Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Sebuah pertanyaan terlontar. Siapakah buruh itu? Buruh adalah mereka yang bekerja dan menggantungkan hidupnya dari gaji dan mendapat upah, dari jasa atau tenaga yang dikeluarkannya. Jadi, siapapun yang bekerja dan mendapatkan gaji, mereka adalah buruh. Orang yang bekerja di bank, rumah sakit, perusahaan sawit, jurnalis, swalayan, toko, atau dimanapun, adalah buruh. Nasib buruh, pekerja, karyawan, SDM, atau apapun namanya, selalu rentan terhadap tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Hal ini tidak saja terjadi di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, tapi juga di negara-negara maju. Bedanya, kalau di negara lebih maju ada kesadaran untuk berhimpun dan membuat serikat buruh. Sehingga ketika muncul permasalahan antara perusahaan dan buruh, ada wakil yang berpihak dan membela hak-hak buruh.
Sebaliknya, di negara-negara berkembang, hal ini belum sepenuhnya muncul. Tak heran, bila timbul suatu permasalahan antara buruh dan majikan atau pemilik modal, perusahaan dengan sewenang-wenang bertindak menurut pemahamannya sendiri.
Repotnya lagi, pihak pemerintah yang seharusnya menjadi mediator dan penengah dalam berbagai kasus persengketaan itu, cenderung diam dan tak ada tindakan. Meskipun sudah ada berbagai peraturan dan UU yang menjadi acuan, bagi penyelesaian masalah tersebut. Hal itu nampaknya tak begitu dihiraukan. Untuk apa, toh, kaum buruh sendiri juga tidak tahu dengan hak yang mereka miliki.
Pemahaman orang tentang makna dan arti buruh sangat sempit. Buruh dianggap mereka yang bekerja dan mengandalkan tenaganya, untuk pekerjaan-pekerjaan berat. Tak heran, muncul berbagai istilah baru, sebagai bentuk pengaburan makna buruh itu sendiri. Seperti, pekerja kerah putih, ekspatriat, eksekutif dan lainnya.
Pemaknaan dan determinasi ini memang sengaja dimunculkan, sebagai bentuk dari pengkotak-kotakan kelas buruh. Sehingga ketika terjadi permasalahan di suatu perusahaan, misalnya sawit, kayu, garmen, atau perusahaan apapun, tidak akan menimbulkan simpati bagi buruh di perusahaan yang lain.
Untuk apa, toh, kelas mereka berbeda. Begitulah logika sederhananya. Mereka tidak sadar, bahwa siapapun punya peluang yang sama, untuk dipecat kapan pun. Sekali lagi, kapan pun.
Selama menjadi buruh dan tergantung dari gaji, setiap saat buruh punya peluang yang sama, untuk menelan pil pahit bernama PHK.
Kemarin, tindakan sewenang-wenang perusahaan terhadap buruh kembali terjadi. Ketika terjadi permasalahan antara perusahaan dengan buruh, perusahaan dengan arogansi memutuskan secara sepihak permasalahan itu. Kata kuncinya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dengan melakukan PHK, permasalahan dianggap selesai. Dan duri yang mengganjal dalam perusahaan, dianggap sudah hilang. Benarkah demikian?
Tentu saja tidak. Dengan melakukan pemutusan hubungan kerja, perusahaan harus menanggung beban baru dalam melakukan sebuah proses produksi. Perusahaan harus mencari karyawan baru. Mengajari dan mendidik kembali. Menyesuaikan ritme kerja mulai dari awal, dan lainnya.
Semua itu tentu membutuhkan energi, pemikiran, dan waktu. Padahal, semua elemen itu yang mendasari sebuah proses produksi. Bila elemen itu terus berputar dari awal, tentu menganggu proses produksi itu sendiri.
Dalam suatu proses produksi, tentu terdapat berbagai macam elemen pendukung. Ada pemilik modal. Ada SDM. Ada mesin, dan lainnya. Buruh, karyawan, pekerja atau apapun namanya adalah aset. Aset yang tak terpisahkan dalam suatu proses produksi. Bila aset itu tidak dipelihara dengan baik, tentu akan aus dan tumpul. Apalagi kalau harus bongkar pasang dan main ganti. Tentu membuat ritme kerja tidak selaras.
Menghadapi hal ini, kaum buruh semestinya juga harus sadar. Kekuatan mereka menjadi bagian dari suatu proses produksi. Ketika terjadi tindakan sewenang-wenang, mereka pun menggunakan kekuatannya dengan cara mogok. Namun, pemogokan harus dikoordinasi dengan baik. Ada tahapan dan proses yang harus dilakukan. Ada kesadaran dari semua orang. Tidak asal mogok. Karenanya, buruh harus berserikat dan berorganisasi.
Kesadaran dan perubahan itu, harus muncul dari diri buruh itu sendiri. Karena mengharapkan perubahan dari para pemodal, hanya ilusi belaka.□
Edisi Cetak 23 Januari 2008
Foto Lukas B. Wijanarko
Wednesday, January 23, 2008
Memanusiakan Buruh
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment