Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Bertemu kawan lama merupakan suatu kebahagiaan tersendiri. Ada banyak cerita dan hal baru bisa kita dengar dan dapat, dari kawan yang telah lama tak bertemu. Seperti cerita yang bakal aku paparkan kali ini.
Pada sebuah siang, telepon genggam berdering. Istri yang mengangkat, karena kebetulan aku tak berada di dekat telepon tadi. Sebuah suara dari seberang terdengar. “Suaranya berat dan sopan,” kata istriku, “Aria Kusumadewa.”
Oh, kataku.
Aku menelepon balik. Ini kebiasaanku. Bukankah, kalau ada orang yang menghubungi kita, adalah sebuah kewajiban untuk meneleponnya kembali. Atau mengucapkan terima kasih, bila ada yang memberikan informasi melalui SMS yang diberikan. Siapapun dia.
Singkat kata, Aria mau berangkat ke Singkawang, untuk membuat suatu dokumenter mengenai budaya Cap Go Meh.
Aku menjemputnya di Bandara Supadio. Dia bersama rombongannya dari Jakarta. Ada Leoni, mantan Trio Kwek-kwek yang sekarang menjadi artis sinetron dan film. Leoni main di film terbaru Aria, yang berjudul Identitas. Dalam film itu, Dedi Miswar dan Coki Situmurang, menjadi eksekutif produser dan produsernya.
Leoni datang bersama kedua orang tuanya. Kebetulan, dia ada acara juga di Jawai, Sambas. Kami berangkat bersama.
Bertemu Aria, ibarat bertemu magnet yang luar biasa besar. Dia selalu menyebarkan energi tentang kreativitas, kekaryaan dan pencapaian. Dalam banyak hal dan kekaryaan, aku sering satu ide dengannya. Kegelisahannya tentang kondisi dan realitas di sekitarnya, dia tuangkan dalam media yang dikuasainya, film.
Sejak mengenalnya ketika, dia membuat Novel Tanpa Huruf R pada 2001, aku mulai mengenal dan memahami berbagai ide, realitas dan simbol-simbol yang selalu dimunculkan dalam film dan karyanya.
Simbol yang kadang membuat orang lain meradang, karena tak memahami dan mengusik sisi-sisi kemapanan, dan cara beragama yang cenderung dogmatis dan tak menghargai perbedaan dan pluralitas. Ia tak suka dengan perbedaan, yang selalu dipertajam dengan berbagai perilaku, demi kepentingan politik dan kekuasaan.
Filmnya selalu menguak hegemoni kekuasaan dan perilaku manusia-manusia di dalamnya, dengan cara satire dalam setiap adegan dan shot di filmnya.
Aria selalu menghadirkan realitas dan sisi kehidupan manusia yang paling ekstrem sekalipun. Filmnya, menjadi cermin dari kehidupan manusia. Kehidupan yang timpang, retak dan tak berbentuk. Manusia bakal dibuatnya gelisah, karena realitas yang ditampilkannya.
Mereka bakal “marah” karena ia menguliti bopeng wajah kehidupan manusia. Aneh memang. Ketika manusia diperlihatkan pada ketidaksempurnaan yang mereka miliki, mereka bakal tak menerimanya. Karena, manusia terkadang memang lebih suka dipuja-puja dan disanjung. Kritik dianggap sebuah permusuhan. Padahal, kritik sebenarnya adalah bagian dari kasih sayang, yang merepresentasikan wujudnya dalam bentuk lain.
Nyatanya, manusia memang lebih suka berada dan memposisikan diri sebagai, manusia yang selalu dipuja dan disanjung atau menjadi para penjilat. Apalagi bagi mereka yang suka dan gila kekuasaan.
Ah, dia memang “nakal”. Selalu mengkritisi dan mengusik sisi-sisi kemapanan sebuah sistem sosial. Membuat pertanyaan pada publik dengan caranya sendiri.
Hampir semua film Aria, melibatkan unsur live, science dan religion. Ada kehidupan, ilmu pengetahuan, dan religi. Tiga sudut pandang itu selalu ada dalam filmnya.
Bahkan, dalam trilogi film yang bakal dibuatnya, tiga unsur itu juga bakal hadir. Tiga film yang digabung menjadi satu itu, atau biasa disebut three angle movie, berjudul Tuhan Beri Aku Kentut, mengenai politik atau science. Identitas, mengenai kehidupan. Metamorfosa, mengenai religi.
Dia memberikan skenario tiga film itu. Aku menyimpannya di laptop. Membacanya. Menganalisanya. Membuat beberapa catatan. Dan, aku tersenyum sendiri.
Ah, Aria Kusumadewa. Kamu masih saja nakal, ya….
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 15 Februari 2008
Foto dari fourstarters.com
Sunday, February 15, 2009
Bertemu Kawan Lama
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment