Sunday, May 4, 2008

Jangan Biarkan Kemerdekaan Pers Terampas

*Heru Hendratmoko Eko Maryadi (Item)
Ketua Umum Koordinator Divisi Advokasi AJI

Borneo Tribune, Jakarta

"Ketika jurnalis dipenjarakan, hak informasi publik dipidana, perempuan dan pemeluk agama dilecehkan, maka tunggulah hari-hari kegelapan itu.."

3 Mei 2008, masyarakat pers di dunia memperingati Hari Kebebasan Pers atau World Press Freedom Day. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengingatkan kekerasan terhadap pers dan ancaman kriminalisasi dapat mengancam kebebasan pers dan hak informasi publik secara luas.

Sejak Mei 2007 sampai Mei 2008 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menghimpun 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk. Dalam periode itu terjadi 7 kasus ancaman, 5 kasus pelecehan, 7 kasus pengusiran, 3 kasus pemenjaraan, 4 kasus sensor berita, 21 kasus serangan fisik, dan 8 kasus tuntutan hukum.


Berdasarkan sebaran wilayah, kekerasan paling banyak terjadi di propinsi DKI Jakarta (13 kasus), Jawa Timur dan Madura (11 kasus), serta Jawa Barat dan Depok (8 kasus). Dari segi pelaku kekerasan terhadap pers dan jurnalis yang terbanyak ialah massa dan preman, aparat pemerintah, dan aparat TNI/Polri.

Contoh : Dua wartawan TV dan seorang jurnalis radio babak belur dikeroyok massa di alun-alun Bojonegoro karena kecewa dengan pemberitaan pers (30/4). Sebelumnya (2/4) dua wartawan TV-One yang sedang bertugas dianiaya oknum Angkatan Laut yang "berdinas" di kawasan bisnis Cikarang, Bekasi. Di NTT, secara berturut-turut wartawan Expo NTT disiksa Sekretaris Daerah Ende (16/2), dan wartawan Pos Kupang dikeroyok oleh 4 orang preman terkait pemberitaan (17/2).

Kekerasan Non-Fisik
Di luar kekerasan langsung bersifat fisik, kebebasan pers di tanah air terancam oleh segelintir orang yang menggunakan kekuasaan uang atau jabatannya. Pada September 2007, wartawan Tempo, Metta Darmasaputra yang melakukan investigasi dugaan penggelapan pajak oleh PT Asian Agri milik taipan Sukanto Tanoto, justru disadap dan diancam dipidanakan oleh aparat Kepolisian Metro Jaya. Fakta ini menunjukkan bahwa jurnalis dan yang menjalankan fungsi kontrol sosialnya dengan benar lebih sering mengalami ancaman dan bahaya.

Kekerasan tidak langsung juga dilakukan oleh aparatur penegak hukum dari Kejaksaan sampai Mahkamah Agung. Sederet kasus penuntutan, pelarangan terbit dan penghukuman oleh pengadilan terjadi sepanjang Mei 2007-Mei 2008. Risang Bima Wiyaja (Radar Yogya), Dahri Uhum (Tabloid Oposisi-Medan), Majalah Time (Asia), dan Edy Sumarsono (Tabloid Investigasi-Jakarta) adalah sederet nama yang dipaksa menjalani tuntutan dan putusan pemidanaan akibat pemberitaan pers. Mereka adalah korban kriminalisasi oleh negara justru pada saat Indonesia telah memiliki Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang "bersifat" lex spesialis.

Yang terbaru, negara seolah menyatakan keinginannya untuk kembali mengontrol kehidupan publik dan pers melalui peraturan Undang Undang (UU) yang berpotensi menghambat dan mengkriminalkan pers. Sebut saja UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Keterbukaan Informasi Publik, RUU Pemilu, dan RUU KUHP yang didalamnya mengandung ancaman penjara dan denda bagi khususnya pers dan publik, yang melanggar aturan tersebut. Padahal menghadapi pasal pencemaran nama baik (310, 311, 207 KUHP) sudah banyak pers menjadi korban. Jika situasi ini dibiarkan bukan tidak mungkin Indonesia kembali ke zaman dimana pers dan rakyatnya bisa dipidanakan oleh penguasa atas nama kerahasiaan atau nama baik yang tercemar.

Menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day) 3 Mei 2008, AJI menyatakan keprihatinan mendalam atas terjadinya berbagai tindak kekerasan terhadap pers. Situasi ini menggambarkan merosotnya penghargaan publik terhadap pers dan belum optimalnya kesadaran aparat pemerintah tentang peran dan fungsi pers yang sesungguhnya. AJI Indonesia kembali mengingatkan bahwa kebebasan pers dijamin dalam Konstitusi dan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Dengan ini Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan, pertama, meminta aparat penegak hukum tidak lagi melakukan pemidanaan terhadap karya jurnalistiknya dan ikut membantu menghentikan terjadinya tindak kekerasan terhadap pers dan jurnalis.

Kedua, mengajak semua pihak untuk menggunakan mekanisme yang telah disediakan oleh UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers apabila menghadapi sengketa karya jurnalistik, yakni menggunakan hak jawab, hak koreksi, dan mengadu kepada Dewan Pers.

Ketiga, mengajak setiap jurnalis agar meningkatkan profesionalisme dan kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik, menjauhi praktek-praktek tidak terpuji yang menjatuhkan citra pers dan jurnalis secara umum. Mari satukan langkah menghadapi ancaman kebebasan pers yang makin
nyata.(Rilis AJI)□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 4 Mei 2008.
Bersama Wendy Bacon di pelatihan PPMN. Foto Doks PPMN

No comments :