Saturday, May 23, 2009

Saat Jurnalis Berpolitik

Oleh: Muhlis Suhaeri
Sebuah Kilas Balik
Keinginan menjadi jurnalis, awalnya tak terlintas dalam diri Tanto Yakobus (35). Kerja sebagai jurnalis, hanya untuk dapat kerjaan, setelah ia lulus dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Tanjungpura (Untan) pada 1997. Ia masuk Untan pada 1993.

Uniknya lagi, saat itu, ia hanya mengantar temannya, Rusli. Lamaran pun pas hari terakhir. Kebetulan, di jok motornya, ia selalu menyimpan foto copi ijazah kuliahnya. Eh, malah dia yang diterima bekerja. Rusli tak diterima bekerja. Setelah enam bulan bekerja, ia merasakan asyiknya menjadi jurnalis. Apalagi, ia bekerja dengan orang-orang yang punya kemampuan.


Tanto pertama kali bekerja di Harian Suaka pada awal 1998. Ini koran harian milik pengusaha sekaligus politikus, Osman Sapta Odang. Sekarang ini, Osman merupakan ketua Partai Persatuan Daerah (PPD). Ia juga pendiri dan pengagas, partai berlambang payung ini.

Selepas koran itu bangkrut, Tanto pindah kerja sebagai koresponden majalah Gatra, Gamma dan Forum di Kalbar. Ia pernah menjadi redaktur di Harian Equator. Ini sebuah koran grup Jawa Pos di Kalbar. Sekarang ini, Tanto menjadi Wakil Pemimpin Redaksi (Wapemred) di Borneo Tribune.

Borneo Tribune sebuah koran harian yang didirikan di Pontianak pada 19 April 2007. Pemegang sahamnya, para pengusaha, politikus, dan pengacara lokal di Kalbar. Berdiri sendiri dan tak punya afiliasi pada koran nasional.

Sejak sekolah, Tanto Yakobus gemar membaca dan menulis. Ia selalu berada di perpustakaan sekolah seminari tempatnya belajar. Ada banyak buku di sana. Hal itulah yang membuatnya terinspirasi, untuk selalu belajar dan membaca. Awalnya, ia gemar membaca juga tak sengaja. Rasa bosan di sekolah, ia tutup dengan nongkrong di perpustakaan sekolah. Akhirnya, ia jadi hobi membaca dan menulis.

Bahkan, ketika kelas 3 SMA, ia membuat karya tulis setebal 60 halaman. Judulnya,
“Adat Perkawinan Dayak Mantuka.” Tulisan itu berisi tahapan perkawinan subsuku Dayak Mantuka, mulai dari meminang, melamar, prosesi perkawinan, hingga pantangan-pantangannya. Tulisan itu merupakan kenang-kenangan untuk sekolah. Saat itu, sekolah meminta murid yang hendak lulus sekolah, membuat berbagai kenangan untuk sekolah. Ada yang membuat sabit, sapu, kerajinan dan lainnya. Tanto memilih membuat karya tulis.

Kebetulan, bapaknya kepala dusun di Landau Mentawak. Sebuah dusun kecil berjarak 68 km di perbatasan di Nanga Mahap dan Ketapang. Tulisan itu terinspirasi karena sang orang tua, pernah mengurusi perkawinan beberapa orang.

Keterlibatan pada dunia politik, karena ia ikut arisan orang Sekadau, Paguyuban Patih Sanggar Singaria di Pontianak. Patih Sangaria merupakan Temenggung dari Sekadau.

Situasi daerah ketika itu, ada berbagai keinginan dari para elit politik, untuk memekarkan wilayah. Dengan terbentuknya wilayah baru, terdapat berbagai posisi eksekutif di pemerintahan, dan anggota legislatif di DPRD. Pemekaran menjadi alasan, agar rentang kendali pembangunan bisa dipangkas. Apalagi dengan luasnya wilayah di Kalbar.

Pada 1999, ada pemekaran Kabupaten Landak dari Kabupaten Pontianak. Setelah itu, juga ada keinginan membentuk Kabupaten Sekayam, yang merupakan kumpulan kecamatan di sepanjang perbatasan dengan Malaysia. Berdasarkan website Wikipedia, Kabupaten Landak, pemekaran dari Kabupaten Pontianak (4 Oktober 1999). Kabupaten Bengkayang, pemekaran dari Kabupaten Sambas (20 April 1999). Kota Singkawang, pemekaran dari Kabupaten Bengkayang (21 Juni 2001). Kabupaten Sekadau, pemekaran dari Kabupaten Sanggau (18 Desember 2003). Kabupaten Melawi, pemekaran dari Kabupaten Sintang (18 Desember 2003). Kabupaten Kayong Utara, pemekaran dari Kabupaten Ketapang (2 Januari 2007). Kabupaten Kubu Raya, pemekaran dari Kabupaten Pontianak (17 Juli 2007).
Aktivitas Tanto Yakobus di politik, merupakan produk dari proses pemekaran yang menghasilkan Kabupaten Sekadau. Sekadau dulunya bekas kawedanan. Sekadau pernah jadi pusat pendidikan di Kalbar yang digerakkan misionaris.

Ada 30 orang penggagas awal pemekaran. Sebagian besar PNS. Hanya tiga orang bukan PNS. Ketiganya, Tanto, Tauhid dan Johan. Ia mengikuti dari awal proses itu. Bahkan, dalam berbagai rapat di gedung DPRD dan DPR RI di Jakarta, ia turut serta.

Selepas Kabupaten Sekadau terbentuk, Johan berkata pada Tanto, “Kita ini sudah lahirkan Sekadau, tapi tak dapat apa-apa. Kalau mau berpartisipasi di Sekadau, hanya ada satu cara. Ikut partai politik dan jadi dewan.”

Johan menjadi salesman minyak pelumas Shell. Melalui jaringan para birokrat dan pengusaha yang dikenalnya, ia memasukan produk itu ke berbagai perusahaan di Kalbar.
Pada 2004, Tanto masuk ke Partai Demokrat (PD). Selepas itu, ia ikut sosialisasi ke berbagai daerah di Kalbar. Pada 2005, berlangsung Musyawarah Daerah (Musda) Partai Demokrat se-Kalbar. Musda diikuti dengan berbagai Musyawarah Cabang (Muscab) di tiap kabupaten/kota. Pada 2006-2007, berlangsung Muscab PD di tiap kabupaten/kota. Muscab terakhir di Sekadau, pada 2007. Muscab berhasil memenangkan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dari PD, Simon Petrus, menjadi bupati Kabupaten Sekadau.

Dengan terpilihnya Simon, peluang PD menang di Sekadau, semakin besar. Kemenangan tentu berimbas dengan para kader dan Caleg dari PD. Dengan alasan itulah, Tanto mencalonkan diri jadi Caleg PD untuk DPRD Kalbar. Ia mendapat nomor urut dua, daerah pemilihan (Dapil) Kabupetan Sanggau dan Sekadau.

Proses politik yang dimulai dari pemekaran. Bukan karena latah atau ikut-ikutan. Sekarang ini masa yang pas. Umur 35, masa untuk mengubah pekerjaan satu dengan lainnya. “Pas juga, karena sekarang ini, bupati Sekadau dari Demokrat,” kata Tanto.
Selain itu, motif politik dan menjadi Caleg, karena ingin berpartisipasi membangun daerah. “Ibaratnya, kita sudah melahirkan anak, maka kita sendirilah yang merawatnya,” kata Tanto.

Alasan lain, “Ternyata tangan aku tak sanggup lagi mengubah orang dengan tulisan. Aku ingin mengubah orang dengan mulut aku dengan menjadi dewan.”


HARI ADRIANTO lelaki energik. Pembawaannya selalu waspada. Khas seorang jurnalis. Ia biasa dipanggil Harrry Daya. Daya berasal dari kata Dayak. Panggilan itu diperoleh, semasa ia kuliah di Jurusan Jurnalistik, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Temannya menganggap, karena berasal dari Kalimantan, berarti orang Dayak. Panggilan itu telah melekat hingga kini. Orang lebih mengenal Harry Daya, daripada Harry Adrianto.

Sedari kuliah, ia sudah menjadi jurnalis. Ia pernah bekerja sebagai reporter Harian Pontianak Post yang ditempatkan di Jakarta. Selepas itu, menangani beberapa media di Bogor. Akhirnya, ia kembali ke Pontianak, dan menjadi Redaktur Pelaksana di Harian Equator. Selepas itu, ia menjadi koresponden Majalah Tempo di Kalbar.

Sebagai anak rantau yang pernah melihat berbagai daerah dan permasalahan, dia membandingkan kehidupan masyarakat di perantauan dengan tempat tinggalnya. Ia tinggal di komplek Transat Pontianak. Tempat itu dihuni para pensiunan serdadu.
“Ada sesuatu yang salah,” kata Harry, “ada banyak ketidakadilan.”

Kehidupan penghuni asrama seolah mandeg. Bahkan, mengalami kemunduran. Kehidupan warga tak teratur dan miskin. Para pemuda menganggur dan tak ada pekerjaan. Kalaupun ada, alami kemerosotan generasi. Bila sang orang tua menjadi serdadu, si anak hanya menjadi Satpam.

Pada Pemilu 2004, Harry marah dengan Partai Golkar (PG). Alasannya, Golkar tidak memperhatikan komplek itu. Padahal, setiap berlangsung Pemilu, penghuni komplek selalu menjadi pendukung setia, partai berlambang beringin ini. Karenanya, Golkar selalu menang di komplek itu.

Ia melihat anggota dewan lupa daratan. Mereka bawa berbagai sumbangan menjelang Pemilu. Ketika sudah terpilih, tak muncul lagi.

Pada Pemilu 2004, ada anggota partai yang mau masuk ke Transat tapi tak berani. Namanya, PKBB. “Masuk saja, saya yang bertanggungjawab,” kata Harry.
Kemudian terjadi pertemuan Caleg dari PKBB dengan warga. Pertemuan berlangsung ramai dan meriah. Pas Pemilu, PKBB menang telak di TPS itu. Walaupun, secara umum, PKBB kalah.

Ini membuka wawasan dan perhatian serius para tokoh Golkar. Sinyal untuk menampar orang Golkar sampai. Harry bertemu tidak sengaja dengan petinggi Golkar, dan bertanya tentang kekalahan Golkar di basis itu. Pertanyaan itulah yang ditunggunya.

“Saya sangat sedih, karena Transat sebagai basis Golkar, tapi diperlakukan secara semena-mena oleh orang Golkar,” kata Harry pada sang petinggi partai.

Caleg Golkar datang bawa minyak, setelah itu pergi tak berkabar. Padahal, Transat membutuhkan hal lebih dari itu. Persoalan anak muda yang menganggur. Kehidupan ekonomi makin turun. Generasi semakin merosot.

Dia melihat, ada sesuatu yang kurang dilakukan para anggota dewan terhadap basis mereka. Misalnya, demo masalah sampah. Tak ada satu anggota dewan pun yang muncul. Padahal, berita itu sudah seminggu muncul di media massa.

Masalah yang selalu dilihatnya adalah, ada hak rakyat yang diambil para oknum. Banyak persoalan di lapangan yang sampai sekarang tidak tertangani. Ada pengungsi Sambas yang sampai sekarang, surat-surat tanahnya tidak tertangani. Ini permasalahan mendasar yang harus disikapi.

Akhirnya, dibentuklah organisasi pada 2005. Namanya, Forum Anak Kolong (FAK). Forum itu dideklarasikan di Balai Kartini, Pontianak. Setelah forum terbentuk, strateginya adalah, setiap wilayah harus bersatu dan eksis di bidang sosial, ekonomi dan politik. Ini diharuskan. Tak boleh malu-malu. Di FAK dilarang minta sumbangan. Itu hal memalukan.

Selama ini, pada tiga sektor itulah, mereka lemah. Untuk memperkuat cita-cita lebih tinggi, para anggota terjun ke bidang politik. Bersatu dan memilih kawan terbaik. Akhirnya, mereka punya nilai tawar.

FAK membebaskan kadernya masuk ke partai manapun. Hal itu membawa hasil. Ada yang masuk ke PAN, PPD, dan lainnya. Harry masuk ke Partai Persatuan Daerah (PPD). Bahkan, dia diberi nomor urut satu. Keputusan itu diberikan sebelum keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memberikan suara terbanyak.

Alasan menjadi Caleg, “Setelah kita jadi anggota DPRD, jadi jembatan warga untuk hal yang lebih baik,” kata Harry.


NAMANYA HANYA satu suku kata, Holdi. Namun, cita-cita, jangkauan atau lompatan hidup yang ingin dilakukan, tak sependek namanya. Dia salah satu penganut semboyan hidup, “Live’s begin at fourthy.” Bahwa, hidup yang sebenarnya, dimulai pada umur 40 tahun. Sukses tidaknya seseorang, pada umur 40 tahun. Itulah, saat paling menentukan dalam membuat sebuah pilihan.

Karenanya, pada umur 40 tahun, dia ingin membuat sebuah lompatan pada jalan hidupnya. Begitupun saat dia menentukan dan mencoba alih profesi dan mengejar keinginan menjadi anggota dewan.

Holdi besar di Kabupaten Sambas. Siapa tak kenal Sambas? Pada era 1999, daerah ini menjadi ajang liputan jurnalis dari seluruh dunia. Ada tragedi kemanusiaan dan konflik antarkomunitas di sana. Komunitas Melayu Sambas dengan Madura. Sambas juga dikenal dengan jeruknya yang manis. Juga, karena seorang ulama dan sufi terkenal di dunia internasional, Shaykh Ahmad Khatib Sambas (1803-1875).

Shaykh Ahmad Khatib Sambas memadukan dan mengembangkan metode spiritual dua tarekat sufi besar, Qadiriyah dan Naqsabandiyah menjadi satu tarekat baru yang saling melengkapi. Ia tokoh karismatik dan memiliki reputasi keilmuan agama tinggi. Sang ulama hidup sekian lama dan memiliki madrasah di Mekah, Saudi Arabia. Hampir seluruh ulama di Nusantara, menelusuri genekologi intelektual mereka padanya (Erwin Mahrus dkk, Untan Press, 2003).

Sambas berada di pantai utara wilayah Kalimantan Barat. Berjarak sekitar 250 km dari ibukota provinsi, Pontianak. Sejak dulu, pelabuhan Pemangkat, Sambas, menjadi tujuan kapal-kapal dari Singapura, Johor, Sumatera, Jawa, Makassar, Banjar, atau China.

Bahkan, sejak zaman kerajaan Majapahit sudah terjalin hubungan khusus dengan Sambas. Majapahit menempatkan pasukannya di sana. Tidak untuk menduduki, tapi memberikan pendidikan khusus dan berbagai keterampilan pada masyarakat di Sambas. Begitu kata, Bakran Suny, dosen Universitas Tanjungpura (Untan), yang sedang ambil program doktor (S3) di University Kebangsaan Malaysia (UKM). Ia sampaikan itu, dalam suatu seminar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Pontianak.

Interaksi dan hubungan dengan dunia luar, membuat masyarakat Sambas lebih terbuka dan maju dari daerah lain di Kalbar. Tak heran jika banyak tokoh dan masyarakat Sambas, dari dulu hingga sekarang, selalu menempati berbagai pos penting dalam pemerintahan di Kalbar.

Masyarakat Sambas hidup dari pertanian dan maritim. Kombinasi ini membuat budaya, tradisi dan pola kehidupan masyarakatnya, mengabungkan hal tersebut.

Masa kecil hingga SMA, dia jalani di Sambas. Selepas SMA, Holdi kuliah di STAIN Pontianak. Selesaai kuliah, dia bekerja sebagai jurnalis di Harian Pontianak Post. Ini grup koran dari Jawa Post. Holdi sempat dipindahkan ke Harian Equator sebagai redaktur, ketika koran itu baru terbentuk. Namun, dia pindah lagi ke koran induk sebagai redaktur, hingga menjadi Redaktur Pelaksana (Redpel) Dua.

Meski sudah lama tinggal di Pontianak, dia selalu ingat dengan daerah asalnya. Kekerabatan dan persaudaraan masyarakat Sambas, memang terkenal dan kuat.

Ia melihat keluarga dan masyarakat di Sambas, masih tertinggal. Namun, bukan berarti ia maju kehidupannya. Dia merasa, di Pontianak tidak bisa membuat banyak hal, dan berbuat untuk kampungnya. Kalaupun membuat berita, bisa saja dilakukan. Tapi tak riel, karena tak langsung terjun ke masyarakat. Apalagi sebagai petinggi di Pontianak Post, dia terikat dengan pekerjaan dan rutinitas.

Karenanya, ada LSM yang didirikan. Ada pembinaan ke daerah. Jadi atau tidak nantinya sebagai Caleg, ia akan tetap melakukan pembinaan ke kampung. Bisa dengan banyak cara. Mendirikan pesantren, LSM, dan lainnya.

Ia ingin membangun kampung halaman. “Belasan tahun meninggalkan kampung halaman, tapi tak ada yang dibuat,” kata Holdi.

Dengan alasan ingin membangun daerah, Holdi masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kini, ia menjadi Caleg dari PPP untuk DPRD Provinsi Kalbar, Dapil Sambas. Ia mendapat nomor urut dua.

“Masyarakat mesti diadvokasi, dan diberikan bantuan modal pembangunan,” kata Holdi.


ENDANG KUSMIYATI sosok pekerja. Karakternya kuat dan bersemangat. Sangking semangatnya, terkadang ia juga harus bersinggungan dan bergesekan dengan orang lain, atau rekan kerjanya. Ada sikap yang selalu menonjol dan dilihat dari sosok ini. Ia memiliki sikap kritis. Begitu juga dengan rasa ingin tahu tentang suatu permasalahan.

Ia besar dan tumbuh di wilayah transmigran di Kabupaten Sintang. Para transmigran masuk ke Sintang, pada 1981. Pemerintah tak memberikan fasilitas atau sarana infrastruktur memadai. Mereka ibarat dibuang di tengah hutan. Tanah pertanian gersang, karena gambut begitu tebal. Bahkan, hingga sekarang pun, masih banyak daerah di Satuan Pemukiman (SP) transmigran, jalannya tak bisa ditembus kendaraan. Jalan belum beraspal. Bila turun hujan, lumpur begitu pekat.

Tak heran, banyak warga meninggalkan daerah transmigran. Mereka mencari hidup di kota kabupaten, Sintang. Hal itu menimbulkan permasalahan sosial baru bagi pemerintah. Dalam sebuah seminar mengenai transmigrasi di Rektorat Untan, seorang mantan Kodim di Sintang mengatakan, ada orang-orang yang tak kuat menjalani hidup baru, akhirnya bunuh diri. Banyak juga yang karena harus menyambung hidup, akhirnya menjalani profesi sebagai pekerja seks komersial (PSK).

Kini, setelah puluhan tahun mengolah tanah dan berjuang di tanah yang “terjanjikan”, mereka mulai bisa menata hidup. Sebagaimana para pendatang dan masyarakat baru di seluruh dunia, mereka bekerja keras memperbaiki dan menata hidup. Orang Jawa yang merupakan penduduk Kabuapaten Sintang, dan berasal dari transmigran, sekarang ini jumlahnya mencapai 30-35 persen.

Endang sekolah SD hingga SMA di Sintang. Lulus dari sekolah, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian, Jurusan Ilmu Tanah, Universitas Tanjungpura di Pontianak. Masuk pada tahun 1998, melalui jalur non utul (ujian tulis) atau mendapat PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan). Ia sempat cuti selama empat semester, dan menyelesaikan kuliah pada 2007.

Semenjak kuliah, ia aktif di berbagai kegiatan kampus. Ada kegiatan pers dan lembaga studi kampus. Dari kegiatan itu, ia memperoleh banyak pengalaman. “Semasa kuliah inilah, saya belajar berpolitik kecil-kecilan,” kata Endang.

Misalnya dalam pemilihan organisasi, baik intern maupun ekstern kampus. Untuk belajar komunikasi dengan masyarakat, ia mendapatkannya ketika bergabung di NGO atau LSM, dan lembaga sosial lainnya. Di organisasi ini, ia melakukan pendampingan masyarakat.

Berbekal ilmu dan pengalaman tersebut, ia mengetahui seluk beluk dunia politik dan pemerintahan. Pengalaman itu bisa menjadi bekal dan diterapkan, ketika berkomunikasi dan berkumpul dengan masyarakat.

Selepas kuliah, ia pernah bekerja di beberapa media massa dan NGO. Sekarang ini, Endang bekerja sebagai reporter, dan menjadi kepala biro Sintang, untuk Harian Borneo Tribune.

Dengan kapasitas yang dimiliki, dan profesi sebagai jurnalis, memungkinkannya memperluas berbagai keingintahuan tentang suatu hal. Pers memiliki fungsi kontrol dan pengawasan. Ini sesuai dengan salah satu fungsi legislatif.

Endang masuk sebagai Caleg dari Partai Amanat Nasional (PAN), untuk daerah pemilihan di DPRD Sintang dengan nomor urut satu. Alasan masuk ke dewan? Perjuangan kaum perempuan yang diamini legislatif pusat dengan affirmative action 30 persen. “Ini memungkinkan kaum perempuan punya peran lebih baik dalam pembangunan,” kata Endang.
Ia melihat, khususnya di Sintang, tokoh perempuan masih malu tampil ke permukaan.

Hal itu berdasarkan pengamatan dan pengalaman selama menjadi Jurnalis di Sintang. Ia selalu berinteraksi dengan para anggota dewan. Jumlah anggota DPRD Sintang sebanyak 35 orang. Dari jumlah itu, ada tiga orang perempuan.

“Jarang sekali ketiganya mau dan berani memberikan komentar, terhadap permasalahan yang ada melalui media,” kata Endang. Terutama masalah terkait kebijakan pembangunan yang tidak responsif gender. Dari segi konsep dan kemampuan, biasa saja. Ia melihat,
ini jadi peluang bagi dirinya masuk dan mewarnai dewan.

“Jikapun bisa memperjuangkan, saya ingin di dewan akan tercipta suatu kondisi yang kritis dan transparan,” kata Endang.

Itu salah satu alasan yang memotivasi dirinya masuk ke dewan. Sehingga apa yang memang menjadi hak rakyat, akan bisa dinikmati oleh rakyat.

Selain sosok-sosok tersebut di atas, masih ada beberapa jurnalis yang menjadi Caleg di Kalbar. Di Pontianak Post, Nies Alantas, Wapemred, Caleg Golkar, DPRD Sambas. Di Harian Equator, Hamka, reporter, Caleg Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia (PNBK), DPRD Kabupaten Kubu Raya. Di Harian Borneo Tribune, Andika Lay, reporter, Caleg Partai Damai Sejahtera (PDS), DPRD Kota Pontianak. Herkulanus Agus, reporter, Caleg Partai Indonesia Baru (PIB), DPRD Sanggau. Gusti Iswadi, reporter, Caleg Golkar, DPRD Ketapang. Di Harian Berita Khatulistiwa, Jarni Iliani, redaktur, Partai Patriot, DPRD Kota Pontianak. Deni Juniardi, kontributor Global TV di Kalbar, Partai Persatuan Daerah (PPD), DPRD Pontianak. Ada Joni dari Harian Equator, mencalonkan diri di Sambas. Faisal, dari Harian Metro Pontianak, mencalonkan diri di Kabupaten Kubu Raya, dan lainnya.

Partai Politik sebagai Cantolan

DALAM SUATU negara demokrasi, partai merupakan puncak tertinggi dari suatu organisasi. Eddi Wibowo, dkk, dalam bukunya berjudul “Ilmu Politik Kontemporer” menulis, kehadiran partai politik dalam suatu negara demokrasi, merupakan suatu keharusan yang tak bisa dihindari. Partai mengemban fungsi yang berkaitan dengan demokrasi dan negara. Partai merupakan sarana komunikasi, perekrutan, sosialisasi, pendidikan, partisipasi dan pembuat kebijakan politik. Partai juga pengatur konflik.

Semua fungsi dan peranan tersebut, pada akhirnya mewujud dalam berbagai penentuan kebijakan dan fungsi kontrol dalam suatu negara, melalui wakil di dewan. Dewan berfungsi sebagai legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Dalam menjalankan tiga fungsi itulah, berbagai fasilitas dan hak-hak istimewa, dimiliki para anggota dewan. Hal itulah yang membuat orang berlomba, meraih dan mengejar status sebagai anggota dewan. Salah satu cara yang harus dilakukan, tentu saja harus punya cantolan dulu di partai.

Di Kalbar ada 12 kabupaten dan dua kota madya. Dari 14 wilayah itu, ada 480 jumlah kursi untuk DPRD Tingkat II, dan 55 kursi untuk DPRD Tingkat I.

Untuk DPRD Tingkat I, Kalbar dibagi dalam delapan daerah pemilihan (Dapil). Kalbar 1, Dapil Kota Pontianak. Ada tujuh kursi. Kalbar 2, Dapil Kabupaten Pontianak dan Kubu Raya. Ada 10 kursi. Kalbar 3, Dapil Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang. Ada lima kursi. Kalbar 4, Dapil Kabupaten Sambas. Ada empat kursi. Kalbar 5, Dapil Kabupaten Landak. Ada empat kursi. Kalbar 6, Dapil Kabupaten Sanggau dan Sekadau. Ada tujuh kursi. Kalbar 7, Dapil Kabupaten Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Ada sembilan kursi. Kalbar 8, Dapil Kabupaten Ketapang dan Kayung Utara. Ada enam kursi.

Jumlah pemilih di Kalbar ada 3.154.887 orang. Terdiri dari 1.161.076 pemilih lelaki, dan 1.538.811 perempuan. Jumlah itu diperebutkan 1.183 Caleg untuk DPRD Tingkat I Provinsi dari 38 partai. Dari angka itu, 406 merupakan Caleg perempuan. Caleg DPRD Tingkat II Kabupaten/Kota 8.623 Caleg. Calon anggota DPD ada 26 orang. Empat merupakan perempuan. Yang berhak mewakil Kalbar, hanya empat orang.

Tak heran, bila sebagian besar orang dari berbagai latar belakang dan profesi, mengalir ke partai. Apalagi menjelang Pemilu seperti sekarang ini. Ada berbagai alasan, mengapa orang ingin menjadi dewan. Begitupun para jurnalis.

“Jurnalis yang jadi dewan adalah publik figur. Mereka mudah dikenal mulai dari pejabat hingga orang biasa. Apalagi bagi yang bekerja di media besar dan terkenal,” kata Tanto Yakobus.

Dengan latar belakang yang dimiliki, jurnalis mudah membaca situasi. Kebiasaan dari jurnalis selalu membaca situasi, untuk angle atau sudut pandang dari tulisan yang bakal dibuat. Situasi yang sederhana atau rumit, biasa dilihat dalam profesi ini. Ini sesuatu yang menguntungkan sebagai bekal ke dewan.

Dulu, syarat masuk sebuah partai tidak ada. Sekarang, berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2008, tentang Pemilu, syarat menjadi Caleg minimal SMA. Jurnalis memiliki pendidikan sarjana atau Strata 1 (S1).

“Dari segi SDM diatas rata-rata,” kata Tanto.

Pengalaman politik jurnalis lebih bagus. Alasannya, hidup jurnalis lebih dinamis, dan bisa merasakan permasalahan. Ketika menulis, jurnalis mendapat informasi dari berbagai narasumber. Tak heran bila partai mengincar para jurnalis. Salah satu contoh, Meuthia Hafid yang ketika diculik, membuatnya populer dan diingat orang.

Namun, tak ada strategi khusus Parpol menggandeng para jurnalis. Parpol hanya menampung saja. Orang masuk partai mempertimbangkan ideologi.

Sebagai jurnalis yang menjadi anggota partai, ia terkadang merasa diperalat juga. “Ada masalah sedikit, panggil kita. Jadi konsultan komunikasi,” kata Tanto.

Misalnya saja saat PDIP dengan gencar melontarkan pemberitaan dan isu mengenai pemerintahan SBY atau Demokrat. Sebelum membuat bantahan, pimpinan Partai Demokrat Kalbar, bertanya pada dirinya. Kalau menanggapi isu yang dilontarkan, apa efeknya bagi partai. Juga, bagaimana menangani permasalahan itu.

Ia memberikan usul, tidak semua isu perlu ditanggapi. Warga sudah cerdas dalam menilai sebuah berita dan isu. Kalau ditanggapi berarti ada pembenaran. Kecuali, isu menyerang secara pribadi dan perorangan. Ketua DPD Partai Demokrat Kalbar, menuruti sarannya.

Tanto melihat ada kelemahan anggota dewan saat menjabat. Kemampuan menulis lemah. Karenanya, saat membuat pandangan fraksi misalnya, mereka kewalahan. Celakanya lagi, yang membuat hanya staf dewan. Hasilnya tak ada kemajuan dari dulu. Yang diubah hanya tanggal dan tahun. “Ini menunjukkan dewan tak ada kemampuannya, terutama dalam hal menulis,” kata Tanto.

Ada satu keistimewaan, ketika jurnalis menjadi dewan. Sebagai mitra kerja, jurnalis dan eksekutif hubungannya bisa lebih dekat. Alasannya, jurnalis biasa bertemu dengan para pejabat ini.

Jurnalis yang menjadi Caleg, punya beberapa kelebihan. Mereka tahu berbagai kondisi dan isu yang berkembang di masyarakat. Sehingga bisa melakukan sosialisasi dengan baik di masyarakat. Tak perlu membawa berbagai barang dan makanan. Namun, memberikan pemahaman dan pendidikan politik ke masyarakat.

Ia tidak menghamburkan uang. Karena dari segi pendanaan juga kurang. Juga tidak membuat berbagai janji. “Caleg yang menghamburkan uang, akan berusaha kembalikan modal itu,” kata Tanto.

Akibatnya, ketika Caleg jadi, akan berusaha membuat modalnya kembali. Yang muncul selanjutnya, berbagai bentuk korupsi. Hal itu ditanamkan pada para pemilih dan masyarakat di konstituennya.

Satu keuntungan lagi yang dirasakannya ketika menjadi Caleg, ia memiliki pendidikan sarjana dan bisa hidup di kota. Ini penting. “Yang menjadi standar kesuksesan masyarakat di daerah, makin jarang pulang kampung, berarti orang itu, ada pekerjaan bagus di kota,” kata Tanto.

Tanto jadi Caleg di wilayah Kalbar 6, Dapil Kabupaten Sanggau dan Sekadau. Jumlah pemilih di dua kabupaten ini, sebanyak 415.736 orang. Pemilih lelaki 214.830 orang. Pemilih perempuan 200.906 orang.

Harry Daya punya argumentasi hampir sama, ketika jurnalis menjadi dewan. “Kalau jurnalis jadi dewan, pengaruhnya luar biasa,” kata Harry.

Jurnalis terbiasa melakukan investigasi di lapangan. Biasa bertemu berbagai macam orang. Mengetahui berbagai permasalahan di masyarakat. Misalnya, masalah Raskin, BLT, Askeskin, Jamsostek bagi buruh, air bersih, infrastruktur, listrik, dan berbagai kebutuhan mendasar masyarakat lainnya. Mungkin saja hal itu masalah kecil, namun bagi warga merupakan masalah besar.

“Kalau kita jadi dewan, kita tahu masalah dan punya teman yang tahu masalah. Sehingga bisa memperjuangkan hal-hal ini,” kata Harry.

Anggota dewan yang dasarnya jurnalis, punya kemampuan melakukan investigasi, cek dan ricek, tahu isu, dan memahami berita baik atau buruk. Dengan masuk ke lingkaran kekuasann, akan tahu berbagai macam kejadian. “Namun, dewan harus berani dan punya hati nurani. Sehingga bisa melakukan pembelaan,” kata Harry.

Bagi jurnalis yang menjadi anggota dewan, kepercayaan sudah diperoleh di masyarakat.
Jurnalis biasa membela rakyat. Hal itu membuat warga percaya. Karenanya, jurnalis yang menjadi Caleg, tak perlu merayu masyarakat untuk memilihnya.

Bagi masyarakat awam, jurnalis punya kemampuan melakukan banyak hal. Untuk membela rakyat tidak meragukan. Masalah wawasan, pemikiran dan jaringan, juga sudah dimiliki.
Ketika memilih ke partai, ia tidak punya strategi khusus dibuat. Motivasi menjadi dewan, sebenarnya tak ada. “Semua mengalir begitu saja,” kata Harry.

Mengenai sikap majalah Tempo terhadap pencalonannya sebagai Caleg, ia tidak tahu, kantor tahu atau tidak. Tapi, ia pernah diwawancara Metro TV, dalam berita pilihan pemirsa.

Jumlah kursi di DPRD Tingkat II Kota Pontianak, ada 45 kursi. Dibagi dalam lima Dapil. Kota Pontianak 1. Dapil Pontianak Kota. Ada sembilan kursi. Kota Pontianak 2. Dapil Pontianak Barat. Ada 10 kursi. Kota Pontianak 3. Dapil Pontianak Utara. Ada sembilan kursi. Kota Pontianak 4. Dapil Pontianak Timur. Ada enam kursi. Kota Pontianak 5. Dapil Pontianak Tenggara dan Selatan. Ada 11 kursi.

Jumlah pemilih di Kota Pontianak ada 413.936 orang. Jumlah pemilih lelaki 207.862 orang. Pemilih perempuan 206.074 orang. Harry Daya termasuk Caleg dari Dapil Pontianak Utara.

Masuknya Holdi ke partai politik, dilakukan saat PPP mengadakan Musyarakat Wilayah (Muswil) Provinsi. Ia berbisik-bisik pada petinggi partai, dan siap menjadi pengurus wilayah. Dengan cara itu, ia punya peluang menjadi Caleg. Niat itu sudah ada beberapa tahun sebelumnya.

Alasan masuk ke PPP, karena di Golkar sudah ada jurnalis jadi kader di sana. Namanya, Nies Alantas, Redaktur Pelaksana 1 di Pontianak Post. Selain itu, komunikasi di PPP sudah terjalin dengan baik.

Alasan partai merekrutnya, ia tak tahu. Sebab, ia yang menawarkan diri ke PPP. Saat kepengurusan terbentuk, ia menjadi Wakil Sekretaris di DPW PPP Kalbar.

“Ini suatu penghargaan karena bisa masuk sebagai formatur harian,” kata Holdi. Dengan menjadi pengurus partai, lebih mudah menjadi Caleg. Sehingga partai bisa menjadi alat bagi perubahan di daerahnya.

Di PPP, ia tidak hanya sebagai tim penggembira. Tapi, mewarnai kebijakan partai. Ikut memberikan keputusan dan saran. Mengatur strategi dan perencanaan partai.

Ketika ada proses pencalegan, ia mendaftarkan diri. Pada tingkat provinsi, PPP hanya dapat satu kursi. Ini jadi tantangan bagi dirinya, bekerja keras dan dapat suara. Targetnya, dapat suara 30 persen. Karenanya, ia memanfaatkan waktu libur kerja pada Sabtu-Minggu, untuk pulang ke Sambas. Tujuannya, membangun basis pemilih.

Pengalaman sebagai jurnalis, banyak yang bisa digunakan di partai. Misalnya saja dalam mengambil kebijakan partai. Kebijakan harus menimbang masalah dari berbagai aspek. Sehingga diskusi dengan pengurus partai lain, bisa sambung. Jurnalis tahu tentang aspek hukum, sosial, ekonomi dan lainnya.

Jurnalis tahu informasi sedari awal. Itu berguna bagi partai. Jurnalis biasa membuat angle. Tahu momen atau situasi. Sehingga bisa menyelami partai. Tahu sisi dan keinginan masyarakat. Karenanya, bisa lihat momen dan manfaatkan kegiatan partai.

Ada keuntungan jadi jurnalis saat berpolitik. Ia tahu bermacam karakter orang. Ketika ada yang datang tawarkan program atau istilahnya makelar politik, ia bisa tahu. “Kita sudah sering lihat. Sudah tahu tabiat orang. Bisa membaca situasi. Tidak bisa digilekan orang,” kata Holdi.

Ia tahu cara dan bisa melihat gelagat orang. Pasalnya, sudah sering lihat model orang seperti itu. Ia pernah ikut tim Pilkada. Jadi, tahu mana yang ingin jatuhkan dan menaikkan orang. Tahu isu berbagai daerah dan kondisi masyarakat. Isu mana yang harus diangkat dan tidak. Misalnya, isu pengangguran cocok dilempar ke satu daerah, tapi tak cocok di daerah lain.

“Jurnalis tahu isu setiap wilayah, sesuai dengan kondisi masyarakat,” kata Holdi.

Holdi termasuk Caleg wilayah Kalbar 4. Dapil Kabupaten Sambas. Pemilih di Kabupaten Sambas ada 381.768 orang. Pemilih lelaki 193.3370 orang. Pemilih perempuan 188.398 orang. Jumlah seluruh Caleg di Dapil 4 untuk DPRD Tingkat I, sebanyak 134.

Ia tidak pasang baliho. Ia ingin membuktikan, Caleg tanpa baliho bisa jadi. Orang sudah muak dengan baliho. Menurut survei, pemasangan baliho hanya berpengaruh dua persen saja. Pontianak Post menawari iklan gratis. Namun, dia menolaknya. Di kampung orang tidak baca koran. Begitu alasannya.

Holdi punya tim yang bergerak di tiap kampung. Ada 3-4 orang. Cara kerjanya, awalnya tim hanya mendorong orang memilih pada Pemilu. Mereka ajari orang mencoblos. Setelah masyarakat tahu, mereka memberitahu bahwa ada Caleg “orang kita”. Warga diberikan buku saku berisi profil dan program dari Holdi.

Ketika sosialisasi, ia mengatakan pada warga untuk membagi ilmu. Bukan beras, kerudung, minyak, dan lainnya. Meski begitu, ia menyadari bahwa, “Saat ini pendidikan politik sudah hancur. Masyarakat sudah terbiasa minta berbagai bantuan barang dan lainnya,” kata Holdi.

Ada cerita lucu, seorang Caleg mengeluh pada dirinya. Ceritanya, ada sebuah gang minta bantuan semen. Sang Caleg memberikan bantuan. Setelah semen ada, dia ditelepon lagi, masyarakat minta batu dan pasir. Setelah diberikan batu dan pasir, warga menelepon lagi. Untuk mengerjakan pembangunan gang, mereka butuh uang membayar tukang. Si Caleg dibuat pusing oleh warga.

Endang Kusmiyati juga punya cerita, ketika memutuskan masuk partai dan berpolitik. Keputusan berasal dari motifasi dan keyakinan, jika orang lain bisa, tentu ia bisa.
Ia melihat realitas yang ada. Kondisi daerahnya di Desa Merarai II Pandan, Kecamatan Sei Tebelian, Kabupaten Sintang, tidak banyak alami perubahan. Padahal, ada sejumlah anggota dewan dapat dukungan suara dari daerah itu.

Keberadaan anggota legislatif punya fungsi legislasi, terutama rencana pembangunan yang tertuang di APBD. Atas dasar itu, ia beranikan diri masuk partai, dan terjun dalam bursa pemilihan anggota legislatif, untuk tingkat II Sintang pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2009.

Partai merupakan satu-satunya wadah yang ditentukan hukum negara, sebagai sarana menuju fungsi legislasi. “Tentu saja saya harus bergabung ke partai,” kata Endang.

Tak sekedar bergabung, tapi ia miliki kapasitas yang ditawarkan ke partai. Bekal kegiatan dan pengalaman di dalam dan luar kampus, membuatnya yakin bisa berinteraksi di partai.

Apalagi dalam pelaksanaan dan pemerataan pembangunan, diperlukan telaah lebih dalam terhadap kondisi masyarakat yang penuh “warna”. Karenanya, dibutuhkan komunikasi dan “sentuhan” berbeda. Tidak sekedar datang mengunjungi dan berikan bantuan, tapi perlu juga sikap empaty atau rasa turut merasakan.

Seorang legislator harus miliki sikap empati dan komunikatif. Sehingga persoalan masyarakat di tingkat grass root atau akar rumput yang tidak terpantau, dapat dicarikan pemecahan. Namun, empati muncul bukan karena ia perempuan, yang diidentikkan lebih banyak kedepankan masalah perempuan.

Endang tertarik masuk PAN, karena pada awal terbentuknya partai berlambang matahari putih ini, melihat ketokohan Amin Rais. Dari rasa simpatik, berganti jadi rasa ingin bergabung. Apalagi, setelah DPP PAN berani menyatakan, perolehan suara untuk Caleg terpilih, tidak berdasar nomor urut. Tapi, gunakan suara terbanyak.

Dalam Musyawarah Daerah (Musda) Perempuan Amanat Nasional (PUAN) Sintang pertama, Endang terpilih sebagai Ketua DPD PUAN Sintang. Seingatnya, Ketua DPD PAN Sintang, Hery Firhansyah, mencari figur yang layak “dijual” sebagai Caleg dalam Pileg 2009. Khususnya untuk Dapil Sintang I, yang meliputi Sintang, Kelam Permai, Dedai dan Sungai Tebelian.

Endang menyatakan pada Sekretaris PAN Sintang, ia termasuk pengurus DPW PAN Kalbar. Langsung saja, Sekretaris DPD PAN Sintang, memperkenalkannya pada Ketua DPD PAN Sintang. Sang sekretaris mengatakan, Endang anak transmigrasi yang lebih paham daerah trans. Ia dinilai punya potensi, baik dari segi pemikiran maupun pendidikan. Karenanya, Ketua DPD PAN menyetujuinya sebagai Caleg.

Diakomodirnya 30 persen perempuan sebagai bentuk affirmative action dalam UU Pemilu, jadi peluang besar. Banyak partai bingung cari kader perempuan. Mereka yang direkrut, tentu saja bukan sekedar sebagai pelengkap. Tapi kader perempuan yang punya konsep dan bisa diandalkan, dan besarkan nama partai. Ada beberapa partai hubung dan minta padanya bergabung. Termasuk salah satu partai besar, PDIP.

Bagi kader di lapangan, penentuan suara terbanyak, merupakan penerapan demokrasi sebenarnya. Masyarakat tidak terjebak memilih wakil, seperti beli kucing dalam karung. Apa yang dilakukan PAN, dipertegas Mahkamah Konstitusi (MK) dengan mengubah Pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008, tentang Pemilihan Anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta DPD.

Endang sepakat dengan dasar yang dikeluarkan MK, ubah redaksi pasal tersebut. “Bahwa, penetapan Caleg terpilih berdasar nomor urut, sama dengan melanggar hak rakyat dan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Endang.

Kini, apa yang dari awal diperjuangkan PAN dan dipertegas MK, jadi pintu pembuka bagi yang tergabung di Parpol dan Caleg. Siapapun yang dipilih masyarakat, merupakan orang yang “layak” mewakili nama rakyat.

Walau begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa, suara terbanyak muncul ekses negatif. Ada persaingan di internal partai. Sekarang ini, tinggal jujur atau tidaknya galang simpati dan dukungan masyarakat di lapangan.

Di Kabupaten Sintang ada 35 kursi di DPRD Tingkat II. Dibagi menjadi lima Dapil. Sintang 1, Dapil Sungai Tebelian, Sintang, Dedai dan Kelam Permai. Ada 12 kursi. Sintang 2, Dapil Binjai Hulu, Ketungau Hilir, Tengah dan Hulu. Ada 8 kursi. Sintang 3, Dapil Sepauk dan Tempunak. Sintang 4, Dapil Kayan Hulu dan Hilir. Sintang 5, Dapil Serawai dan Ambalau. Jumlah pemilih di Kabupaten Sintang ada 250.543. Jumlah pemilih lelaki 129.005. Pemilih perempuan 121.538 orang. Endang termasuk di Dapil Sintang 1.

Andi Kasim atau Andika Lay merupakan jurnalis di Borneo Tribune dari Tionghoa yang calonkan diri sebagai Caleg. Ia terdaftar sebagai Caleg dari PDS, Dapil Pontianak Utara.

Masuknya warga Tionghoa dalam ranah politik, karena pemerintah buka ruang lebar bagi partisipasi mereka. Keikutsertaan orang Tionghoa berpolitik, tidak lepas dari sistem partai politik dan UU Pemilu. Yang berisi kesempatan seluas-luasnya pada semua orang, termasuk Tionghoa. Dulu, kesempatan itu dibatasi. Sehingga yang muncul hanya sedikit saja.

“Banyaknya kaum Tionghhoa jadi Caleg, punya tujuan dan berjuang mengaspirasikan masyarakat. Karena ketika diangkat, dituntut jalankan aturan itu,” kata Hartono Azas.

Namun, pada akhirnya, masyarakat yang melihat dan punya tolak ukur. Ia yakin masyarakat cerdas tentukan pilihan politik. Proses demokrasi mesti dikawal dan berjalan baik. Sebab, Indonesia sudah sukses memulai babak dan proses demokrasi.

“Saya pikir, ini tidak bertetangan dengan nilai kesatuan dan persatuan. Saya ingin setiap warga negara, punya derajat dan hak sama,” kata Azas.

Andrew Yuen, mantan jurnalis yang aktif di organisasi kepemudaan mengatakan, ada orientasi orang Tionghoa masuk ke ranah politik atau Caleg. Mereka tidak lagi mempercayai aspirasi politik dan cita-cita, pada orang atau kelompok lain.

“Perubahan politik harus dikawal sendiri,” kata Yuen.

Sebelum 1999, posisi orang Tionghoa hanya dijadikan sapi perah saja. Saat kran demokrasri dibuka, mereka harus masuk dan melakukan perubahan. Meskipun, saat itu banyak muncul politik aliran atau identitas.

Pada Pemilu 1999, ada beberapa politikus dari Tionghoa masuk ke politik. Ada Alvin Lie dari PAN. LS Susanto dari Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia. Murdaya Poo dari PDIP. Lius Sungkarisma dari Partai Tionghoa Reformasi Indonesia, dan lainnya.

“Akhirnya, orang yang masuk ini, mengawal UU Kewarganegaraan. Lahirlah UU Antidiskriminasi Ras dan Etnis,” kata Yuen.

Menjelang Pemilu 2009, politik aliran masih terjadi. Namun, ada satu hal jadi pertanyaan, apakan orientasi orang masuk dewan masih sama. “Sekarang ini, mungkin saja orang tidak punya cita-cita politik. Tidak orang Tionghoa saja, tapi juga anggota dewan yang lain,” kata Yuen.

Handy Abdul Syukur, Pemimpin Redaksi Media Daerah, sekaligus Sekretaris DPD Partai Hanura Kalbar menyatakan, jurnalis berpolitik cocok. Namun, harus mapan dulu secara ekonomi dan wawasan.

“Kalau jurnalis belum mapan, sama saja dengan bunuh diri,” kata Handy. Ia jadi jurnalis sejak 1975, di majalah Sahabat Pena Indonesia.

Menurutnya, berpolitik harus berkorban, karena tidak difasilitasi. Kalau tak berkorban, tujuan tidak akan tercapai. Harus ada pengorbanan, agar cita-cita bisa terwujud.

Yang harus dipertimbangkan sebelum masuk politik, wawasan dan pemikiran. Mapan secara ekonomi, harus ada usaha, investasi, dan simpanan. Dari segi moral harus baik. Kalau moral tidak bagus, akan hancur. Mereka bisa terjerumus korupsi, poligami, dan lainnya. Mental tidak terbentuk dari awal. Ketika jadi politikus, jadi kaget. Misalnya, ketika jadi dewan, difasilitasi sehingga lupa diri. Apalagi orang membutuhkannya.

Begitu jadi dewan, merasa diperlukan dan tak takut dihukum, karena merasa kebal hukum. Atau, karena dapat berbagai fasilitas. Bisa dapat berbagai kepentingan. Yang dasarnya harus melindungi dan menyuarakan rakyat, malah digunakan untuk eksploitasi.

“Menjadi orang pers lebih enak. Walaupun resiko tinggi, tapi kalau membuat berita bagus, orang akan suka. Di politik, kalau rakyat merasa haknya tak digubris, akan terus merasa tidak suka,” kata Handy.

Jurnalis yang jadi Caleg, tentu saja berhadapan dengan manajemen di kantornya. Ada yang terapkan peraturan, meski tak secara tertulis. Ada yang tak miliki aturan.

Manajemen redaksi di Pontianak Post, tak mempebolehkan jurnalis terlibat di dunia politik atau menjadi Caleg. “Namun, aturan itu hanya di mulut saja. Tak ada yang tertulis,” kata Holdi.

Saat jadi Caleg, ia ajukan surat cuti panjang dan bebas tanggungan. Ia punya tekad bulat jadi Caleg. Jadi, ia siap hadapi peraturan itu. “Kalau tidak diperbolehkan, ya, berhenti. Kalau masih diperbolehkan, ya, terima kasih,” kata Holdi.

Managemen di Pontianak Post, lebih enak membuat kebijakan bagi jurnalis yang jadi Caleg. “Kebijakan yang dibuat sekarang ini, tak lepas dari pengalaman masa lalu,” kata Salman, Pimred Pontianak Post.

Pada Pemilu 2004, jurnalis yang daftar jadi Caleg, sebelum pengumuman daftar calon tetap (DCT), diberi dua pilihan. Undur diri atau lanjut sebagai jurnalis.

Ada tiga jurnalis jadi Caleg. Mizar dan Yaswin dari Golkar. Julianto dari PPP. Mizar mundur dari Caleg dan tetap memilih jadi wartawan Pontianak Post. Sedangkan Yaswin dan Julianto bertahan maju sebagai Caleg. Namun keduanya gagal. Yaswin kini kembali menjalani profesi lamanya sebagai pengacara. Sedangkan Julianto menjadi aktivis LSM.

Dari pengalaman itu, kantor buat kebijakan baru pada 2009. Ketika jurnalis ajukan diri jadi Caleg, tidak ada aturan tertulis. Tapi, saat jurnalis ajukan cuti, diminta buat surat secara tertulis. Mereka bisa ambil cuti selama 14 hari atau cuti tahunan. Jurnalis bisa lakukan cuti non aktif selama empat bulan. Walaupun dalam aturan perusahaan, tidak ada cuti empat bulan.

“Kalau dipangkas kasihan mereka, toh karyawan kita juga. Ini salah satu alternatif saja,” katanya. Yang susah bila jurnalis tak lakukan cuti. Ini bisa membuat pusing kepala, karena mengganggu kinerja perusahaan.

Seandainya tidak terpilih jadi dewan, mereka bisa balik lagi ke Pontianak Post. Tapi, mesti membuat surat lamaran baru. Perusahaan berhak tempatkan di mana saja. Tidak harus di posisi lama, karena jabatan sudah diisi. Bisa di bagian iklan, pemasaran, atau posisi yang dibutuhkan. Dalam kelompok Jawa Post, peraturan itu, dulu juga dilakukan anak perusahaan lain. Misalnya di Kaltim. Tapi, masing-masing perusahaan mandiri.

Banyaknya jurnalis jadi anggota dewan, sesuatu yang wajar. Ketika jadi dewan, status sosial akan naik. Gaji turut naik. “Jadi, wajar kalau mereka ke sana,” kata Salman.

Namun, biasanya, jurnalis ke dewan lebih pada tataran ekonomis. Jenjang profesi jurnalis terbatas. Mungkin, dengan jadi dewan, mereka bisa berbuat banyak hal. Jadi dewan bentuk dari pencitraan diri. Bisa jadi batu loncatan, dapat proyek dan lainnya. “Karena yang menjadi batu loncatan itu, dari emas,” kata Salman, sambil bercanda.

Tanto Yakobus, ketika bekerja di Harian Equator, grup Jawa Post di Pontianak, juga hadapi masalah sama. Jurnalis tidak boleh ikut partai politik. “Tapi, aturan itu hanya di mulut saja. Kalau di Borneo Tribune, malah tak ada aturan,” kata Tanto.

Nur Iskandar, Pemimpin Redaksi (Pemred) Borneo Tribune berpendapat, berpolitik itu pilihan. Tapi, jangan gunakan jurnalistik, untuk kepentingan pribadi. Media tak boleh digunakan untuk kepentingan politik. Apalagi dengan membabi buta.

Borneo Tribune belum ada sistem yang mengatur, ketika jurnalis masuk partai atau jadi Caleg. “Sistem belum ada. Dalam kondisi ini, masing-masing harus kembali pada kejujuran mereka,” kata Nur Is, panggilan akrabnya. “Kita mengambil pelajaran dari kondisi-kondisi ini. Terutama bagi media yang baru tumbuh,” kata Nur Is.

Kalau ada yang ke politik, Borneo Tribune solidaritas dan memberikan iklan gratis.
Sebagai kawan, ia mengingatkan, jangan sampai menggadaikan jurnalistik. Sebagai orang yang ditunjuk Pemred, kalau jurnalis lebih memilih politik, Borneo Tribune akan kesulitan. Hal itu juga dialami media lain. Memilih dan mencari jurnalis yang miliki SDM baik, tidak mudah.

Adanya jurnalis yang tinggalkan profesi dan jadi dewan, menjadi tantangan bagi perusahaan media dan orang pers, untuk memperhatikan masalah kesejahteraan. Saat ini, belum banyak perusahaan media yang sanggup berikan kesejahteraan pada karyawannya. Grup media besar, terkadang juga muncul ketidakpuasaan dalam masalah kesejahteraan. Hanya kelompok tertentu saja yang menikmati kesejahteraan di bidang pers.

Masuknya jurnalis ke dewan, jadi saringan bagus bagi yang memegang teguh dunia pers. “Mana yang setia pada profesi, mana yang berada pada wilayah abu-abu, dan partisan,” kata Nur Is.

Jurnalis yang pilih jadi Caleg, disatu sisi meninggalkan demokrasi lebih besar. Jurnalis mengadvokasi masyarakat. Ini sebuah kondisi tak akan tergoyahkan.

Adanya beberapa jurnalis jadi Caleg di Borneo Tribune, sebagai kawan, ia tentu saja menghargai pilihan orang ke politik. Sebagai jurnalis, ia merasa sayang juga. Wadah atau media yang ada, harusnya dipelihara. Wadah itu mulai berkembang. Sambil bercanda, ia sampaikan pada teman yang jadi Caleg, tidak setia pada profesi.

Hikmah yang harus dipetik dalam masalah ini, sistem media harus kuat. Sehingga aturan bisa ditegakkan. Sistem di media harus bisa mempertahankan, jurnalis tak pindah ke lain hati, dan mengabdi pada jalur pers.

Ia merasa aneh, kalau ada orang media yang sudah tahu kenikmatan kerja di pers, tapi meninggalkan profesi itu. Bagaimanapun, masyarakat bakal menilai. Siapa yang bisa berkiprah terhadap mereka. Dan, mana yang lebih peduli dan konsisten.

Mekanisme perjuangkan rakyat di dewan berbelit. Hasilnya bisa saja semu. Kalau berjuang di pers, bisa lebih dekat dengan rakyat. ”Bisa kritik apa saja, sebagai penawar dari dinamika sosial,” kata Nur Is.

Dia berharap, jurnalis yang jadi anggota dewan kelak, bisa berikan daya dukung terhadap kinerja jurnalis. Mereka gampang dikontak. Konfirmasi dan transparan. “Kalau tidak, pers akan menulisnya walaupun kawan sendiri. Pers harus mengontrol,” kata Nur Is.

Handy Abdul Syukur, Pemimpin Redaksi Media Daerah dan Sekretaris DPD Hanura Kalbar, menyatakan, jurnalis yang jadi Caleg, tidak fokus pada pekerjaan. Kalaupun kerja, 100 persen tidak baik kerjanya. Misalnya, tidak masuk kerja. Kualitas kerja menurun, karena perlu anggaran untuk itu.

Kalau ke politik, harus berani berhenti atau cuti dari kerjaan. Alasannya, orang menggutamakan kepentingan pribadi. Sehingga pekerjaannya tidak baik. Mereka menggunakan media untuk kepentingan sendiri.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan media, menyikapi hal ini. Pertama, kalaupun Caleg diberhentikan, ada resiko harus dilakukan karena menyangkut UU Tenaga Kerja. Ada imbalan ganti rugi harus diberikan media. Kedua, tenaga jurnalis, mungkin masih bisa digunakan, walaupun tidak 100 persen. Ketiga, perasaan tidak enak. Ada hubungan baik yang susah dihilangkan. Keempat, mungkin saja figur bisa dimanfaatkan dari segi bisnis. Jurnalis yang menjadi Caleg, bisa dimanfaatkan dengan membawa kawan di partai, untuk beriklan di media yang bersangkutan. Kelima, ada kepentingan yang mendorong ketika Caleg ini jadi. Misalnya, bisa dimanfaatkan untuk kepentingan perusahaan. Wewenang Caleg bisa dimanfaatkan, perjuangkan nasib perusahaan supaya besar, lobi-lobi, dan lainnya.

Bila jurnalis jadi politikus, sebaiknya pilih salah satu. Terjun ke politik dengan keberanian hal-hal yang memang dipilih. Tapi kalau belum mapan, lebih baik memperdalam dan memantapkan profesinya. “Sesuatu kalau dilakukan dengan profesional, tekun, disiplin, akan mendapatkan sesuatu yang lebih. Apalagi jurnalis merupakan sosok terhormat,” kata Handy.

Alasan Partai Merangkul Jurnalis
Ada banyak alasan merangkul para jurnalis jadi kader partai. Dalam banyak hal, kebutuhan akan kader berkualitas, kepentingan prakmatis, dan kaderisasi yang tidak berjalan di internal partai, jadi titik temu, masuknya jurnalis di lingkaran partai politik.

Handy Abdul Syukur berkata, hampir semua partai punya keinginan menggandeng jurnalis di partai. Alasannya, partai akan untung. Namun, profesi akan rugi karena sudah terikat, dan ada hubungan emosional dengan kawan atau pengurus partai yang bersangkutan.

“Dengan masuknya jurnalis sebagai anggota partai, ada kompensasi yang diharapkan,” kata Handy.

Partai bisa gunakan jurnalis melalui pemberitaan. Jurnalis bisa dijadikan alat komunikasi dan informasi. Melihat perkembangan internal atau eksternal partai. Memperlancar informasi dari luar, karena Jurnalis lebih cepat dapat informasi dari berbagai sumber. Misalnya, orang ingin tahu perkembangan di KPU. Informasi itu gampang dicari jurnalis.

Jurnalis punya wawasan dari berbagai aspek. Ini bisa dimanfaatkan. Jurnalis cara komunikasinya beda. Ibaratnya, sudah tahu apa yang diinginkan orang. Nah, dalam bidang politik, itu diperlukan, karena komunikasi di politik dan jurnalistik berbeda.

Komunikasi politik tidak ada kepastian. Komunikasi jurnalis, ketidakpastian dijadikan bahan memperkuat posisi di politik, dijabarkan dan diperdalam. Selanjutnya, dianalisa untuk mengukur sosok politikus atau figur. Perbedaan itu yang harus dikejar, sehingga ada kepastiannya. Itulah jurnalistik. “Kelebihan jurnalistik, bisa membuat kepastian di politik,” kata Handy.

Caleg jurnalis ada manfaatnya bagi masyarakat. Ketika jurnalis di dewan atau politik, sesuatu bisa diperdalam dan bisa dilihat kebenarannya, kata Handy.

Ilmu di jurnalis, bisa digunakan di politik. Asalkan, bisa bedakan politik dan profesi. Kalau jurnalis, ada idealismenya. Jadi, tidak heran, jurnalis yang duduk di legislatif, akan berjuang dengan sungguh-sungguh.

Jurnalis mengetahui masalah di masyarakat. Sementara di politik, menangkap hal itu demi kepentingan diri para politikus. Kadang persoalan kecil dibesarkan, supaya ada kepentingan didapat. Politik menangkap persoalan itu demi popularitas. Sementara jurnalis untuk kebenaran.

“Keuntungan besar bagi partai, punya kader jurnalis,” kata Handy.

Selain itu, wilayah kerja pers sangat menggoda. Jurnalis punya kemampuan sosialisasi dan mempromosikan diri. Hal itu membuat partai ingin menggandeng jurnalis. “Bagi yang tidak kuat, peluang itu akan diambil,” kata Nur Is.

Ia menilai, alasan orang menjadi dewan, karena tergoda dengan penampilan anggota dewan pada masa lalu. Sekarang ini, dewan malah jadi sasaran pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Zainudin Isman mengatakan, ada pengalaman penting sebagai Jurnalis, ketika masuk anggota DPRD atau partai. Kegunaannya sangat besar. Jurnalis profesional kalau jadi dewan, akan lain modelnya. Mereka punya wawasan luas. Cara menyampaikan sesuatu bisa lebih fokus. Tak perlu muter-muter. Juga menguasai UU. Salah satu fungsi DPR atau DPRD adalah fungsi legislasi.

“Yang sering saya lihat dan berhasil menjadi anggota dewan, biasanya dari latar belakang aktivis dan jurnalis,” kata Zis.

Hartono Azas, Ketua Partai Demokrat Kota Pontianak, Wakil Ketua DPRD Kota Pontianak pada sebuah wawancara di rumahnya mengatakan, jurnalis yang jadi Caleg, punya kemampuan komunikasi lebih baik pada masyarakat. Jurnalis tahu bagaimana sampaikan pesan melalui media. Bisa melalui gambar atau foto dan tulisan. Artinya, menguasai komunikasi massa.

“Jurnalis punya kompetensi, sehingga memudahkan komunikasi ke masyarakat. Juga punya pengetahuan,” kata Azas.

Mengenai untung atau tidaknya jurnalis jadi Caleg, tergantung bobot nilai dan informasi yang disampaikan. “Yang pasti, jurnalis aktif yang bekerja di media, akses untuk loloskan berita lebih gampang,” kata Azas.

Apakah ini untungkan partai? Kalau disampaikan secara proporsional dan obyektif, tentu akan bagus. Tapi kalau disampaikan tidak baik, akan bias dan belum tentu untungkan partai. Bagi masyarakat tertentu yang tahu media corong dari suatu obsesi partai tertentu, sikap profesionalisme akan bias. Karena bawa kepentingan partai. Akan tetapi, kalau tetap profesional, akan mendukung dan memberikan ruang. Dengan bacaan yang baik di media, pikiran tidak terstigma. Audien dan pembaca yang cerdas akan membandingkan, dan tidak mudah terprovokasi sebuah berita.

“Mengenai jurnalis yang jadi corong di suatu partai, jelas itu sah saja. Partai politik perlu media untuk sosialisasikan program dan visi misinya kepada masyarakat,” kata Azas. Bahkan, di beberapa media, ada tokoh politik memegang saham sebuah media.

Di Partai Demokrat, proses mencari kader dan Caleg dilakukan secara terbuka. “Siapa saja yang sepaham, diberi kesempatan berjuang di Partai Demokrat. Semua profesi bisa,” kata Azas.

Ia tak menampik, jurnalis yang ikut partai, ada konflik kepentingan. Tapi, sejauh ada profesionalisme dan netralitas, tak ada masalah. Namanya profesi, tentu ada kode etiknya. Profesi akuntan, advokat, guru, dosen, jurnalis, dan lainnya.

Ia mengatakan, ada strategi menggandeng jurnalis. “Mereka ini memiliki komunikasi yang efektif. Karena kunci politik adalah, bagaimana membangun komunikasi dengan baik,” kata Azas. Dan, bahasa jurnalis atau koran, bahasanya mudah dimengerti. Karena orang kenal melalui media dan jangkaunya luas.

Jurnalis yang di partai, mendeseminasi atau menyebarluaskan visi dan misi dari suatu tugas partai. Menarik simpati dan mempengaruhi masyarakat. Mendukung cita-cita partai. Mengajar masyarakat mendukung partai atau kader. Pencitraan penting untuk politisi. Salah satu faktor melalui media massa. “Demokrasi harus ditopang oleh media massa,” kata Azas.

Jurnalis punya kredibilitas dan potensial, akan dilirik orang partai. Faktor popularitas penting bagi politisi. Namun, popularitas saja tidak cukup. Aktivitas dalam suatu kegiatan harus ada. Dalam mencari kader, ada dua pendekatan. Partai baru belum bicara kaderisasi. Partai lama sudah memiliki kader banyak. Sehingga perlu tampilkan tokoh yang punya kemampuan dan kapasitas.

Asmaniar, anggota DPRD Kalbar dari PAN menyatakan, alasan partai merekrut jurnalis untuk jadi Caleg, bukan karena partai tertarik. Tapi, karena partai kekurangan orang. Sehingga siapapun diterima. Tentunya yang dianggap punya potensi. Begitu juga dengan Jurnalis.

Ketika memilih jurnalis sebagai kader, partai sedang bicara mengenai orang yang punya kompetensi dan pengetahuan. Mengenai adanya agenda tersembunyi di partai ketika merekrut jurnalis, hal itu mungkin saja terjadi. Karena jurnalis sudah terbiasa di masyarakat, sehingga partai bisa tersosialisasi dengan baik. Atau, ada informasi terkini yang sedang terjadi, lebih gampang diakses.

Bahkan, kalau pun ada arahan dari sebuah partai, menyuruh kadernya yang jadi jurnalis, bersikap meredam sebuah isu atau konflik di partainya sendiri atau antarpartai. “Hal itu bisa saja terjadi, dan pasti ada pengaruhnya,” kata Asmaniar, “tapi, saya melihatnya, hal itu bukan sebagai kekuatan yang lebih besar.”

Mencari kader partai memang susah. Apalagi kader perempuan dan di pedalaman. Tidak mudah mencari orang yang bisa mengakses sesuatu dengan cepat. Juga, tidak mudah cari kader yang matang dalam urusan di tubuh partai dan luar partai. “Apalagi perempuan. Itu lebih spesifik. Perempuan yang bisa direkrut di partai politik sedikit sekali,” kata Asmaniar.

Menurutnya, dirangkulnya jurnalis masuk ke partai, lebih karena partai kekurangan orang. Sehingga potensi yang ada dirangkul. Persiapan pribadi lebih baik. Ketika jurnalis dirangkul, tinggal memoles sedikit saja. “Kebanyakan pendidikan politik partai di Indonesia, tidak berjalan dengan baik,” kata Asmaniar.

Sekarang ini, partai lebih banyak membuat kader militan dan loyal pada partai. Bukan pendidikan politik yang berharap, kedepannya seseorang jadi politikus atau negarawan. Ini bisa dilihat dari berapa besar dan banyak, negarawan atau kader partai yang bisa melihat sesuatu yang lebih luas, di ranah partainya masing-masing.

Keinginan sebagian besar masyarakat menjadi anggota dewan, merupakan suatu fenomena menarik. Setidaknya, itulah pendapat Zainudin Isman.

“Ini ada kaitannya dengan masa dan proses transisi demokrasi di Indonesia,” kata Zis, sapaan akrabnya.

Banyak orang berpikir, kalau jadi anggota dewan, punya status sosial dan peluang. Banyaknya peluang, tentu tergantung dari orangnya. Yang diukur sekarang, ada banyak hal yang memanfaatkan jabatannya dalam bidang budjeting, legislasi, dan pengawasan. Tapi, ada juga fungsi-fungsi lain yang ditafsirkan dan bisa menguntungkan.

Hal ini tentu saja memprihatinkan. Kalau orang motifasinya hanya mencari sesuatu, dan bukan kepentingan masyarakat. “Di DPRD peluangnya banyak. Sama juga di jurnalis,” kata Zis.

Ada orang ingin jadi anggota dewan dengan jual tanah. Alasannya, ada berbagai kesempatan bisa didapat di dewan. Menurutnya, hal itu sah-sah saja. Tapi apa mesti begitu.

Lalu, apa syarat menjadi anggota dewan?

“Syarat yang harus dipenuhi tentu harus jadi anggota partai,” kata Asmaniar. Selain itu, mencalonkan diri ke KPU sebagai calon anggota dewan. Ada tingkat pendidikan. Ada berbagai aktivitas dan tujuan politik. Memiliki personal dan integritas, merupakan syarat penting menjadi anggota dewan. “Jangan hanya sekedar mencari lapangan pekerjaan sebagai dewan,” kata Asmaniar.

Zainudin Isman berkata, ada beberapa syarat jadi dewan. Pertama, tentu saja harus dapat dukungan dari partai politik. Kedua, pencitraan. Terutama pada pemilih cerdas. Kalau pencitraannya baik, peluang jadi Caleg akan lebih baik. Ketiga, kemampuan membangun jaringan. Harus punya kemampuan dan kapasitas lakukan pendekatan. Dalam lakukan itu, terkadang ada beban material muncul. Untuk bangun jaringan, orang yang datang tentu saja harus diberi ongkos. Belum lagi menghadapi para makelar politik. Dalam Pemilu ini, banyak orang yang datang sebagai makelar politik.

Dalam Pileg 2009, ada beberapa strategi dipakai. Ia gunakan jaringan partai yang dikenalnya secara langsung. Bangun jaringan kepada patron. Misalnya, pada tokoh lokal, ustad, ketua adat, tokoh masyarakat, mantan kepala desa, mantan kepala adat dan lainnya. Intinya, mereka punya kepemimpinan dan ada pengikutnya.

Ia melihat, ada salah strategi hadapi Pileg yang diidentikkan dengan memasang berbagai baliho. Ini tidak signifikan. Karena belum tentu ada jaringan. Caleg memperebutkan konstituen fanatik, massa mengambang atau pemilih pemula. Dan, menarik suara swing fotter atau pemilih mengambang. Ini orang yang bisa pindah partai atau golput.

Ia memberikan contoh, dalam Pilkada di Kota Pontianak, hanya diikuti tujuh pasang calon. Sekarang ini, dalam Pileg di Kota Pontianak, dari 45 anggota dewan yang ada, diperebutkan 1024 calon di lima Dapil.

Etika dan Profesionalitas
Ada banyak cara dari jurnalis, ketika tergabung dalam partai atau jadi Caleg, bisa tetap bersikap netral atau independen dari kepentingan partainya. Namun, benarkah mereka bisa bersikap independen, ketika menjalankan profesinya? Bagaimana mereka menyikapi tugas profesi dan kepentingan partai?

“Kalau masuk ke kantor jadi jurnalis. Kalau masuk ke politik, tinggalkan status jurnalis,” kata Tanto Yakobus.

Kalau ada berita tentang Partai Demokrat di Borneo Tribune? “Selama ini selalu pakai kaca mata jurnalis. Beberapa kali acara Demokrat, yang edit redaktur lain,” kata Tanto, “harus tahu diri. Mentang-mentang ini tulisan kita, jadi alat promosi.”

Sebagai Wapemred, Tanto punya kesempatan menulis apa saja. Mulai dari kebijakan Partai Demokrat tingkat pusat hingga daerah, maupun kepentingan sosialisasinya. Sebagai contoh, pada tanggal 15 Agustus 2008, Tanto menulis berita tentang Presiden SBY Instruksikan Partai Demokrat Pakai Suara Terbanyak. Dalam berita 21 Agustus 2008, berjudul Partai Demokrat Andalkan Figur Muda. Isi berita berisi pernyataan Ketua DPD Partai Demokrat Kalbar, Henri Usman, tentang DPD Partai Demokrat Provinsi Kalbar, telah mendaftarkan 56 orang Caleg ke KPU. Dari 56 Caleg tersebut, 90 persen adalah wajah baru dan berusia muda. Dalam beberapa kegiatan yang dilakukan Ketua DPC Partai Demokrat Kabupaten Sekadau, Simon Petrus, yang juga bupati Sekadau. Tanto juga menulis berita tersebut.

Dalam kolom atau tajuk di Borneo Tribune, dan berbagai artikel lainnya, ia bisa menyuarakan keinginan dan sudut pandangnya. Misalnya, artikel berjudul Menjadi Pemain. Berita berisi tentang alasan dan kenapa, ia menjadi Caleg dari Partai Demokrat. Atau, artikel berjudul Serangan Darat dan Udara, edisi 22 Desember 2008, tentang bagaimana mensosialisasikan diri. Dan, masih banyak contoh lainnya.

Holdi meski di PPP, kawan satu partai tidak mau memanfaatkan posisinya di Pontianak Post, demi kepentingan partai. PPP tidak mengeluarkan kebijakan partai, melalui mulut Holdi di media massa. Begitu juga kalau ada berita, tidak melalui Holdi. Ia tidak memberitakan, atau menyuruh jurnalis meliput kegiatan PPP. Malah, kalau ada kepentingan liputan, jurnalis biasanya minta nomor telepon petinggi PPP dengan Holdi. Ini, tentu saja mempermudah kerja jurnalis.

“Kalau ada kawan di PPP yang dianggap bermasalah dan diberitakan, biasanya kita memberitahu supaya kawan di partai ini, memberikan jawaban,” kata Holdi.

Dalam arsip berita di website Pontianak Post, dengan memasukkan kata kunci nama partai, kita bisa mendapatkan data, sebagai partai yang hanya mendapatkan kursi mendekati 15 persen, pemberitaan di Pontianak Post, lumayan banyak frekuensinya.

Partai yang paling banyak mendapatkan porsi pemberitaan adalah Partai Golkar. Dalam rentang waktu, 13 Agustus 2000 - 13 September 2008, terdapat 866 berita. PPP menempati nomor urut 2. Dari 7 Agustus 2000 - 6 September 2008, terdapat 528 berita. Meski menempati nomor urut kedua sebagai pemenang Pemilu 2004, porsi pemberitaan PDIP, tempati urutan ke 3.

Berita yang terbit sebanyak 451 berita, dari 6 Agustus 2000 - 13 September 2008. PKS peringkat ke 4. Ada 303 berita, sejak 4 Oktober 2000 - 25 Agustus 2008. PBR peringkat ke 5. Ada 216 berita, sejak 17 April 2003 - 30 Agustus 2008. PAN peringkat ke 6. Jumlah 174 berita, sejak 19 Agustus 2000 - 5 September 2008. Partai Hanura peringkat ke 7. Ada 32 berita, sejak 3 Februari 2003 - 10 Juli 2008. Partai lainnya, tak terlacak.

Dari bahan riset di web tersebut, berita tentang Partai Golkar, biasanya seputar konflik partai berlambang beringin ini. Misalnya, edisi 13 Juni 2006, berjudul Kembalikan pada Aturan Partai Konflik Golkar Kota dan Provinsi. Berisi konflik dan aturan main organisasi yang termaktub dalam AD/ART. Ada komunikasi yang tidak jalan antara DPD tingkat satu dan kota. Rentang waktu pemberitaan mengenai konflik internal ini, sangat panjang porsi pemberitaannya.

Berita pada 14 Januari 2008, berjudul Gagal Dalam Pilkada karenaKonflik Internal, Wanhat Bukan Cuma Pemanis. Berisi konflik internal, jadi penyebab kekalahan Partai Golkar (PG) pada sejumlah Pilkada di Kalbar. Konflik internal, bahkan membuat Dewan Penasehat, Gusti Syamsumin, tak didengar saran secara lisan maupun tulisan.

Kondisi itu, akhirnya membuat Gusti Syamsumin mengundurkan diri. Seperti, termuat dalam berita tanggal 25 Januari 2008. Friksi membuat Musdalub dan pemberhentian kader di berbagai daerah. Mundurnya Sang Godfather, membuat tak ada kader partai yang jadi panutan di Kalbar. Partai Golkar tergambarkan sebagai partai yang penuh dengan konflik, dan tak ada kepemimpinan yang baik di dalamnya.

Dalam berita tanggal 8 April 2008, berjudul Ke Arah Hukum Rimba Politik, menuliskan berbagai konflik di tingkat internal partai. Sejak Pemilu 2004, nyaris semua parpol dilanda pertikaian antarkader atau pimpinan. Tragisnya, mereka gagal bersatu lagi. Hanya, Partai Golkar memiliki kemampuan internal menyerap konfik, sehingga tidak menjurus pada perpecahan akut. Seluruh parpol besar lain, pernah dilanda konflik internal yang buruk. Ada yang tidak sampai merusak kelembagaan. Misalnya, PDIP. Sejumlah kadernya hengkang, dan mendirikan parpol baru, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). PDIP relatif dapat memulihkan stabilitas internalnya. PPP juga relatif tidak "goyah" meskipun banyak kadernya keluar dan mendirikan partai baru, seperti Partai Bintang Reformasi (PBR). Perpecahan juga muncul di tubuh Partai Persatuan Bangsa (PKB). Berita ini menggambarkan solidnya PPP, bahkan ketika ada konflik internal di partai, sekalipun.

Bukan berarti konflik internal tak pernah melanda PPP. Dalam berita, 15 Januari 2004, berjudul Pengajuan Caleg, Parpol Dilanda Konflik Internal. Penyelesaian konflik di internal partai terkait nomor urut Caleg, diselesaikan dengan baik merunut dan berpedoman pada SK dari DPP PPP dengan No 65/SKC/DPP/C/XII/2003. Juga, ada penyelesaian sangat baik melalui instruksi DPW dan DPP PPP dan AD-ART partai.

Berita tentang kader-kader di PPP, tergambar dengan baik dalam berita di Pontianak Post. Pada edisi, 6 September 2008, berita berjudul Noureris Terharu denganDukungan Masyarakat, DPC SegeraKirim Aspirasi Dukungan ke DPW PPP. Isi berita, dukungan masyarakat yang menyampaikan aspirasi ke DPC PPP Ketapang, agar Noureris Flyanshar, ditempatkan sebagai Caleg nomor urut satu, mewakili Ketapang untuk DPRD Provinsi.

Berita tentang PPP, juga tergambar dengan citra sangat baik, melalui gambaran partai Islam yang baik. Misalnya, dalam berita edisi 22 Juli 2008, berjudul Jaring Pencalegkan. PPP dalam menjaring Caleg-nya, selain berpedoman pada hukum dan UU, juga pada aturan internal partai. Misalnya, calon harus bisa mengaji atau membaca Alquran. Dalam berita itu juga, program dan konsolidasi partai, tergambar baik dalam rangka mengokohkan perjuangan PPP, ikut memberikan pendidikan politik ke masyarakat.

Dalam berita, PPP juga tergambar partai yang selalu solid atau kompak. Berita edisi, 9 Juli 2008, berjudul, Ahmadi Usman: PPP Dikenal Paling Solid. Isinya, PPP dikenal paling solid dalam menjalankan segala kebijakan fraksi maupun partai. Atau, edisi, 7 Juli 2008, berita berjudul Target Menang di Empat Pilkada. Juga menggambarkan kehebatan PPP. Isinya, sebagai partai terbesar di Indonesia dengan perolehan suara di papan atas, DPW PPP Kalbar mematok target besar dalam Pilkada Kabupaten/Kota. Padahal, pada Pemilu 2004, dari 46 anggota DPRD Kalbar, PPP hanya menempatkan 7 kursi. Artinya, perolehan suaranya hanya mendekati 15 persen saja.

Harry Daya menganggap, saat jadi Caleg tak ada pengaruhnya di pemberitaan yang dibuat. Begitu juga dengan jurnalis berpolitik. “Memang harus ada yang dikorbankan, demi tujuan lebih mulia dan luas,” kata Harry.

Sebagai jurnalis, dia merasa dewan tak bersikap kritis. Apa yang dikemukakan, tidak ditanggapi. Ia terkadang merasa, dampak dari apa yang ditulis, tidak maksimal. Kondisi itu muncul, mungkin saja dewan punya keterbatasan kemampuan.

Biasanya, ketika sudah masuk persoalan politik, sementara mengeluarkan diri atau cuti dari bidang jurnalis. Khusus untuk politik, agar bisa netral. Ia cuti dari penulisan politik. Tujuannya, menghindari hal-hal yang bersifat tekanan atau intimidasi. Juga praduga tak bersalah dari partai lain. Sejak ditetapkan sebagai DCT, ia tak pernah menulis politik. Tapi penulisan yang lain masih berjalan.

“Ini dilakukan sendiri. Dalam arti, tahu diri sesuai dengan hati nurani,” kata Harry.

Lagi pula, berita politik di Kalbar tak begitu besar, seperti di Jakarta. Berita politiknya tak seramai pemberitaan di pusat. Sebagai koresponden, tak banyak yang ditulis.

Dalam berita di website Tempointeraktif berjudul Masyarakat Protes Seruan MUI Kalimantan Barat, 12 November 2007, Harry Daya membuat sebuah berita tentang Ketua Harian Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, Senin (12/11) menegur MUI Kalimantan Barat yang menyerukan warga memilih pasangan Usman Jafar–LH Kadir dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Barat, pada 15 November nanti. Teguran ini disampaikan Amidhan melalui telekonferen yang disaksikan wartawan di Pontianak.

“MUI tidak boleh terlibat dalam politik praktis,” kata Amidhan dalam telekonferen dari Jakarta pada Senin ini. Larangan ini sesuai dengan hasil Musyawarah Nasional MUI 2001 di Jakarta. Dia meminta masyarakat Kalimantan Barat mengabaikan seruan memilih calon tertentu baik melalui tulisan maupun lisan.

Ada sebuah kepentingan di balik berita ini. Saat itu, Harry Daya, merupakan tim salah satu kandidat Gubernur Kalbar, yang bakal mengalami kerugian dengan statemen dari MUI Kalbar.
Endang Kusmiyati, meskipun telah terdaftar sebagai Caleg, bahkan setelah pengumuman kampanye terbuka, masih jalankan tugas sebagai jurnalis.

Baginya, walau jadi Caleg, tidak ada halangan lakukan liputan dan wawancara dengan anggota DPRD Sintang, yang tentu saja berasal dari berbagai Parpol. Bahkan, dengan Caleg dari Dapil yang sama sekalipun.

Baginya, jika informasi yang diberikan Caleg memang layak dan menyangkut persoalan masyarakat, tetap harus ditulis. Bila perlu, ia bakal melakukan cek ulang ke lapangan, untuk buktikan kebenarannya. Sekaligus sosialisasi dan cari dukungan juga.

Dengan tetap terbukanya sarana komunkasi dan menulis berita dari Caleg partai lain, ia berpikir cukup menjaga netralitasnya. Bahkan, boleh dibilang, berita tentang kegiatan partai tempatnya bergabung atau anggota DPRD dari PAN, jarang dimunculkan, dibandingkan suara dari Caleg Parpol lain.

Sikap Borneo Tribune hingga saat ini, tidak ada masalah terkait masuknya dia ke Parpol, bahkan hingga jadi Caleg. Sebelumnya, ia pernah komunikasikan hal itu pada Pimred, tentang boleh atau tidaknya bergabung ke Parpol. Niatnya bergabung dalam Parpol kian kuat, ketika Tanto Yakobus juga tergabung dalam Parpol dan jadi Caleg.

Dengan tetap bekerja sebagai jurnalis, jadwal bersosialisasi atau memperkenalkan diri dengan masyarakat, sangat terbatas. Paling tidak, ia hanya bisa manfaatkan pada Sabtu dan Minggu. Itupun terlebih dahulu harus “nabung” berita. Kalaupun terpaksa tidak bisa kirim berita, ia harus menghubungi Redaktur atau Pimred, dan mohon maaf karena tidak bisa kirim berita.

“So, saya pikir tidak ada masalah, selama segala sesuatunya masih bisa dikomunikasikan,” kata Endang.

Sebagai reporter, Endang bisa meliput berbagai aktivitas orang partainya, dari anggota pusat hingga daerah. Misalnya saja, kunjungan anggota DPRD RI Dapil Kalbar, hasil pergantian antar waktu (PAW) dari Partai Amanat Nasional (PAN), M Fanshurullah Asa yang melakukan kunjungan ke Pontianak (Borneo Tribune, Sabtu, 28 Juli 2008). Atau, memberitakan teman yang satu partai di PAN Sintang, yang sedang melakukan kunjungan kerja di pedalaman Sintang. Misalnya, kunjungan kerja Faisal, Wakil Sekretaris dan Sumarno, anggota dari Fraksi Pembaharuan di DPRD Sintang. Keduanya dari PAN (Borneo Tribune, Rabu, 4 Maret 2009). Atau, membuat laporan perjalanan meliput dan bercerita juga tentang dirinya yang menemani kunjungan Caleg DPR RI dari PAN, Fasrullah Asa. (30 Januari 2009-31 Januari 2009).

Zainudin Isman menyatakan, “Akan sulit bagi jurnalis yang masih aktif dan menjadi Caleg, untuk memisahkan kepentingan partainya dengan menjalankan profesinya.”

Jurnalis yang jadi Caleg, terutama pada masa kampanye seperti sekarang ini, sampai dengan Pemilu, lebih baik ajukan cuti dan tidak menulis. Terutama berita yang berhubungan dengan politik.

Kalau tetap menulis dari segi independensi, sulit dilakukan. Ada kecenderungan, sebagai pengambil keputusan, akan bisa melakukan dan cari berita yang untungkan diri dan partainya. “Katakanlah, dia akan mengambil pendapat dari orang lain yang cocok, sehingga menguntungkan partai atau dirinya,” kata Zis.

Ia setuju partai merekrut jurnalis. Dan, itu penting. Tapi ketika masa kampanye, harus dibebaskan dari medianya dengan cara cuti. Partai merekrut jurnalis, karena mereka punya pengalaman. Daya analisisnya lebih tajam. Hanya saja, netralitas menjadi lebih baik. “Sebaiknya dinonaktifkan saat masa kampanye. Khususnya, saat menulis berita-berita politik,” kata Zis.

Ada kecenderungan, media yang harus mempertahankan independensinya, tidak akan menempatkan jurnalis pada bidang politik. Partai politik, kalau ada kadernya di media massa, ada kecenderungan memanfaatkan kader mereka di media.

Jurnalis pada masa kampanye mesti non aktif atau cuti. Itulah, kontrol media terhadap jurnalis yang jadi Caleg. Kontrol harus kuat. Kalau tidak, orang yang punya kekuasaan akan menyalahgunakan kekuasaan.

Ketika masih jadi jurnalis di Kompas, ada beberapa orang yang jadi Caleg. “Kalau saya perhatikan, berita-berita yang mereka tulis, juga menguntungkan partainya,” kata Zis. Karenanya ia berpendapat, jurnalis yang menjadi Caleg, harus non aktif. Kalau terpilih harus mengundurkan diri.

Mengenai pemberitaan PPP di Pontianak Post, ada kecenderungan berita yang sifatnya protes dari bawah, tidak dimasukkan di Pontianak Post. “Konflik internal partai diredam beritanya. Tidak akan dimuat. Media lain yang memberitakannya,” kata Zis. Intinya, jurnalis yang jadi Caleg akan sulit netral. Terutama berkaitan dengan partai dan kepentingan pribadinya. Tidak ada strategi khusus dilakukan partai, supaya media lakukan pemberitaan pada partai.

Tetapi dalam rangka mencari keuntungan, kepentingan partai disuarakan di media massa. Harapan seperti itu ada pada partai. “Kalau partai diserang, jurnalis turut membela melalui pemberitaan. Saya rasa ada kecenderungan semua partai melakukan itu. Tapi, ini kecenderungan, ya,” kata Zis.

Apalagi bila jurnalis yang jadi Caleg, punya posisi kuat di media massa. Pasti ada kecenderungan itu, ketika membuat berita. Ada figur-figur yang bakal ditonjolkan. Ada kepentingan partai yang dilindungi.

Ia berharap, kedepannya, media dan jurnalis harus menjunjung informasi yang benar pada masyarakat. Artinya, kalaupun ada upaya dari partai politik memanfaatkan jurnalis, media harus bisa menegakkan nilai, bahwa jurnalis itu profesi.

Profesi jurnalis harus menegakkan keadilan dan kejujuran. Kalau sudah tidak jujur, bagaimana bisa menegakkan keadilan dan informasi yang benar. Walaupun informasi tersebut pahit, sudah menjadi kewajiban jurnalis menyiarkannya.

“Oleh karena itu, kepada jurnalis yang menjadi Caleg, harus bisa memisahkan itu. Walaupun itu akan berbenturan dengan partainya,” kata Zis.

Asmaniar berkata, tidak ada aturan atau UU yang menyatakan, jurnalis tidak bisa masuk ke politik. Kalau memang bisa menjadi polemik dan masalah, sebaiknya dibuat UU-nya. “Seperti TNI/Polri yang tidak bisa masuk lagi menjadi anggota dewan,” katanya.

Sekarang yang harus dilihat adalah, kesadaran dari para jurnalis dan media. Orang tidak bisa melarang jurnalis masuk ke partai politik. Harus ada diskusi di kalangan internal media, apakah mereka bisa independen, ketika harus masuk dalam sebuah partai. Harus ada diskusi, kalau masalah itu dianggap meresahkan. Harus dibuat sebuah aturan dalam lingkungan media sendiri.

“Itu yang harus diantisipasi,” kata Asmaniar.

Organisasi media harus duduk bersama, menentukan aturan sebuah media. Sehingga membuat nyaman semua orang. Kalaupun ada jurnalis masuk partai, harus dibedah dan didiskusikan. Ketika semua dibedah, buat aturan main sendiri. Dalam bentuk lebih luas, mesti dibuat aturan lebih tinggi dalam bentuk UU. Sehingga jadi aturan main bersama.

“Pers harus jujur. Apakah ini sekedar perusahaan pers yang hanya cari keuntungan dari bisnis saja atau apa,” kata Asmaniar, “jurnalis harus berpegang pada kejujuran.”

Sikap jurnalis harus obyektif dan netral, karena masyarakat sudah cukup cerdas. Berita yang dimunculkan akan dilihat masyarakat. “Kalau tidak obyektif, pada akhirnya akan merugikan diri sendiri dan partai yang diemban,” kata Hartono Azas.

Mengenai jurnalis aktif dan jadi Caleg, tidak perlu dipersoalkan. Sejauh tidak ada larangan dalam peraturan dan UU, beserta turunannya. Juga tidak dilarang media tempat mereka bekerja. Asalkan, jurnalis tersebut memegang kaidah jurnalistik.

“Sikap profesionalisme jurnalis harus menjaga independensi dan obyektivitas dari suatu informasi yang disajikan ke publik,” kata Azas.

Ruang yang dibuka, pada akhirnya bakal menjawab, pers memberikan pesan cerdas atau tidak. Jurnalis merupakan profesi. Menyampaikan informasi kepada publik secara obyektif, dan mengemban misi mencerdaskan masyarakat.

“Jurnalis yang menjadi Caleg, dari sisi bisnis bisa lebih menguntungkan, karena bisa dekat dengan orang partai,” kata Salman. Dengan cara ini, orang media lebih mudah pasang iklan. Jurnalis bisa mendekati orang partai. Tapi, sejauhmana jurnalis tersebut bisa melobi dan melakukannya. Semua kembali pada sang jurnalis.

Di Pontianak Post, jurnalis yang masuk partai dan jadi Caleg, beritanya dibatasi. Mereka tidak bisa memberitakan partainya. Berita partai berhubungan dengan pencitraan. Nilai beritanya kurang.

“Saya rasa keberpihakan mereka ke partai ada. Karena itu dibatasi dengan advetorial,” kata Salman.

Intinya, ketika jurnalis direkrut atau masuk ke partai, partai mudah untuk publikasi. Tapi media punya aturan main. Berita politik yang masuk bersifat advetorial atau promosi. Bentuknya iklan. Artinya, dikenakan pembayaran.

Dengan sistem tersebut, hanya partai besar dan punya uang yang bisa masuk pemberitaan di Pontianak Post? “Ya, dan itu harus dibayar dimuka,” kata Salman.

Handy Abdul Syukur berpendapat, akan susah bicara mengenai independensi, bila jurnalis menjadi Caleg atau berpolitik. “Macam mana mau independen, pasti akan susah,” katanya.

Kalau profesi sudah digabung dengan politik, akan luntur independensi. Ada keterikatan moral dengan partai politik. Dan itu tidak bisa dilepas. Jurnalis kalau mau bersikap independen, tidak usah berpolitik. Begitu juga dengan jurnalis yang bekerja di lembaga Pemilu. Misalnya, KPU, Panwaslu, dan lainnya. Harus dilepas profesinya.

Ia menganggap, bisnis lebih penting dari urusan partai. Bisnis merupakan kepentingan jangka panjang, kebutuhan hidup dan masa depan keluarga. Bisnis lebih pada, bagaimana memberikan pelayanan yang baik, sehingga bisa terus berlangsung. Politik jangka pendek dan memiliki resiko. Politik milik publik.

Promosi di media sendiri, dampaknya bakal merugikan secara bisnis. Orang akan melihat bahwa media tersebut, dekat atau milik politikus. Sehingga orang bisnis tidak mau kerja sama dengan media itu.

Memasang iklan di media sendiri, bisa menimbulkan pikiran negatif dari orang lain. Misalnya, gambar yang dipasang dengan gambar Caleg lain, tidak sama dari segi kualitas atau ukuran. Orang tidak tahu bahwa, harga dari iklan itu, bisa saja berbeda. Tapi, orang tetap saja punya prasangka.

“Kalaupun mau pasang iklan, lebih baik di media lain, karena tidak merugikan bisnis sendiri,” kata Handy.

Menggunakan media sendiri untuk promosi, bakal membuat orang yang bekerja di media tersebut jadi bingung. Terutama bagian redaksi dan iklan. Kalaupun jadi dewan, berarti ada “hutang” dengan media itu.

Mengenai kemungkinan jurnalis yang telah menjadi dewan, dan bisa memuluskan bisnis media, tempat mereka dulu bekerja, tak sepenuhnya bisa diterima. Alasannya, “Banyak mata bakal mengawasi,” kata Nur Is.

Terlalu riskan dan bahaya. Begitu juga dengan Salman. Ia tak terlalu berharap pada jurnalis yang telah menjadi anggota dewan.

“Mereka hanya sebagian kecil. Kita tidak berharap banyak dari mereka,” kata Salman.

Dengan jadi dewan, jurnalis dihargai di masyarakat. Berarti punya massa. Dilihat masyarakat. Jenjang, harkat dan martabat juga naik. Kalau jenjang di media terbatas. Dari reporter, redaktur, sampai Pemred. “Jurnalis yang sudah di dewan, lebih mudah dihubungi, kapanpun,” kata Salman.

Ia berharap, semakin banyak jurnalis jadi Caleg. Hal itu semakin bagus. Jurnalis punya kepekaan. Sehingga bisa mengontrol kebijakan pemerintah. “Namun, kalau sudah jadi, kalau bisa jangan larut,” kata Salman.

Untuk atasi jurnalis pindah dan tinggalkan profesi jurnalis, institusi pers harus kuat. Sehingga posisi tawar bisa dibuat. Posisi jurnalis harus jelas. Misalnya, kalaupun mau di partai, tidak berada di kepengurusan inti.

“Sayang kalau ditengah jalan, harus berganti ke politik,” kata Nur Is.***


Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 23 Mei 2009.
Tulisan ini salah satu naskah di buku Wajah Retak Media, terbitan AJI Indonesia.

Gambar diambil dari www.politicalhumor.about.com dan www.cartoonstock.com

No comments :