Sebuah pagi yang menggelegak. Ratusan siswa berseragam abu-abu sudah tak sabar lagi. Mereka kadung dongkol. Kesal dengan sang kepala sekolah yang dianggap melakukan penyelewengan. Dugaan korupsi. Semestinya, sekolah hanya menerima enam kelas saja. Ini malah tujuh kelas. Ada pungutan lain dilakukan. Mereka siswa-siswi SMAN 4 Pontianak.
Senin (20/8), satu kata sepakat didapat. Mereka mengadukan tindakan sang kepala sekolah ke Dinas Pendidikan Kota. Bagai sebuah ritual, ratusan siswa melakukan long march. Sempat terjadi ketegangan. Laju para siswa coba dihadang satpam sekolah. Aksi dorong mendorong terjadi. Bagai air bah menerjang, ratusan siswa-siswi tak terhadang.
Sebuah keranda mayat dan boneka digotong. Diarak sepanjang perjalanan lima kilometer. Dua benda itu, sebagai lambang matinya demokrasi. Berbagai poster dibentang. Tak lupa, orasi, yel-yel dan nyanyian dikumandangkan.
Para demontran itu, melangkah dengan tegak melewati berbagai ruas jalan ibukota provinsi. Jalan Dr Wahidin, Alianyang, Uray Bawadi, Sutan Syahrir, Johan Idrus dan berhenti di Jalan Letjen Sutoyo. Tempat berkantornya Dinas Pendidikan Kota Pontianak. Terik dan panas matahari tak mereka hiraukan. Bagi yang tak sanggup jalan, sebuah mobil patroli polisi, siap membawa. Polisi hanya berjaga-jaga. Lain tidak.
Sepuluh perwakilan siswa, mewakili temannya menemui sang kepala dinas, Ahmad Sama’. Dia didampingi Kabag TU Mulyadi. Sang Kapolsek Pontianak Selatan, AKP Slamet Nanang Widodo, ikut mengamankan jalannya kegiatan.
Tuntutan siswa-siswi tidak ingin menjatuhkan. Mereka ingin perbaikan sistem di sekolahnya. Para demontran mencintai sekolahnya.
Tak tanggung-tanggung, Wakil Walikota Pontianak, Sutarmidji, merespon demo yang terjadi. Intinya, dia tidak ingin para siswa menjadi korban dan bakal mengadakan penelusuran terhadap permasalahan tersebut.
Bagi suatu ketidakadilan, hanya ada satu kata. LAWAN!
Fotografer : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 26 Agustus 2007
Sunday, August 26, 2007
Lawan.........!!!
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:54 AM 0 comments
Labels: Essai Foto
Wednesday, August 22, 2007
Bang Akil No 1, Resmi Daftar Cagub
Muhlis Suhaeri dan Andry
Borneo Tribune, Pontianak
Sebuah siang yang terik. Jalan raya Ayani tiba-tiba dikejutkan dengan raungan suara sirene. Sebuah sedan warna putih dari Patwal kepolisian melaju dengan kecepatan sedang.
Sedan membelah jalan bagi sebuah iring-iringan. Di belakang sedan, nampak mobil Toyota Land Cruiser warna hijau. Mobil itu melaju dengan ritme teratur. Ratusan pengendara sepeda motor mengiringi rombongan. Mereka mengenakan seragam. Sebuah kaos dengan gambar dua orang mereka kenakan. Kaos itu bertuliskan, “Satukan Langkah Lakukan Perubahan, Yang Terbaik, Akil-Mecer.”
Sesampai di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kalbar, rombongan berhenti. Dari mobil keluar beberapa orang. Dua orang berpenampilan sama. Baju polos dengan lengan panjang warna putih. Dua orang itu, HM Akil Mochtar, SH, MH dan Drs AR Mecer.
Jarum jam menunjuk angka, 11.25. Hari itu, Selasa (21/8), Akil dan Mecer mendaftarkan diri ke KPUD. Kedatangan dua orang calon gubernur dan wakil gubernur ke KPUD ini, merupakan langkah dan tahapan mengikuti Pilkada yang bakal dihelat pada 15 November 2007. KPUD membuka pendaftaran para calon sedari 21-27 Agustus 2007.
Kedua calon gubernur dan wakil gubernur nomor satu yang mendaftar ke KPUD, ikut pula ketua dan sekretaris delapan partai yang mengusung pasangan ini. Delapan partai itu PBB, PPDK, PNBK, PKPI, PPDI, PPNUI, PSI dan Partai Pelopor. Delapan partai itu menyatukan diri dengan nama Koalisi Rakyat Kalbar Bersatu. Pendeklarasian kesepakatan berlangsung pada 7 April di GOR Pangsuma di Pontianak.
Jumlah suara delapan partai itu, bila dijumlahkan telah memenuhi angka 15 persen dari jumlah pemilih. Jumlah suara pemilih yang sah pada pemilu 2004, sebesar 1.913.422 suara. 15 persen dari jumlah itu 287.013. Nah, jumlah suara delapan partai, bila dijumlahkan, angkanya 288.578 suara. Angka itu sama dengan 15,08 persen. Berarti, Akil-Mecer telah memenuhi syarat seperti tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
Selepas berbicara sebentar di pelataran, Akil-Mecer naik ke lantai dua KPUD. Di ruang itu, telah menunggu empat orang dari KPUD Kalbar. Di antara empat orang itu, terlihat perempuan berkerudung. Dialah Aida Mochtar, ketua KPUD Kalbar. Tiga orang lagi adalah, Nazirin, MS Budi dan RE Nyarong.
Duduk di hadapan empat orang KPUD Kalbar itu, Akil, Mecer, Amran dan Sungkalang. Dua nama terakhir adalah wakil dari delapan partai yang ikut deklarasi. Suasana di ruangan itu penuh dengan semangat dan keharuan. Bahkan, Amran dan Sungkalang terlihat bergegar tangannya, ketika menyerahkan berkas ke KPUD.
Bahkan, ada beberapa pendukung Akil-Mecer yang ada di ruangan itu, meneteskan air mata. Ada keharuan. Ada emosi yang tertahan. Bukan dalam arti emosi yang merusak, tapi adanya kepedulian pada yang didukung.
Dalam kata sambutannya, Aida Mochtar mengatakan, proses pencalonan itu merupakan tahapan dalam Pilkada yang akan dilaksanakan. Pasangan Akil-Mecer merupakan pasangan yang pertama kali mendaftar. “Mudah-mudahan ini merupakan arah yang baik bagi pelaksanaan Pilkada,” kata Aida.
KPUD merupakan amanah dari UU yang diamanahkan sebagai penyelenggara pelaksanaan Pilkada. Dan proses pendaftaran itu, merupakan proses dari pelaksanaan Pilkada.
Nazirin dalam kata sambutannya menyatakan, dalam melakukan suatu pencalonan, ada berbagai syarat yang harus dipenuhi. Diantaranya, catatan administratif dan faktual. Dari berbagai catatan itu, akan dilakukan verifikasi dan hal-hal yang belum jelas. Caranya, dengan mendatangi rumah atau tempat tinggal sang calon.
Dalam pendaftaran yang dilakukan siang itu, koalisi delapan partai menyerahkan surat kesepakatan bersama yang ditandatangani delapan partai. Juga, menyerahkan surat pernyataan partai politik dan tidak menarik dukungan. Yang telah ditandatangani delapan partai.
Dalam kata sambutannya, Akil mengatakan, sebagai umat beragama tidak henti-hentinya merasa bersyukur. Berpikiran jernih. Hati yang tulus ikhlas. Dan, melaksanakan yang sudah ditetapkan UU.
Menurut Akil, pendaftaran itu merupakan proses panjang dengan masalah nyata di masyarakat. Sebelum mendaftar, Akil mengungkapkan, ia mendapat banyak hal miring tentang niatnya mencalonkan diri sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Ia bahkan diisukan tidak maju sebagai calon karena duitnya sudah habis. Dia juga diisukan telah menyerahkan massanya pada salah satu calon. Dan, dia dianggap sudah melakukan negosiasi supaya mengundurkan diri dan diberi imbalan uang. “Pokoknya, semua isu yang memojokkan,” kata Akil.
Untuk itu, dia ingin menepis semua isu itu. Caranya, dengan mendaftarkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur dengan AR Mecer.
Dia mengungkapkan, dalam pelaksanaan Pilkada, semua harus bertarung secara terhormat dengan segala nilai di masyarakat. Sehingga, dalam rangka proses demokrasi, dimana KPU adalah satu-satunya lembaga yang diberikan kepercayaan dalam pelaksanaan Pilkada. Dia berharap, dalam proses pelaksanaan Pilkada, tidak mengganggu kegiatan sosial, ekonomi, politik di Kalbar.
Akil berharap, dalam pelaksanaan Pilkada, berlangsung dengan adil, jujur, langsung, bebas dan demokratis.
Dia ingin bersaing secara sehat. Karena inilah saatnya, gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Mengapa dia ingin mencalonkan diri sebagai gubernur, karena tidak bisa dipisahkan kepeduliannya terhadap berbagai masalah di Kalbar. Masalah itu, salah satunya adalah kemiskinan. Mereka harus ditolong dari kemiskinan, kata Akil.
“Karenanya, jabatan yang ingin diraih bukan untuk suatu kekuasaan. Tapi untuk seluruh rakyat Kalbar,” kata Akil.
Yel-yel hidup Akil-Mecer pun terdengar nan indah bagaikan tembang cinta sekaligus spirit yang menyejukkan seraya menggelorakan hati para pendukung, simpatisan serta masyarakat Kalbar yang menyertai mereka. Yel -yel itu seakan enggan untuk berhenti diteriakan sekalipun berada di atas kendaraan.
”Insya Allah kami optimis untuk dapat memenangkan Pilkada 15 November mendatang,” beber Akil diiringi tepukan tangan.
Akil menegaskan bahwa keyakinan itu bukan merupakan harapan kosong, tetapi sebuah hal yang telah dilakukan dengan sungguh-sungguh. ”Saya dan Pak Mecer sudah mengeliling sebanyak 1200-an desa dari 1400-an desa seantero Kalbar. Oleh sebab itu, semua harapan nurani rakyat telah kami serap dan tuangkan ke dalam visi misi untuk selanjutkan diperjuangkan demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Kalbar,” tegasnya
Dengan satu tema besar bahwa visi yang kami angkat yaitu ’Masyarakat Kalbar yang Religius, Menguasai Pengetahuan, Unggul, Disiplin, Bertanggung Jawab dan Sejahtera. Itulah visi yang akan kami wujudkan dalam bentuk perjuangan melalui 8 misi bagi seluruh masyarakat Kalbar.
Dalam kesempatan ini Akil juga menegaskan bahwa banyak kalangan pengamat mengatakan tidak ada satupun calon kandidat gubernur yang memperhatikan mengenai persoalan lingkungan. ”Sekali lagi saya dan Pak Mecer akan menegaskan bahwa kami berdua akan menjadikan persoalan lingkungan sebagai salah satu program prioritas didalam melakukan pembangunan di Kalbar, apabila kelak masyarakat memberikan amanah sekaligus mandat selaku gubernur dan wakil gubernur Kalbar,” ucapnya
”Saya bersama Pak Mecer menghimbau kepada seluruh kader dan simpatisan bahwa setelah meninggalkan gedung KPU Kalbar agar senantiasa tertib dan mematuhi segala aturan yang berlaku. Mari kita buktikan bahwa Koalisi Rakyat Kalimantan Barat Bersatu adalah koalisi yang bermartabat oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat,” timpal Akil. □
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 22 Agustus 2007
Foto Lukas B. Wijanarko
Baca Selengkapnya...
Posted by Muhlis Suhaeri at 8:13 AM 0 comments
Labels: politik
Tuesday, August 21, 2007
Pembatalan Sepihak itu, Sebuah Tragedi Kebudayaan
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Ripana Puntarasa berpendapat, pemutusan sepihak oleh managemen Ayani Megamal, atas pameran fotografi jurnalistik, sebagai tragedi kebudayaan. Hal itu diungkapkannya dalam diskusi di kantor Borneo Tribune. Diskusi itu merupakan refleksi dan perenungan mengenai hari HUT Kemerdekaan RI ke 62. Ripana Puntarasa adalah Institusional Development Specialist, pada Neighborhood Upgrading And Shelter Sector Project (NUSSP).
“Ada satu tragedi kebudayaan, ketika pameran karya jurnalisme digagalkan. Ini satu tindakan aroganisme managemen Megamal,” kata Ripana, “saat ini harus disadari bersama, bahwa proses kreatif dengan begitu saja diputus, tanpa dialog yang jelas.”
Ironisnya, hal itu bertepatan dengan perayaan kemerdekaan RI. Ketika semua orang sedang berbicara dan memperingati HUT Kemerdekaan RI. Menurutnya, hal itu sangat berbeda dengan peristiwa 16 Agustus 1945, ketika Sukarni, Chaerul Saleh dan beberapa pemuda mendorong dan mendesak Sukarno dan Hatta, untuk segera memproklamirkan kemerdekaan RI.
Ripana berpendapat, “Suatu tindakan yang tidak memanusiakan manusia, merupakan tindakan bukan manusia.”
Begitu juga dengan masalah pembangunan. Pembangunan harus bisa menyejahterakan manusia. Pembangunan harus bisa mengangkat harkat dan martabat manusia. Warga dalam kontek pembangunan sebagai kewajiban dan amanat konstitusi. Pemerintah dibentuk untuk menyejahterakan dan menciptakan kesejahteraan umum. Ketika pembangunan tidak melibatkan warga dalam suatu pengambilan keputusan, dan tidak memanusiakan harkat dan martabat kemanusiaannya, maka itu juga bukan tindakan manusia.
Untuk memanusiakan warga dalam kontek pembangunan, merupakan satu kewajiban institusi yang dicipta dan membangun kesadararn umum, berdasarkan kehidupan bangsa.
Ketika ada pembangunan kota, seperti relokasi pasar, pembangunan jalan, perumahan, dan lainnya, kata kuncinya adalah, bagaimana rakyat punya kepentingan dasar dan mereka diajak diskusi. Pembangunan adalah merekonstruksikan nilai-nilai itu. Sistem pembangunan nasional harus membuat hal itu.
Pembangunan adalah media untuk bisa mengembangkan hal itu, dan tidak hanya mengembangkan pertumbuhan saja. Atau, pasar, investasi dan sebagainya. Nilai kemanusiaan harus dimunculkan, karena sebelumnya manusia tidak dimanusiakan oleh sistem imperialis.
Sekarang ini, refleksi mengenai kemerdekaan tidak lagi bisa dalam bentuk bambu runcing. Kemerdekaan adalah pengendalian nafsu dan kontrol kekuasaan, terhadap kekuasaan yang mengekploitasi manusia, modal dan nilai kemerdekaan. “Dan eksistensi manusia, esensi dasar kemanusiaannya adalah ke sana,” kata Ripana.
Melihat kondisi dan situasi seperti itu, jurnalis harus bisa mengabarkan dan menggambarkan apapun situasinya ke warga. Jurnalis harus punya kepekaan pada kemanusiaan, sosial, kultural, keberpihakan pada memanusiakan manusia. Bukan pada manipulasi dan tidak berpihak pada kemanusiaan dan membodohkan warga.
Media harus bisa mencerdaskan. Dan dalam rangka membawa pluralisme dan kesadaran bersama. Pada kontek ini, jurnalisme harus bisa memahami harkat kemanusiaannya. “Kita harus menyadari bahwa jurnalisme adalah satu konteks yang mencerdaskan,” kata Ripana.
Ripana memberikan satu contoh dalam novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Sang tokoh Minke, yang merupakan personifikasi dari Tirto Adi Suryo, sang jurnalis. Ketika mendapat tekanan dari Belanda, harus ada substansi dan menjelaskan tentang hal yang terjadi. “Saya akan melawan dengan pena,” kata Minke. Melawan dengan pena adalah mencoba menjelaskan kepada publik dari situasi yang sangat menekan dan sangat prinsip.
Dalam sikap dan perilakunya, manusia harus bisa menciptakan cinta kasihnya. Manusia merdeka, harus bisa melihat manusia, juga alam. Pembangunan harus membuat manusia merasa nyaman. Untuk membuat warga merasa nyaman.
Jurnalis harus bisa menciptakan esensi dan menjadikannya sebagai naskah visual dan tulisan kepada publik. Bila hal itu dimanipulasi, tidak akan bisa mencerdaskan. Jurnalis harus punya kepekaan. Bukan berpihak pada manipulasi yang menghilangkan hak dasar.
Jurnalisme harus bisa menghilangkan klenik, ekploitasi seks dan lainnya. Pembangunan harus menghasilkan 10 hak dasar. Hak atas pangan, sandang, papan, dan lainnya.
Pembangunan tidak boleh bersifat prakmatis. Pembangunan juga tidak boleh mengganggu kehidupan sehari-hari manusia, sehingga mereka hilang hak dasarnya.□
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 21 Agustus 2007.
Foto Lukas B. Wijanarko.
Posted by Muhlis Suhaeri at 7:58 AM 0 comments
Labels: Budaya
Sunday, August 19, 2007
Perayaan Kemerdekaan
Hari itu, selalu ditunggu. Ada kesyakralan dan ritual. Ada rejeki yang mengalir dengan kedatangannya. Apalagi kalau bukan dari bisnis bendera. Umbul-umbul, dan lainnya. Sepanjang jalan raya meriah oleh warna sang bendera.
Tak itu saja. Setiap warga memancang bendera bagi rumah. Gang, jalan, perumahan dan perkampungan, semarak seketika. Semua berhias dan memeriahkan lingkungan. Demi penyambutannya.
Ketika hari itu tiba, semua menggelar perayaan. Ada lomba, olah raga, dan permainan rakyat. Ada panjat pinang, tarik tambang, balap karung, lomba sampan, makan kerupuk, dan lainnya. Semua menyatu dan merayakan. Tak ada batas. Kanak. Remaja. Orang tua. Melayu. Dayak. Tionghoa. Bugis. Jawa. Madura. Batak, dan lainnya. Semua menyatu. Dalam jalinan kebersamaan nan padu.
Semua menyambut dengan antusias. Memperingati dan merayakannya. Itulah hari Kemerdekaan 17 Agustus. Ada emosi tertumpah pada perayaan ini.
Bagaimanapun, 62 tahun usia kemerdekaan, adalah rentang waktu yang tak lagi muda, bagi suatu usia. Sejatinya, usia kemerdekaan mesti menanda pada pola prilaku masyarakat, bangsa dan negara.
Kemerdekaan, bukanlah ritual setahun sekali. Setelah berlalu, sepi dan tak berarti.
Kemerdekaan adalah, sikap dan perilaku dewasa kita menghargai perbedaan, menghormati keberagaman, dan bersikap profesional bagi sesuatu yang kita kerjakan.
Fotografer : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 19 Agustus 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:16 AM 0 comments
Labels: Essai Foto
Saturday, August 18, 2007
Pembatalan Pameran Presenting Pontianak di Ayani Megamal
Muhlis Suhaeri dan Lukas B. Wijanarko
Borneo Tribune, Pontianak
Arogan. Itulah kata yang tepat, untuk menyikapi pembatalan sepihak dari managemen Ayani Megamal, terhadap pameran karya foto-foto jurnalistik tentang Kota Pontianak, yang sedianya dilaksanakan untuk memperingati hari Kemerdekaan ke-62 tahun Republik Indonesia.
Rencananya, 16 Agustus 1999, Lukas B. Wijanarko akan mengadakan dan membuka pameran foto tentang Kota Pontianak di Ayani Megamal. Foto-foto yang dipamerkan merupakan foto semasa masih kuliah pada 1998 di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), hingga kerja di harian Borneo Tribune, 2007. Dia berharap, dengan pameran inilah, bisa menyumbangkan pemikirannya melalui foto terhadap kota yang membesarkannya selama ini. Dengan pameran ini pula, dia ingin berkomunikasi secara lebih pribadi melalui bahasa gambar. Bahasa fotografi.
Setelah bertemu beberapa kali dengan pihak managemen, diperoleh kesepakan untuk menggelar dan membuka pameran pada 16 Agustus 2007 di lantai 2, depan toko buku Gramedia, Ayani Megamal.
Semasa pertemuan dan negosiasi dengan pihak managemen yang diwakili oleh Uray Tessy, kami mendapat gambaran tentang harga yang harus dibayar untuk sebuah pameran. Satu hari, Rp 4 juta (belum termasuk pajak), setelah mendapat diskon 50 persen.
Dalam perkembangannya, kami melakukan negosiasi kembali pada Rabu (8/8) guna menawar penambahan waktu pameran menjadi dua hari, 16-17 Agustus senilai Rp6 juta. Namun penawaran tersebut, belum dapat dijawab pihak Ayani Megamal, dengan alasan pada tanggal 17 Agustus merupakan hari libur.
Panitia kemudian mendapat jawaban dari manajemen Ayani Megamal, bahwa penawaran untuk menyewa dua hari dengan bayaran Rp6 juta, tidak bisa dipenuhi. Kami pun akhirnya memutuskan kembali kepada kesepakatan pertama, hanya menyewa selama sehari, sejak tanggal 15 Agustus pukul 22.00 WIB hingga tanggal 16 Agustus pukul 22.00 WIB, sebesar Rp4 juta.
Ketika kami hendak melunasi pembayaran sewa tersebut pada sehari menjelang pameran (15 Agustus), pihak Ayani Megamal ternyata berkeberatan, dan memberlakukan tarif baru sebesar Rp7 juta untuk satu hari, belum termasuk pajaknya.
Pihak Ayani Megamal meminta saudara Lukas B Wijanarko, membuat pernyataan tertulis bermaterai mengenai kesediaannya membayar sewa tempat pada Kamis (16/8) pagi, pukul 09.00 WIB.
Persiapan pameran sudah mesti dilakukan pada Rabu malam, tanggal 15 Agustus, pukul 22.00 WIB.
Pada malam itu, selain membawa surat pernyataan bermaterai, kami membawa berbagai perlengkapan pameran dan foto-foto yang akan dipamerkan ke Ayani Megamal. Karena, sebelumnya dikabarkan oleh Uray Tessy, untuk setting pameran dapat dilakukan pada pukul 21.00 WIB, saat aktifitas pengunjung mal telah berakhir.
Tak lama, datang pihak managemen yang diwakili Yunita Irma, Chief of Advertising & Promotion. Dia atasan Tessy. Irma perempuan dengan muka tirus dan lancip. Totolan jerawat menanda pada satu sisi wajahnya. Tatapan matanya membuat orang tidak nyaman. Mata itu mengisyaratkan sikap, kamu harus tahu siapa saya.
Dia datang ditemani seorang sekuriti dan satu perempuan. Irma menanyakan surat yang harus kami serahkan padanya. Surat itu berisi pernyataan, kami bisa membayar uang sewa ruang pameran pada Kamis pagi (sebelum pameran dibuka, pukul 14.00 WIB). Dalam surat itu memang tidak tercantum berapa yang harus kami bayar, karena masalah harga kami anggap sudah ada kesepakatan, Rp 4 juta.
Setelah surat diserahkan, dia meminta kami mencantumkan kalimat bahwa “sewa pameran Rp 7 juta akan dibayarkan pada Tanggal 16 Agustus, pukul 09.00 WIB”. Kami tidak dianggap melakukan konfirmasi secara tertulis, sehingga kena charge. Sempat terjadi dialog cukup alot tentang hal ini.
Akhirnya, kami mengalah. Apa boleh buat, undangan sudah disebar dan pengumuman lewat beberapa rilis di surat kabar juga sudah dibuat.
Setelah masalah angka selesai, Irma mulai mengungkit masalah prosedur pameran. Dia bilang, semua yang melakukan kerja sama dengan Ayani Megamal, harus mengikuti SOP- standar operasional prosedur, di Ayani Megamal. Dan dia, selalu bekerja sesuai dengan SOP.
Kami bilang, sangat menghargai dan menghormati SOP yang ada di Ayani Megamal, dan SOP kerja yang dimilikinya.
Irma memberikan syarat, bahwa setiap pameran yang diadakan, harus selalu ada karpet sebagai alasnya. Peraturan apa lagi ini? Padahal, dalam sesi awal pertemuan dan bentuk kerja sama untuk pameran, masalah itu tidak muncul. Dari mana mendatangkan karpet malam-malam begini.
Terjadi perdebatan alot. Intinya, kalau kami tidak bisa memenuhi SOP yang mereka miliki, silakan berpameran, walaupun poin prestasi yang akan ia (Irma) terima dari manajemen, menunjukkan nilai E (buruk/tidak lulus, untuk istilah di perkuliahan).
Kami katakan, bukannya tidak mau memenuhi SOP yang mereka miliki, kalau dari awal hal itu diberikan kepada kami, tentu akan dipenuhi.
Akhirnya, dia pulang dengan teman perempuannya. Satu hal yang perlu kami catat ucapannya malam itu, sebelum pulang ia berkata, “Ini pameran paling buruk yang pernah saya tangani.”
Malam itu, kami mendesain ruang pameran hingga pukul empat dini hari. Esoknya, ketika kami hendak datang ke ruang pameran, ada kabar datang. Delapan orang sekuriti Ayani Megamal dan dua polisi, membongkar ruang pameran. Semua foto dan peralatan pameran, diletakkan di ruang sekuriti.
Ada alasan berbeda tentang pengusiran ini. Awalnya, tindakan itu dilakukan karena kami belum bayar uang sewa pameran yang sudah deadline pada pukul 09.00 WIB.
Namun kemudian, ada yang menyatakan setting pameran berantakan, dan pameran tidak sesuai prosedur. Sumber kami menyebut, setting pameran melebihi garis/tanda batas yang sudah ditentukan. Menurut kami, alasan itu hanya alasan yang dicari-cari. Semua prosedur sudah kami lakukan dan, tak ada masalah.
Ini agaknya hanya alasan yang dicari-cari untuk mengusir pameran kami. Entah apapun alasannya, sikap arogan tersebut, tidak sejalan dengan niat baik kami untuk menampilkan sisi-sisi kota Pontianak, ciri bangunannya, struktur kota, bangunan-bangunannya, budaya, dan pergulatan manusiannya.
Melalui rilis ini, kami menghaturkan maaf kepada sejumlah media partner, semisal harian Borneo Tribune, LKBN ANTARA, Radio Sonora, dan Ruai TV.
Ucapan maaf juga kami sampaikan kepada manajemen sejumlah hotel yang menyatakan kesediaan menjadi lokasi “roadshow” pameran ini, yang pada akhirnya terjadi penundaan pelaksanaan.
Saat ini, kami sedang melakukan persiapan ulang, untuk menyelenggarakan pameran di lokasi lain.
Ironis. Pada hari Kemerdekaan, ketika orang dengan semangat memaknai dan berteriak lantang tentang kemerdekaan, sebuah sikap yang antikemerdekaan malah ditampilkan. Itulah, wajah muram negeri ini. Omongan dan tindakan, selalu tidak bisa sejajar.
Kami jadi teringat dengan sebuah tulisan dari Mumia Abu Jamal, “Memberangus Keadilan”. Mumia adalah jurnalis dan anggota dari Black Panther Party. Ia menulis, Amandemen pertama tak lebih dari suatu ritual. Sesuatu yang terkunci dalam wadah kaca, sebuah peninggalan kuno yang sesekali dibersihkan. Ritual hampa yang dijalani dengan omong kosong.□
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 18 Agustus 2007
Foto Lukas B. Wijanarko
Posted by Muhlis Suhaeri at 8:16 AM 0 comments
Wednesday, August 15, 2007
Pameran Fotografi Presenting Pontianak
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Lukas B. Wijanarko akan mengadakan pameran foto dengan tema Presenting Pontianak, di beberapa tempat di Kota Pontianak. Foto yang ditampilkan merupakan karya foto pada masa menjadi mahasiswa di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), fotografer lepas dan di harian Borneo Tribune. Pembukaan pameran bakal dilakukan di Megamall lantai 2, oleh anggota DPR RI, Akil Mochtar, pada Kamis, 16 Agustus 2007, pukul 15 Wib.
Fotografi sebagai suatu bahasa komunikasi visual, terbukti punya pengaruh besar di masyarakat. Fotografi sanggup menjembatani berbagai lapisan masyarakat, mulai dari strata sosial paling rendah hingga paling tinggi, sekali pun.
Kota sebagai suatu konsep tata ruang dan waktu, merupakan wadah interaksi dari berbagai masyarakat yang menghuninya. Interaksi berbagai masyarakat menghasilkan bermacam seni, budaya, dan teknologi. Dalam perkembangannya, beragam hasil kreasi dan akal budi manusia itu, mengisi perkembangan suatu kota. Maka muncullah beragam seni arsitektur bangunan, jalan, jembatan, makanan, minuman, dan lainnya.
Beragam seni dan budaya itu, tentu saja membuat wajah kota menjadi semarak dan indah. Namun, bila potensi itu tak digali secara maksimal, tentu saja tidak ada artinya. Masyarakat mesti digugah, untuk menggali berbagai potensi dan kelebihan Kota Pontianak.
Fotografi dalam kapasitasnya sebagai bahasa komunikasi visual, punya kesempatan menjembatani keindahan wajah Kota Pontianak. Selain itu, fotografi bisa berperan dalam setiap gerak, dan perkembangan kota. Perkembangan dan kemajuan kota, bisa terekam melalui foto. Pada akhirnya, fotografi turut berperan menampilkan wajah Kota Pontianak.
Dalam rangka menjembatani hal itu, fotografi bisa menjadi alat efektif bagi masyarakat, untuk mengetahui dan melihat keindahan Kota Pontianak. Pada intinya, fotografi bisa memotret segala keindahan dan kesemarakan Kota Pontianak.
Berangkat dari ide dasar itulah, sebagai warga Kota Pontianak yang lahir dan besar di kota ini, Lukas ingin membuat darma baktikan kemampuannya sesuai dengan bidang yang ditekuni sekarang, kepada Kota Pontianak. Bagaimanapun juga, Kota Pontianak telah memberi berbagai kenangan, pengalaman dan proses kreatif di bidang fotografi yang saya tekuni.
Sebagai rasa terima kasih itulah, saya ingin menyelenggarakan pameran fotografi mengenai keindahan Kota Pontianak. Disela pameran fotografi akan diisi dengan talkshow terbuka mengenai potensi keindahan Kota Pontianak. Karena itu, saya memberi nama pameran fotografi itu, “Presenting Pontianak.”
Pameran ini berisi berbagai foto tentang struktur Kota Pontianak, bangunan, budaya, prilaku dan pergulatan manusianya dalam menghadapi berbagai permasalahan. Pameran menampilkan 30 karya foto.
Foto dengan tema struktur kota, menampilkan berbagai wajah kota dengan lanskap wilayah, infrastruktur, sarana dan prasarana kota. Bangunan bersejarah, atau modern yang menjadi simbol kota, juga tergambar dalam pameran.
Begitupun dengan budaya. Kota Pontianak yang dihuni beragam etnis, menghasilkan berbagai budaya khas. Budaya dengan aktifitas keagamaan atau etnis, tergambar dengan apik dalam berbagai bingkai.
Kota dengan seabreg kegiatan, juga menampilkan perjuangan manusianya mencapai berbagai keberhasilan. Terkadang, dalam pencapaian ini, terjadi saling gesek antarwarga atau warga dengan pemerintah. Tak heran, kota juga menampilkan wajah muramnya dengan berbagai penggusuran, keterpurukan, dan perjuangan menyuarakan hak.
Pameran ini dibuka pada Kamis, 16 Agustus 2007, pukul 15.00 wib di Megamal, lantai 2, depan toko buku GRAMEDIA. Pembukaan pameran dibuka anggota DPR RI dari Komisi III, HM Akil Mochtar, SH, MH.
Pembukaan pameran diikuti dengan diskusi mengenai masalah perkotaan dengan Ketua DPRD Kota, Gusti Hersan Aslirosa, SE dan Drs. Ripana Puntarasa, dari NUSSP Jakarta.
Selanjutnya, pameran berlangsung secara bergilir. Pada, 17-23 Agustus 2007,
Pameran digelar di Matahari Department Store Megamal. Pada 24-31 Agustus 2007, di Hotel Gajah Mada. Tanggal 1-7 September 2007 di Hotel Santika Pontianak. Dan, rangkaian pameran akan berakhir 8-14 September 2007 di Hotel Kapuas Palace.
“Pameran ini merupakan apresiasi untuk memasyarakatkan dunia fotografi,” kata Lukas B. Wijanarko, sang fotografer.
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 15 Agustus 2007
Foto Lukas B. Wijanarko
Posted by Muhlis Suhaeri at 8:22 AM 0 comments
Labels: Budaya
Sunday, August 5, 2007
Apa Kata Mereka Tentang MK
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune
Senin (23/7), sebuah berita dari Mahkamah Konstitusi (MK) terdengar. MK memberikan keputusan tentang dibolehkannya calon perseorangan (CP) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). MK merupakan satu-satunya lembaga yang bisa membatalkan Pasal-pasal dan Undang-undang keseluruhan.
Berbagai tanggapan muncul. Ada yang menyambut gembira. Khawatir. Skeptis. Tak sedikit juga yang bingung, karena mekanismenya dianggap belum begitu jelas.
Faisal Riza, Sekretaris Wilayah Jari Borneo Barat, Faisal Riza, ketika ditemui Andry dari Borneo Tribune mengungkapkan, “Kita menyambut baik keputusan MK tentang calon independen.” Meski begitu, ia memandang, cara pandang masyarakat masih bersifat pragmatis. Artinya, tak adanya figur yang merakyat dengan berbagai program yang jelas, membuat kesadaran politik warga gampang terbeli dengan uang.
Selain itu, persoalan mendasar mengenai peraturan yang belum ada, sebagai satu kesatuan dari lahirnya keputusan MK. Seperti, Perpu. Menurutnya, harus ada kebijakan dan niat dari KPU Pusat, segera merespon keputusan MK. “Jadi, KPU tidak perlu takut dan ragu, untuk mengeluarkan regulasi teknis mengenai hal itu,” kata Riza. Sebetulnya, untuk membuat Perpu, satu hari peraturan ini bisa selesai. Tak ada yang susah. Namun, permasalahan ini muncul dan sulit dilaksanakan, karena ada tarik menarik kepentingan elit politik yang di pusat, kata Riza.
Harry Tri Yoga, anggota DPRD Kalbar, dari Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), kepada Andry menyatakan, keluarnya keputusan MK harus dilihat dari dua sisi. Sisi positif dan negatif. Positifnya, seorang calon bisa ikut Pilkada, tanpa dorongan dari partai politik. Dengan syarat, sang calon harus mengikuti minimal aturan yang dikembangkan, seperti pada pemilihan DPD. Negatifnya, banyak muncul para calon dalam Pilkada. Hal ini bisa saja menambah simpang siur pelaksanaan pilkada.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (DPW PKB) Kalbar, Syarif Abdullah Alkadrie dalam wawancara dengan Hairul Mikraj menilai, keputusan MK meloloskan uji materiil terhadap UU No. 32/2004, terkait calon independen harus jelas batasannya. Terutama syarat dukungan bagi calon kepala daerah.
Abdullah menyoroti putusan pembatalan sejumlah pasal pada UU No. 32/2004 salah satunya didasarkan pada fenomena calon independen dalam pilkada Nangroe Aceh Darussalam (NAD). “Aceh itu beda, mereka daerah istimewa dengan Undang-undang sendiri tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya,” kata Abdullah. Ia menilai, MK sudah melewati ranah kewenangannya.
Lalu, bagaimana keputusan MK bagi partai politik?
Partai politik kini perlu melakukan koreksi kepada kinerjanya. “Parpol penting, tetapi ada kelemahan, sehingga muncul calon independen. Selain itu juga ada adanya keinginan persamaan dengan Aceh dalam hal calon independen,” kata profesor Muladi, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), dalam berita Kompas, Jum’at (3/8).
Zulfadhli, Ketua DPD Golkar kepada Budi Rahman menyatakan putusan MK, tidak menganggap sebagai ancaman bagi eksistensi partai politik. “Pasti mempengaruhi partai, tapi tidak sampai mengancam,” ujar Zulfadhli.
Menurutnya, putusan MK merupakan jawaban dari tuntutan masyarakat. Yang merindukan hak politik mereka terpenuhi. “Putusan itu sudah final. Saya menyambut baik keputusan ini. Sebab, tuntutan masyarakat selama ini terhadap hak politik mereka,” kata Zulfadhli. Namun, ia memprediksi penerapan putusan MK untuk Pilkada Kalbar, masih harus menunggu waktu, karena harus menunggu perubahan Undang-Undang Nomor 32 dulu, kata Zulfadhli.
Bagi Buchary Abdurrachman, Putusan MK tidak terlalu terpengaruh bagi dirinya. Tanpa putusan MK sekalipun, Buchary optimis masih bisa maju maju pada pilkada Nopember, mendatang. “Itu kan baru disahkan oleh MK. Masih perlu PP, Perpu dan penyempurnaan lainnya,” ujar Buchary.
Kandidat lain, Usman Ja’far tak terlalu risau dengan putusan MK. Meski putusan itu berpotensi memperbanyak saingan dan membelah dukungan warga pada dirinya. “Ya, itu kan proses pengembangan demokrasi. Dan itu baik untuk bangsa. Memang harus ada pengembangan untuk perbaikan kehidupan politik kita,” kata Usman, pada Budi Rahman.
Respon positif terhadap putusan MK, muncul dari Barnabas Simin. Ia mengaku cukup gembira dan menyambut baik putusan MK. “Ini sebuah kemajuan pemahaman demokrasi kita,” ujar Komisaris PTPN XIII, ini. Menurutnya, keputusan MK memberi peluang bagi dirinya, terus melangkah pada Pilkada nanti. Ia berpikir, hal itu menjadi peluang bagi dirinya dan semua orang.
Bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Kalbar, pilkada gubernur pada November merupakan pengalaman baru pemilihan secara langsung. Keputusan MK, membawa dampak bagi tersendiri. Ketika ditemui oleh Maulisa dan Arthurio di kantornya, Aida Mochtar, mengatakan bahwa keputusan MK, patut direspon. Pihak KPUD Kalbar akan menunggu terlebih dahulu, hasil revisi dari UU Nomor 32 Tahun 2004.
Jika UU Nomor 32 belum direvisi dan terbit pada saat, atau mendekati pemilihan gubernur berlangsung, maka KPUD tidak bisa mengakomodir keputusan MK. Ia menegaskan alasannya, dengan waktu relatif singkat, verifikasi sulit dilakukan. Jika calon independen diloloskan maka pihak KPUD membutuhkan waktu yang lebih untuk pelaksanaan pemilihan calon gubernur mendatang.
Adanya putusan MK mengenai calon independen, harus menunggu syarat dan prosedur pencalonan. Artinya, calon independen bukan hanya satu yang mencalonkan diri. Bisa saja enam bahkan sepuluh. Oleh karena itu, adanya putusan MK tentang calon ndependen akan berdampak pada jumlah calon, surat suara, jumlah pendudukung dan sebagainya.
Selain itu, pihak KPUD juga membutuhkan waktu untuk melakukan verifikasi setiap calon anggota. “Tidak mungkin dalam waktu singkat kita memverifikasi calon gubernur, karena KPUD Kalbar tidak bisa merubah peraturan yang sudah disusun. Hal ini berkaitan dengan prosedur dan syarat yang hingga hari ini belum kita ketahui,” kata Aida.
Aida menegaskan, pihaknya menunggu hasil revisi keputusan MK mengenai prosedur dan syarat pencalonan. Namun di lain pihak, bila hasil revisi dikeluarkan sebelum tanggal 01 Agustus sudah terbit, pihaknya akan mengakomodir keinginan tersebut. Sepanjang sudah jelas peraturan pelaksanaannya, akan diakomodir.
Hefni Supardi, Ketua KPU Kota Pontianak, mengatakan, implikasi dari keputusan MK, pilkada pada november berpotensi besar akan berlangsung dua putaran. Hal ini membuat biaya anggaran menjadi besar. Menurutnya, hal penting yamg perlu diketahui dalam masalah pilkada, bahwa sejak terbitnya UU Nomor 27 Tahun 2007, pengaturan pilkada sudah bukan kewenangan pemerintah dengan pengaturan lewat PP. Tetapi merupakan kewenangan KPU, dengan pengaturan yang dikeluarkan KPU Pusat. Pemerintah hanya berwenang mengatur dari aspek anggaran dan kepegawaian. Dalam hal ini pengaturan terhadap PNS yang ditempatkan di KPU.
“Saya kira KPU Pusat pun dapat segera mengeluarkan peraturan tata cara pencalonan, mengingat KPU sudah berpengalaman mengatur calon perseorangan DPD pada Pemilu 2004,” kata Hefni.
Untuk menghindari kekosongan hukum (rechsvacuum), sebelum pembentuk undang-undang mengatur syarat dukungan bagi calon perseorangan, KPU Pusat berdasarkan pasal 8 ayat 3 huruf a dan huruf f UU No 22 tahun 2007, tentang penyelenggara pemilu. Selayaknya, mengadakan pengaturan atau regulasi dalam rangka menyusun dan menetapkan tata cara penyelenggara pilkada gubernur di Kalbar. Menurutnya, tidak perlu menunggu Perpu dan PP. “Yang kita perlukan adalah, peraturan yang dikeluaran KPU Nasional,” tegasnya.
Proses Pilkada merupakan sebuah manajemen konflik. Bagaimana konflik dilembagakan dengan baik. Bisa memilih pemimpin dengan baik, tetapi jangan menimbulkan konflik. Kalau KPU malah menimbulkan konflik, maka KPU sebagai lembaga yang memanajemen konflik, gagal melaksana tugas, kata Hefni.
Akil Mochtar, anggota Komisi III DPR RI, yang mengurusi masalah hukum dan perundang-undangan mengemukakan pendapatnya tentang keputusan MK. “Keputusan MK, final and binding. Mengikat sejak peraturan itu diucapkan,” kata Akil.
Menurutnya, paska keputusan MK, KPU Pusat, sesuai UU No 22 Tahun 2007, Pasal 8 A dan F, harus segera mengeluarkan putusan yang berkenaan dengan calon perseorangan. KPU harus merujuk pada UU Pemerintahan Aceh, karena DPR belum membuat UU-nya.
Menurut Akil, perpu sebenarnya hanya mengatur syarat sebagai calon. Syarat umum lainnya, sudah ada di UU Nomor 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah. Pada pasal 58 UU Nomor 32 berbunyi, syarat untuk calon Kepala Daerah dan Wakil adalah warga negara RI yang memenuhi berbagai syarat.
Ada 16 syarat. Diantaranya, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan terakhir tidak sedang berstatus sebagai kepala daerah. Pada pasal 59, ayat 1 dan 2, persyaratan peserta pilkada. Pada pasal 59 huruf 3, menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
Sekarang ini, karena belum ada peraturan yang mengatur calon perseorangan. Satu-satunya yang mengatur calon perseorangan, ada di dalam UU Pemerintahan Aceh. Itulah hukum positif yang berlaku. Tapi, berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2007, partai sebagai regulator Pemilu. Maka, KPU-lah yang bergerak mengajukan peraturan tersebut.
Menurutnya, penolakan terhadap keputusan MK, berarti mencederai demokrasi. “Jadi, janganlah pemerintah jalan sendiri. DPR jalan sendiri. Rakyat jalan sendiri. Jangan semua mengemukakan pendapatnya sendiri-sendiri,” kata Akil. Dalam rangka mengisi kekosongan, KPU harus meregulasi keputusan untuk pilkada. Tapi, apa yang menjadi sandaran hukumnya, maka ditunjuklah UU Pemerintahan Aceh sebagai hukum positif yang sedang berlaku.
Namun, hal itu sifatnya sementara. Sambil menunggu revisi UU atau Perpu yang akan dikeluarkan. Kesemuanya ini bersifat sementara, untuk mengantisipasi Kekosongan Hukum. Dimana, semua KPU di daerah tidak bisa menolak pendaftaran calon perseorangan yang ingin ikut pilkada.
Kalau harus merevisi UU 32, butuh waktu lama. Bisa setahun atau enam bulan. Lalu, apa artinya keputusan MK. Yang telah memberi peluang pada calon perseorangan. Toh, tidak bisa dilaksanakan. “Itu namanya membohongi masyarakat. Katanya membangun demokrasi dan memberi hak yang sama,” kata Akil. Sekarang ini, partai politik yang berwenang mengajukan calon. Itu bertentangan dengan UUD. Oleh karenanya, MK membuka ruang bahwa kewenangan mengajukan calon, bukan dari partai politik saja. Tapi juga ada calon perseorangan.
Nah, sekarang yang menjadi persoalan, KPU Pusat mau atau tidak, lepas dari bayang-bayang dan tekanan politik dari dewan dan pemerintah.Dari sini bisa dilihat, seberapa jauh netralitas dan independensi KPU, bakal diuji. Dapat bersikap netral atau tidak.
Ternyata, dalam surat edarannya bernomor 649/15//VII/2007, tertanggal 31 Juli 2007, dan dikirim ke seluruh KPUD provinsi dan kabupaten/kota, KPU Pusat tidak akan membuat aturan teknis.
Hal ini menunjukkan, KPU Pusat tidak bisa bersifat independen. Padahal, DPR RI melalui UU Nonor 22 tahun 2007, sudah memberi wewenang pada KPU sebagai regulator atau mengatur pelaksana dan mengatur pilkada. Menurutnya, sikap KPU itu muncul, karena tarik menarik kepentingan dan keberadaan KPU disahkan oleh DPR RI dan pemerintah.
“Jika putusan Mahkamah Konstitusi tidak dilaksanakan, Pemerintah, DPR, dan KPU, telah menciptakan sistem demokrasi parpol yang totaliter,” kata Akil. Demokrasi seharusnya adalah harapan rakyat banyak, dan tidak boleh dikoptasi oleh kepentingan segelintir parpol dan rezim yang berkuasa.
Kondisi lainnya adalah, Pemerintah, DPR, KPU, telah dengan sengaja mendorong terjadinya konflik horizontal di tengah masyarakat. Terutama di daerah yang akan melaksanakan pilkada. Yakni, Maluku Utara, Kalbar, Sulteng, Sulsel, dan lainnya.
Psikologis parpol di parlemen cenderung menolak calon perseorangan. Hal itu mengakibatkan “pembiaran” dan kondisi sedemikian rupa. Ini sangat berpotensi menimbulkan konflik baru di masyarakat.
Pemerintah harus mengeluarkan perpu dengan segara. Karena kondisi hal “ihwal kegentingan yang memaksa” sudah dapat diperkirakan terjadi. Menurutnya, tidak bijak, negara menunggu terjadi dulu konflik di tengah masyarakat, baru menganggap “hal ihwal kegentingan memaksa terjadi. Jika demikian, negara memberi ruang terjadinya konflik berkepanjangan. Dan ini, berpotensi menganggu sistem keamanan negara RI.
“Ironis dan berbahaya. Oleh karenanya, semakin nyata kepada kita semua, bahwa parpol bukan satu-satunya harapan. Yang bisa dihandalkan dalam membangun sistem demokrasi di republik ini,” kata Akil.
Dalam pilkada di Kalbar, tidak ada alasan KPUD tidak menerima calon perseorangan. Apalagi dengan alasan tidak logis. Soal anggaran, sudah jelas dibiayai oleh negara. Soal banyak atau tidaknya calon, memang itulah tugas KPU.
Menurut Akil, akan lebih layak kalau calon perseorangan belum diatur secara nyata oleh KPUD, lebih baik pilkada-nya ditunda, sampai adanya Perpu. Dan itu lebih bijaksana.
Ada tenggat waktu yang memaksa anggota dewan dan KPU membuat regulasi itu.
Kalau terjadi pembiaran terhadap masalah calon perseorangan dalam pilkada, bisa menyebabkan konflik horisontal di masyarakat dan bisa berkembang mengarah ke konflik vertikal, antara masyarakat dan pemerintah.
“Hal ini bisa mengarah pada separatisme,” kata Akil.□
Baca Selengkapnya...
Posted by Muhlis Suhaeri at 3:11 AM 0 comments
Labels: politik