Sunday, April 5, 2009

Menjala Energi, Membuka Isolasi

Dian Kartika Sari, Hanisa Agustin, Hardianti, Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Energi Sebuah Kebutuhan
Sekarang ini, pemenuhan energi merupakan hal yang terus dilakukan, agar manusia tetap bisa melanjutkan hidupnya. Karenanya, orang berlomba-lomba untuk menemukan dan menciptakan energi baru, bagi kehidupan kelak.

Dalam suatu seminar mengenai pemenuhan energi terbarukan di Amphi Theatre Fakultas Kedokteran Untan, Fathan A. Rasyid, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) menyatakan, “Pemenuhan energi terbarukan, tergantung bagaimana memberikan dana untuk mendukung riset dan development, untuk kembangkan potensi energi non fosil.”


Pendidikan dan riset yang dilakukan, mesti seimbang dan sepadan, dengan kebutuhan mengeksplorasi dan eksploitasi potensi energi Indonesia.

Energi merupakan “nyawa” bagi proses pembangunan. Segala kegiatan, mulai dari pendidikan hingga aktivitas ekonomi, memerlukan energi tidak sedikit. Penyediaan dan kebutuhan energi ini, terutama dalam bidang perindustrian. Semua mesin dalam proses produksi, harus digerakkan dengan energi.

Sebagian besar energi yang dihasilkan oleh dunia, memang dihabiskan untuk proses industri. Negara-negara maju dengan industri besar, membutuhkan lebih banyak energi untuk mendukung industri tersebut.

Berdasarkan data dari BP Statistical Review of World Energy 2005, sekarang ini, total pemakaian energi untuk negara berkembang mencapai 140 EJ per tahun, atau 36 GJ setiap orang per tahunnya. Sebesar 35 persen disuplai dari biomass. Angka itu masih jauh dibawah negara maju yang mencapai 250 EJ setiap tahun, atau 210 GJ setiap orang setiap tahunnya. Sebesar 3 persen disuplai dari biomass.

Total pemakaian energy sebesar 390 EJ setiap tahun, atau setara dengan 205.834.300 9.75 triliun liter minyak per tahun. Jumlah tersebut membuat khawatir sejumlah pengamat energi, sebab cadangan bahan bakar dunia, semakin hari semakin menipis.

Tabel: 1 Negara-negara yang menggunakan energi terbesar di dunia.

Ranking Negara Minyak Bumi Gas Alam Batu Bara Nuklir Hydro Electric total %
1 USA 937.6 58.2 564.3 187.9 59.8 2331.6 22.8
2 China 308.6 35.1 956.9 11.3 74.2 1386.2 13.65
3 Rusia 128.5 361.8 105.9 32.4 40 668.6 6.5
4 Jepang 241.5 64.9 120.8 64.8 22.6 514.6 5
5 India 119.3 28.9 204.8 3.8 19 375.8 3.7
6 Jerman 123.6 77.3 85.7 37.8 6.1 330.4 3.2
7 Kanada 99.6 80.5 30.5 20.5 76.4 307.5 3
8 Perancis 94 40.2 12.5 101.4 14.8 262.9 2.6
9 Inggris 80.8 88.2 38.1 18.1 1.7 226.9 2.2
10 Korea Selatan 104.8 28.4 53.1 29.6 1.3 217.2 2.1
20 Indonesia 54.7 30.3 22.2 0 2.5 109.6 1.1
Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2005

Berdasarkan data ini, Indonesia memiliki cadangan bahan bakar terukur sebagai berikut; cadangan minyak bumi 9 miliar barrel. Artinya, dengan produksi rata-rata sekarang 500 juta barrel per tahun, maka akan habis dalam 18 tahun. Cadangan gas alam, 182 TCF (triliun kaki kubik). Artinya, dengan produksi rata-rata 3 TCF per tahun, maka akan habis dalam 61 tahun. Cadangan batu bara 19,4 miliar ton. Artinya, dengan produksi rata-rata 150 juta ton per tahun, maka akan habis dalam 130 tahun.

Sedangkan menurut data statistik jumlah penduduk Indonesia tahun 2005, mencapai 218,868,791orang. Jika dengan asumsi pertumbuhan penduduk sebesar 1, 25 persen per tahun, maka pada 2010, jumlah penduduk diperkirakan mencapai lebih dari 230 juta orang. Dengan bertambahnya jumlah penduduk yang demikian besar, jumlah kebutuhan energi juga meningkat. Hal ini dapat mempercepat habisnya cadangan bahan bakar tersebut.

Selain itu, penggunaan energi fosil menghasilkan gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya. Gas-gas tersebut bakal menumpuk di lapisan atmosfer bumi. Dengan demikian, panas matahari yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar bumi, terhalang gas rumah kaca yang semakin meningkat jumlahnya. Akibatnya, suhu bumi meningkat, dan terjadilah efek rumah kaca.

Pihak pemerintah, akademisi dan pengamat energi, menyadari hal tersebut. Oleh sebab itu, sekarang ini, berbagai cara sedang dilakukan, untuk mengembangkan sumber energi lainnya. Energi tersebut dikenal dengan energi terbarukan atau reneweble energy. Yaitu, energi yang dihasilkan oleh sumber alam, baik hayati maupun non hayati yang dapat diperbaharui. Diantara sumber-sumber energi tersebut, energi matahari, angin, air dan beberapa sumber lainnya.

Tahun 2006, 18 persen konsumsi energi dunia berasal dari sumber energi terbarukan dengan rincian 13 persen energi bio massa tradisional, seperti kayu bakar. Pembangkit tenaga air 3 persen. Energi panas 1,2 persen. Teknologi modern, seperti energi angin, energi solar dan energi samudera, menyumbang 0.8 persen dari total energi yang digunakan.

Biodisel adalah bahan bakar motor diesel yang berupa ester alkil/alkil asam-asam lemak, biasanya ester metil yang dibuat dari minyak nabati, melalui proses trans atau esterifikasi. Beberapa tanaman yang dapat menghasilkan biodiesel diantaranya, tanaman jarak, randu, kelapa, kemiri dan yang cukup termasyur adalah kelapa sawit.

Menurut Fathan A. Rasyid, Kalbar memiliki cadangan material untuk energi sekitar 170 juta ton. Itu angka yang tercatat. Bisa saja angka itu bertambah, karena ditemukannya berbagai cadangan tambang lain, yang bisa dijadikan cadangan energi.

Sebagai gambaran, Kalbar memiliki cadangan energi 25 ton uranium. Uranium merupakan bahan untuk membuat bom atom. Uranium, bila diolah bisa menjadi bahan energi listrik. “Di Kalbar, bagus untuk energi listrik,” kata Fathan.

Menurutnya, berdasarkan riset yang sudah dilakukan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), teknologi untuk mengolah uranim menjadi energi listrik, harus menggunakan teknologi generasi keempat. Untuk menghasilkan energi listrik sebesar 1000 MW, dibutuhkan sekitar 5 ribu ton uranium. Karenanya, cadangan uranium di Kalbar, bisa dipakai selama 30 tahun.

Selain uranium, Kalbar juga memiliki berbagai produk pangan yang bisa diolah menjadi biodiesel. Ini merupakan jenis energi terbarukan. Ada jagung, kelapa sawit dan kelapa dalam.

Untuk menghasilkan energi biodiesel sekitar 3000 ton, dibutuhkan lahan sekitar 25 ribu ha. Pemda Kalbar, melalui instansi terkait, pernah melakukan percobaan membuat biodiesel dari kelapa dalam atau kopra. Namun, biasanya terlalu besar. Teknologinya dari Jerman.

“Potensi sudah ada, tinggal mengolahnya,” kata Fathan.

Untuk melakukan pengolahan, tentu saja butuh dana. Dana bisa diperoleh melalui APBN, APBD dan perbankan.

Sekarang ini, Pemda Kalbar memiliki kebijakan dan strategi pengembangan biodiesel dengan cara, mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Program jangka pendek dengan cara memenuhi program nasional untuk program Desa Mandiri. Kerja sama yang dilakukan dengan menggandeng semua pihak.

“Dalam masalah penyediaan energi terbarukan, pemerintah tidak bersikap main-main. Karena ini menyangkut Ipoleksosbudhankam,” kata Fathan.

Karenanya, dalam rangka memenuhi program itu, pemerintah melakukan berbagai kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan negara maju. Dengan cara itu, diharapkan, pada 2025, Kalbar bisa menjadi eksportir energi bagi kawasan lain.


Sawit, Riwayatmu Kini
Penanaman sawit secara besar-besaran di Kalbar, merupakan fenomena yang tak kunjung berhenti. Hal ini terkait dengan potensi energi terbarukan di Kalbar.

Dr. Oliver Pye, peneliti dari Bonn University, Jerman, sawit bukan alternatif yang baik sebagai salah satu bentuk energi terbarukan, yang bisa digunakan. Sawit menimbulkan banyak kerugian di masyarakat. Di Kalbar, banyak potensi energi terbarukan yang bisa digunakan. Seperti matahari, air, angin, dan sebagainya.

Menurut website Wikipedia, kelapa sawit merupakan salah satu tanaman dari bangsa palma. Habitat aslinya adalah daerah semak belukar. Sawit dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU - 15° LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90 persen.

Kelapa sawit banyak menghasilkan produk yang menguntungkan masyarakat. Seperti, minyak makan, margarin, sabun, kosmetik, industri farmasi, kawat dan industri baja.

Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah, harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin. Minyak inti menjadi bahan baku minyak alkohol dan industri kosmetika.

Masih pada situs yang sama, hadirnya perkebunan kelapa sawit, dimulai dari kedatangan Pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia pada 1848. Pada saat itu, kelapa sawit didatangkan Belanda ke Indonesia, untuk ditanam di beberapa wilayah di Indonesia. Seperti di Kebun Raya Bogor, Deli-Sumatera Utara, dan Aceh pada 1870-an.

Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 Ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran didirikan di Marihat, yang terkenal sebagai AVROS. Di Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor, menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang.

Dari data statistik Pusat Penelitian Kelapa Sawit, pada 2009, luas perkebunan sawit di Indonesia, sekitar 7.125.331 ha. Dengan rincian, luas area yang dimiliki rakyat sekitar 3.300.481 ha. Negara memiliki lahan sekitar 760.010 ha. Swasta sekitar 3.064.840 ha. Begitu besar luas area kepemilikan yang dimiliki negara, rakyat dan swasta, hingga tak heran apabila konflik seputar sawit, masih terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Kedatangan sawit di daerah tertentu, menuai pro dan kontra yang tidak terhindarkan. Ada sebagian masyarakat tidak bisa menerima perkebunan sawit dengan alasan, menghilangkan lahan mencari nafkah mereka. Juga dampak pencemaran lingkungan yang dapat merusak ekosistem. Ada juga yang menerima perkebunan sawit, karena sawit banyak mendatangkan pekerjaan bagi banyak orang.

Dari sebuah wawancara melalui telepon dengan Seteguh Toyiman, munculnya perkebunan sawit, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan, serta mendapat penghasilan yang lebih dari cukup dari sawit. Seperti, terjadi pada masyarakat di Desa Beringin Makmur II, Kecamatan Musi Rawas, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Sebagian besar dari penduduk di sana, menyediakan lahan mereka untuk perkebunan sawit, dan menyambut baik adanya perkebunan tersebut. Teguh punya lahan di sana.

Hampir 20.000 hektar lahan yang menjadi perkebunan sawit di bawah perusahaan PT. PP Lonsum (London Sumatera). Rata-rata pendapatan penduduk dari sawit. Penduduk yang mempunyai lahan perkebunan, maupun tenaga kerja yang bekerja di perkebunan tersebut. Bagi penduduk yang tidak punya lahan untuk dijadikan perkebunan sawit, mereka bisa bekerja sebagai buruh di perkebunan tersebut.

Sistem perkebunan sawit di Desa Beringin Makmur II, masih dikatakan saling menguntungkan antara pemilik kebun dengan perusahaan. Perkebunan dibuat oleh perusahaan, lalu diberikan lagi kepada penduduk untuk pengelolaannya. Bagi penduduk yang berminat mengolah lahan sawit tersebut, mereka dapat mengambil paket lahan yang ditawarkan perusahaan. Paket yang dikelola akan menjadi milik pengelola, dengan cara membayar kepada perusahaan setiap bulannya.

Satu paket lahan luasnya dua hektar tanah. Dengan ketentuan, penduduk akan memberikan hasil dari kebun 30 persen, untuk membayar hutang. Hutang terjadi karena pembelian lahan dari pihak perusahaan untuk pengelola, bibit, pupuk serta perawatan dilakukan oleh perusahaan.

Salah satu pengelola dan pemilik kebun, Seteguh Toyiman dalam suatu wawancara melalui telepon mengatakan, dalam jangka waktu tiga tahun, perkebunan tersebut menjadi milik pengelola. Sekarang pengelola sudah sah menjadi pemilik dari perkebunan sawit tersebut. Banyak dari perkebunan sawit telah menjadi hak milik warga. Mereka mengolahnya sendiri, memupuk, membersihkan dan memanen sendiri tanpa campur tangan perusahaan.

Sebanyak 70 persen hasil perkebunan menjadi milik yang punya lahan. Dalam jangka waktu tiga tahun, lahan tersebut akan menjadi milik pribadi pengelola. Perusahaan akan mengeluarkan sertifikat tanah tersebut, atas nama pengelola. Setelah paket tersebut menjadi milik pengelola kebun, buah yang dihasilakn dapat dijual dan dikelola oleh perusahaan PT. PP Lonsum.

Terdapat pembagian lahan di sana. Yang pertama, lahan inti merupakan perkebunan milik PT. PP Lonsum. Sedangkan perkebunan milik penduduk dinamakan lahan plasma. Penduduk di sana, sering menyebutnya sebagai “Kebun Rakyat”.

Sawit merupakan lahan rezeki bagi penduduk. Bagi yang tidak mempunyai paket, mereka juga dapat pekerjaan sebagai pekerja di perkenunan. Mereka bisa kerja sebagai pembersih, tukang pupuk, pemanen, serta pengangkut buah sawi, dengan upah yang berbeda antara pengerjaannya.

Untuk pengambilan buah dihargai dengan Rp 500 perjanyang (pertangkainya). Untuk pengangkutan buah dari kebun menuju jalan utama, Rp 500-1000 perbuah. Biaya penyewaan mobil truk pengangkut buah sawit dihargai dengan Rp 100 per kilogramnya. Sedangkan bongkar diupah dengan Rp 30.000 per mobil truk. Upah pembongkaran juga tergantung kondisi dari sawit tersebut. Jika buah sawit sudah mulai busuk, maka upah akan lebih tinggi dari standar upah, karena dengan kondisi tersebut akan lebih rumit pembongkarannya.

Sawit banyak menyerap tenaga kerja, apalagi yang sudah menjadi milik warga. Mereka memperkerjakan orang untuk memupuk, membersihkan lahan, memanen, mengangkut buah ke jalan utama, serta biaya transportasi. Setiap pekerjaan orangnya berbeda-beda. Begitu juga upah yang diberikan kepada pekerja.

Tingkat kesejahteraan sudah mulai terlihat. Banyak pemilik perkebunan sawit perekonomiannya membaik. Bahkan, ada yang sanggup pergi haji sampai tiga kali dari hasil sawit. Kalau dilihat dari segi fisik, bisa dilihat dengan rumah yang cukup bagus, kendaraan rata-rata menggunakan mobil. Dan yang paling membantu dengan adanya sawit, untuk membiayai sekolah anak ke jenjang lebih tinggi. Kalau tidak ada sawit, sangat sulit mendapatkan itu semua.

Walaupun dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk, sawit juga membawa konflik bagi penduduk dan pihak perusahaan. Konflik tersebut lebih disebabkan oleh tumpang tindihnya kepemilikan lahan. Banyak masyarakat yang menjual tanah mereka pada perusahaan. Setelah tanah tersebut terjual dan belum bisa dikelola perusahaan, tanah tersebut dijual kembali oleh pemilik tanah untuk kedua kalinya, kepada perusahaan yang sama.

Tidak hanya dari segi kesejahteraan masyarakat saja yang dimunculkan oleh sawit. Dampak negatif dari sawit tersebut terus bermunculannya konflik yang tidak berkesudahan, yang mengakibatkan ketegangan di berbagai daerah yang menolak dibukanya lahan perkebunan sawit. Masih banyak konflik yang belum terselesaikan. Bahkan, menjadi sengketa baik itu perusahaan dengan penduduk, maupun penduduk dengan penduduk.

Apa yang terjadi di Desa Beringin Makmur II bertolak belakang dengan permasalahan yang didatangkan perkebunan sawit di Kalbar, yang notabene masih banyak hutan yang belum tersentuh, kini mulai gundul dan diganti dengan perkebunan sawit. Sebagian masyarakat adat yang masih memegang teguh tradisi, tentu tidak begitu saja dapat menerima perkebunan sawit. Kehidupan mereka tergantung pada alam, mata pencaharian mereka bersumber dari hutan.

Tidak jarang bentrok antara penduduk dan perusahaan sering terjadi. Gesekan “peperangan” penentangan lahan terus bergulir di masyarakat adat. Penentangan tersebut berbagai bentuk. Misalnya, dilarangnya alat-alat berat masuk ke perkampungan, serta melalui meja hijau guna mempertahankan lahan mereka.

Data dari WALHI Kalbar, banyak cerita mengenai pertikaian warga dan sawit. Misalnya di Sanggau, Bengkayang, Manismata, Kabupaten Ketapang, dan lain sebagainya.

“Warga dan sawit sebenarnya tidak bermasalah, akan tetapi pembukaan perkebunan sawit itu yang kadang menjadi masalah,” kata Saban, Direktur WALHI Kalbar.

Ia memberikan contoh di Manismata, Ketapang. Petani sawit merasa rugi menjual kaplingan sawitnya. Pembukaan lahan perkebunan sawit, biasanya menggunakan cara-cara yang merugikan masyarakat. Seperti, pembakaran kebun karet secara sengaja. Padahal, kebun karet merupakan lahan mata pencaharian masyarakat.

Selain itu, adanya penggusuran kebun karet pada malam hari, dan keesokan harinya baru diadakan negosiasi dengan warga. Masih banyak cara yang dilakukan pihak perusahaan, untuk mengambil keuntungan dari masyarakat. Terutama permasalahan pembukaan lahan perkebunan sawit.

Sawit memang menguntungkan banyak pihak, tapi satu sisi juga merugikan beberapa pihak yang merasa dirugikan. Dari segi pengolahan, sawit menghasilkan banyak produk unggulan. Seperti Crude Palm Oil (CPO), pupuk, biodiesel, dan lain sebagainya. Dan dari semua itu lumayan menguntungkan, para pekerja sawit dan perusahaan yang bergerak di bidang itu. Hal ini terjadi karena, ketika produk-produk itu di ekspor, akan menghasilkan keuntungan bagi mereka.

Data Pusat Penelitian Kelapa Sawit, ekspor pada 2008 sebesar 14.470 (dalam 1000 T). Dengan keuntungan yang besar, tentunya semua orang ingin membuka usaha di bidang ini. Tekanan ekonomi yang besar, terkadang membuat manusia melupakan hati nuraninya. Oleh karena itu, tak heran ketika banyak permasalahan yang terjadi seputar pembukaan perkebunan Kelapa Sawit.

Hal ini yang sangat dirasakan petani sawit saat ini, dengan terpuruknya harga tandan buah segar (TBS), karena tidak tersedianya industri pengolahan dan turunan CPO dalam negeri, berdasarkan kebutuhan rakyat Indonesia.

Di Kalbar, selain kasus yang sudah dipaparkan di atas, ada beberapa kasus yang hingga saat ini, masih dikawal beberapa organisasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup seperti WALHI.

WALHI Kalbar sendiri telah melakukan investigasi di beberapa daerah, guna melihat sejauh mana perkebunan kelapa sawit menguntungkan atau merugikan masyarakat. Ada beberapa daerah yang memiliki permasalahan dengan perkebunan sawit. Seperti, daerah Manismata Kabupaten Ketapang, Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu, Sintang, Bengkayang, Sambas, Landak, Sekadau, dan Kabupaten Kubu Raya.

Permasalahannya bervariasi. Mulai dari penggusuran kebun karet yang akan digunakan menjadi kebun sawit. Pihak perusahaan tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat. Perkebunan sawit menyebabkan banjir. Warga keracunan, dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.

Untuk meminimalisir terjadinya konflik karena kelapa sawit, masih banyak hal yang bisa dilakukan. Misalnya, melakukan konsolidasi antara masyarakat, pemerintah dan swasta. Berbicara di satu meja, menyelesaikan permasalahan yang ada. Karena, apabila penyelesaian yang dilakukan masih menggunakan birokrasi formal seperti biasanya, permasalahan tersebut, tak akan kunjung selesai. Semua pihak ingin benar dan menang, tanpa ada yang mau mengalah, mencari jalan tengah. Oleh sebab itu, permasalahan menjadi panjang dan penyelesaian yang telah dilakukan menjadi tidak tuntas.

Direktur GEMAWAN, Laili Khairnur di Pontianak, mengatakan, sebagian besar pengelolaan sawit di Kalbar, berbasis pada eksploitasi, bukan pemanfaatan. “Perusahaan-perusahaan sawit tidak melihat dampak yang akan diakibatkan dari perkebunan sawit tersebut, mereka mengeksploitasi besar-besaran,” kata Laili.

Menurutnya, kalaupun masyarakat membuka lahan untuk perkebunan sawit, dalam skala kecil. Ia tidak bisa menampik, adanya masyarakat yang menjadikan perkebunan sawit sebagai lahan pencaharian mereka. Tetapi mesti dibedakan antara pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat, dengan pembukaan lahan yang dilakukan perusahaan sawit.

“Masyarakat membuka lahan tersebut dalam skala kecil, paling 10 hektar,” katanya menjelaskan.

Sedangkan skala perusahaan, perkebunan sawit dibutuhkan lahan yang sangat luas. Bahkan, perkebunan sawit telah merambah lahan gambut serta pegunungan. Semakin luas lahan yang digunakan untuk perkebunan sawit, semakin sempit lahan pertanian yang bisa ditanami karet dan tumbuhan lain, yang biasa ditanami masyarakat. Secara otomatis, lahan pertanian yang digunakan masyarakat, sedikit demi sedikit akan tergerus oleh kedatangan perkebunan sawit.

Tidak hanya dampak lingkungan dan lahan yang semakin mengecil untuk pertanian masyarakat, masalah sosial turut bermunculan dengan bertambahnya pertumbuhan perkebunan sawit. Masalah sosial juga muncul sebagai “pemanis” dari dampak tersebut. Misalnya, masalah tumpang tindih kepemilikan tanah, bahkan merambah kepermasalahan kekeluargaan.

Ada tumpang tindih kepemilikan tanah. Semua mengakui mempunyai surat tanah yang menjadi sengketa. Perusahaan mengatakan mempunyai sertifikat tanah tersebut. Masyarakat juga tidak mau mengalah, guna mempertahankan milik mereka dengan “menyodorkan” surat tanah dari pemerintah sebagai bukti kepemilikan.

“Tidak hanya konflik antar perusahaan dengan penduduk, masalah juga merembet kedalam keluarga,” kata Laili.

Ada keluarga yang tidak ingin menjual tanah ke perusahaan, dan ada keluarga yang ingin menjualnya. Tidak hanya itu, sawit juga mengakibatkan kecemburuan sosial antarkeluarga.

Laili mengatakan, pemerintah harus mempercayakan lahan perkebunan kepada masyarakat. Masyarakat mengelola perkebunan sawit yang telah ada. “Semua yang dilakukan pemerintah untuk rakyat, kenapa tidak mempercayakan masyarakat? Biarkan masyarakat yang mengelolanya, semua yang dilakukan oleh pemerintah demi kedaulatan rakyat juga,” kata Laili.

Selama ini, masyarakat hidup dengan usaha sendiri, untuk menghidupkan perekonomian mereka. Menjual maupun bertransaksi di pasar dilakukan sendiri, tanpa campur tangan pemerintah.

Pemerintah bisa mengatur perkembangan perkebunan sawit. Menghentikan ekspansi perkebunan sawit. Mengelola dan mengembangkan dengan benar yang sudah ada. Jika perkebunan sawit terus diperluas, lahan bagi masyarakat semakin sempit. Dengan penyempitan lahan tersebut, mengakibatkan penyempitan lahan rezeki bagi perempuan.

Perempuan di pedalaman sangat bergantung pada hutan. Hutan tempat mereka mencari obat, dan mencari bahan untuk berbagai kerajinan. Mereka sering menggunakan hutan untuk mencari rotan dan kulit kayu, untuk kerajinan.

Tidak hanya hutan tempat mereka mencari obat dan bahan kerajinan, limbah dari perkebunan, juga akan berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama perempuan. “Limbah dari bahan kimia yang digunakan untuk perkebunan, dapat berdampak pada kesehatan,” kata Laili.

Pencemaran sungai akibat bahan kimia, bisa berakibat fatal bagi pengguna sungai, terutama perempuan. Mereka yang sering menggunakan sungai, baik itu untuk mencuci maupun kebutuhan rumah tangga lainnya. Jika terlalu sering terkena bahan kimia, akan mengakibatkan penyakit kulit. Tidak hanya gatal-gatal pada kulit, tetapi yang lebih parah lagi akan menyebabkan kanker kulit.

Ia mengimbau kepada pemerintah, menghentikan perluasan perkebunan sawit, dan memaksimalkan yang sudah ada. Pemerintah mesti menghentikan ekspansi perkebunan sawit, dan maksimalkan sawit yang ada.

Yang paling penting adalah, memperhatikan nasib buruh. Upah yang diterima, dan memperjuangkan perekonomian masyarakat. Tujuannya, masyarakat bisa setara dan sejahtera.

Ia berharap, pemerintah memberikan tanah kepada masyarakat. “Biarkan mereka yang mengelola sebagai lahan pertanian yang bermanfaat, serta dapat mendongkrak perekonomian yang selama ini terpuruk,” kata Laili.


Melirik Energi Terbarukan
Penemuan sumber energi murah membuat dunia segera bergerak dengan cepat. Dunia berlomba untuk mendapatkan dan memproduksi energi secara murah dan massal. Energi menjadi kebutuhan paling mendasar setiap negara. Tak ada negara bisa dikatakan kuat, tanpa menguasai energi.

Pemanfaatan energi fosil berimbas pada meningkatnya jumlah gas rumah kaca (CO2). Gas ini mengubah cuaca dunia. Suhu udara di bumi terus naik. Berbagai fenomena alam, seperti, banjir, angin puyuh, dan lainnya, muncul sebagai akibat dari pemanasan global.

Data dari WALHI menyebutkan, pembakaran bahan bakar fosil untuk berbagai keperluan seperti transportasi, pembangkit listrik, rumah tangga, dan industri telah menambah jumlah CO2 di udara. Untuk setiap kWh listrik yang dibangkitkan, dihasilkan 830 g CO2, jika bahan bakar yang digunakan batu bara. Atau, 600 g CO2 jika bahan bakarnya minyak bumi. Atau, 400 g untuk bahan bakar gas bumi. Bahan bakar hayati menghasilkan 0 g CO2, karena CO2 yang dihasilkan, awalnya dari CO2 di udara.

Dengan pemenuhan dan kebutuhan energi terbarukan dari bahan bakar hayati, membuat pemerintah mengeluarkan berbagai izin untuk peruntukan dan pembukaan lahan.

Data Walhi menyebutkan, kerusakan lahan di Indonesia hingga 2000 mencapai 100 juta Ha. Jika lahan ini dapat dimanfaatkan, untuk menghasilkan biomass, maka akan dihasilkan energi sebesar 18 EJ per tahun. Kebutuhan energi Indonesia, dengan asumsi pemakaian energi per orang 36 GJ setiap tahun, sebesar 9 EJ setipa tahun. Setengah dari jumlah energi yang mampu dipasok oleh biomass, dari pemanfaatan lahan "rusak".

Salah satu sumber energi terbarukan adalah biomass. Yang merupakan sumber energi dari bahan baku hayati. Sumber ini berasal dari sampah organik, kotoran hewan, dan tumbuh-tumbuhan.

Dari 1 Ha tanaman, rata-rata mampu menghasilkan energi sebesar 180 GJ setiap tahun. Atau, 0.5 persen dari jumlah energi matahari yang diterima. Setiap hetktarnya dihasilkan 15 ton biomass per tahun. Setiap ton biomass menghasilkan 20 GJ. Karenanya, diperlukan 1300 Juta Ha lahan, untuk memenuhi kebutuhan energi dunia. Jumlah yang cukup banyak. Tetapi, melihat dari jumlah potensi lahan dunia, jumlah tersebut bisa dipenuhi.

Dr. Oliver Pye dari Bonn University, menyatakan bahwa perubahan iklim yang terjadi di dunia sekarang ini, membuat negara-negara di Uni Eropa, memberikan perhatian yang serius dalam permasalahan biofuel. Menurutnya, Eropa memiliki tanggung jawab besar mengenai permasalahan penggunaan biofuel di dunia.

“Perubahan iklim merupakan permasalahan yang serius dan memerlukan perhatian yang serius pula”, ujar Oliver.

Menurutnya, titik temu permasalahan ini adalah, Global Warming yang merupakan isu global dan sedang hangat. Juga memberi efek besar di setiap belahan dunia. Perubahan iklim ini, mengakibatkan kenaikan suhu di beberapa negara, Jepang, misalnya. Oleh karena itu, Uni Eropa juga memiliki peran penting dalam mengatasi permasalahan ini.

Menyikapi permasalahan ini, Oliver menyatakan, masyarakat Pontianak, khususnya dan Kalbar umumnya, harus sudah mulai menyadari arti penting menjaga lingkungan. Disamping itu, pemerintah juga mesti ambil bagian. Dalam hal ini, membuat sebuah kebijakan, guna mengatasi permasalahan ini. Terutama memberdayakan sumber daya alam (SDA) di Kalbar, menjadi energi baru bagi kehidupan.

Di Kalbar, sumber energi biodiesel yang banyak dikembangkan adalah sawit. Komoditas ini, sejak beberapa tahun terakhir, telah ditanam di atas lahan sekitar 430.000 Ha. Lahan itu tersebar di hampir semua kabupaten di Kalimantan Barat.

Budi daya komoditas sawit, nyatanya tidak sekadar berkaitan dengan pengadaan sumber energi terbarukan, untuk mememenuhi kebutuhan energi dunia. Namun, di lapangan banyak terjadi berbagai pro dan kontra di masyarakat, kalangan LSM dan kalangan adat, tentang perluasan lahan dan pembebasan lahan dari masyarakat. Di banyak tempat, perluasan areal perkebunan sawit, menyebabkan masalah sosial di masyarakat.

“Sawit bukan komoditas yang baik, untuk dikembangkan di Kalimantan Barat. Terutama untuk menghasilkan biodiesel,” kata Oliver.

Kalbar memiliki potensi besar mengembangkan sumber energi lain, yang dapat menghasilkan energi terbarukan. Namun, Oliver tidak menyebutkan komoditas apa yang dapat dikembangkan. Sebab, dia hanya meneliti tentang kontroversi yang terjadi di masyarakat, seputar sawit.

Fathan mengatakan, Kalbar sebenarnya memiliki banyak SDA yang bisa menjadi potensi energi. Tapi, pengelolaan dan pengembangannya masih dirasa kurang, karena tidak adanya tenaga profesional yang bisa mengolah itu. Apabila Kalbar telah bisa mengembangkan potensi itu, bisa dipastikan Kalbar dapat menjadi daerah exporting province.

Selain itu, pemerintah juga merencanakan Progam Desa Mandiri Energi. Desa tersebut bisa memenuhi kebutuhan energi dengan sumber daya di desa tersebut. “Desa Mandiri Energi menggunakan energi alternatif, dalam kehidupan sehari-hari,” kata Fathan.

Program Desa Mandiri Energi, dimana Pemerintah sudah mulai menemukan beberapa alternatif energi terbarukan. Misalnya energi panel surya, hidro air, jarak, dan lainnya. “Kami sudah pernah mencoba matahari dan air sebagai alternatif energi terbarukan. Misalnya, lampu-lampu 50 watt yang menggunakan energi matahari,” kata Fathan.

Selain itu, pabrik prototype kelapa sawit. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan modal besar, tenaga kerja, dan perencanaan yang matang.

Hal senada dilontarkan Kepala Pusat Studi Energi Untan, Dr. Eng. Ismail Yusuf. Menurutnya, energi alternatif bisa diterapkan di Kalbar, seperti tenaga matahari yang disebutnya Photovoltaic.

“Penggunaan strategi ini lebih bersih dan lebih ekonomis, apabila diterapkan di Kalbar,” kata Ismail.

Dia menyatakan, sinar matahari memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Alasannya, Kalbar berada di wilayah tropis dan dilewati garis khatulistiwa. Kondisi ini membuat Kalbar, menerima sinar matahari sepanjang tahun.

Panas matahari ini, dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi. Ismail mencontohkan beberapa negara yang telah berhasil mengembangkan energi tersebut. Diantaranya, Jepang dan Jerman. Dia telah mempelajari teknik pemanfaatan dan pengembangan energi tersebut.

“Insya Allah, energi tersebut tidak menyebabkan masalah sosial yang pelik di masyarakat,” kata Ismail.

Menurutnya, pengembangan energi ini, merupakan pemanfaatan energi yang berlimpah ruah. Sehingga, pemanfaatannya tidak akan merusak lingkungan, dan terhindar dari berbagai masalah sosial. Saat ini, dia dan timnya, memerlukan dukungan dari Pemerintah dan sedang mempelajari tekniknya dengan baik.

Segaris dengan Ismail, Fathan A. Rasyid mengungkapkan, pemerintah sudah mulai menemukan beberapa alternatif energi terbarukan.

“Kami sudah pernah mencoba matahari dan air sebagai alternatif energi terbarukan. Misalnya, lampu-lampu 50 watt yang menggunakan energi matahari,” kata Fathan.

Dekan Fakultas MIPA Untan, Dr. Thamrin Usman, DEA, lebih menekankan pada kekuatan potensi energi baru yang dimiliki Kalbar. Thamrin memberikan contoh penggunaan biodiesel sebagai alternatif energi dan bahan bakar.

Di Perancis, misalnya, transportasi umum sudah menggunakan biodiesel sebagai bahan bakar baru. “Kita sendiri, saat ini mulai mencoba mengembangkan alternatif energi yang baru, semoga nanti bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Thamrin.

Pemakaian biodiesel berpengaruh pada kualitas emisi yang dihasilkan. “Menggunakan biodiesel, membuat membuat mesin lebih gampang dan bersih,” kata Thamrin. Namun, yang menjadi persoalan adalah mengenai sumber bahan baku. Misalnya, kalau menggunakan sawit, apakah hasilnya lebih baik digunakan sebagai biodiesel atau bahan industri lainnya. Begitu juga kalau sumber bahannya adalah kelapa. Karenanya, dia menyarankan, bahan baku lain, misalnya buah jarak.

Yang juga menjadi pertanyaan adalah, mampukah energi terbarukan itu, muncul dari tangan para putra Kalbar sendiri?

“Biodisel potensinya ada. Tapi tak tergarap,” kata Thamrin.

Padahal, pembuatan energi biodisel sangat sederhana. Bahan untuk industyrinya, bisa dibeli di Bukaka. Selain itu, Institut Teknologi Bandung (ITB), juga merakitnya.

Alternatif energi terbarukan, merupakan prospek yang bagus untuk Kalbar kedepannya. Namun, untuk mewujudkan itu semua, diperlukan pengkajian yang dalam dan solusi yang nyata dari semua pihak.

Dr. Gusti Zakaria menyatakan, masalah energi terbarukan, pemerintah tidak fokus dan hanya bicara mengenai potensi saja. Menurutnya, sejak Orde lama, kebijakan pemerintah sudah memperformulasikan kebijakan itu.

Sikap pemerintah itu, tak lepas dari adanya sebuah tarik menarik kepentingan di pemerintahan. Sebab, pemakaian energi terbarukan, ada hubungannya dengan masalah politik.

“Ini adalah pilihan politik,” kata Fathan A. Rasyid.

Apakah pilihannya pada pembangunan energi desa. Untuk menanggulangi kemiskinan, salah satunya adalah memangkas kemiskinan di pedesaan. Tapi, energi tak hanya hayati, juga non hayati. Di pedalaman Kalbar, yang sedang dikembangkan adalah listrik masuk desa. Karenanya, harus ada konsistensi dalam melakukan ini.

Dalam masalah pembangunan, yang harus diperhatikan juga adalah, terkadang energi sudah ada. Tapi, penduduk belum siap menerima hal itu. ”Apa yang kita pikirkan, mereka butuhkan. Belum tentu yang mereka butuhkan,” kata Fathan.

Oliver dalam menanggapi masalah pembangunan yang dilakukan, masih terjadinya perdebatan dalam masalah bagaimana melakukan pembangunan. Seharusnya, hal yang harus juga dilakukan adalah, apakah pembangunan yang dilakukan tersebut, juga tidak merusak lingkungan.

Dalam masalah pemenuhan energi di Kalbar, pada akhirnya memang kembali pada niat baik dari pemerintah daerah, apakah punya niat untuk melakukannya. Sebab, di Kalbar, pemerintah harus melakukan intervensi.

”Daerah harus punya pilihan untuk membuat kebijakan. Pemerintah harus turut campur,” kata Thamrin, mengenai kebijakan pemerintah daerah yang harus diambil, dalam pemenuhan energi terbarukan.□


Edisi cetak ada di Borneo Tribune 5 April 2009.

Foto Muhlis Suhaeri dan Sugeng Hendratno

1 comment :

Desi Agustiani said...

mas...EJ dan GJ itu singkatan dari apa ya? dan artinya apa? mohon penjelasan...terima kasih