Sunday, August 5, 2007

Apa Kata Mereka Tentang MK

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune

Senin (23/7), sebuah berita dari Mahkamah Konstitusi (MK) terdengar. MK memberikan keputusan tentang dibolehkannya calon perseorangan (CP) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). MK merupakan satu-satunya lembaga yang bisa membatalkan Pasal-pasal dan Undang-undang keseluruhan.

Berbagai tanggapan muncul. Ada yang menyambut gembira. Khawatir. Skeptis. Tak sedikit juga yang bingung, karena mekanismenya dianggap belum begitu jelas.

Faisal Riza, Sekretaris Wilayah Jari Borneo Barat, Faisal Riza, ketika ditemui Andry dari Borneo Tribune mengungkapkan, “Kita menyambut baik keputusan MK tentang calon independen.” Meski begitu, ia memandang, cara pandang masyarakat masih bersifat pragmatis. Artinya, tak adanya figur yang merakyat dengan berbagai program yang jelas, membuat kesadaran politik warga gampang terbeli dengan uang.


Selain itu, persoalan mendasar mengenai peraturan yang belum ada, sebagai satu kesatuan dari lahirnya keputusan MK. Seperti, Perpu. Menurutnya, harus ada kebijakan dan niat dari KPU Pusat, segera merespon keputusan MK. “Jadi, KPU tidak perlu takut dan ragu, untuk mengeluarkan regulasi teknis mengenai hal itu,” kata Riza. Sebetulnya, untuk membuat Perpu, satu hari peraturan ini bisa selesai. Tak ada yang susah. Namun, permasalahan ini muncul dan sulit dilaksanakan, karena ada tarik menarik kepentingan elit politik yang di pusat, kata Riza.

Harry Tri Yoga, anggota DPRD Kalbar, dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), kepada Andry menyatakan, keluarnya keputusan MK harus dilihat dari dua sisi. Sisi positif dan negatif. Positifnya, seorang calon bisa ikut Pilkada, tanpa dorongan dari partai politik. Dengan syarat, sang calon harus mengikuti minimal aturan yang dikembangkan, seperti pada pemilihan DPD. Negatifnya, banyak muncul para calon dalam Pilkada. Hal ini bisa saja menambah simpang siur pelaksanaan pilkada.

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (DPW PKB) Kalbar, Syarif Abdullah Alkadrie dalam wawancara dengan Hairul Mikraj menilai, keputusan MK meloloskan uji materiil terhadap UU No. 32/2004, terkait calon independen harus jelas batasannya. Terutama syarat dukungan bagi calon kepala daerah.

Abdullah menyoroti putusan pembatalan sejumlah pasal pada UU No. 32/2004 salah satunya didasarkan pada fenomena calon independen dalam pilkada Nangroe Aceh Darussalam (NAD). “Aceh itu beda, mereka daerah istimewa dengan Undang-undang sendiri tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya,” kata Abdullah. Ia menilai, MK sudah melewati ranah kewenangannya.

Lalu, bagaimana keputusan MK bagi partai politik?

Partai politik kini perlu melakukan koreksi kepada kinerjanya. “Parpol penting, tetapi ada kelemahan, sehingga muncul calon independen. Selain itu juga ada adanya keinginan persamaan dengan Aceh dalam hal calon independen,” kata profesor Muladi, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), dalam berita Kompas, Jum’at (3/8).

Zulfadhli, Ketua DPD Golkar kepada Budi Rahman menyatakan putusan MK, tidak menganggap sebagai ancaman bagi eksistensi partai politik. “Pasti mempengaruhi partai, tapi tidak sampai mengancam,” ujar Zulfadhli.

Menurutnya, putusan MK merupakan jawaban dari tuntutan masyarakat. Yang merindukan hak politik mereka terpenuhi. “Putusan itu sudah final. Saya menyambut baik keputusan ini. Sebab, tuntutan masyarakat selama ini terhadap hak politik mereka,” kata Zulfadhli. Namun, ia memprediksi penerapan putusan MK untuk Pilkada Kalbar, masih harus menunggu waktu, karena harus menunggu perubahan Undang-Undang Nomor 32 dulu, kata Zulfadhli.

Bagi Buchary Abdurrachman, Putusan MK tidak terlalu terpengaruh bagi dirinya. Tanpa putusan MK sekalipun, Buchary optimis masih bisa maju maju pada pilkada Nopember, mendatang. “Itu kan baru disahkan oleh MK. Masih perlu PP, Perpu dan penyempurnaan lainnya,” ujar Buchary.

Kandidat lain, Usman Ja’far tak terlalu risau dengan putusan MK. Meski putusan itu berpotensi memperbanyak saingan dan membelah dukungan warga pada dirinya. “Ya, itu kan proses pengembangan demokrasi. Dan itu baik untuk bangsa. Memang harus ada pengembangan untuk perbaikan kehidupan politik kita,” kata Usman, pada Budi Rahman.

Respon positif terhadap putusan MK, muncul dari Barnabas Simin. Ia mengaku cukup gembira dan menyambut baik putusan MK. “Ini sebuah kemajuan pemahaman demokrasi kita,” ujar Komisaris PTPN XIII, ini. Menurutnya, keputusan MK memberi peluang bagi dirinya, terus melangkah pada Pilkada nanti. Ia berpikir, hal itu menjadi peluang bagi dirinya dan semua orang.

Bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Kalbar, pilkada gubernur pada November merupakan pengalaman baru pemilihan secara langsung. Keputusan MK, membawa dampak bagi tersendiri. Ketika ditemui oleh Maulisa dan Arthurio di kantornya, Aida Mochtar, mengatakan bahwa keputusan MK, patut direspon. Pihak KPUD Kalbar akan menunggu terlebih dahulu, hasil revisi dari UU Nomor 32 Tahun 2004.

Jika UU Nomor 32 belum direvisi dan terbit pada saat, atau mendekati pemilihan gubernur berlangsung, maka KPUD tidak bisa mengakomodir keputusan MK. Ia menegaskan alasannya, dengan waktu relatif singkat, verifikasi sulit dilakukan. Jika calon independen diloloskan maka pihak KPUD membutuhkan waktu yang lebih untuk pelaksanaan pemilihan calon gubernur mendatang.

Adanya putusan MK mengenai calon independen, harus menunggu syarat dan prosedur pencalonan. Artinya, calon independen bukan hanya satu yang mencalonkan diri. Bisa saja enam bahkan sepuluh. Oleh karena itu, adanya putusan MK tentang calon ndependen akan berdampak pada jumlah calon, surat suara, jumlah pendudukung dan sebagainya.

Selain itu, pihak KPUD juga membutuhkan waktu untuk melakukan verifikasi setiap calon anggota. “Tidak mungkin dalam waktu singkat kita memverifikasi calon gubernur, karena KPUD Kalbar tidak bisa merubah peraturan yang sudah disusun. Hal ini berkaitan dengan prosedur dan syarat yang hingga hari ini belum kita ketahui,” kata Aida.

Aida menegaskan, pihaknya menunggu hasil revisi keputusan MK mengenai prosedur dan syarat pencalonan. Namun di lain pihak, bila hasil revisi dikeluarkan sebelum tanggal 01 Agustus sudah terbit, pihaknya akan mengakomodir keinginan tersebut. Sepanjang sudah jelas peraturan pelaksanaannya, akan diakomodir.

Hefni Supardi, Ketua KPU Kota Pontianak, mengatakan, implikasi dari keputusan MK, pilkada pada november berpotensi besar akan berlangsung dua putaran. Hal ini membuat biaya anggaran menjadi besar. Menurutnya, hal penting yamg perlu diketahui dalam masalah pilkada, bahwa sejak terbitnya UU Nomor 27 Tahun 2007, pengaturan pilkada sudah bukan kewenangan pemerintah dengan pengaturan lewat PP. Tetapi merupakan kewenangan KPU, dengan pengaturan yang dikeluarkan KPU Pusat. Pemerintah hanya berwenang mengatur dari aspek anggaran dan kepegawaian. Dalam hal ini pengaturan terhadap PNS yang ditempatkan di KPU.

“Saya kira KPU Pusat pun dapat segera mengeluarkan peraturan tata cara pencalonan, mengingat KPU sudah berpengalaman mengatur calon perseorangan DPD pada Pemilu 2004,” kata Hefni.

Untuk menghindari kekosongan hukum (rechsvacuum), sebelum pembentuk undang-undang mengatur syarat dukungan bagi calon perseorangan, KPU Pusat berdasarkan pasal 8 ayat 3 huruf a dan huruf f UU No 22 tahun 2007, tentang penyelenggara pemilu. Selayaknya, mengadakan pengaturan atau regulasi dalam rangka menyusun dan menetapkan tata cara penyelenggara pilkada gubernur di Kalbar. Menurutnya, tidak perlu menunggu Perpu dan PP. “Yang kita perlukan adalah, peraturan yang dikeluaran KPU Nasional,” tegasnya.

Proses Pilkada merupakan sebuah manajemen konflik. Bagaimana konflik dilembagakan dengan baik. Bisa memilih pemimpin dengan baik, tetapi jangan menimbulkan konflik. Kalau KPU malah menimbulkan konflik, maka KPU sebagai lembaga yang memanajemen konflik, gagal melaksana tugas, kata Hefni.

Akil Mochtar, anggota Komisi III DPR RI, yang mengurusi masalah hukum dan perundang-undangan mengemukakan pendapatnya tentang keputusan MK. “Keputusan MK, final and binding. Mengikat sejak peraturan itu diucapkan,” kata Akil.

Menurutnya, paska keputusan MK, KPU Pusat, sesuai UU No 22 Tahun 2007, Pasal 8 A dan F, harus segera mengeluarkan putusan yang berkenaan dengan calon perseorangan. KPU harus merujuk pada UU Pemerintahan Aceh, karena DPR belum membuat UU-nya.

Menurut Akil, perpu sebenarnya hanya mengatur syarat sebagai calon. Syarat umum lainnya, sudah ada di UU Nomor 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah. Pada pasal 58 UU Nomor 32 berbunyi, syarat untuk calon Kepala Daerah dan Wakil adalah warga negara RI yang memenuhi berbagai syarat.

Ada 16 syarat. Diantaranya, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan terakhir tidak sedang berstatus sebagai kepala daerah. Pada pasal 59, ayat 1 dan 2, persyaratan peserta pilkada. Pada pasal 59 huruf 3, menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.

Sekarang ini, karena belum ada peraturan yang mengatur calon perseorangan. Satu-satunya yang mengatur calon perseorangan, ada di dalam UU Pemerintahan Aceh. Itulah hukum positif yang berlaku. Tapi, berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2007, partai sebagai regulator Pemilu. Maka, KPU-lah yang bergerak mengajukan peraturan tersebut.

Menurutnya, penolakan terhadap keputusan MK, berarti mencederai demokrasi. “Jadi, janganlah pemerintah jalan sendiri. DPR jalan sendiri. Rakyat jalan sendiri. Jangan semua mengemukakan pendapatnya sendiri-sendiri,” kata Akil. Dalam rangka mengisi kekosongan, KPU harus meregulasi keputusan untuk pilkada. Tapi, apa yang menjadi sandaran hukumnya, maka ditunjuklah UU Pemerintahan Aceh sebagai hukum positif yang sedang berlaku.

Namun, hal itu sifatnya sementara. Sambil menunggu revisi UU atau Perpu yang akan dikeluarkan. Kesemuanya ini bersifat sementara, untuk mengantisipasi Kekosongan Hukum. Dimana, semua KPU di daerah tidak bisa menolak pendaftaran calon perseorangan yang ingin ikut pilkada.

Kalau harus merevisi UU 32, butuh waktu lama. Bisa setahun atau enam bulan. Lalu, apa artinya keputusan MK. Yang telah memberi peluang pada calon perseorangan. Toh, tidak bisa dilaksanakan. “Itu namanya membohongi masyarakat. Katanya membangun demokrasi dan memberi hak yang sama,” kata Akil. Sekarang ini, partai politik yang berwenang mengajukan calon. Itu bertentangan dengan UUD. Oleh karenanya, MK membuka ruang bahwa kewenangan mengajukan calon, bukan dari partai politik saja. Tapi juga ada calon perseorangan.



Nah, sekarang yang menjadi persoalan, KPU Pusat mau atau tidak, lepas dari bayang-bayang dan tekanan politik dari dewan dan pemerintah.Dari sini bisa dilihat, seberapa jauh netralitas dan independensi KPU, bakal diuji. Dapat bersikap netral atau tidak.

Ternyata, dalam surat edarannya bernomor 649/15//VII/2007, tertanggal 31 Juli 2007, dan dikirim ke seluruh KPUD provinsi dan kabupaten/kota, KPU Pusat tidak akan membuat aturan teknis.

Hal ini menunjukkan, KPU Pusat tidak bisa bersifat independen. Padahal, DPR RI melalui UU Nonor 22 tahun 2007, sudah memberi wewenang pada KPU sebagai regulator atau mengatur pelaksana dan mengatur pilkada. Menurutnya, sikap KPU itu muncul, karena tarik menarik kepentingan dan keberadaan KPU disahkan oleh DPR RI dan pemerintah.

“Jika putusan Mahkamah Konstitusi tidak dilaksanakan, Pemerintah, DPR, dan KPU, telah menciptakan sistem demokrasi parpol yang totaliter,” kata Akil. Demokrasi seharusnya adalah harapan rakyat banyak, dan tidak boleh dikoptasi oleh kepentingan segelintir parpol dan rezim yang berkuasa.

Kondisi lainnya adalah, Pemerintah, DPR, KPU, telah dengan sengaja mendorong terjadinya konflik horizontal di tengah masyarakat. Terutama di daerah yang akan melaksanakan pilkada. Yakni, Maluku Utara, Kalbar, Sulteng, Sulsel, dan lainnya.

Psikologis parpol di parlemen cenderung menolak calon perseorangan. Hal itu mengakibatkan “pembiaran” dan kondisi sedemikian rupa. Ini sangat berpotensi menimbulkan konflik baru di masyarakat.

Pemerintah harus mengeluarkan perpu dengan segara. Karena kondisi hal “ihwal kegentingan yang memaksa” sudah dapat diperkirakan terjadi. Menurutnya, tidak bijak, negara menunggu terjadi dulu konflik di tengah masyarakat, baru menganggap “hal ihwal kegentingan memaksa terjadi. Jika demikian, negara memberi ruang terjadinya konflik berkepanjangan. Dan ini, berpotensi menganggu sistem keamanan negara RI.

“Ironis dan berbahaya. Oleh karenanya, semakin nyata kepada kita semua, bahwa parpol bukan satu-satunya harapan. Yang bisa dihandalkan dalam membangun sistem demokrasi di republik ini,” kata Akil.

Dalam pilkada di Kalbar, tidak ada alasan KPUD tidak menerima calon perseorangan. Apalagi dengan alasan tidak logis. Soal anggaran, sudah jelas dibiayai oleh negara. Soal banyak atau tidaknya calon, memang itulah tugas KPU.

Menurut Akil, akan lebih layak kalau calon perseorangan belum diatur secara nyata oleh KPUD, lebih baik pilkada-nya ditunda, sampai adanya Perpu. Dan itu lebih bijaksana.
Ada tenggat waktu yang memaksa anggota dewan dan KPU membuat regulasi itu.

Kalau terjadi pembiaran terhadap masalah calon perseorangan dalam pilkada, bisa menyebabkan konflik horisontal di masyarakat dan bisa berkembang mengarah ke konflik vertikal, antara masyarakat dan pemerintah.

“Hal ini bisa mengarah pada separatisme,” kata Akil.□

Foto Cap Go Meh di Singkawang, by Nurul Hayat.

Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 5 Agustus 2007.



No comments :