Borneo Tribune, Pontianak
Ketika pertama kali dilantik menjadi Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dengan tegas memerintahkan, menindak tegas para pembalak kayu. Perintah itu diikuti dengan berbagai operasi di lapangan.
Hasilnya, para pembalak dan cukong kayu tiarap semua. Sebuah kebijakan, tentu ada dampaknya. Begitu juga dengan pemberantasan pembalakan liar ini. Kebijakan ini memiliki dampak begitu nyata pada perekonomian di Kalbar. Terutama bagi daerah-daerah yang menjadi sentra bagi pambalakan liar. Ekonomi langsung lumpuh. Perputaran uang menghilang. Warung, tukang ojek, tukang sampan, penginapan, dan berbagai bidang usaha langsung kolaps.
Kondisi itu makin terasa di daerah sepanjang perbatasan dengan Malaysia. Misalnya di Lanjak, Badau, Jagoi Babang, Sintang dan sekitarnya.
Dulunya, daerah-daerah itu menjadi salah satu pintu masuk kayu ke Serawak, Malaysia. Di Malaysia kayu hasil pembalakan liar langsung distempel perusahaan yang ditunjuk pemerintah. Maka, jadilah kayu itu legal dan sah.
Selain menampung kayu dari Indonesia, para pembalak liar yang biasanya dilindungi dan bekerja sama dengan para samseng atau preman dari Serawak ini, juga langsung melakukan aksinya di sepanjang perbatasan. Patok perbatasan digeser dan kayu langsung diambil dari hutan-hutan di Indonesia. Dengan cara ini, kayu dibawa masuk ke Malaysia.
Dari berbagai perbincangan dan informasi dengan para pelintas batas, hal ini masih banyak ditemui di sepanjang perbatasan Indonesia dan Malaysia, hingga sekarang.
Dengan kondisi seperti ini, tak heran bila Malaysia yang hutannya tinggal sedikit, menjadi negara eksportir kayu terbesar di dunia.
Perubahan kebijakan pemerintah RI dalam penanganan pembalakan liar, membuat cukong dan para pembalak liar menjadi kelimpungan. Namun, mereka juga tak kalah akal. Sebuah metode baru pun digelar.
Tebang dan lelang.
Dengan metode ini, para pembalak dengan leluasa melakukan aksinya. Syaratnya, harus ada kerja sama. Dan ini sifatnya lebih terbuka. Maka publikasi pentingnya hasil tangkapan menjadi agenda tersendiri, dan harus dipublikasikan di media massa.
Logikanya dibuat sederhana saja. Berbagai pihak yang berkepentingan disuruh bicara di media. Daripada kayu tidak dimanfaatkan, kenapa tidak dijual saja. Hasilnya untuk kas pemerintah.
Hemm. Enak saja. Pemerintah yang mana?
Nampaknya, logika sederhana itu bakal terus dijalankan. Baru-baru ini, aparat menemukan 2.000 log kayu gelondongan yang dihilirkan melalui Sungai Kapuas. Dengan logika sederhana saja, tak mungkin kayu itu tidak ketahuan. Dengan jumlah yang begitu banyak. Dengan kecepatan rakit yang hanya mengikuti arus Sungai Kapuas. Sudah pasti kayu itu bakal ketahuan.
Ketika ditangkap, anak-anak dan perempuan ada yang ikut di atas rakit. Atas nama memberi makan keluarga, pekerjaan itu dilakukan. Apa boleh buat, hanya itu pekerjaan yang bisa dilakukan.
Bukankah ini lagu lama? Dari mana orang kampung memiliki modal sebesar itu, dan mampu menghilirkan rakit kayu sebanyak itu, kalau tak ada pemilik modal atau cukong dibelakangnya?
Karenanya, pemerintah dan aparat harus bertindak tegas. Tak ada lelang bagi kayu yang ditangkap. Semua kayu harus dihancurkan. Supaya tak ada pembalakan lagi.
Untuk itu, semua harus turut mengawasi proses itu. Pemerintah, aparat, tokoh masyarakat, LSM, akademisi, jurnalis, dan lainnya. Semua harus ikut mengawasi dan mengawal kasus ini.
Bila hutan kita ingin hutan lestari. Tak ada banjir dan bencana, maka kita harus berani mengatakan: tak ada lelang bagi kayu yang ditangkap. Semua harus dimusnahkan!!
Foto Marfa Chandra