Sunday, April 12, 2009

Pilihan Ideologis, Psikologis, Biologis dan Prakmatis

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Ada yang lucu dalam Pemilu 9 April 2009. Inginnya, aku memilih berdasarkan pemahaman dan keyakinanku, akan makna sebuah ideologi. Dalam banyak hal, ideologi menjadi dasar dan berbagai pijakan, dalam merumuskan sebuah keputusan yang lebih strategis, taktis, dan politis. Dan, partai politik inilah, instrumen yang menjalankan berbagai praktek, sehingga menghasilkan keputusan politik.

Ide tentang demokrasi dan kekuatan suprastruktur yang didukung kekuatan partai politik, ternyata tak menjembatani pilihanku. Pada partai atau orang yang menjadi Caleg dalam Pemilu 2009.


Secara ideologi, bila ada partai yang mengusung tentang konsep demokrasi yang didukung kelas pekerja, maka aku akan memilih partai ini. Ini pilihan ideologis. Secara ideologi, konsep tentang sebuah tatatan negara yang melindungi kelas pekerja, setidaknya dalam keyakinanku, bisa membawa negara kearah lebih baik. Namun, kenyataannya, aku tak menemukan partai berideologi atau mengarah ke sana.

Sekarang ini, partai ibarat alat angkut, yang membawa orang beramai-ramai menuju sebuah bangunan. Yang mengatasnamakan wakil rakyat. Padahal, sebuah partai berdiri, harusnya mempunyai konsep ideologi yang jelas. Tak sekedar alat untuk meraih kekuasaan. Bila tak mendapat kekuasaan, pindah partai. Bahkan, tak dapat nomor urut yang menguntungkan, langsung pindah atau membentuk partai lain. Tujuannya, yang pasti agar bisa memperoleh kekuasaan. Setelah itu, menimbun harta dari kekuasaan yang diperoleh.

Aneh memang. Semakin lama menikmati kemerdekaan, fungsi partai yang mengusung berbagai ideologi, malah semakin hilang. Padahal, dalam Pemilu tahun 1955, muncul berbagai partai yang membawa ideologi berbeda. Mereka konsisten dengan ideologi yang diyakini. Orang menghidupkan partai, untuk membawa perubahan melalui ideologi tersebut. Kini, orang hanya numpang hidup dan mencari sesuatu dari partai.

Karenanya, dalam tataran ideologis tersebut, ketika memilih calon di DPR RI, aku mengarahkan suara pada orang yang memiliki komitmen dan idealisme. Konsisten dan berani membela kebenaran. Meski secara personal, aku tak begitu kenal dengan orang ini. Hanya tahu dari beberapa kali wawancara.

Ketika memilih calon DPD, aku dibingungkan dengan calon yang ada. Ternyata, dari 26 orang yang jadi calon DPD, sebagian besar orangnya aku kenal dan tahu aktivitasnya. Ada komitmen dengan perjuangan yang mereka lakukan.

Wuuuiih, aku dibuat pusing karenanya. Mereka sama-sama memiliki kualitas dan komitmen pada apa yang dilakukan. Karenanya, aku tambahkan satu kategori, untuk pilihan ini. Kedekatan psikologis juga.

Anehnya, ketika memilih Caleg tingkat provinsi, aku belum menemukan orang yang menurut tataran ideal, bisa mewakili suara dan harapanku, tentang sebuah sistem yang didukung oleh manusia berkapasitas, miliki kemampuan, kejujuran, dan keberanian, untuk menyuarakan kepentingan masyarakat.

Nah, rupanya, ada seorang kerabat dari istri, mencalonkan diri sebagai Caleg. Tak terlalu popular. Tapi, ada harapan untuk berbuat baik dan bawa perubahan. Akhirnya, aku mengarahkan pilihan, pada dirinya.

Nah, ketika memilih Caleg untuk DPRD Kota, aku benar-benar limbung. Tak tahu mana yang harus dilirik, apalagi dipilih. Aku pusing. Setidaknya, harapan pada wakil di tingkatan ini, tidak mubazir dan terbuang begitu saja. Aku harus tetap tentukan pilihan.

Oh, ya. Aku baru ingat. Ternyata, diantara 38 partai itu, setidaknya ada satu partai kader yang memiliki konsep dan bagus. Aku lebih suka partai kader dari pada partai berbasis massa. Di partai kader, ada pendidikan politik. Ada penanaman ideologi, kaderisasi, dan lainnya. Meskipun, partai ini cenderung eksklusif. Sesuatu yang bertolak belakang dengan kehidupanku. Sikap pluralitas yang selalu mewarnai kehidupan, dan berbagai aktivitas keseharianku.

Meski secara ideologi tak ketemu, aku berharap suara aku tidak hilang begitu saja. Aku berharap, melalui partai inilah, aku menyelipkan harapan. Mungkin, inilah pilihan pragmatisku.

Lucu memang. Inginnya, aku memilih berdsarkan pilihan ideologis yang aku yakini. Tapi, ternyata aku tak bisa mencapai tahapan itu. Apa boleh buat. Setidaknya, aku sudah berani membuat pilihan. Dan, konsekwensinya, bila orang yang aku pilih tadi, tak sesuai dengan harapanku, maka aku yang bakal memburu dan mengejarnya. Melalui profesi dan tulisan yang bakal aku buat nanti.

Itulah janji aku. Pada profesi dan diri sendiri.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 12 April 2009

No comments :