Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Pemekaran bukan untuk bagi-bagi kekuasaan. Seharusnya memang demikianlah adanya. Bila kita konsisten dan memegang prinsip itu, langkah yang harus dilakukan selanjutnya, tentunya saja mengembangkan wilayah yang dimekarkan.
Bila demikian adanya, hal pertama yang harus dilakukan adalah, di mana pusat pemerintahan dan pusat perniagaan harus dibangun?
Baru-baru ini, Bupati Kabupaten Pontianak, Agus Salim, sudah berani memberikan pernyataan dengan membagi pusat pemerintahan dan perdagangan. Kota Mempawah dijadikan sebagai pusat pemerintahan, Sungai Pinyuh sebagai kota perdagangan.
Dari segi pengembangan wilayah, logika ini baik sekali. Dengan membagi daerah berdasarkan peruntukannya, akan didapat suatu formula yang tepat. Pembangunan daerah bisnis, tentu berbeda dengan pusat pemerintahan. Rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW) tentu berbeda. Konsep pembangunannya pun berbeda.
Contoh yang baik tentang hal, ini bisa kita lihat pada model pembagian pusat bisnis dan pemerintahan di Amerika. Negeri Paman Sam menjadikan New York sebagai pusat dari kegiatan bisnis dan perdagangan. Washington DC sebagai pusat pemerintahan.
Pembagian dua peran itu, tentu dengan sebuah kebutuhan, kota akan berkembang puluhan bahkan ratusan tahun kedepan. Nyatanya memang demikian. Ratusan tahun setelah didirikan, dua kota itu semakin berkembang. Penduduk bertambah. Tentunya, kebutuhan lahan untuk tempat tinggal, juga bertambah. Begitu pun dengan kebutuhan terhadap sarana dan prasarana, semakin bertambah. Dua kota itu, masih sanggup memenuhi berbagai kebutuhan lahan untuk itu.
Coba kalau dua fungsi kota pemerintahan dan bisnis digabung? Dalam jangka puluhan tahun, pemenuhan terhadap lahan, mungkin saja masih bisa dilakukan. Tapi, bagaimana bila ratusan tahun lagi? Apakah lahan yang tersedia masih tersedia?
Contoh buruk dari pengabungan pusat pemerintahan dan bisnis menjadi satu, bisa kita lihat pada Jakarta. Gubernur Jenderal JP Coen, mungkin tak berpikir, setelah ratusan tahun, kota yang didirikannya akan semakin tenggelam permukaan tanahnya.
Tenggelam karena penduduknya semakin bertambah. Peruntukan lahan tidak jelas, karena pusat bisnis dan pemerintahan menyatu. Kota menjadi kehilangan sumber daya, bagi pengembangan yang bakal dilakukan. Hal ini, tentu saja membuat kota menjadi kolaps.
Kota sebagai pusat pemerintahan dan bisnis, membuat berbagai wilayah dikembangkan berdasarkan logika kebutuhan saat itu saja. Ruang publik terampas oleh berbagai pembangunan mall. Daerah resapan air, terampas oleh pembangunan perumahan. Pada akhirnya, ini mengorbankan kebutuhan jangka panjang, dan tata kelangsungan sebuah kehidupan masyarakat kota itu sendiri.
Hal ini bisa kita lihat dengan kasat mata. Industri di Jakarta, perhotelan, perkantoran, atau kegiatan bisnis lainnya, menyedot air tanah bagi kebutuhan industrinya. Akibatnya, air laut meresap puluhan kilometer ke daratan. Air tanah di Jakarta menjadi asin dan tak layak konsumsi. Ketika hujan datang, tanah tak mampu menyerap air, karena tak punya pori-pori. Semua tertutup beton. Akibantnya, banjir selalu terjadi.
Tak heran bila wacana pemisahan pusat kota pemerintahan dan bisnis, juga terjadi pada Jakarta. Ketika itu, 1928, pemerintah Belanda ingin memindahkan ibu kota ke Bandung. Hal itu diiringi dengan pembangunan berbagai gedung sebagai pusat pemerintahan. Salah satunya adalah Gedung Sate. Namun, krisis ekonomi dunia pada era 1930-an, membuat pembangunan pusat pemerintahan itu terhenti. Dan pemisahan dua fungsi itu pun hilang bersama waktu.
Era Presiden Sukarno dan Suharto, wacana pemindahan ibukota juga terjadi. Presiden Sukarno ingin pusat pemerintahan pindah ke Balikpapan. Presiden Suharto ingin pusat pemerintahan pindah ke Jonggol. Keduanya sepakat, Jakarta sudah tak layak lagi sebagai pusat pemerintahan. Sudah terlalu padat dan tak bisa dikembangkan.
Di Kalbar, hal yang sama juga sedang terjadi. Lihat saja pemekaran di depan mata kita. Misalnya, Kabupaten Kubu Raya (KKR). Rencananya, pusat pemerintahan akan ditempatkan Sungai Raya. Alasannya, karena sebagian besar penduduk KKR ada di Sungai Raya.
Logika sederhananya, bila dipandang dari kaca mata pelayanan dan kepentingan sesaat, pendapat itu ada benarnya. Biarlah wilayah yang paling banyak penduduk ini, mengenyam kemudahan bila berurusan dengan berbagai kebutuhan pelayanan pemerintahan.
Namun, bila dilihat bagi pengembangan wilayah puluhan tahun atau malah ratusan tahun kedepan, daerah ini sudah tak bisa dikembangkan lagi. Dengan jumlah penduduk yang sudah padat, tentu peruntukan lahan untuk berbagai pengembangan, bakal tidak ada.
Kenapa pusat pemerintahan tidak dibuat di daerah lain saja. Misalnya di Rasau Jaya, Kubu, Padang Tikar, atau lainnya. Daerah-daerah itu masih punya banyak lahan untuk dikembangkan, untuk puluhan bahkan ratusan tahun kedepan. Selain itu, dengan menempatkan pusat pemerintahan di daerah yang masih terbuka, tentu saja membuat daerah itu jadi maju.
Yang pasti, ruh dari pemekaran adalah, menciptakan kesejahteraan dan pengembangan daerah. Bukan untuk kepentingan sesaat. Apalagi untuk bagi-bagi kekuasaan saja. □
Foto Lukas B. Wijanarko
Friday, January 25, 2008
Mengembalikan Ruh Pemekaran
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment