Sunday, February 22, 2009

Vandalisme Pembangunan

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Ada sesuatu yang selalu membuat aku resah, akhir-akhir ini. Sebuah peristiwa yang begitu menyakitkan. Penghancuran sebuah situs sejarah dan cagar budaya.

Kalaupun mereka tidak mengakui bangunan itu termasuk dalam kategori kedua determinasi yang dibuat, apakah mereka bisa mengelak, bahwa di bangunan itulah, sebuah proses sejarah dari daerah yang bernama Kalimantan barat, tak bisa dilepaskan dari bangunan yang dirobohkan.

Ini namanya vandalisme!!!


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1989), vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya. Bisa berupa keindahan alam, bangunan, fasilitas umum, dan lainnya.

Vandalisme seringkali muncul dalam berbagai aktivitas yang bersifat negatif. Misalnya, mencorat-coret dinding bangunan, fasilitas umum, bahkan, merusak benda cagar budaya.

Di sebagian besar kota di Indonesia, tindakan vandalis kerap muncul dan menampakkan wajahnya yang lebih nyata, dalam berbagai bentuk dan ekspresi. Ada kemarahan, ketidakteraturan, dan tindakan tidak bertanggung jawab.

Bagaimana dengan proses pembangunan?
Vandalime kerap muncul dalam wujudnya yang lebih nyata, melalui pembongkaran berbagai bangunan situs bersejarah dan cagar budaya. Bagi yang tidak memahami sejarah perkembangan sebuah kota, memahami konteks sejarah dan pembentuk peradaban kota, akan dengan mudah melakukan vandalisme.

Atas nama pembangunan dan perkembangan kota, berbagai bangunan sejarah dan cagar budaya, dengan mudah digusur dan dirobohkan. Padahal, bangunan itulah yang menghubungkan masa lalu perkembangan sebuah masyarakat, dengan masa kini dan masa yang akan datang.

Pembongkaran bangunan bersejarah dan cagar budaya, bakal menghilangkan tali sejarah. Tindakan itu juga menghilangkan ingatan sejarah masyarakat, tentang apa yang pernah terjadi. Sejarah dibuat terputus.

Bisa dibayangkan, apa yang terjadi dengan sebuah masyarakat, yang berjalan tanpa memahami sejarah, dan pembentuk jati dirinya. Jawabannya adalah, masyarakat yang amburadul.

Pontianak sudah kehilangan sejarah dengan pembongkaran bangunan penjara menjadi Rumah Sakit Santo Antonius (RSAA). Padahal, di penjara ini, beberapa pahlawan Kalbar yang berjuang melawan penjajah, ditembak dan dieksekusi.

Dengan roboh dan hilangnya bangunan, ingatan masa lalu tentang tempat kejadian, turut pula hilang. Bangunan yang menjadi pengingat dan pengikat pikiran manusia, tentang sebuah peristiwa heroik dan keberanian para pahlawan yang berani mengorbankan nyawa demi kemerdekaan sebuah bangsa, turut hilang.

Bangunan yang menjadi cantelan masa lalu, kini dan masa depan, tak lagi bisa mengikat pikiran sebuah masyarakat, tentang orang yang telah dengan gagah berani mengobarkan nyawanya. Demi tujuan luhur yang tak pernah mereka nikmati dan rasakan.

Ironis memang. Pikiran dan ingatan masa lalu masyarakat diputus begitu saja, tanpa ada yang merasa kehilangan atau mempertanyakan. Atau, kita memang telah begitu bebal, sehingga tak menyadari atau memang tidak mau tahu. Bahwa, eksistensi kekinian manusia, berawal dan berwujud dalam sebuah rangkaian panjang yang bernama sejarah. Dan kita tak pernah mau tahu, arti dan apa pentingnya rangkaian itu bagi diri kita, lingkungan dan bangsa ini.

Kejadian terbaru di Pontianak adalah, dirobohkannya sebuah rumah yang memiliki nilai sejarah. Dari sinilah orang tahu, di Kalbar pernah menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Rumah itu pernah ditinggali para pendiri, dan orang yang begitu peduli dengan keberadaan Kalbar. Tercatat, Sultan Hamid II, Ovaang Oeray, pernah tinggal dan menempati rumah itu. Juga beberapa penerusnya.

Pembangunan yang tidak menggunakan berbagai pendekatan, kontek budaya, dan sosial, memang cenderung bersifat merusak. Yang muncul hanya pendekatan bersifat kamuflase. Seremoni. Dan, hal-hal yang hanya bersifat permukaan.

Tak menjawab isi dan konteks.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 22 Februari 2009
Foto dari hellojupiterart.com


No comments :