Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Pembangunan Kota Pontianak belum singkron. Hal itu bisa dilihat dari visi pembangunan kota yang tidak sesuai dengan strategi pembangunan yang dilakukan. Setidaknya, itulah yang bisa diambil dari hasil seminar tentang MDG’s di ruang Rohana Mutalib, aula gedung Bappeda Kota Pontianak, Sabtu (26/4).
Hadir sebagai pembicara, Razani, Asisten 1, Pemkot Pontianak. M Arif, anggota Komisi D DPRD Kota Pontianak. Reny Hidjazi, ketua Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW). Sebagai moderator Indra Aminullah, program officer MDG’s Kalbar.
MDG’s singkatan dari Millenium Development Goals atau Tujuan Pembangunan Milenium. MDG’s merupakan hasil komitmen dari 189 negara pada KTT Millenium PBB pada September 2000. Ini agenda terpadu para pemimpin dunia dalam menangani isu perdamaian, keamanan, pembangunan, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.
Program ini memiliki delapan tujuan yang harus dicapai sebelum 2015. Tujuan itu adalah, menghapuskan kemiskinan dan kelaparan. Mencapai pendidikan dasar. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Menurunkan angka kematian anak. Meningkatkan kesehatan ibu. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya. Dan, mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Dalam pemaparannya, Razani memperlihatkan berbagai hasil pembangunan di Kota Pontianak, sesuai dengan isu MDGs. Pemerintah telah melaksanakan berbagai program penanggulangan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Ada atau tidaknya program MDG’s, sebenarnya pemerintah sudah melakukan pembangunan.
Dalam berbagai hal, pemerintah juga telah melakukan penguatan pembangunan. Namun, ia menyayangkan, terbatasnya anggaran pembangunan. “Hal ini yang membuat pembangunan tidak bisa fokus pada satu bidang,” kata Razani.
M Arif menyoroti pembangunan yang masih berorientasi pada pembangunan fisik semata. Keberhasilan pembangunan hanya diukur berdasarkan, ada atau tidaknya jalan, bangunan, jembatan dan bangunan fisik lainnya. Pembangunan sumber daya manusia (SDM), mental dan rohani belum dilakukan. Hal ini bisa dilihat dari minimnya anggaran pembangunan non fisik tersebut.
“Pembangunan mental dan spiritual, masih harus diperjuangkan. Untuk mendapatkan anggaran tersebut, harus bertengkar dulu di Dewan, agar anggaran itu bisa masuk,” kata Arif.
Arif menilai, pembangunan yang dilaksanakan, masih berorientasi dan berpihak pada pengusaha. Pembangunan juga masih meminggirkan partisipasi masyarakat. Karenanya, ia menegaskan, anggaran pendidikan dan kesehatan harus besar. “Pemerintah juga harus menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan permintaan pasar,” kata Arif.
Reny memaparkan berbagai kriteria dan hasil pembangunan yang telah dilakukan, dilihat dari kartu penilaian pencapaian MDG’s. Ada tiga tujuan, kenapa cara ini dilakukan. Pertama, menilai dan mengetahui sejauhmana upaya pencapaian MDG’s telah dilakukan di kota, kabupaten, provinsi atau negara. Kedua, memperluas pengetahuan atau meningkatkan kesadaran masyarakat atau para pemangku kepentingan MDG’s, bahkan dapat merupakan alat advokasi. Ketiga, sebagai alat bersama menyusun langkah kedepan, untuk mengejar ketertinggalan atau sekedar melanjutkan apa yang sudah dilaksanakan.
Ada lima kategori yang digunakan dalam kartu MDG’s. Partisipasi, efektivitas, efisiensi, visi kedepan, transparansi dan akuntabilitas.
Menurutnya, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan masih belum maksimal. Terutama partisipasi kaum perempuan. Begitu juga dengan efektivitas pembangunan, belum sepenuhnya tercapai. Banyak program yang diperuntukkan bagi masyarakat tertentu, misalnya penuntasan kemiskinan, tidak bisa dinikmati masyarakat yang membutuhkan.
Dalam masalah efisiensi, banyak sumber daya belum tergali dan bermanfaat dalam pembangunan. Misalnya saja masalah penggunaan APBD, lebih banyak untuk kepentingan belanja rutin atau kepentingan internal, daripada bagi pendampingan atau pemberdayaan masyarakat.
Visi kedepan pemerintah memiliki arti, bagaimana hubungan pembangunan dengan visi dan strategi untuk mencapai tujuan pembangunan milenium. Reny menilai, visi kedepan Pemkot Pontianak belum singkron dengan pembangunan yang dilaksanakan.
Hal ini bisa dilihat dari visi pembangunan yang tidak sejalan dengan strategi. “Banyak yang tidak singkron,” kata Reny.
Ia memberikan contoh. Dalam menentukan titik sasaran pembangunan pengentasan kemiskinan, sejak dulu yang menjadi target selalu wilayah Pontianak Timur dan Utara. Namun, hingga sekarang, statusnya tidak pernah meningkat. Masih miskin dan tertinggal.
Dalam masalah transparansi yang berkaitan dengan keterbukaan informasi antara pemerintah dengan masyarakat, juga belum terlaksana. Masyarakat susah mendapatkan berbagai informasi dan data. Misalnya, data penanggulangan kemiskinan, APBD, dan lainnya. Kalaupun ada, antara satu instansi dengan lainnya, terkadang tidak sama.
Reny menilai, dari hasil penilaian kartu MDG’s berdasarkan lima kategori tersebut, Kota Pontianak, rata-rata nilainya masih sangat kurang. Ia berharap, “Kartu itu tidak sekedar membaca, tapi akan ada tindaklanjut dari temuan yang sudah dilakukan.”
Lalu, bagaimana pendapat Buchary Abdurrachman, Walikota Pontianak terhadap program MDG’s?
Ketika membuka kegiatan seminar itu, Buchary menyatakan, “Itukan program Yahudi. Harus kita sikapi dengan iman kita.”
Lho, kok.....???□
Foto Muhlis Suhaeri
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 28 April 2008
Monday, April 28, 2008
Pembangunan Kota Pontianak Belum Singkron
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:51 AM 0 comments
Labels: Perkotaan
Sunday, April 27, 2008
Mendekatkan Diri dengan Lingkungan
Sepasang anak tersenyum dengan polos melihat ada yang datang.
Merasa tak terusik, ia lanjutkan permainannya dengan sang adik.
Keduanya penghuni perkampungan sampah.
Sebuah pertanyaan terlontar. Bagaimana mungkin, sebuah generasi tumbuh dengan baik, dalam kubangan sampah dan beragam kotoran kota ini? Itulah sisi-sisi kemiskinan. Tak adanya pilihan hidup, membuat mereka tetap menjalani hidup yang tak berperi ini.
Mengumpulkan setiap keping demi keping sampah. Menjualnya dan menukarkan jadi bahan kebutuhan pokok. Begitulah, realitas hidup dari pinggiran Kota Pontianak. Pemandangan itu, merupakan realitas sebagian besar perkotaan di negara ini.
Pembangunan tak menjawab dan mengubah nasib sebagian besar warganya. Mereka tetap terpinggirkan. Dalam kantong-kantong kemiskinan.
Siang itu, serombongan siswa mendatangi tempat penampungan sampah akhir.
Mereka berbincang. Bertanya. Dan mengamati lingkungan di sekitar.
Yang ada hanya sampah. Bau dan berjamur.
Rombongan siswa datang untuk belajar dan memahami arti lingkungan hidup. Mencari tahu kaitan lingkungan dan sampah yang mereka buang. Juga konsumsi air yang mereka gunakan.
Hasilnya? Pemahaman baru dan sudut pandang tentang kehidupan. Memang seperti itulah sebenarnya pendidikan. Membuka cakrawala pada sebuah realitas yang mengangga. Hingga muncul semboyan bersama.
Bersatu menyelamatkan alam dan lingkungan.□
Fotografer : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:42 AM 0 comments
Labels: Essai Foto
Thursday, April 17, 2008
Pesan Singkat Berujung Perkara
Ivona Hartini Leonardi, perempuan yang sudah lama pensiun mengajar itu, terpaksa tampil lagi di depan kelas. Di usianya yang senja, 70 tahun, ia berceloteh di hadapan 40 murid Taman Kanak-kanak (TK) Karitas Dharma di Gang Rambutan, Jalan Yos Sudarso, Pontianak, Kalimantan Barat. Tapi perempuan itu terlihat murung dan agak canggung.
Maklum, para siswa sebentar-sebentar menanyakan Felix Setyawan Hidayat. "Mana Pak Felix? Kok, tidak pernah ada? Kapan Pak Felix pulang?" begitu para bocah itu bertanya-tanya. Ivona pun kerap terdiam. "Soalnya, saya juga tidak tahu kapan anak saya, Felix, pulang," ucapnya, sedih.
Felix, anak nomor tiga pasangan Leo Wardi Hidayat dan Ivona, adalah guru tetap di TK tersebut. Sejak 16 Maret lalu, lelaki 37 tahun yang disayang muridnya itu menginap di tahanan Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat. Tuduhannya, seperti ramai diberitakan media, adalah gara-gara mengirim pesan singkat (SMS) yang dinilai menghina presiden.
Pesan singkat yang dikirim ke 9949 --nomor layanan SMS pengaduan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-- itu menyebut SBY sebagai tempe. Tak lama berselang, tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Polda Kalimantan Barat menggerebek kediaman Felix dan menciduknya.
Ketua tim advokasi Felix, Bruder Stephanus Paiman, menyesalkan penangkapan itu. Ia yakin, Felix tak bermaksud menghina presiden. "Apa yang dilakukannya hanyalah ungkapan emosional anak manusia yang setelah sekian lama berusaha mendapat keadilan, tapi tak kunjung berhasil," kata Penanggung Jawab Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak itu.
Memang SMS bernada gusar itu tak lepas dari kedongkolan Felix. Alkisah, beberapa tahun silam, Felix ingin membangun tempat bermain bagi murid-muridnya. Ia membeli sebidang tanah di samping rumahnya yang merangkap sebagai TK warisan itu. Kedua orangtuanya adalah pendiri dan pengajar di TK tersebut.
Ketika tanah itu akan dia pagar, tetangga Felix keberatan karena menganggap sebagian tanah tersebut miliknya. Tak mau ribut, Felix meminta petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat mengukur ulang tanah. Ternyata tanah itu memang milik Felix.
Felix kembali memagar tanah itu, yang berujung lima lelaki memukulinya. Kasus ini sampai ke kepolisian. Tapi orang yang memukul tak ditahan. Felix jeri sekaligus geram. Ia lantas mengadukan terhalangnya pembangunan pagar TK itu ke jajaran kepolisian dan Pemerintah Kota Pontianak.
Merasa tak juga ada penyelesaian, Felix akhirnya mengirim SMS pengaduan ke 9949 pada 8 Februari 2007 pukul 09.42 WIB. Intinya, Felix menuding Wali Kota Pontianak serta Reskrim Polda Kalimantan Barat dan jajarannya ikut berulah, sehingga upaya pemagaran itu terhambat.
Pesan singkat itu mendapat balasan standar: "Terima kasih atas partisipasi Anda, pesan Anda telah kami terima." Tak puas, Felix mengirimkan SMS yang sama ke layanan SMS Ani Yudhoyono, istri SBY. Jawaban yang didapat, menurut Paiman, menyarankan agar mengadu ke pemda setempat saja, tak perlu sampai ke ibu negara.
Suatu malam, beberapa waktu silam, Felix menonton televisi. Di layar kaca, Presiden SBY menanggapi langsung masalah pengusaha tempe yang kekurangan bahan baku. Spontan Felix mengirim SMS via 9949. Bunyinya, seingat Paiman: "Bgmana Pres, jgn hanya ngurusi tahu tempe, ini masalah serius, ini masalah pendidikan. Kalau bp spt ini berarti bp tempe."
Nah, menurut Paiman, Felix pun didatangi tim Densus 88, terdiri dari 9-10 orang. Tengah malam itu, Felix diinterogasi. Suara gaduh membuat Ivona terjaga. Ivona mengaku melihat dan mendengar anaknya dicecar dengan berbagai pertanyaan seputar SMS ke SBY itu.
Dini hari, Felix dibawa ke markas Densus 88, di samping markas POM, Jalan Urip Sumoharjo, Pontianak. Tiga telepon seluler, satu laptop, buku nomor telepon, dan printer dibawa serta. Paginya, anggota Densus 88 mengantar surat penahanan bernomor NP.Pol: SP.Kap/45/III/2008/Ditreskrim ke Ivona.
Felix dibawa ke tahanan Polda Kalimantan Barat. Ia ditahan selama 20 hari, dari 16 Maret hingga 4 April 2008, dan diperpanjang lagi 40 hari. Ketika berada di tahanan Polda Kalimantan Barat, kasus Felix bergeser. Tidak lagi soal SMS ke presiden, meski masih menyangkut pasal pencemaran nama baik, dengan pelapor bibinya sendiri tertanggal 2 September 2007.
Dalam uraian singkat perkara pada surat perpanjangan penahanan itu disebutkan bahwa tersangka pada 24 Juni 2007 sekitar pukul 12.00 WIB melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Felix dianggap mencemarkan nama baik Ana Leowardi, bibi Felix.
Ini merupakan buntut perseteruan lama antara Felix dan keluarga bibinya, terkait kasus pencabulan. Adik Felix, Fransiskus, mencabuli anak bibinya itu. Fransiskus dihukum enam bulan penjara. Tak puas, Ana yang bersuami orang Singapura bernama Ong Tian You ini mengajukan banding dan menggugat Fransiskus Rp 1 milyar.
Felix lantas berusaha memecah konsentrasi keluarga Ana dengan mengirim surat elektronik ke kepolisian Singapura. Intinya menyatakan bahwa Jeppy Leowardi, anak Ana, adalah orang berbahaya dan memiliki senjata. Ia juga mengirim SMS serupa ke kepolisian setempat bahwa ada seorang yang mirip anggota Jamaah Islamiyah (JI) bersenjata di Jalan Beringin.
Wartawan lokal dikiriminya pula SMS bahwa rumah di Gang Beringin IX E/6 digerebek polisi karena ada orang mirip anggota JI. Rumah ini tak lain kediaman keluarga Ana. Penuturan Kadiv Humas Polda Kalimantan Barat, AKBP Suhadi S.W., polisi segera mengirim anggota Densus 88 ke Jalan Beringin.
Karena tak menemukan hal seperti dilaporkan dalam SMS itu, polisi kemudian melacak nomor telepon pengirim. Ulah Felix pun ketahuan. Menurut Suhadi, keluarga Ana tak terima dan melaporkan Felix ke polisi pada 2 September 2007. "Jadi, kasus ini tidak ada hubungannya dengan masalah SMS ke presiden," kata Suhadi.
Juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng, mengaku tidak tahu-menahu ihwal kasus yang menimpa Felix itu. Ia mengingatkan, kasus pencemaran nama baik itu harus melalui delik pengaduan. "Dan selama ini, sama sekali tidak ada pengaduan dari pihak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan SMS tersebut," kata Andi.
Boleh jadi, SBY memang tak sembarang buang waktu merespons SMS gusar tadi secara hukum. Pasalnya, terhadap SMS yang lebih keras saja, misalnya dari broker pelabuhan bernama Wita, SBY tak meladeninya. Pada waktu itu, Wita mengirim SMS ke layanan Polda Metro Jaya di nomor 1717, menuding keluarga SBY pencuri (Gatra, 18 April 2007).
Toh, Paiman tetap yakin, penahanan Felix terkait dengan SMS kepada SBY itu. Ia menduga, boleh jadi itu inisiatif Polda Kalimantan Barat yang ingin cari muka. Karena terbentur soal delik aduan, kata Felix, dicarilah alasan lain, termasuk pengaduan keluarga Ana. "Pengaduan (Ana) itu kan sudah lama, kenapa baru sekarang ditanggapi?" Paiman mencibir.
Akil Mochtar, anggota Komisi III DPR yang terpilih sebagai hakim Mahkamah Konstitusi, menilai tindakan polisi itu merupakan bentuk penyimpangan hukum. "Itu tidak boleh terjadi," katanya. Akil menyarankan Felix membuat pengaduan resmi ke Propam Polda Kalimantan Barat, Kapolri, Komnas HAM, dan DPR.
Menurut Paiman, ia telah melapor ke Propam Polda Kalimantan Barat. Ia pun berancang-ancang melapor ke Kapolri dan semua instansi terkait, termasuk lembaga bantuan hukum di Jakarta. "Saya siap habis-habisan," Paiman menegaskan. Wah, bakal rame nih.
Taufik Alwie, Bernadetta Febriana, dan Muhlis Suhaeri (Pontianak)
[Hukum, Gatra Nomor 23 Beredar Kamis, 17 April 2008]
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:28 AM 1 comments
Labels: Hukum
Sunday, April 13, 2008
Rumah di Atas Air
Ratusan rumah berdiri di atas air
Dalam keremangan malam, mereka menyalakan nasib.
Berbekal lampu petromak dan sebuah bagang dari kayu nibung,
Mereka berjuang mengadu nasib.
Lalu, menunggu dan menunggu…..
Pada sebuah jaring yang terentang, nasib sebuah keluarga dipertaruhkan.
Ikan, kepiting, cumi yang mengerubung cahaya pun, mulai tersangkut.
Pada keesokan hari, keluarga telah menunggu.
Hasil tangkapan berpindah tangan. Dibersihkan, kemudian dikeringkan.
Apa boleh buat,
nelayan harus menjual hasil tangkapan pada tengkulak,
Yang telah memberi mereka modal, tuk mendirikan bagang.
Tentang harga, tengkulak yang menentukan.
Murah memang, namun apa boleh buat.
Nelayan harus mengangsur utang yang mereka buat.
Dalam lingkaran hidup yang terus bergerak, nelayan terjerat.
Menapak hidup dalam gelombang alam dan kapital yang tak pernah surut.
Itulah nasib para nelayan di Pulau Kabung, Kalbar.
Fotografer : Lukas B. Wijanarko
Teks : Muhlis Suhaeri
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:03 AM 0 comments
Labels: Essai Foto
Robo-robo, Wisata Budaya di Negeri Opu Daeng Menambon
Oleh Muhlis Suhaeri
Bagi masyarakat keturunan Bugis di Kalimantan Barat, Rabu minggu terakhir pada bulan Safar, pada kalender Hijriah, merupakan hari yang selalu diperingati dengan sebuah tradisi. Tradisi Robo-robo. Maksud dari kegiatan budaya itu, memperingati kedatangan Opu Daeng Menambon ke Mempawah. Opu merupakan pendiri Kota Mempawah.
Mempawah merupakan ibu kota Kabupaten Pontianak. Dari Kota Pontianak, perjalanan dapat ditempuh dengan waktu sekitar satu jam. Jaraknya sekitar 40 km. Meski agak bergelombang, jalan relatif mulus dan beraspal. Tanah gambut membuat jalan selalu ambles dan retak, terutama pada setiap sambungan jembatan.
Hari itu, saya berkendara menuju Mempawah. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, di beberapa daerah, saya berhenti untuk melihat prosesi itu. Masyarakat Bugis yang tersebar di sepanjang garis pantai utara Kalimantan Barat, mulai dari Mempawah, Sungai Purun, Segedong, Sungai Kakap, Kubu Raya, dan lainnya, melakukan kegiatan Robo-robo.
Di Sungai Purun, 22 km dari Pontianak, saya berhenti di SD 1 Sungai Purun. Pagi itu, semua murid di sana, yang terdiri dari beragam etnis berkumpul. Ada suku Bugis, Jawa, Tionghoa, Melayu, Dayak, Madura, dan lainnya. Mereka membawa ketupat, lepat lao, apam, atau makanan kecil lainnya. Ketupat merupakan makanan wajib yang harus dibawa.
Saya menghampiri seorang murid.
”Bawa apa itu?”
”Ketupat.”
”Bawa berapa?”
”Empat butik.”
Murid itu bernama Sahrul (9). Sambil berkata, ia memperlihatkan ketupat di kantong kresek warna hitam yang dibawanya. Ketupat berisi mie, sambal dan rebon udang.
Tak hanya Sahrul yang bawa ketupat ke sekolah. Sarnela dan Edi Gunawan, murid kelas 3, juga bawa. Sebagian besar siswa di sana, membawa makanan. Namun, ada sebagian siswa tak bawa makanan.
Tak hanya siswa. Guru juga bawa ketupat. Sebagai lauk, ada opor ayam, ikan, telur dan lainnya. Menjelang pukul 8.00 wib, siswa kumpul dan berderet di depan kelas. Mereka duduk memanjang dan berderet di lantai sekolah yang terbuat dari kayu.
Pipin (38), guru olah raga, segera membawa nampan dan mengedarkan ke barisan siswa. Siswa meletakkan satu atau dua ketupat yang mereka bawa ke nampan. Dalam sekejap, nampan itu telah penuh. Ketupat segera dibagikan lagi pada siswa yang tak bawa makanan.
Sebelum siswa dan guru makan bareng, guru agama membaca doa. Do’a tolak bala. Berisi harapan supaya kehidupan yang dijalani, dijauhkan dari malapetaka. Dalam kegiatan itu, soal makanan nomor dua. Yang penting kumpul bareng antara siswa dan guru.
“Apa makna Robo-robo?” tanya saya.
“Robo-robo punya nilai kebersamaan dan kesatuan,” jawab Pipin.
Setelah makan bareng, diikuti dengan berbagai kegiatan. Ada pertandingan olah raga atau perlombaan. Ada lomba makan kerupuk, panjat pinang, tarik tambang dan lainnya.
Wagiyem (57), sudah mengajar di SD 1 sejak 1977. menurutnya, setiap tahun kegiatan itu pasti diadakan. “Biarpun kecil, kegiatan memperingati Robo-robo selalu dilakukan,” kata Wagiyem.
Sang kepala sekolah, Surip (50), baru empat tahun mengajar di sana. Ia berasal dari Jawa. Meski bukan suku Bugis, ia juga merayakannya. Ini bentuk pembauran dan mengikuti perkembangan lingkungan. ”Ada kebersamaan dan saling menghargai,” kata Surip.
Pagi itu, tak hanya murid di SD itu yang makan bersama. Masyarakat Bugis di sepanjang jalan dari Pontianak menuju Mempawah, memperingati acara Robo-Robo dengan makan bersama keluarga di luar rumah. Mereka percaya, hal itu merupakan satu cara melakukan talak balak dalam kehidupan yang mereka jalani, kelak.
Selepas mengikuti kegiatan di SD itu, saya melanjutkan perjalanan ke Kota Mempawah. Mempawah merupakan kota transit. Meski terlihat bersih dan tertata, dari segi pembangunan, kota ini terlihat jalan ditempat. Tak ada sentra industri atau kegiatan ekonomi yang cukup berarti di sini.
Yang bisa menunjukkan bahwa kota ini ada, karena di sini ada berbagai bangunan dan kantor pemerintah. Itupun, sebagian besar pekerja dan pegawainya, tinggal di Kota Pontianak. Mereka pulang hari, setelah bekerja.
Tiba di Kuala Mempawah, suasana sudah terlihat ramai. Jalanan penuh orang. Di sudut kiri dan kanan jalan, orang mendirikan warung kecil. Ada warung makan dan minuman, pakaian, suvenir, dan lainnya. Pendirian warung di Kuala Mempawah, berlangsung setahun sekali. Pas, pelaksanaan ritual Robo-robo.
Kuala Mempawah merupakan pertemuan antara Sungai Mempawah dan Laut Cina Selatan. Tempat ini menjadi pusat dari pelaksanaan kegiatan Robo-robo. Tempat ini dibagi dua. Sisi sebelah kiri menjadi pelabuhan penangkapan ikan, dan sebelah kanan pusat armada Angkatan Laut.
Pelaksanaan kegiatan Robo-robo dipusatkan di sebelah kiri Kuala Mempawah. Sebuah tenda besar berisi kursi dan tenda berdiri di sana. Pagi itu, Cornelis, Gubernur Kalbar dan beberapa pejabat teras di Kabupaten Pontianak, hadir di sana.
Saya mengikuti sebuah perahu yang menuju ke ujung Kuala Mempawah. Di pinggir laut itu, puluhan perahu telah berada di sana. Semua perahu dalam kondisi diam, dan melempar sebuah jangkar, agar perahu tak terseret ombak.
Sebuah perahu warna kuning, terlihat mencolok berada di antara puluhan perahu. Perahu ini bernama Lancang Kuning, yang merupakan perahu Kerajaan Amantubillah Mempawah. Di dalam perahu itu, puluhan orang mengenakan seragam kebesaran kerajaan. Ada warna kuning, merah, hitam dan lainnya. Berbagai simbol dan bendera kerajaan berkibar diterpa angin.
Pagi itu, laut di pinggir kuala terasa beda. Kesemarakan warna-warni bendera, baju, dan berbagai perlengkapan upacara, terasa kontras dengan warna langit yang mendung dan gelap.
Dari arah laut, nampak sebuah perahu berisi puluhan orang sedang mendekati kuala. Perahu itu diikuti puluhan perahu kecil. Perahu agak besar itu berisi raja Kerajaan Amantubillah, Mempawah, Pangeran Ratu DR. Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim. Ia menggunakan perahu Bedar.
Sejenak kemudian, perahu Bedar mendekati perahu warna kuning. Pangeran Pemangku Adat yang berada di perahu Lancang Kuning, segera melakukan ritual Buang-buang.
Perangkat Buang-buang terdiri dari telur ayam, bertih, kemenyan, dan setanggi. Telur ayam diulas atau diusap dengan minyak wangi. Telur melambangkan awal kehidupan. Bertih adalah padi dari beras kuning yang diongseng. Padi melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Kemakmuran di seluruh penjuru angin, air, dan darat.
Setelah Pemangku Adat membacakan doa, semua perangkat Buang-buang dilempar ke laut. Selepas acara Buang-buang, Pemangku Adat mengumandangkan azan dan do’a talak balak.
Buang-buang mempunyai makna, ada keterikatan dan silaturahmi dengan air. Di air ada mahluk dan kehidupan. Ini sangat khas sekali dengan budaya dan tradisi masyarakat Bugis, yang tidak bisa dipisahkan dengan air. Sebagai pelaut, masyarakat Bugis selalu dekat dengan air. Air tak bisa dipisahkan dengan kehidupan orang Bugis. Mereka terkenal sebagai pelaut yang mengarungi berbagai lautan.
Inilah makna dan inti dari Robo-robo. Penyambutan Opu Daeng Menambon, ketika berlayar menuju Kuala Mempawah dari Kerajaan Tayan di Kalbar. Tayan sekarang ini termasuk wilayah Kabupaten Ketapang.
Ketika itu, 1737 Masehi atau 1148 Hijriah, seluruh masyarakat di Mempawah menyambut dengan antusias kedatangan Opu Daeng Menambon. Masyarakat berdiri di sepanjang bantaran sungai Mempawah. Sangking senangnya, Opu Daeng Menambon melemparkan sisa bekalnya berupa ketupat kepada masyarakat.
Nah, sekarang ini, setiap memperingati acara Robo-robo, ketupat merupakan makanan yang harus selalu dihidangkan. Robo-robo merupakan napak tilas Opu Daeng Menambon dan istrinya. Opu keturunan Bugis dan Melayu. Istrinya, Ratu Kesumba, keturunan Dayak, Melayu dan Jawa. Opu punya panglima dari berbagai suku. Patih Kumantar, Panglima Itam dari Dayak. Panglima Amangkuru, Parewang, Sigentas Alam, dari Melayu. Lo Tai Pak, dari etnis Tionghoa. Karaeng Talibe, Matalampang, Bontiak, dari Bugis. Panglima Daeng Siti Fatimah, anak Sultan Hasanudin, meninggal dan dimakamkan di Tanjung Matoa, Kalbar.
Makam Opu Daeng Menambon terletak di atas bukit. Jauhnya sekitar 8 kilometer dari Mempawah. Makam itu dijaga oleh juru kunci makam. Ia seorang Mukti, atau orang yang ahli dalam masalah agama. Namanya, Gusti Amar. Juru kunci dipilih karena garis keturunan.
Makam terletak di atas bukit. Dari bawah menuju puncak bukit, melalui tangga semen sebanyak 256 undak. Ada mitos mengatakan, bila orang menghitungnya dari bawah, jumlahnya tidak akan sama setiap orang.
Selesai ritual Buang-buang, perahu Bedar dan Lancang Kuning segera menyusuri Sungai Mempawah, menuju tempat berlangsungnya upacara. Di panggung kegiatan, puluhan pejabat dan undangan sudah hadir. Ribuan masyarakat dengan sabar berdiri di sisi kiri dan kanan sungai. Mereka dengan antusias menunggu pelaksanaan kegiatan, dan perlombaan perahu yang bakal dilaksanakan, selepas upacara selesai.
Selepas kegiatan seremonial, kegiatan para pejabat dan undangan dilanjutkan di Istana Amantubillah. Bangunan Istana Amantubillah mempunyai karakteristik khas sebagai bangunan Melayu. Seluruhnya dari kayu belian atau kayu besi. Ini jenis kayu paling kuat dan keras dari Kalimantan. Bangunan dari kayu belian sanggup bertahan hingga ratusan tahun lamanya.
Seluruh bangunan istana dicat dengan warna biru muda. Di sebelah kiri bangunan utama, ada ruang untuk menyimpang peralatan musik, sejenis gamelan. Ada gong, kimung, dan lainnya. Seluruh peralatan ini, merupakan persembahan dan oleh-oleh dari kerajaan Jawa, ratusan tahun silam. Dua buah meriam tergeletak di sisi kiri dan kanan halaman istana.
Istana Amantubillah mempunyai lambang ayam jantan dan buaya. Ayam warna hitam dan putih. Ayam melambangkan kejantanan dan keberanian. Hitam melambangkan kejahatan, putih kebaikan. Artinya, kehidupan jangan terlalu memandang duniawi. Buaya melambangkan keperkasaan, kekuatan, dan keperkasaan.
Sekarang ini, mereka yang memegang tampuk dan kerabat istana, merupakan generasi ke 13 dari Opu Daeng Menambon. Ada hirarki dan struktur di Istana Amantubillah. Masing-masing memiliki tugas tersendiri.
Jabatan tertinggi dipegang Pangeran Ratu, berperan dalam urusan kenegaraan. Tugas ini dipegang oleh Mardan Adijaya. Pangeran Pemangku Adat, mengurusi masalah adat, dipegang Gusti Zulkarnaen. Pangeran Laksamana, berhubungan dengan kelaskaran, prajurit atau massa, dipegang Gusti Heri Ansari. Pangeran Bendahara, berhubungan dengan managerial dan urusan rumah tangga Istana, dipegang oleh Utin Sri Beta Candramidi.
Penunjukkan jabatan berdasarkan pada aura kepemimpinan, kecakapan pada diri orang yang menjadi anak dari para pewaris istana. Penunjukkan diputuskan melalui rapat Majelis Amantubillah, dilihat dari keturunan terdekat dengan keluarga sebelumnya.
Siang itu, seluruh undangan dari berbagai kerajaan di Nusantara hadir. Ada utusan dari Kerajaan Sambas, Sintang, Landak, Sekadau, Tayan, Kubu, Ketapang, Solo, dan Kanoman. Tamu dijamu di Istana Amantubillah dengan saprahan.
Hidangan makanan Saprahan dijaga rasa dan keasliannya. Endun, juru masak istana mengemukakan, dalam saprahan menunya khas. Antara lain, udang sere, ikan pindang, ayam opor, osengan, dan sop.
Minumannya, air serbet, terbuat dari serai cengkeh, kayu manis dan cengkeh. Minuman ini berfungsi mengembalikan kesehatan tubuh. Kue terdiri dari bingka labu kuning, kue jorong, tepung beras dibungkus daun pandang wangi. Makanan yang tak boleh diubah, ayam masak putih dan udang sere. Kue jorong tak boleh tertinggal. Setiap tahun harus ada.
Dengan melaksanakan ritual Robo-robo setiap tahun, para kerabat Istana Amantubillah, merasa bisa menjaga dan meneruskan puak Opu Daeng Menambon. Selain itu, menghormati dan menjaga tradisi warisan turun-temurun, sehingga tetap eksis.□
Edisi cetak ada di koran Tempo 13 April 2008.
Foto Muhlis Suhaeri
Posted by Muhlis Suhaeri at 8:38 AM 1 comments
Labels: Budaya
Wednesday, April 9, 2008
Washington Post Raih Enam Penghargaan Pulitzer
New York, 8/4 (ANTARA/Reuters)
Washington Post meraih enam Penghargaan Pulitzer Senin, termasuk penghargaan Public Service yang prestigius untuk reportasenya mengenai kondisi veteran perang AS di rumah sakit militer utama Amerika.
Dewan Pulitzer Prize mengatakan koran itu menang karena "mengekspose penelantaran veteran yang terluka di rumah sakit Walter Reed, menimbulkan reaksi keras secara nasional dan menghasilkan reformasi oleh para pejabat federal."
"Ini merupakan kehormatan terbesar," kata Anne Hull, yang karyanya dengan para koleganya Dana Priest dan Michel du Cille memenangkan penghargaan Public Service untuk surat kabar, bagian dari grup media Washington Post Co.
"Kami hanya tidak bisa rileks seperti kami inginkan karena cerita pertama memicu longsornya reaksi keras dari para tentara yang terluka dan suami atau istri dan keluarga mereka dan mereka benar-benar mendera kami hingga kami terus mengikuti cerita tersebut," ia mengatakan.
Penghargaan Pulitzer tahunan ke-92 di bidang Jurnalisme, Sastra, Drama dan Musik diumumkan di Columbia University di New York City. Pemenang Public Service menerima medali emas, dan para pemenang dalam 20 kategori yang ada menerima 10.000 dolar AS.
Washington Post juga memenangkan reportase breaking news untuk liputannya tentang penembakan fatal membabi-buta kolese Virginia Tech dan reportase nasional mengenai eksplorasi pengaruh Wakil Presiden AS Dick Cheney terhadap kebijakan nasional.
Surat kabar tersebut memenangkan reportase internasional untuk serial tentang kontraktor keamanan swasta di Irak yang beroperasi di luar kebanyakan undang-undang yang mengatur angkatan bersenjata AS, penulisan feature untuk cerita tentang pemain biola kelas dunia yang bermain di sebuah stasiun kereta bawah tanah sebagai eksperimen dan penulisan komentar kolom yang mengeksplorasi "masalah ekonomi Amerika yang kompleks dengan ahli."
Kantor berita Reuters memenangkan Penghargaan Pulitzer pertama kalinya, merebut kategori fotografi breaking news untuk foto tentang seorang perekam video Jepang yang terbunuh dalam demontrasi di Myanmar. Foto tersebut diambil oleh fotografer Adrees Latif.
Dalam penugasan di Nepal untuk meliput pemilu, Latif mengatakan ia senang bisa memenangkan penghargaan itu untuk Reuters, namun juga ingin meluangkan waktu guna mengenang Kenji Nagai, rekan wartawan yang gambarnya ia ambil di saat terakhir hidupnya.
"Saya benar-benar senang bahwa ini berhasil dalam sejarah dan bahwa ini mengingatkan orang pada apa yang terjadi pada hari itu," ia mengatakan melalui telepon.
Reuters adalah bagian dari perusahaan berita dan data global Reuters Group Plc. yang berbasis di London.
Penghargaan untuk Bob Dylan
New York Times menang dalam kategori reportase eksplanatori karena meneliti dilema dan masalah etis yang menyertai test DNA dan liputan investigatif untuk cerita tentang ingredien toksik di dalam obat-obatan dan produk lain yang diimpor dari China.
Chicago Tribune juga memenang karena liputan investigatif untuk pengeksposannya tentang regulasi pemerintah yang lemah atas mainan, tempat duduk mobil dan tempat tidur bayi.
Concord Monitor di New Hempshire memenangi fotografi feature karena mengronikelkan sebuah keluarga dimana orangtuanya sakit dalam tahap akhir, dan Milwaukee Journal Sentinel memenangkan penghargaan liputan lokal untuk cerita tentang penghindaran undang-undang pajak untuk menambah pensiun para karyawan pemerintahan lokal.
Boston Globe menang karena kritikan tentang seni visual dan Investor`s Business Dailly menang karena pengartunan editorial. Tidak ada penghargaan yang diberikan untuk kategori penulisan editorial.
Penyanyi-penulis lagu Bob Dylan diberi penghargaan khusus karena "pengaruhnya yang besar pada musik pop dan kebudayaan Amerika, yang ditandai dengan komposisi liris dari kekuatan puitis yang luar biasa."
Penghargaan fiksi untuk "The Brief Wondrous Life of Oscar Wao" oleh Junot Diaz, sementara "August: Osage County" oleh Tracy Letts memenangkan kategori drama, "What Hath God Wrought" oleh Daniel Walker Howe memenangkan bagian sejarah, dan "Eden`s Outcasts" oleh John Metteson memenangkan kategori biografi.
Penghargaan puisi dibagi bersama untuk "Time and Materials" oleh Robert Hass dan "Failure" oleh Philip Schultz, sementara "The Years of Extermination" oleh Saul Friedlander memenangkan non fiksi umum dan "The Little Match Girl Passion" oleh David Lang memenangkan kategori musik.
Peserta dalam kategori sastra, drama dan musik haruslah seorang warga negara AS, sementara dalam kategori journalisme peserta dapat berasal dari kewarganegaraan manapun tetapi karya mereka harus muncul di surat kabar AS.*
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 9 April 2008
Foto website The Washington Post
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:10 AM 0 comments
Labels: Pers
Saturday, April 5, 2008
Wartawan New York Times Ditahan di Zimbabwe
New York (ANTARA News)
Koresponden suratkabar New York Times pemenang hadiah Pulitzer, Barry Bearak, adalah salah satu di antara dua wartawan asing yang ditahan di Zimbabwe, di mana dia sedang meliput pemilihan umum, kata suratkabar itu di sini Kamis.
"Kami tak tahu di mana dia kini berada, atau jika terjadi sesuatu, tuduhan-tuduhan apa yang dikenakan terhadapnya," kata pemimpin redaksi suratkabar itu, Bill Keller, dalam pernyataannya yang dikutip AFP.
"Kami telah melakukan berbagai upaya untuk memastikan bagaimana statusnya, untuk meyakinkan bahwa dia selamat dan diperlakukan dengan baik, dan menjamin bahwa dia akan dibebaskan."
Suratkabar itu menyebut Bearak sebagai ` wartawan yang berpengalaman dan profesional yang telah melaporkan liputan dari berbagai tempat. Dia memenangkan hadiah Pulitzer pada 2002 karena kedalaman liputannya mengenai kehidupan sehari-hari di Afghanistan yang dilanda perang."
Menurut kepolisian Zimbabwe, dua wartawan asing telah ditahan dengan tuduhan melakukan peliputan tanpa akreditasi pers.
Pemerintah Zimbabwe, yang melarang sebagian besar media asing untuk meliput pemilihan umumnya Sabtu lalu, pekan lalu memperingatkan bahwa mereka akan bertindak keras terhadap wartawan yang dengan diam-diam masuk ke negaranya dan melakukan peliputan secara ilegal.
Situasi di ibukota Zimbabwe tampak tegang, pada saat para pemilih menunggu apakah Presiden Robert Mugabe telah kalah dalam upayanya melanjutkan masa jabatannya yang keenam.
Pihak oposisi Gerakan untuk Perubahan Demokratik (MDC) telah mengklaim bahwa pemimpinnya, Morgan Tscangirai menang dalam pemilihan presiden.
Namun sejauh ini masih belum ada kata resmi mengenai hasil pemilu setelah lima hari pemungutan suara itu dilakukan. Meskipun demikian, komisi pemilihan umum mengumumkan semalam bahwa MDC telah memenangkan pemilihan dan berhasil menguasai suara mayoritas di parlemen.(*)
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 5 April 2008
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:17 AM 1 comments
Labels: Pers