Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Bastiar terlihat gelisah. Gaji yang diterimanya, pas untuk hidup. Barang kebutuhan mahal karena didatangkan dari negara tetangga, Malaysia. Begitu juga dengan biaya transportasi. Sebagian besar daerah perbatasan sulit ditembus. Infrastruktur jalan, jembatan dan berbagai fasilitas publik, minim sekali.
Ia tinggal di Dusun Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau. Tempat tinggalnya sekitar 3 km dari perbatasan atau Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB). Entikong berjarak sekitar 312, 4 km dari Pontianak ke arah timur.
Sudah 22 tahun, ia mengajar di sebuah SD di Entikong. Selain menjadi guru, ia juga aktif di berbagai organisasi. Ia aktif di Pemuda Panca Marga (PPM). Jabatannya, Asisten 1 Resimen Yudha Putra. Kelompok Informasi Masyarakat Perbatasan (Kimtas). Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FPKM).
Berbagai organisasi itu, bertujuan memupuk rasa cinta tanah air dan semangat kebangsaan. Pembangunan mental dilakukan, karena kehidupan di sana, serba kekurangan. Sebagai bangsa, jadi tidak percaya dengan jati diri, karena tidak percaya dengan diri sendiri.
Semua organisasi yang ada, tak dapat dana dari pusat. Padahal, jumlah anggotanya sekitar seribuan orang. Untuk membuat baju atau sesuatu yang bisa membuat anggotanya bangga, tak ada dana. Pada akhirnya, organisasi kurang berkembang, karena tak ada dana operasional.
Bahtiar berharap, pemerintah pusat memberikan dana pembinaan bagi organisasi. Bila pembinaan tak dilakukan, jangan salahkan bila ada juga sebagian anak sekolah, atau masyarakat tak bisa menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia. Pasalnya, mereka merasa tak diperhatikan pemerintah pusat atau Indonesia.
Selama ini, pemerintah dianggap tidak memberikan perhatian serius dalam menangani masalah perbatasan. Sangking kesalnya, masyarakat di sepanjang perbatasan, punya slogan sendiri terhadap masalah itu. “Barangkali hanya malaikat saja yang bisa menurunkan status payung hukum perbatasan.”
Ironis memang. Padahal, perbatasan adalah beranda depan dari suatu negara.
Berbicara mengenai perbatasan, Indonesia memiliki batas darat dan laut dengan negara tetangga. Wilayah darat dengan empat negara. Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Ketiganya punya karakteristik sendiri. Perbatasan di Papua dan Papua Nugini, perbatasannya tidak dibangun dengan baik, karena sama-sama dibiarkan. Di NTT, perbatasan yang ada di sana malah ditutup, untuk menghindari masuknya pengungsi dari Timor Leste. Di Kaltim dan Sabah, Malaysia Timur, masalah perbatasan tidak dibangun karena keduanya sama-sama kaya. Di Kalbar agak beda.
Sekarang ini, ada beberapa tempat di Kalbar yang langsung berbatasan dengan Malaysia. Entikong di Kabupaten Sanggau. Nanga Badau di Kabuapaten Kapuas Hulu. Paloh dan Aruk di Kabupaten Sambas. Jagoi Babang di Kabupaten Bengkayang. Dan, Senaning di Kabupaten Sintang.
Hanya di Entikong yang sudah dibuka resmi atau terdapat PPLB. Lainnya masih belum dibuka, dan masih berupa Pos Lintas Batas (PLB). Pembukaan masalah lintas batas, harus ada kesepakatan dari kedua belah negara berdaulat.
Pembangunan masalah perbatasan, hingga sekarang juga belum ada payung hukumnya. Padahal, sudah dua kali Presiden SBY datang ke Kalbar, dan berjanji menyelesaikan masalah ini, tapi belum terealisasi.
Pemerintah Sarawak, Malaysia, memberikan perhatian yang luar biasa dalam membangun masalah perbatasan. Tak heran, Serawak menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Bahkan, Perdana Menteri Badawi telah meresmikan beberapa pusat industri di Serawak.
Dalam suatu seminar tentang perbatasan, Darmakusuma dari Lembaga Ketahanan Nasional RI berpendapat, pembangunan berbagai pusat industri ini, kalau Indonesia tak bersikap hati-hati, semua potensi yang ada akan tersedot ke sana.
Hal itu bisa ditunjukkan dengan berbagai produk mentah dari Kalbar. Seperti, Aloe Vera atau lidah buaya, dan produk kerajinan lainnya. Produk itu dibawa dari Kalbar, sesampai di Malaysia diberi label dan dipasarkan lagi sebagai produk mereka. Contohnya, produk bidai atau tikar dari Bengkayang. Kini, bidai dipasarkan ke berbagai wilayah di Indonesia, Singapura, Australia, Hongkong dan lainnya.
Begitu juga dengan masalah informasi. Informasi dari TV, radio, koran di Indonesia, sulit diterima. Sementara itu, informasi dari Malaysia lebih mudah diterima.
Stanley Adi Prasetyo dalam suatu seminar masalah perbatasan mengatakan, kalau mau sejahtera, pemerintah harus melakukan pembangunan Indek Prestasi Manusia (IPM) di daerah perbatasan. “Kalau tidak bisa lebih tinggi dari Malaysia, minimal setara,” kata Stanley.
Menurutnya, dari berbagai data didunia ditemukan adanya hubungan yang berbanding lurus, antara kesejahteraan dengan kemampuan memperoleh informasi. Semakin tinggi kemampuan memperoleh informasi suatu masyarakat, kian sejahtera masyarakat tersebut.
Pembangunan infrastruktur di perbatasan juga kurang. Pembangunan jalan, jembatan, fasilitas publik sangat minim. Sehingga masyarakat sulit melakukan mobilisasi atau beraktivitas. “Dibanding dengan Malaysia, pembangunan di sepanjang perbatasan sangat beda jauh. Indonesia jauh tertinggal,” kata Bastiar.
Barang dari Indonesia sulit diterima dan mahal harganya. Sementara barang dari Malaysia murah dan lebih mudah didapat. Kehidupan masyarakat sekitar perbatasan sangat tergantung dengan barang dari Malaysia. Namun, untuk memperoleh barang itu, dipersulit para oknum aparat dengan berbagai pungutan.
Masalah pendidikan dan kesehatan juga masih tertinggal. Masalah pendidikan masih jauh, terutama dari segi anggaran. Dari segi gaji, di Indonesia sekitar Rp 1,5 juta, untuk golongan kelas III, seperti dirinya. Di Malaysia 5.000 ringgit atau sekitar Rp 15 juta.
Menurutnya, UMR di perbatasan seharusnya lebih besar dari UMR Provinsi, karena biaya hidup besar di perbatasan. Saat ini, UMR di Kalbar Rp 23.500 perhari.
“Mohon perhatian dari pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana, berupa gaji tambahan, karena harga barang tinggi dan transportasi sulit sehingga membuat mahal,” kata Bastiar.
Ia berharap, managemen di PPLB dibenahi. Kebijakan untuk masyarakat perbatasan, kalau bisa sedikit dipermudah, ujarnya.
Pemerintah ketika melakukan pembangunan, hendaknya juga dilihat berdasarkan budaya masyarakat setempat. Misalnya, pembangunan pasar mewah di dekat PPLB. Pembangunan pasar mewah hanya berjarak sekian meter dari garis netral. Pembangunan itu diharapkan, supaya orang Malaysia bisa belanja di sana. “Namun, karena sifat petugas, membuat pasar itu jarang didatangi,” kata Bastiar. Berbeda dengan Malaysia yang membangun pasar dengan jarak 100 meter dari garis netral. Orang Indonesia lebih leluasa belanja di sana, karena tak terkena berbagai pungutan.
Ia berharap, pembangunan perbatasan harus dipercepat. Caranya, membuka lapangan kerja, agar warga tak lari ke Malaysia.
Ia mengungkapkan, isu Askar Wataniyah benar saja adanya, karena pemerintah Indonesia tidak bisa bersaing dalam memberikan lapangan kerja dan menggaji warganya. Hal itu terjadi, karena pembangunan tidak terpenuhi. Menurutnya, di Entikong tak ada warga bergabung sebagai anggota Askar Wataniah.
Karena itu, hal yang selalu dilakukan di daerah perbatasan, selain membangun dan memberikan lapangan kerja, pemerintah harus mengembangkan bela negara. Sosialisasi tentang wawasan Nusantara. Caranya, dengan memberikan berbagai ceramah, diskusi dan pelajaran di berbagai sekolah atau organisasi kemasyarakatan. Misalnya, karang taruna.
Satu lagi masalah di perbatasan yang selalu terjadi adalah, adanya kecurigaan pihak keamanan Indonesia, terhadap penduduk sendiri. Hal itu dilakukan karena ingin mendapatkan keuntungan untuk diri sendiri. Pihak keamanan yang bertugas di sepanjang jalan menghentikan kendaraan, lalu memeriksa dan minta uang. Terutama mobil barang dari Indonesia.
Hal sama juga dialami Alvonsus Maria. Ketika itu, ia berangkat dengan mobil pribadi dari Entikong ke Pontianak. Dari Entikong hingga Simpang Tanjung, mobil dihentikan beberapa kali di “Pos”. Mobil bisa berangkat lagi, setelah menyetor upeti.
“Seharusnya pemerintah mensterilkan wilayah perbatasan dari berbagai oknum yang ingin mencari keuntungan untuk dirinya sendiri,” kata Bastiar.
Humas Polda Kalbar, AKBP Suhadi SW, saat dikonfirmasi menjelaskan bahwa selama ini laporannya tidak ada. “Mungkin kalau ada korban melapor, polisi akan melakukan langkah-langkah antisipasi dan tindakan hukum,” kata Suhadi, ”dan bila satuan setempat tidak mampu menangani, maka satuan atas akan memberikan back up yang sifatnya sementara.”
Itulah nasib manusia perbatasan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 23 Mei 2008
Foto Agustinus
Friday, May 23, 2008
Kabar Dari Perbatasan
Posted by Muhlis Suhaeri at 7:47 AM
Labels: Perbatasan
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment