Saturday, May 24, 2008

“Fan Nyin” Bukan Setengah Manusia

Awal bulan ini saya mendapat kiriman dari anak saya di Yogyakarta 1 buah buku yang berjudul: “Orang Cina Khek dari Singkawang”, karangan Prof. Dr. Hari Poerwanto, Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, cetakkan tahun 2005.

Buku ini memang belum sempat saya baca secara keseluruhan, tetapi membaca secara sepintas, diantaranya pengantar Penerbit Komunitas Bambu (Edi Sudrajat) pada halaman VI bagian bawah terdapat beberapa kalimat yang mengusik perhatian saya, seperti dikutip di bawah ini:


“Sedangkan masyarakat Singkawang kadang menyebut suku bangsa bumiputra dengan istilah Fan Nyin, artinya setengah manusia atau barbar”. Sebagai putra daerah yang kebetulan dari suku Khek/Hakka, juga fasih, memahami betul dialeg Khek, saya merasa istilah ini sangat menyesatkan dan tidak etis karena dapat dikonotasikan memandang rendah terhadap martabat saudara kita bumiputra, serta menimbulkan kesalahpahaman yang berkelanjutan sampai ke generasi anak cucu kita.

Di zaman reformasi ini perlu adanya semangat keterbukaan dan saling mengenal serta memahami, maka saya merasa terpanggil dan berkewajiban berkomentar apa adanya berdasarkan fakta dan data yang kami ketahui. Karena tulisan Bapak Profesor Dr. Hari Poerwanto adalah buku yang “serius“ (dikerjakan selama 15 tahun ) yang tentu nantinya akan banyak dibaca dan dipakai sebagai referensi oleh generasi muda kita, jangan hanya karena ketidaktahuan/ketidakpahaman sesaat, akan merusak sendi-sendi persatuan kebangsaan kita di masa depan.

Penterjemahan kata “Fan Nyin” yang diterjemahkan artinya menjadi “Setengah Manusia” di editor buku tersebut, mengingatkan saya pada 1 dekade yang lalu, pernah seorang penulis lokal Kalbar menterjemahkan demikian juga. Pada waktu itu, saya tidak menanggapinya karena saya mendapat informasi bahwa penulis ini adalah “pendatang baru” di Kalbar, yang menulis berdasarkan pengamatan pribadinya.

Dan sekarang kembali saya membaca lagi istilah “Fan Nyin” = setengah manusia, dari buku ilmuwan yang Guru Bbesar Antropologi berpengalaman, sehingga membuat saya mau tidak mau memberanikan diri menginformasikan penterjemahan yang benar.

Untuk lebih jelasnya asal usul kata “Fan” ini, saya mengutip dari Kamus Mandarin
“Phiau Cun Kuok Ing Suek Sen Xi Tian” atau Kamus Standard Bahasa, Siswa Mandarin tahun 1952, dimana tulisan kata: “FAN” diartikan: di luar batas Negara Tiongkok, perbatasan. Sedangkan “NYIN“ diartikan sebagai manusia, komunitas orang, sehingga kata “Fan Nyin“ kalau diterjemahkan akan berarti: orang/komunitas asing, masyarakat yang berada di luar perbatasan Negara Tengah/Tiongkok.

Perlu diketahui zaman dahulu di Tiongkok (Negara Tengah), dinasti kekaisaran Cina saat itu menganggap Negaranya terletak di tengah, sebagai sentral, pusat semesta, sehingga menganngap suku bangsa yang di luar perbatasan negara tengah sebagai suku Fan.
Masa itu Kekaisaran di daratan Tiongkok menamai suku-suku di luar Tiongkok (Negara Tengah/China) berdasarkan letak geografis dari arah mata anginnya, sebagai berikut :
Di sebelah Timur Tiongkok disebut “Tung Ie”. Sebelah Barat Tiongkok disebut “Si Yung”. Sebelah Selatan Tiongkok disebut “Nan Man”. Dan, sebelah utara Tiongkok disebut “Pei Tik”.

Saya masih ingat ,semasa Perang Dunia II tahun 1941, kami komunitas peranakan Tionghoa di Singkawang sendiri juga disebut “Fan Nyin” yang artinya Orang/asing, orang di luar perbatasan Tiongkok.

Sedangkan saya anak kecil disebut “ Fan Tse” artinya, anak orang asing (Fan = orang asing/orang diluar Tiongkok/orang di luar Negara Tengah; Tse = anak).

Kalau orang Tiongkok yang merantau ke Selatan/ASEAN, masih disebut dengan “Ko Fan “ (Ko= merantau/melewati; Fan = Perbatasan Tiongkok). Dan bahkan sekarang kalau kami menikah pun masih disebut Kau Fan Pho (Kau = memperistri; Fan Pho = gadis di luar negara Tiongkok). Sehingga biarpun lelaki suku Khek menikah dengan gadis Tionghoa di sini, tetap di sebut Kau Pan Pho. Artinya menikah dengan gadis yang di luar Tiongkok.

Jadi sebutan “Fan Nyin” sama sekali tidak ada konotasi negatif apalagi menghina. Memang arti yang sebenarnya adalah orang luar/asing, orang di luar perbatasan, dan ini semua ada tercantum dalam kamus koleksi saya 1952 yang saya sebutkan tersebut di atas dan tentu saja di kamus kamus modern lainnya.

Dari pengalaman tumbuh dan bergaul bersama dengan teman-teman bumiputra saya semasa kecil, khususnya teman dari suku pesisir, terlihat ada yang sering melafalkan huruf F menjadi P. Jadi kemungkinan saja ada yang salah melafalkan kata Fan Nyin menjadi Pan Nyin. Padahal dalam dialeg Tionghoa beda intonasi saja beda arti. Apalagi salah melafalkan, ini sering saya alami dimana nama kecil saya A Fat tapi dipanggil A PAT. Hal ini kami anggap hanya salah pengucapan saja, tidak ada unsur kesengajaan.

Seperti masih juga sering kita temui orang orang tua Tionghoa yang susah membedakan untuk melafalkan huruf R dan huruf L.

Saya bukan seorang akademis, tetapi berprinsip belajar itu tidak ada batasnya, jadi kalau ingin memahami suatu hal/perkara, harus belajar/bertanya kepada sumber/literatur yang dapat dipertanggungjawabkan, paling tidak bisa kita perbandingkan dari beberapa sumber.

Saya hanyalah seorang pemerhati sosial dan budaya yang peduli dengan persatuan dan kerukunan anak bangsa, dan sadar tak ada gading yang tak retak, maka harus siap membuka diri untuk dikritik untuk memperkaya wawasan kita bersama.

Kiranya kedepan akan ada usaha usaha dari dunia akademis kita misalnya, Universitas Tanjungpura, Departemen Pendidikan Nasional, Balai kajian sejarah dll, untuk melakukan penelitian dan pengkajian atas keanekaragaman kultur budaya daerah kita yang majemuk.

Mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya, khususnya bagi yang senang dengan wawasan mengenai adat istiadat serta budaya daerah.

Salam Sejahtera.

X.F. ASALI
Jl. Sisingamangaraja Pontianak

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 24 Mei 2008
Foto Lukas B. Wijanarko

4 comments :

BORNEO PARADISE said...

Salam hangat buat Bung Mukhlis,

ada banyak miskomunikasi yang sengaja ataupun tidak dibiarkan berkembang menjadi opini di tengah masyarakat kita, sebagian lagi disampaikan dalam konteks bergurau yang setelah berpindah beberapa mulut akhirnya menjadi komoditi bicara yang diaggap serius.

kita semua yang menginginkan Bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang terus sebagai Bangsa yang menjunjung tinggi plurarisme / keberagaman wajib mengoreksi dan menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya demi menghindarkan terjadinya fitnah dan kesalahpahaman yang mendalam dan di wariskan kelak sebagai bibit perpecahan.

Saya 10 tahun yang lalu pernah marah / jengkel dengan seorang doktor yang baru menyelesaikan pendidikan dari Australia, beliau adalah tokoh masyarakat Kalbar dan sebenarnya merupakan tokoh yang humanis serta mendukung keberagaman, namun dengan keterbatasan pengetahuan beliau bicara dalam forum resmi yang akhirnya menghasilkan silang pendapat dan menghasilkan fitnah.

selain mengungkapkan istilah "fan ying" yang diartinykannya sebagai "setengah manusia juga menyampaikan bahwa kata "la ci" (sebutan dalam bahasa Khek untuk Suku Dayak) artinya sama dengan laci tempat uang / barang di meja, yang artinya orang Tionghoa menganggap Suku Dayak hanya sebagai alas laci alias hanya alas atau kotak di meja untuk menyimpan uang atau barang, hal ini disampaikan dalam sebuah seminar resmi yang di hadiri banyak pihak, dengan predikat Doktor yang di sandangnya hal ini akan menjadi referensi yang mudah di anggap benar oleh berbagai pihak yang hadir di ruangan saat itu termasuk rekan media peliput tentunya.

oleh sebab itu saya merasa berkepentingan untuk menjelaskan dan saya sampaikan begini :

Kata "La Ci" dalam bahasa Khek itu artinya ya Suku Dayak, tidak ada maksud lain dan tidak merupakan kata yang sama dengan kata "laci" dalam bahasa Indonesia yang artinya kotak penyimpan barang di meja. itu terdiri dari dua suku kata "La" dan "Ci" beda dengan "laci" yang satu suku kata dalam bahasa Indonesia.

perlu di ketahui dalam kebiasaan Tionghoa, huruf "D" sering di lafalkan sebagai huruf "L" misalnya "Durian" dilafalkan sebagai "Liulian" ; "dekat bunyinya jadi "Lekat" istilahnya pelat dalam melafalkan huruf "D" sehingga kata "Dayak" yang di pakai "Da" nya maka bunyinya "La" ditambah dengan kata "Ci" yang artinya anak atau suku / puak maka kedengaranya menjadi "La Ci".

pada kesempatan itu saya sampaikan agar beliau jangan asal kutif atau meyampaikan sesuatu yang belum tentu benar sebagai sebuah informasi kepada publik, sebab hal ini akan membuat hubungan yang baik yang selama ini terjalin baik menjadi berkurang kualitasnya hanya karna beliau ingin tampil hebat dan tampak penuh dengan pengetahuan tentang sosiologis suku di Kalbar, namun akibatnya menyusahkan banyak pihak.

saya kira teman teman di Media juga harus sudah mulai membangun wawasan agar dalam menjalankan tugas jurnalistiknya tidak terjebak dalam ketidaktahuan dan akhirnya turut menyebarkan fitnah tak terencana ....

Salam Hangat,

Andreas Acui Simanjaya

Sinar Tabagsel said...

Terima kasih atas tambahan pengetahuan yang luar biasa ini. Saya sudah membaca buku tersebut dan kini menjadi lebih kaya dengan uraian ini.

Unknown said...

Terima kasih

Unknown said...

fan pho nyin wa apa ya