalbar menyatakan, prosedur izin dalam membuka suatu lahan tambak, butuh rekomendasi dari kepala desa. Pemohon harus penduduk setempat. Dari desa ada rekomendasi kepala desa, dan dibawa ke Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten. Izin hanya sampai di kabupaten saja. Setelah itu, dinas keluarkan Izin Usaha Pertambakan (IUP).
Dalam memberikan izin, yang harus dilihat adalah masalah tata ruangnya. Posisi tanah. Sebelum DKP keluarkan izin, harus keluarkan tata ruangnya. Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) bisa dikeluarkan, bila luasannya 5 ribu hektar. Kalau yang kecil dimiliki oleh satu orang.
Tambak ada tiga kriteria. Pertama, tambak tradisional. Pengelolaan tambak ini, tak dikelola dengan berbagai pemberian pakan. Juga tak memakai teknologi. Kedua, tambak semi intensif. Tambak sudah menggunakan teknologi. Namun, tak semua peralatan dipenuhi. Ketiga, intensif. Tambak sudah menggunakan teknologi secara penuh.
Dalam SK Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 359 Tahun 2000, sekitar 2.500 meter dari bibir pantai, baru bisa diusahakan tambak rakyat.
Tambak di Danau Besar, tak terlihat dari perairan Sungai Kakap. Letaknya menjorok ke dalam. Jalur masuk ke tambak merupakan sungai buatan. Jaraknya sekitar 300 meter dari sisi laut. Hutan ini berupa hutan Api-api, Nipah dan Piyai. “Dari hutan lindung sekitar 300-500 meter,” kata Tarja.
Untuk membuka tambak, harus pakai eksavator. Fungsinya untuk menggali dan menumpuk tanah. Sewa alat ini per jam Rp 160 ribu. Biasanya kontrak satu bulan. Pada 2005, mulai banyak orang berminat menanamkan modal ke tambak.
Di Tambak Besar udang Windu tak bisa hidup. Biasanya hanya ikan Bandeng saja. Kalau musim barat, sekitar November dan Desember, udang ada yang bagus dan jelek.
“Di sini, karena air asin, yang cocok Bandeng,” kata Tarja.
Modal membuat tambak sebesar Rp 150 juta, per 10 hektar. Modal itu untuk menebas dan menggali tambak. Untuk membuat pintu kelip atau pintu air, butuh Rp 10 juta setiap pintu. Bagi 10 hektar tambak, butuh 2-3 pintu air. Pintu air berfungsi untuk sirkulasi air.
Ketinggian tanggul juga mesti diperhatikan. Tinggi tanggul sekitar 1,2 - 1,3 meter. Kedalaman tambak sekitar satu meter.
Benih 10 hektar tambak sekitar 40 ribu ekor. Harga benih Rp 150 per ekor. Satu hektar butuh 4.000 ekor. Bibit ikan yang bagus diperoleh dari Bali dan Manado. Banyak tempat menyediakan benih. Tapi, dua tempat itu yang bagus kualitasnya. Sebulan sebelum panen, biasanya sudah pesan bibit.
Proses bertambak dimulai dengan mengeringkan kolam. Sehabis panen, tambak dikeringkan sekitar empat hari. Tujuannya, supaya semua hama mati dan membunuh binatang pemangsa ikan, seperti, ular.
Setelah itu dimasukkan air becek-becek, semata kaki. Dan, menaburkan pupuk urea pada lahan yang sudah diberi air. Untuk 10 hektar, butuh sekitar 600 kilogram urea. Sehingga timbul tanah atau kelekap yang merupakan makanan ikan. Setelah itu, bibit gelondongan ikan dimasukkan ke tambak. Butuh waktu sebulan. Setelah muncul kelekap, muncul lumut sutra. Inilah yang dimakan ikan. Setelah hilang kelekap, tak boleh memasukkan ikan.
Biasanya, untuk 10 hektar tambak terdiri dari 2 - 3 kolam. Bagus ada tiga kolam, karena akan membuat ikan cepat besar. Ikan bisa pindah dari satu kolam ke kolam lain. Bertambak dimulai dari ikan sisiran atau nener. Lalu, berkembang menjadi ikan gelondongan bentuknya sebesar korek. Ada kolam pembibitan. Bisa menampung 100 ribu benih. Bila nasib baik yang hidup bisa 80 persen.
Waktu panen sekitar 4-5 bulan. Satu kilogram sebanyak 5-6 ekor bandeng. Harga Rp 11 ribu. Yang besar Rp 12 ribu. Paling jelek Rp 10 ribu perkilogram. Dengan berat ikan sekitar 2-3 ton, hanya butuh waktu setengah hari, untuk memanennya. Caranya, jaring direntangkan pada dua sisi tambak. Setelah itu ditarik secara bersama. Ikan yang sudah terjaring, tinggal diambil.
Tambak kalau tak 10 hektar, hanya cukup untuk makan saja. Bila punya 10 hektar, hasilnya bisa 6-7 ton. Bila dikalikan harga ikan, misalnya Rp 10 ribu perkilogram, dan dibagi empat bulan. Hasilnya, sehari sekitar Rp 500 ribu.
Jadi, sekarang ini, dengan duduk di rumah saja, pemilik tambak, sudah bisa menghasilkan Rp 500 ribu perhari. Wah, lumayan juga. Namun, jangan hanya dilihat hasilnya. Awal dan prosesnya yang berdarah-darah, mesti dilihat juga toh.
Setelah panen ikan dibawa ke Pasar Flamboyan di Pontianak. Ikan langsung masuk ke agen. Setelah itu, urusan selesai. Harga Rp 11.000-11.500 perkilogram.
Bila Tarja ikut memelihara tambak, dia mendapat 5 persen dari hasil keuntungan. Anak buah yang menunggu tambak, mendapat 15-20 persen. Hasil itu sudah termasuk tanggungan makan. Satu bulan mendapat uang Rp 300 ribu.
Tak ada gangguan pencuri dan hama. Tak ada kendala dan keluhan masyarakat. Kalau panen dengan cara diberi pukat.
Sekarang ini, Tarja memiliki 3 hektar tambak. Setelah berhasil, Tarja menjemput keluarga dan kerabatnya. Ada tujuh keluarga. Semuanya ada 15 orang. “Daerah Kalimantan masih luas. Kalau untuk hidupi keluarga, masih bisa untuk makan,” kata Tarja.
Di lokasi tambak Danau Besar, ada beberapa rumah di tengah tambak. Rumah yang ditempati Tarja dan beberapa keluarga, dibuat pada 2005, akhir. Luasnya sekitar 8 kali 12 meter. Pemiliknya bernama Adul, orang Sepok laut.
Rumah itu beratap daun nipah dan berdinding papan. Atap nipah bisa tahan hingga dua tahun. Ada orang yang biasa membuatnya di Kampung Parit Wak Parek. Harganya, satu keping Rp 1.000. Lebar atas sekitar satu kali satu meter setengah.
Dari segi sanitasi kesehatan, rumah itu tak cukup sehat, bagi anak-anak. Untuk keperluan sehari-hari, hanya mengandalkan air hujan. Air ditampung dalam tempayan dari semen dan plastik. “Kalau tak ada air hujan, ya, ambil air sungai,” kata Tarja. Padahal, air sungai begitu keruh dan asin.
Di tempat itu, hiburannya cuma TV dan Radio. TVRI dan RRI. Tapi, sinyal telepon genggam bisa masuk juga.
Anak paling besar, Nurdin (20), juga bekerja sebagai penunggu tambak. Anak kedua, umur 11 tahun sekolah di Sungai Kakap. Anaknya mengontrak kamar. Anak paling kecil berumur tiga tahun.
Sekarang ini, penduduk Sepok Laut yang tinggal di sana, sudah mulai mau kerja di tambak. Tentunya, mereka harus banyak belajar dari Tarja, berbagi pengetahuan tentang tambak.
Ketika media massa mulai gencar memberitakan orang yang diterkam buaya, para pekerja dan pemilik tambak, menjadi sorotan. Ia merasa kesal, karena disalahkan dengan kejadian itu.
Ia minta dukungan pemerintah. “Kalau ini hutan lindung, kita minta digenahkan,” kata Tarja. Sehingga tidak terjadi bentrokan antara keluarga dengan keluarga. Atau, aparat dengan aparat. “Tambak di sini, ada SKT dan surat-surat lengkap semua. Yang mengeluarkan kepala kampung, dan kepala perikanan,” kata Tarja.
Berebut Ruang dengan Buaya
Pengalaman mengelola tambak juga dialami M. Saleh (65). Biasa dipanggil Wak Aleh. Hampir separuh hidupnya, ia jalani di perantauan. Jauh dari rumah dan kerabat. Ia selalu bergerak dalam pencarian. Pada sebuah kehidupan dan usaha. Sosok dan karakternya kuat. Terlihat dari garis wajahnya. Ia tak memiliki anak. Sebagai gantinya, ia memelihara sebagian besar keponakan dan kerabatnya.
Ia memiliki semboyan hidup, berguna buat orang. Bagaimanapun hidup, orang mesti tolong menolong. “Kalau menolong orang lain, suka kita. Saya tidak peduli dia siapa,” kata Saleh.
Saleh lahir di Kampung Tengah, Sepok Laut. Pada tahun 50-an, ia sekolah di Pontianak. Ketika itu, banyak orang tua tak mau sekolahkan anaknya. Ada anggapan, anak yang sudah sekolah, bakal pintar ngakal atau bohongi orang tua. Orang tuanya dari Balanipah, Sinjai, Sulawesi Selatan. Namanya Daeng Abdussamad bin Daeng Salasa.
Di Kalimantan Barat, khususnya, dan Nusantara pada umumnya, komunitas masyarakat Bugis menyebar dan mendiami berbagai wilayah. Mengenai penyebaran orang Bugis, dijelaskan dengan apik dalam buku berjudul “Manusia Bugis” karya Christian Pelras, antropolog dari Universitas Sorbonne, Paris, Perancis.
Perseteruan yang telah berumur seabad lamanya antara Kerajaan Bone dari Bugis dan Goa dari Makassar, dipicu kepentingan merebut hegemoni atas semenanjung Sulawesi Selatan.
Kerajaan Goa dibantu sekutu sejatinya, komunitas Bugis Wajo’ dan Melayu, berhasil memenangkan perseteruan. Kerajaan Bone dibawah pimpinan Arung Palakka, bersekutu dengan pasukan Belanda dipimpin Admiral Speelman, yang dibantu orang-orang Ternate, Ambon dan Buton, menyerang Makassar.
Serangan dari berbagai penjuru membuat peperangan berlarut-larut terjadi. Perang berhenti dengan jatuhnya Makassar, dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya oleh Sultan Hasanuddin pada 18 November 1667.
Dampak dari jatuhnya Makassar adalah, perubahan pola pelayaran dan perantauan orang-orang Sulawesi Selatan. Sejumlah bangsawan Makassar berangkat ke Jawa untuk melawan Belanda. Mereka juga merantau ke berbagai penjuru Nusantara. Makassar menjadi titik pemberangkatan utama. Bukan hanya bagi armadanya sendiri, tapi juga armada Bugis dan perantau Bugis yang berangkat mencari kekayaan dan kejayaan ke wilayah barat Nusantara, karena akses ke wilayah timur ditutup oleh Belanda.
Di Riau misalnya, mereka menetap di titik strategis pada jalur perdagangan se-Nusantara. Mendirikan perkampungan strategis di muara sungai. Melibatkan diri dalam perseteruan di kalangan penguasa Melayu. Melalui peperangan dan perkawinan, mereka berhasil menjadi salah satu kekuatan politik utama, khususnya di kesultanan Riau-Johor, dan Tanah Melayu pada umumnya (hal 165-167).
Seperti juga para leluhurnya, hidup M. Saleh penuh perjuangan dan usaha. Pada 1960-1961, Saleh tamat sekolah teknik di Pontianak. Setelah itu, ia jadi pelaut menyusuri lautan Kalbar hingga antarpulau. Misalnya ke Cirebon, Jawa Barat. Usaha kopra juga pernah dijalani pada usia 20 tahun. Juga, berdagang karet pada 1965. Pada 1970, ia kerja ikan. Tahun 1980, kerja pukat udang. Tahun 1990-an, jadi pemborong rumah. Tahun 1991-1992, berangkat ke Malaysia. Lalu, membuka tambak, hingga sekarang.
Pada tahun 1973, ia membuka perkebunan kelapa di Danau Besar. Namun, usaha itu tak berhasil karena air terlalu asin. Binatang juga banyak. Ada babi, celeng, musang dan lainnya. Satu lahan seluas 350 kali 350 depa. Satu depa sekira 1,5-1,7 meter. Ini untuk satu tempat. Dia memiliki tiga tempat. Ia membuat pagar kawat berduri.
Pekerjaannya dari keluarga sendiri. Mereka borong dengan cara mencari orang. Untuk membersihkan lahan satu hektar, upahnya Rp 5 ribu. Ia kerjakan itu, hingga setengah tahun lebih. Ia pakai tenaga manusia.
Tak berhasil dengan kebunnya, ia kerja pukat udang di Sepok laut pada 1980-an. Saleh dibantu Dinas Perikanan dengan mesin 33 PK, dan kapal dengan bobot puluhan ton. Itu jenis kapal rakyat dengan ABK tiga orang. Biasanya ia berangkat siang hari. Sore hari sudah pulang. Hasilnya lumayan. Bisa mencapai 7-8 keranjang besar. Harga udang masih di bawah Rp 5 ribu. Udang Wangkang merah di bawah Rp 9 ribu. Udang dogol Rp 2-3 ribu. Dapat ikannya biasanya campuran. Bila ditotalkan, bisa mencapai Rp 700 ribu.
Namun, Pemerintah Pusat kemudian mengeluarkan Keppres Nomor 39 Tahun 1981, yang melarang penggunaan kapal trawl. Menurutnya, peraturan itu bagi orang Kalbar saja. Tapi kapal trawl dari Jakarta dan Thailand, tak dikenakan peraturan.
Entah ngapa kita ini dilarang, tapi kapal dari Jakarta dan Thailand diberi,” kata Saleh.
Tak coba menanyakan ke pemerintah?
“Tak berani. Kita ini nelayan, orang awam. Yang menangkap adalah Airud, AL dan KPLP, jadi takutlah kita,” kata Saleh.
Kalau ada kapal rakyat yang tertangkap, biasanya ditahan. Awak kapal disidang. Saleh pernah jalani sidang.
Kapal dari Jakarta dan Thailand sekitar 30-40 buah. Biasanya buang sauh di Pulau Pengekek, sebelah laut Pulau Dato’. Kapal beroperasi hingga tahun 2006. “Baru sekitar dua tahunan ini dilarang,” kata Saleh.
Kapal trawl Jakarta dan Thailand, sebelum keluar Keputusan Presiden (Keppres) sudah beroperasi di perairan Kalbar. Bila kapal rakyat beroperasi kira-kira 3-7 mile dari garis pantai, kapal Jakarta dan Thailand, bisa berlayar sepanjang garis Zona Economy Exclusive (ZEE) Indonesia atau 21 mile dari garis pantai. Mungkin juga melebihi garis itu.
Kalau kapal rakyat berangkat siang balik sore. Kapal Jakarta dan Thailand, yang kapasitasnya bisa menampung 300 ton ikan, sanggup melaut berbulan-bulan lamanya.
Pada tahun 2001, setelah berkelana dan merantau ke berbagai tempat dan negara, M Saleh kembali ke Sepok Laut. Balik ke tanah yang pernah dibuka pada 1973. Pada 2002-2003, dia mulai membuka tambak. Pertama kali membuka tambak, ia tak berhasil. Ia memiliki tambak 10 hektar.
Saleh berkomunikasi dengan seorang dosen di Untan. Diskusi mengenai bagaimana membuat tambak. Sang dosen juga mencarikan uang melalui pinjaman. Setelah dapat pinjaman, ia habiskan dana sekitar Rp 100 juta, membuat 10 hektar tambak. Sang dosen ini tak mau membuat tambak, karena bukan pekerjaannya. Dia hanya konsultan.
Pertama kali membuka tambak, belum berhasil mengajak orang Sepok Laut, untuk kerja di tambak. “Jadi bahan tertawaan saja. Mereka kan di Sepok Laut saja, tak pernah lihat daerah lain. Kita dah nengok di kampung orang, hasil ini dikerjakan,” kata Saleh.
Pertama kali mengerjakan tambak, setiap hari ia berada di sana. Ia jalani itu hingga tiga tahun lamanya. Bahkan, Lebaran juga di tambak. “Bekawan dengan radio jak, dengar orang betakbir,” kata Saleh.
Lalu, apakah Saleh tak tahu, bahwa itu termasuk hutan lindung?
“Kita ini tak tahu, mana hutan lindung dan mana bukan. Setiap pemimpin yang ke sana, selalu bilang untuk memanfaatkan lahan tidur,” kata Saleh.
Ia merasa, sekarang ini, banyak orang yang meributkan tambak, karena orang dengki. Mereka tak bisa membuat tambak. “Orang bekalut, tak mau tuk buat tambak, tapi tuk jual lahan,” kata Saleh.
Saleh merasa kecewa, karena ketika menjalankan usaha trawl, dijegal dengan peraturan. Sekarang dijegal lagi dengan dalih hutan lindung.
Ia mengatakan, ketika membuka lahan pada 1973, daerah itu awalnya lahan negara. Lahan tidur. Ketika membuka lahan, ia mengurus berbagai surat menyuratnya. Saat itu, kepala kampung di Sepok Laut bernama Abdussamad bin Arani. Selanjutnya, Wak Sangka. Abdul Wahid. Usman Nasir. Abdussamad. Muhammad Nur Amboktang. Dan, sekarang ini dijabat Ismail.
Pada 1979, ia menemui Syarif Ismail Abdullah, Camat Sungai Kakap. Semua surat-surat selesai dikerjakan. Saat itu, Kecamatan Sungai Kakap termasuk Kabupaten Pontianak. Setelah pemekaran, Kecamatan Sungai Kakap, masuk dalam wilayah Kabupaten Kubu Raya (KKR).
Saleh merasa heran, kalau memang daerah itu termasuk hutan lindung, kenapa pada 2006, Pemkab Pontianak, melalui dinas terkait malah membuat tambak untuk rakyat?
Untuk membuat tambak itu, pemerintah mendatangkan eksavator yang baru dibeli. Lahan yang dibuka sekitar 15 hektar. Dibagi lima petak. Satu petak dikerjakan lima orang. Sekarang ini, tambak tak diurus. Ditelantarkan.
Padahal, pembuatan tambak butuh dana sekitar Rp 300 juta. “Tak ada yang jalan. Diambil jak uangnya,” kata Saleh.
Muhammad Saka (32), keponakan Saleh, berkata, sekarang ini untuk membuat surat keterangan tanah (SKT) di Desa Sepok Laut, dikenakan biaya Rp 500 ribu setiap hektar. Alasannya, biaya itu untuk kas Desa Sepok Laut. Saka pernah ikut menjualkan tanah kawannya seluas tujuh hektar. “Banyak yang kena. Padahal, Perda-nya belum ada,” kata Saka.
Nasir, pensiunan Dinas Perikanan dan pemilik tambak, juga mengemukakan hal sama. Ia tahu itu dari M. Tahir, Sekretaris Desa (Sekdes) di Sepok Laut.
Saleh ingin pemerintah memberikan kebijakan yang baik mengenai tambak yang sudah diusahakannya. “Janganlah kita bikin tambak dikenakan peraturan macam-macam. Yang sudah kita lakukan, sudahlah,” kata Saleh.
Hutan Lindung Terjarah
Masalah pembukaan dan perizinan membuat tambak tak hanya terjadi di Sepok Laut. Juga terjadi di Dabong. Bila di Danau Besar hasil tambaknya berupa bandeng, di Dabong hasil tambaknya juga udang Windu. Dari segi penjualan, lebih menguntungkan.
Berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor: 757/Kpts/UM/10/1982, mengenai penunjukkan areal hutan di wilayah Provinsi Daerah TK 1 Kalbar, hutan seluas 9.204.375 hektar. Berdasarkan peta Rencana dan Penatagunaan Hutan Provinsi di Kalbar pada 1982, jumlah hutan di Kalbar, luas hutan di wilayah provinsi Kalbar sekitar 14.680.700.
Mulyo Pradoto, Kepala Seksi Pemolaan Kawasan Hutan Tata Batas Dinas Kehutanan, Kalbar, menyatakan bahwa kawasan di Desa Dabong, seluruhnya merupakan hutan lindung. Fungsi hutan lindung untuk melindungi hidrologi dan hidrourologi. Melindungi tata kelola air.
Total batas kawasan sekitar 17.400. Terdiri dari batas luar, batas kawasan dengan non kawasan (APL) area dengan penggunaan lain. Seluruh Kalbar yang sudah diberi tapal batas sebagai fungsi kawasan, ada sekitar 80 persen.
Pal batas terbuat dari beton atau kayu Nibung berukuran 15x15 cm. Tapi tidak mutlak. Pada patok itu diberi tanda HL, berarti Hutan Lindung. HP berarti hutan produksi. Atau lainnya. Jarak tapal batas satu dengan lainnya 50-150 meter. Tapal batas setiap lima tahun sekali direkonstruksi. Prioritas yang direkonstruksi adalah hutan konversi, hutan alam dan wisata. Untuk membuat dan melakukan pengukuran tata batas, butuh dana sekitar Rp 5 juta setiap kilometer.
Dalam pembuatan tata batas, melibatkan seluruh masyarakat, Muspida, dan lainnya. Misalnya saja pada 2001. Panitia tata batas, mulai dari kepala desa (Kades), camat hingga bupati. Itu untuk ukuran sekarang.
Setelah ditata batas, ada sosialisasi dan distribusi peta ke setiap wilayah. Dengan cara itu, semua unsur pemerintah dan masyarakat, mengetahui peruntukan suatu lahan.
“Di wilayah Dabong, tidak ada koordinasi ke pemetaan, ketika mereka akan membuka hutan lindung untuk tambak,” kata Pradoto.
Odang Prasetyo, Kepala Bidang Pengembangan Kapasitas Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Kalbar memberikan data, di Desa Dabong dan sekitarnya ada 60 lebih pemilik tambak. Satu petak tambak sekitar 3-5 hektar. Ada sekitar 375 hektar. Jumlah itu belum termasuk yang berada di Sepok Laut dan pulau-pulau kecil lainnya. Di Dabong sebagian besar tambak intensif atau menggunakan teknologi.
Menurutnya, masalah klasik yang muncul dalam melakukan suatu pembangunan, selalu mengenai pertempuran antara mazhab ekonomi dan ekologis. “Biasanya mazhab ekologis selalu kalah,” kata Odang.
Gusti Zakaria Anshari, Dosen Pertanian Untan, pada evaluasi dan refleksi akhir tahun Bapedalda menyatakan, “Jangan sampai, perangkap kemiskinan akan membuat masyarakat, tidak mau berpikir tentang pengelolaan lingkungan,” kata Anshari.
Ia menyadari bahwa, isu kemiskinan yang dihadapi sebagian besar masyarakat, merupakan pemicu timbulnya permasalahan lingkungan. “Tetapi hingga saat ini, belum melihat upaya, untuk mengatasi permasalahan tersebut,” kata Anshari.
Dengan alasan kemiskinan, masyarakat membabat hutan mangrove di Dabong. Pada perkembangannya, wilayah itu juga didatangi berbagai investor dari luar Dabong. Kepemilikan tambak di Dabong, tak hanya dimiliki penduduk lokal. Investor dari Kota Pontianak dan daerah lain di Kalbar, cukup banyak di sana. Pemiliknya tak hanya rakyat biasa. Tapi juga melibatkan berbagai unsur pejabat pemerintahan. Mulai dari kabupaten dan provinsi.
Dari penelusuran berbagai dokumen yang pernah dikeluarkan, dapat diketahui siapa saja yang berperan dalam mensyahkan penjarahan hutan lindung tersebut, menjadi tambak. Misalnya saja unsur terkait dari Dinas Perikanan dan Kelautan.
Berdasarkan surat yang dikeluarkan Pjs Kepala Desa Dabong, Ahmad Dahlan. Dalam surat rekomendasi penggarapan hutan bernomor 503/161/Pem, tanggal 5 Februari 1999, memberikan surat rekomendasi kepada Sabariman H. Jafar (75), untuk menggarap lahan menjadi tambak di Desa Dabong.
Tak hanya itu. Pemkab Pontianak Pontianak, melalui dinas terkait, Dinas Perikanan dan Kelautan, mengeluarkan Izin Usaha Perikanan (IUP). Melalui surat bernomor 523.3/03/IUP/2005, tanggal 23 Februari 2005, memberikan izin kepada Apheng untuk budidaya tambak tradisional. IUP tersebut berlaku lima tahun. Surat yang ditandatangi Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan, Syafruddin HM, ditembuskan kepada Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah dan Kepala Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Pontianak.
Syafruddin juga menandatangani surat bernomor 523.3/11/UPI/2005, tertanggal 20 Mei 2005, untuk Sabariman. Surat 523.3/16/UPI/2005, tertanggal 16 Juni 2005, kepada Iwani. Juga, surat bernomor 523.3/11/UPI/2005, tertanggal 16 Juni 2005, kepada Shalman. Semuanya warga Dabong.
Pengganti Syafruddin sebagai kepada Dinas Perikanan dan Kelautan, juga memberikan surat yang sama. Namun, surat itu tak hanya kepada warga di Dabong saja. Juga warga dari luar Dabong, yang sudah mulai menanamkan modalnya di sana.
Tercatat, Muhammad Said, Kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pontianak, memberikan izin. Surat Pembudidayaan Ikan bernomor 523.7/13/SBI/2006, tertanggal 19 Juni 2006, diberikan kepada Efendi Tahar, warga di Banjar Serasan, Pontianak. Surat bernomor 523.7/22/SBI/2006, diberikan kepada Darwis, warga Tanjung Harapan, Pontianak.
Muhammad Said, sekarang ini menjabat sebagai Wakil Bupati Kabupaten Kayong Utara (KKU). Ketika dikonformasi, Jum’at (6/2), pagi, Muhammad Said menjawab bahwa pemberian izin memang untuk tambak. “Tapi di wilayah itu, bukan hutan lindung,” kata Muhammad Said.
Dalam masalah itu, aparat seharusnya melakukan sosialisasi. Daerah itu, apa statusnya. “Pemodal dan masyarakat tidak bisa disalahkan langsung, karena mereka punya legalitas izin yang dikeluarkan oleh aparat,” kata Odang Prasetyo.
Menurutnya, pembukaan lahan tambak dan illegal logging merupakan masalah utama dan penyebab rusaknya hutan mangrove. Hal itu terjadi dan terus berlangsung, karena aparat tidak tegas dalam menegakkan hukum.
Spalding dan Noor, dalam buku yang pernah diterbitkan menulis, hutan bakau menyebar luas di bagian cukup panas di dunia. Terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Hutan mangrove terluas di Indonesia, diikuti Brazil, Nigeria dan Australia.
Dosen Fakultas Kehutanan IPB, Prof. Dr. Cecep Kusmana, dalam sebuah perjalanan bareng ke Batu Ampar mengatakan, sekitar 6,7 juta hektar atau 70 persen dari luas 9,4 juta hektar hutan mangrove di Indonesia dalam keadaan rusak.
“Dari sekitar 70 persen kerusakan hutan mangrove di Indonesia, sekitar 3,7 juta hektar terjadi di kawasan hutan, dan 47 persen rusak di luar kawasan hutan,” kata Cecep.
Data Departemen Kehutanan menunjukkan 4,5 juta hektar hutan bakau masuk kategori rusak sedang. Sekitar 2,2 juta hektar dalam keadaan rusak berat. Kerusakan terus bertambah karena eksploitasi yang dilakukan tidak seimbang dengan proses rehabilitasi.
Untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan mangrove di Indonesia, Departemen Kehutanan pernah melakukan Proyek Pengembangan Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Proyek itu bekerja sama dengan Pemerintah Jepang, yaitu Japan International Cooperation Agency (JICA).
Lalu, bagaimana kondisi hutan mangrove di Kalbar?
Tim dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), pernah mengadakan inventarisasi dan identifikasi pada 1999. Hasil dari penelitian itu menyebutkan, luas keseluruhan hutan mangrove di Kalbar, mencapai sekitar 472.385,80 hektar.
Hutan mangrove di Kalbar, terbesar ada di Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya. Nyoto Santosa, Ketua Yayasan Mangrove Indonesia, ketika melakukan perjalanan bareng ke Batu Ampar, menyatakan bahwa, luas mangrove di Batu Ampar sekitar 65 ribu hektar. Nilai ekonomisnya sekitar Rp 95,6 miliar, setiap tahunnya. Nilai itu terdiri dari dasar penggunaan dan nilai keberadaan. Nilai dasar penggunaan langsung Rp 45 miliar. Penggunaan tidak langsung Rp 37, 6 miliar. Nilai opsi Rp 690 juta. Nilai keberadaan Rp 12,19 miliar. Kerusakana mangrove di Batu Ampar saja sudah mencapai 70 persen.
Cara menghitungnya, manfaat langsung seperti kayu dan arang, itu yang langsung bisa dinilai harganya. Nilai pengendali seperi intrusi air laut, itu bisa dihitung berdasarkan kebutuhan masyarakat. Apabila mangrove tidak ada, berapa warga harus membeli air mineral sebagai gantinya.
”Mangrove jangan dijadikan tambak. Buat tambak di belakang mangrove. Jangan ada lagi mangrove untuk konversi,” kata Nyoto Santosa.
Odang Prasetyo menyatakan, pengalihan hutan lindung yang berupa hutan mangrove, menyebabkan kerugian yang luar biasa. Satu hektar hutan mangrove, kerugiannya sekitar Rp 20 miliar. Ini belum termasuk kasus per kasus, karena menyangkut fauna di dalamnya. Sebab, bila habitat dan kawasan rusak, fauna akan cari makanan tidak di kawasan mereka. Masalah utama adalah rusaknya habitat.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, saat menghadiri Peresmian Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut di Pontianak, Selasa (27/1/2009), menyatakan, masalah yang dihadapi departemannya selama ini adalah, masih adanya pencemaran laut, pencurian ikan, dan degradasi habitat pesisir, dimana ada mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Masalah lain yang cukup besar adalah, adanya konflik penggunaan ruang dan sumber daya, masalah kemiskinan, yang masih melilit masyarakat pesisir.
Saat ditanya mengenai konservasi dan pemanfaatan wilayah pesisir untuk tambak, dia menyatakan bahwa dengan adanya otonomi daerah, pembangunan di daerah harus lebih bermakna. Namun, daerah mesti menjaga dan melindungi pantai. Bisa membuat tambak, namun juga bisa melindungi.
Dan, bagaimana dengan izin yang diberikan oknum di Dinas Perikananan, bagi pengalihan hutan mangrove untuk perikanan? Mengenai adanya orang dari Dinas Perikanan yang memberikan izin pembukaan hutan mangrove, menjadi tambak perikanan di hutan lindung, hal itu terjadi karena adanya kesalahan sistem yang terjadi pada masa lalu.
“Dinas Perikanan provinsi harus melakukan tindakan dalam hal ini. Kalau kawasan-kawasan itu dikelola tidak benar, akan ada upaya-upaya hukum,” kata Freddy Numberi, “perangkat daerah sebagai bagian dari pemerintah daerah, harus melakukan tindakan dan melihat tata ruang dari wilayah itu.”
Samsyul Maarif, Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menjelaskan, kerusakan lingkungan konservasi harus berangkat dari tata ruang terlebih dahulu. “Begitu tata ruang dijadikan kesepakatan, maka tidak boleh dilanggar,” katanya.
Penggunaan mangrove ada tata ruang yang mengaturnya. Semua orang harus taat dengan asas itu. Mangrove memang bisa digunakan untuk kepentingan ekonomi. Bisa digunakan untuk lahan tambak. Sah-sah saja. Pertanyaannya adalah, hal itu masuk dalam peta tata ruang daerah atau tidak.
Di Batam, rakyat banyak memperdagangkan mangrove dan arangnya dijual. Padahal, harusnya area itu menjadi daerah penyangga lingkungan. Begitu menyalahi tata ruang, mereka bakal ditangkap. Apalagi bila tidak ada izinnya. Sudah ada empat orang yang ditangkap, karena hal itu.
Di Dabong dan sekitarnya, yang statusnya masih merupakan kawasan hutan lindung, jadi perhatian dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Apalagi, di sana statusnya masih merupakan hutan lindung.
Aji Sularto, Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sember Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), pada kesempatan yang sama menyatakan, kalau memang statusnya hutan lindung, tetap akan disebut sebagai hutan lindung. “Kalau digunakan untuk tambak berarti melanggar peraturaan,” kata Aji.
Bagi pelakunya, bisa dikenakan tiga pelanggaran. Pertama, UU Lingkungan, karena menurunkan kwalitas lingkungan. Kedua, UU Nomor 27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil. Ketiga, UU 31 tahun 2004, tentang Perikanan. Alasannya, kawasan mangrove menjadi kawasan pemijahan dari habitat dan sumber daya ikan.
Mengenai bentuk dan tindakan yang bakal dilakukan, Aji menyatakan bahwa pengawasan ada dua. Preventif dan represif. Preventif, menggelar sistem pengawasan melalui jajaran pengawas sampai ke daerah, kota/kabupaten. Namanya shelter pengawasan dan bisa menjangkau semua kawasan. Sisi represifnya, kalau ada pelanggaran, mesti ditertibkan. “Pelakunya diproses secara hukum. Karena UU-nya jelas sekali,” kata Aji.
Parahnya lagi, aparat pemerintah dan dinas terkait, malah memberikan izin penggunaan lahan konversi tambak atas dasar alasan peningkatan ekonomi masyarakat. Kalau ada pejabat mengeluarkan izin, itu merupakan suatu kesalahan, dan bisa dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Karenanya, Aji berbicara pada Pemda, untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, tidak harus merusak lingkungan. Harus ada solusinya. Tapi tidak berarti, minta izin dengan UU Lingkungan untuk ekonomi masyareakat. Peningkatan ekonomi masyarakat jangka pendek, malah mematikan ekonomi jangka panjang. Kalau mangrove dirusak, udang tidak akan ada lagi.
Menurutnya, langkah nyata yang harus dilakukan agar kerusakan lingkungan tidak semakin parah, kalau kegiatan itu merusak lingkungan, harus dihentikan. Kepala daerah punya banyak alternatif dan solusi. Untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, bisa dilakukan melalui budidaya rumput laut, dan berbagai potensi lainnya. Indonesia memiliki sumber daya yang luar biasa. Kalau ada yang membabat hutan, berarti membahayakan rakyat banyak dan generasi mendatang. Sebab, bakal membuat banjir selalu terjadi. Dengan menjaga kelestarian alam, sumber daya akan melimpah.
Dengan suara tegas Aji menyatakan, kalau misalnya ada pejabat yang memberikan izin, ia minta masyarakat untuk melaporkan. “Kalau ada bukti, nanti saya usut. Saya punya kewenangan hukum untuk melakukan itu,” kata Aji.
Pada akhirnya, untuk memelihara lingkungan butuh kepedulian semua pihak. Bila tidak, semua bakal menanggung sengsara akibat yang ditimbulkan dari kerusakan lingkungan. Seperti bencana alam, dan mengganasnya binatang, karena telah keluar dari habitatnya.□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 8 Februari 2008
Foto by Muhlis Suhaeri
Posted by Muhlis Suhaeri at 3:36 AM 1 comments
Labels: Lingkungan