Thursday, October 1, 2009

Bakar Kapal Wangkang

Ritual Penutup Sembahyang Kubur
Oleh: Muhlis Suhaeri
Kalimantan Barat yang multikultur dan etnis, memiliki tradisi dan budaya beragam. Salah satunya, ritual sembahyang kubur bagi warga Tionghoa. Sembahyang kubur dilaksanakan dua kali setahun. Pada bulan dua dan tujuh penanggalan Imlek. Sembahyang bulan dua dinamakan Cheng Beng. Sembahyang bulan ketujuh dinamakan Cit Gwee Puah. Sembahyang berlangsung dari tanggal 1 hingga 15.

Selama 15 hari, sebanyak 50 yayasan yang menaungi ratusan marga, bergiliran melakukan ritual sembahyang kubur. Waktu pelaksanaan sudah ditentukan. Biasanya, hari pertama sembahyang kubur dibuka oleh marga Halim, karena dianggap marga terbesar.


Menurut kepercayaan warga Tionghoa, pada bulan kedua dan tujuh penanggalan Imlek, pintu akherat dibuka. Mereka yang sudah meninggal, arwahnya akan turun ke bumi dan mengunjungi keluarganya. Nah, saat itulah, keluarga harus mengadakan sembahyang kubur, supaya ketemu arwah leluhur.

Penanggalan Imlek menggunakan sistem lunar atau bulan. Ini berbeda dengan penanggalan Masehi yang menggunakan sistem matahari. Tahun 2009 masehi, sama dengan 2560 tahun Imlek.

Pada sembahyang bulan ketujuh Imlek, kita bisa menyaksikan ritual budaya yang sungguh menarik. Namanya, ritual bakar kapal Wangkang. Ritual ini dilaksanakan sebagai puncak dari ritual sembahyang kubur pada hari ke 15.

Menurut buku Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, karangan Lie Sau Fat atau XF Asali, sembahyang kubur di Tiongkok tanpa acara pembakaran kapal Wangkang. Di Pontianak, malah ada ritual itu. Kapal Wangkang atau Jong Son mempunyai arti Kapal Samudera. Kapal berfungsi mengangkut ruh-ruh yang tidak diurus oleh keturunan atau yang tidak ada keturunannya, supaya bisa kembali ke tempat kelahirannya. Sebab tiap-tiap ruh mesti ada asal-usulnya.

Mereka harus melalui samudera, maka diperlukan kapal Wangkang.

Pada ritual sembahyang kubur, orang Tionghoa dari Kalimantan Barat yang merantau ke berbagai daerah di Indonesia, kembali ke Pontianak, Singkawang, atau daerah lain di Kalbar. Para perantau ini, kebanyakan tinggal atau bekerja di Jakarta, Bandung, Batam dan Surabaya.

Bisa dipastikan, pada bulan-bulan ini, penerbangan penuh sekali. Harga tiket bisa dua kali lipat harganya. Bila pada bulan biasa harga tiket pesawat dari Jakarta atau Pontianak, sebesar Rp 400 - 740 ribu, pada sembahyang kubur bisa mencapai Rp 1-1,4 juta.

Pada bulan ini, Kota Pontianak semarak dengan berbagai kebutuhan sembahyang kubur. Seperti, kertas uang-uangan. Kertas ini sebagai simbol uang tail atau uang pembayaran. Buah jeruk, apel, pisang, pear, belimbing dan tebu, juga dibtuhkan bagi sembahyang kubur.

Ritual sembahyang kubur, sebagian besar dilakukan orang Tionghoa penganut Buddha, Kong Hu Cu dan Taoisme. Biasanya setiap keluarga melakukannya. Tak hanya keluarga, sembahyang kubur juga dilakukan setiap marga. Tujuannya, bila ada yang meninggal, tapi tidak disembahyangi keluarganya atau tak memiliki keturunan, maka anggota marga yang menyembahyanginya. Setiap marga berkumpul dalam satu yayasan. Puncaknya, pada tanggal 15, sembahyang kubur dilakukan Yayasan Bhakti Suci, yang menaungi seluruh yayasan Tionghoa di Kalbar.

Waktu pelaksanaan sembahyang kubur, tergantung setiap keluarga. Biasanya dipilih hari baik. Seiring dengan kesibukan setiap orang, biasanya hari libur dipilih sebagai hari melaksanakan ritual sembahyang kubur. Namun, setiap marga yang bernaung dalam yayasan, biasanya memiliki waktu tetap, bagi pelaksanaan sembahyang kubur setiap tahunnya.

Pagi itu, sekitar pukul 6.00 WIB, saya ketemu keluarga Vivi Hiu (23) di pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Bhakti Suci merupakan yayasan yang menaungi semua yayasan Tionghoa di Kalbar.

Vivi datang dengan seluruh keluarganya dari pihak bapak. Ia menyembahyangi kakeknya. Nenek, Tjhau Gek Lan (78) tidak tidak boleh ikut sembahyang kubur. Begitu juga ketika kakek meninggal, nenek tidak boleh mengantar ke kuburan.

Bentuk kuburan itu lumayan besar. Sekira tiga kali tiga meter. Pada nisan tertera huruf China dengan gambar foto kakeknya. Nama dan foto nenek yang masih hidup, juga sudah ada di sana. Namun, nama dan foto itu, ditutup dengan kertas warna merah. Kalau neneknya sudah meninggal dan menempati areal tersebut, kertas merah itu bakal dicabut.

Komplek pekuburan Bhakti Suci luasnya puluhan hektar. Masing-masing keluarga dan marga, memiliki kavling di pekuburan ini. Setiap keluarga dan marga mesti beli.
Saya perhatikan, keluarga Vivi membawa buah anggur, apel, jeruk, klengkeng dan pear. Juga ada nasi, kue-kue, baju, dupa, daging babi, ayam atau itik, dan ikan. Semua daging dalam keadaan matang. Daging mewakili kehidupan di tiga wilayah, darat, udara dan air.

Hal yang tak boleh tertinggal adalah, kertas sembahyang. Kertas ini tengahnya ada cat perak. Kertas melambangkan uang atau tail. Semua peralatan itu, membutuhkan dana sekitar Rp 600 ribu. Yang paling mahal kertas tail emas atau Kim Cua. Kertas ini langsung didatangkan dari daratan Tiongkok. Modelnya satu ikat, harganya Rp 20-30 ribu. Tergantung kualitas kertas.

Ketika tiba di pekuburan, keluarga ini melakukan sembahyang kepada Dewa Bumi atau Thau Ti Pekong. Sembahyang ini, ibaratnya permisi kepada Dewa Bumi. Mereka akan melakukan sembahyang kubur, pada leluhurnya. Doa ini dipimpin sang ayah.

Ritual dilanjutkan dengan sembahyang kepada kakek. Ini, untuk menyapa kakek, bahwa keturunannya sudah datang. Keluarga juga bertanya, apakah kakek sudah bangun dari tidur, dan bagaimana keadaannya. Ritual diiringi menyulut dupa atau hio. Buah, makanan, baju, daging dan peralatan yang dibawa, ditaruh di depan nisan. Barang-barang ini, dipercaya bisa dipakai dan dimakan arwah leluhur. Ritual ini juga diiringi dengan menuangkan arak putih dan teh ke poci kecil. Minuman ini sebagai pengiring makanan yang terhidang.

Saya mencandai Vivi, “Wah, kakek bisa mabuk dong minum arak?”
“Oh, arak ini tidak memabukkan, kok.”

Sembari menunggu kakek “menyantap” makanan yang dibawa, keluarga ini melipat lembaran-lembaran kertas uang, menjadi segi tiga. Bentuk ini menyerupai uang tail kuno yang biasa digunakan di Tiongkok, dulunya. Dengan melipat kertas, nilai tukarnya dipercaya lebih tinggi. Sehingga kakeknya memiliki cukup uang, untuk belanja di alam baka. Bila kertas tak dilipat, nilainya tak seberapa.

Selepas itu, keluarga ini melakukan sembahyang tiga kali. Ritual ini, memanggil dan tanya pada kakek, apakah dia sudah menyantap hidangan makanan dan minuman yang dibawa. Selanjutnya, uang kertas disembahyangkan. Lalu, uang dibakar untuk kakek. Ritual diakhiri dengan bakar uang kertas bagi Dewa Bumi. Kegiatan tersebut, menutup ritual sembahyang kubur keluarga ini.

Seluruh makanan, daging, kue, buah-buahan yang dibawa ke pekuburan, kecuali nasi, dibawa pulang lagi ke rumah. Selanjutnya, keluarga makan-makanan itu secara bersama.

Saya penasaran dan tanya pada Vivi, “Bagaimana cara mengetahui, makanan yang terhidang itu, sudah dimakan arwah leluhur?”
“Dari bau makanan tersebut. Kayak basi, tapi bukan basi,” kata Vivi.

Agak jauh dari keluaga Vivi, sembahyang kubur Yayasan Sungai Beringin berlangsung. Jumlah mereka sekitar 30 orang. Ini sembahyang untuk marga. Tujuannya, orang-orang yang tak sempat disembahyangkan keluarganya, diwakili oleh marganya.

Yayasan Sungai Beringin beralamat di Jalan Gajah Mada Pontianak, biasanya sembahyang kubur pada hari kesepuluh, setiap tahunnya. Sembahyang kubur dipimpin para sesepuh dan tetua yayasan. Marga Lim atau Halim, biasanya sembahyang pada hari pertama sembahyang kubur. Marga Tan, pada hari kedua sembahyang kubur. Selain faktor hari baik, waktu sembahyang juga diatur, supaya tidak terjadi penumpukan orang ketika sembahyang.

Urutan dan ritualnya sama dengan ritual sembahyang kubur yang dilakukan keluarga.
Namun, makanan, kue, daging, kertas uang yang dibawa, tentu lebih banyak. Namanya juga bekal bagi banyak orang. Ada babi dan kambing satu ekor. Suasana meriah sekali. Umbul-umbul dan bendera marga tertancap di sekitar areal pelaksanaan ritual. Juga batang-batang tebu. Ini melambangkan kemakmuran. Rasa tebu manis. Lonceng dan genta juga ada.

“Sesaji merupakan sumbangan dari para pengusaha, panitia dan orang-orang kaya satu marga,” kata Andrew Yuen, pemuda yang ikut sembahyang.

Pada tanggal 15 penanggalan Imlek, saya datang lagi ke pekuburan Yayasan Bhakti Suci. Hari itu merupakan hari terakhir sembahyang kubur. Semua wakil yayasan hadir. Ini sembahyang kubur kolosal.

Semenjak pagi, masyarakat menyediakan berbagai makanan, buah-buahan, kue dalam keranjang dan menaruhnya di depan rumah. Siangnya, pengurus setiap yayasan membawa sesajian ke pekuburan Yayasan Bhakti Suci.

Di lapangan depan pekuburan, semua sesajian dihamparkan. Dengan sesajian ini, dilakukan sembahyang Shi Ku atau Sembahyang Rebutan. Setelah diberi doa, masyarakat berebut mengambil sesajian. Setiap orang Tionghoa yang mengikuti ritual tersebut, harus ikut berebut. Tidak peduli orang kaya atau miskin. Mereka percaya, dengan mendapatkan sesajian yang terhidang, rejeki tahun itu, bakal lancar.

Ada mitos dalam sembahyang Shi Ku, mereka yang berebut tidak boleh jatuh atau terpeleset. “Bisa kemasukan ruh,” kata Yuen.

Selepas sembahyang Shi Ku, ritual dilanjutkan dengan prosesi pembakaran kapal Wangkang. Kapal ini terbuat dari kertas. Kerangkanya dibuat dari kayu cerucuk.
Anek Abe (61), si pembuat kapal menjelaskan, kapal dibuat selama 20 hari. Biayanya sekitar Rp 20 juta. Biaya pembuatan ditanggung Yayasan Bhakti Suci. Panjangnya sekitar 21 meter. Lebar kapal 3,6 meter. Tinggi 1,2 meter.

“Setiap tahun, panjang kapal ditambah 5 cm. Alasannya, setiap tahun, arwah yang dibawa semakin banyak,” kata Anek, yang sudah 15 tahun membuat kapal Wangkang tersebut.

Setiap tahun, warna kapal berubah. Tak ada kepastian warnanya apa. Yang menentukan Yayasan Bhakti Suci. Tahun kemarin, 2008, warna kuning dan biru dengan garis merah di tengah. Tahun ini, warnanya kuning dan merah dengan garis hijau di tengah.
Kapal terbuat dari kayu cerucuk sekitar 300 batang, dan papan sekitar 200 keping. Pembuatan kapal membutuhkan kain sekitar 300 meter. Lama pembuatan sekitar 20 hari, dan dikerjakan sebanyak enam pekerja. Mereka dibayar secara harian, Rp 40-60 ribu.

Anek tak tahu pasti, kapan tradisi bakar Kapal Wangkang dimulai. Menurutnya, sebelum dia lahir, tradisi itu sudah ada. Bahkan, ketika zaman Orde Baru, perayaan itu tetap dilaksanakan. “Kalau tak dilaksanakan, nanti arwahnya ngamuk. Kota Pontianak bisa tak aman,” kata Anek.

Lim Yak Seng (56), salah satu pembuat kapal bercerita, pelaksanaan bakar Wangkang, awalnya berada di depan klenteng tertua yang berada di komplek pertokoan Pasar Kapuas Indah. Namun, karena wilayah itu sudah mulai padat, sekitar tahun 1990-an, pelaksanaan bakar Wangkang dipindahkan ke pemakaman Bhakti Suci.

Ada dua layar warna putih dengan tulisan huruf China. Layar pertama tertulis Ik Fan Fong Sun. Layar kedua atau belakang Sun Fung Tek Li. Dua kalimat tersebut, kira-kira begini artinya, “Selamat jalan mudah rejeki. Terus berjalan lurus mengikuti angin.”
Dalam kapal Wangkang, ibarat kapal sungguhan. Ada nahkoda, awak kapal, juru mudi, juru tulis, tempat sembahyang atau kelenteng. Semua dari kertas. Bekal untuk berlayar juga ada. Ada kue, buah kelapa, pinang, beras, sayur mayor, dan berbagai buah-buahan lainnya. Kertas uang atau Kim Cua bertumpuk-tumpuk sebagai bekal.

Menjelang pembakaran kapal Wangkang, dilaksanakan upara ritual sembahyang. Para petinggi Yayasan Bhakti Suci mewakili sembahyang. Ritual berlangsung di depan kapal Wangkang bagian haluan. Urutan dan prosesi, sama dengan sembahyang kubur keluarga atau yayasan. Selesai sembahyang, mereka mengitari kapal Wangkang. Selepas itu, setiap pengurus memegang kayu yang ujungnya diberi sumbu dari kain.

Setelah semua pengurus memegang kayu, bensin dituang ke bawah kapal Wangkang. Dengan aba-aba, mereka menyulut kapal kertas itu.

Seketika, api menyala dengan cepat. Bersama api dan asap yang membumbung tinggi, para arwah diantar menuju tempat terbaiknya. Pemadam kebakaran yang sedari tadi siaga, mulai menyemprotkan air di atas kapal Wangkang. Tak langsung kena ke kapal. Tujuannya, supaya bara api tidak terbang dan jatuh di perumahan penduduk.

Sore itu, saya menikmati pemandangan yang terasa sejuk di hati. Diantara kobaran api yang membara mengiringi ritual dan prosesi adat, anak-anak kecil Tionghoa, berjingkrak dan berlarian dengan riang. Lepas dan bebas. Mengantar para arwah kembali ke tempatnya.□

Edisi cetak ada di Majalah Suara Baru, edisi Oktober 2009.
Foto-foto Muhlis Suhaeri

No comments :