Wednesday, April 8, 2009

Ruang Kelas Hancur

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Sebanyak 3.820 ruang sekolah dasar di Kalimantan Barat, hancur dan rusak. Situasi itu terjadi di hampir setiap kabupaten dan kota di Kalbar. Dari total ruang kelas SD sebanyak 21.465, dan ruang kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebanyak 4.435 unit. Sebanyak 3.151 ruang kelas alami kerusakan sedang. Sebanyak 2.627 ruang kelas rusak ringan.

Ini berita yang membuat banyak orang merasa miris. Tapi, juga bukan sesuatu yang baru, karena memang pembangunan gedung-gedung sekolah ini, sejak pelaksanaan Inpres zaman Orde Baru.

Proyek tersebut diperkenalkan melalui Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 1973, tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Karenanya, sekolah yang didirikan juga dikenal sebagai SD Inpres.


Bisa dibayangkan, selama puluhan tahun sejak didirikan, tak ada pemeliharaan dan pembangunan ulang, tentu saja banyak dari bangunan yang sudah ada, tak terawat dan menjadi rusak.

Ini tentu sesuatu yang ironi. Bagaimana generasi sebuah bangsa bisa maju, kalau sarana pendidikannya tidak layak dan rusak. Terlebih, sebuah dinas atau institusi pendidikan yang menjadi institusi bagi para generasi penerus bangsa, tidak bisa mendapatkan sarana belajar yang layak.

Kerusakan juga terjadi pada ruang kelas tingkat SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Jumlahnya mencapai ratusan kelas. Begitu juga untuk tingkat SMA atau Madrasah Aliyah. Ironisnya, berbagai bangunan megah dan mewah terus tumbuh, untuk menaungi berbagai gedung pemerintah yang mengurusi masalah pendidikan ini.

Inti dan jantung dari sebuah sistem pendidikan, ada pada berbagai fasilitas dan perlengkapan sekolah yang memadai. Bukan pada gedung departemen atau dinas yang megah.

Ini menunjukkan, masih rentannya sektor pendidikan, dilihat sebagai sesuatu yang harus ditingkatkan, dan menjadi prioritas bagi sebuah pembangunan suatu bangsa.

Itu baru bicara mengenai sarana dan prasarana. Belum mengenai suatu sistem atau manajemen yang harus diterapkan, dalam sistem pendidikan di tanah air ini. Semua masih serba semrawut dan ruwet.

Banyaknya guru honorer yang belum diangkat. Insentif yang kurang bagi guru yang di tempatkan di pedalaman. Sehingga mereka lari dari daerah tersebut. Syarat yang tak realistis dan diterapkan bagi para pendidik ini. Makin membuat sistem pendidikan carut marut.

Dengan naiknya angka anggaran bagi pendidikan, apakah bisa menjawab berbagai permasalahan yang seolah tak bisa diputus tersebut. Mari kita lihat, awasi dan perhatikan bersama.

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 8 April 2009

No comments :