Saturday, August 18, 2007

Pembatalan Pameran Presenting Pontianak di Ayani Megamal

Muhlis Suhaeri dan Lukas B. Wijanarko
Borneo Tribune, Pontianak


Arogan. Itulah kata yang tepat, untuk menyikapi pembatalan sepihak dari managemen Ayani Megamal, terhadap pameran karya foto-foto jurnalistik tentang Kota Pontianak, yang sedianya dilaksanakan untuk memperingati hari Kemerdekaan ke-62 tahun Republik Indonesia.


Rencananya, 16 Agustus 1999, Lukas B. Wijanarko akan mengadakan dan membuka pameran foto tentang Kota Pontianak di Ayani Megamal. Foto-foto yang dipamerkan merupakan foto semasa masih kuliah pada 1998 di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), hingga kerja di harian Borneo Tribune, 2007. Dia berharap, dengan pameran inilah, bisa menyumbangkan pemikirannya melalui foto terhadap kota yang membesarkannya selama ini. Dengan pameran ini pula, dia ingin berkomunikasi secara lebih pribadi melalui bahasa gambar. Bahasa fotografi.

Setelah bertemu beberapa kali dengan pihak managemen, diperoleh kesepakan untuk menggelar dan membuka pameran pada 16 Agustus 2007 di lantai 2, depan toko buku Gramedia, Ayani Megamal.

Semasa pertemuan dan negosiasi dengan pihak managemen yang diwakili oleh Uray Tessy, kami mendapat gambaran tentang harga yang harus dibayar untuk sebuah pameran. Satu hari, Rp 4 juta (belum termasuk pajak), setelah mendapat diskon 50 persen.

Dalam perkembangannya, kami melakukan negosiasi kembali pada Rabu (8/8) guna menawar penambahan waktu pameran menjadi dua hari, 16-17 Agustus senilai Rp6 juta. Namun penawaran tersebut, belum dapat dijawab pihak Ayani Megamal, dengan alasan pada tanggal 17 Agustus merupakan hari libur.

Panitia kemudian mendapat jawaban dari manajemen Ayani Megamal, bahwa penawaran untuk menyewa dua hari dengan bayaran Rp6 juta, tidak bisa dipenuhi. Kami pun akhirnya memutuskan kembali kepada kesepakatan pertama, hanya menyewa selama sehari, sejak tanggal 15 Agustus pukul 22.00 WIB hingga tanggal 16 Agustus pukul 22.00 WIB, sebesar Rp4 juta.

Ketika kami hendak melunasi pembayaran sewa tersebut pada sehari menjelang pameran (15 Agustus), pihak Ayani Megamal ternyata berkeberatan, dan memberlakukan tarif baru sebesar Rp7 juta untuk satu hari, belum termasuk pajaknya.

Pihak Ayani Megamal meminta saudara Lukas B Wijanarko, membuat pernyataan tertulis bermaterai mengenai kesediaannya membayar sewa tempat pada Kamis (16/8) pagi, pukul 09.00 WIB.

Persiapan pameran sudah mesti dilakukan pada Rabu malam, tanggal 15 Agustus, pukul 22.00 WIB.

Pada malam itu, selain membawa surat pernyataan bermaterai, kami membawa berbagai perlengkapan pameran dan foto-foto yang akan dipamerkan ke Ayani Megamal. Karena, sebelumnya dikabarkan oleh Uray Tessy, untuk setting pameran dapat dilakukan pada pukul 21.00 WIB, saat aktifitas pengunjung mal telah berakhir.

Tak lama, datang pihak managemen yang diwakili Yunita Irma, Chief of Advertising & Promotion. Dia atasan Tessy. Irma perempuan dengan muka tirus dan lancip. Totolan jerawat menanda pada satu sisi wajahnya. Tatapan matanya membuat orang tidak nyaman. Mata itu mengisyaratkan sikap, kamu harus tahu siapa saya.

Dia datang ditemani seorang sekuriti dan satu perempuan. Irma menanyakan surat yang harus kami serahkan padanya. Surat itu berisi pernyataan, kami bisa membayar uang sewa ruang pameran pada Kamis pagi (sebelum pameran dibuka, pukul 14.00 WIB). Dalam surat itu memang tidak tercantum berapa yang harus kami bayar, karena masalah harga kami anggap sudah ada kesepakatan, Rp 4 juta.

Setelah surat diserahkan, dia meminta kami mencantumkan kalimat bahwa “sewa pameran Rp 7 juta akan dibayarkan pada Tanggal 16 Agustus, pukul 09.00 WIB”. Kami tidak dianggap melakukan konfirmasi secara tertulis, sehingga kena charge. Sempat terjadi dialog cukup alot tentang hal ini.

Akhirnya, kami mengalah. Apa boleh buat, undangan sudah disebar dan pengumuman lewat beberapa rilis di surat kabar juga sudah dibuat.

Setelah masalah angka selesai, Irma mulai mengungkit masalah prosedur pameran. Dia bilang, semua yang melakukan kerja sama dengan Ayani Megamal, harus mengikuti SOP- standar operasional prosedur, di Ayani Megamal. Dan dia, selalu bekerja sesuai dengan SOP.

Kami bilang, sangat menghargai dan menghormati SOP yang ada di Ayani Megamal, dan SOP kerja yang dimilikinya.

Irma memberikan syarat, bahwa setiap pameran yang diadakan, harus selalu ada karpet sebagai alasnya. Peraturan apa lagi ini? Padahal, dalam sesi awal pertemuan dan bentuk kerja sama untuk pameran, masalah itu tidak muncul. Dari mana mendatangkan karpet malam-malam begini.

Terjadi perdebatan alot. Intinya, kalau kami tidak bisa memenuhi SOP yang mereka miliki, silakan berpameran, walaupun poin prestasi yang akan ia (Irma) terima dari manajemen, menunjukkan nilai E (buruk/tidak lulus, untuk istilah di perkuliahan).

Kami katakan, bukannya tidak mau memenuhi SOP yang mereka miliki, kalau dari awal hal itu diberikan kepada kami, tentu akan dipenuhi.
Akhirnya, dia pulang dengan teman perempuannya. Satu hal yang perlu kami catat ucapannya malam itu, sebelum pulang ia berkata, “Ini pameran paling buruk yang pernah saya tangani.”

Malam itu, kami mendesain ruang pameran hingga pukul empat dini hari. Esoknya, ketika kami hendak datang ke ruang pameran, ada kabar datang. Delapan orang sekuriti Ayani Megamal dan dua polisi, membongkar ruang pameran. Semua foto dan peralatan pameran, diletakkan di ruang sekuriti.

Ada alasan berbeda tentang pengusiran ini. Awalnya, tindakan itu dilakukan karena kami belum bayar uang sewa pameran yang sudah deadline pada pukul 09.00 WIB.

Namun kemudian, ada yang menyatakan setting pameran berantakan, dan pameran tidak sesuai prosedur. Sumber kami menyebut, setting pameran melebihi garis/tanda batas yang sudah ditentukan. Menurut kami, alasan itu hanya alasan yang dicari-cari. Semua prosedur sudah kami lakukan dan, tak ada masalah.

Ini agaknya hanya alasan yang dicari-cari untuk mengusir pameran kami. Entah apapun alasannya, sikap arogan tersebut, tidak sejalan dengan niat baik kami untuk menampilkan sisi-sisi kota Pontianak, ciri bangunannya, struktur kota, bangunan-bangunannya, budaya, dan pergulatan manusiannya.

Melalui rilis ini, kami menghaturkan maaf kepada sejumlah media partner, semisal harian Borneo Tribune, LKBN ANTARA, Radio Sonora, dan Ruai TV.

Ucapan maaf juga kami sampaikan kepada manajemen sejumlah hotel yang menyatakan kesediaan menjadi lokasi “roadshow” pameran ini, yang pada akhirnya terjadi penundaan pelaksanaan.

Saat ini, kami sedang melakukan persiapan ulang, untuk menyelenggarakan pameran di lokasi lain.

Ironis. Pada hari Kemerdekaan, ketika orang dengan semangat memaknai dan berteriak lantang tentang kemerdekaan, sebuah sikap yang antikemerdekaan malah ditampilkan. Itulah, wajah muram negeri ini. Omongan dan tindakan, selalu tidak bisa sejajar.

Kami jadi teringat dengan sebuah tulisan dari Mumia Abu Jamal, “Memberangus Keadilan”. Mumia adalah jurnalis dan anggota dari Black Panther Party. Ia menulis, Amandemen pertama tak lebih dari suatu ritual. Sesuatu yang terkunci dalam wadah kaca, sebuah peninggalan kuno yang sesekali dibersihkan. Ritual hampa yang dijalani dengan omong kosong.□

Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 18 Agustus 2007
Foto Lukas B. Wijanarko





No comments :