Thursday, January 24, 2008

Berharap pada Pemekaran?

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Gegap gempita pemekaran pasca otonomi daerah, menjadi euforia tersendiri. Berbagai wilayah di Indonesia dimekarkan. Semua wilayah dipecah. Provinsi dipecah. Kabupaten dipecah. Orang daerah rela berduyun-duyun datang ke Jakarta, untuk memuluskan agenda yang diusung. Semua bersatu dalam satu pemahaman dan kesepakatan.

Demikianlah adanya pemekaran. Berbagai alasan dikemukakan. Ada yang bilang untuk mempercepat laju pembangunan. Mempermudah rentang kendali wilayah. Mempermudah pelayanan kepada masyarakat, dan lainnya. Karenanya, wilayah yang dianggap bisa dimekarkan, bakal dimekarkan.

Bila alasannya memang demikian, alangkah indahnya pemekaran itu. Apalagi dengan wilayah seperti Kalbar, yang luasnya satu setengah kali pulau Jawa. Tentunya menjadi harapan semua masyarakat, bila konsep awal dari pemekaran itu bisa dilaksanakan.


Lalu, sudahkah pemekaran menjawab permasalahan di atas? Nampaknya belum semuanya. Pemekaran di berbagai daerah, tidak semuanya berjalan dengan mulus. Dalam artian, pemekaran tidak serta merta membuat pembangunan atau pelayanan menjadi mudah.

Di beberapa daerah, pemekaran yang dilakukan, malah membuat daerah induk menjadi terbebani dengan berbagai subsidi, kepada daerah yang dimekarkan. Tidak adanya berbagai potensi sumber daya alam dan manusia (SDA dan SDM), atau sarana prasarana pendukung, membuat daerah yang dimekarkan harus merangkak pelan sekali dalam membangun daerah itu. Sebab, sebagian besar uangnya, digunakan untuk membangun infrastruktur dan sarana pendukung yang belum tersedia.

Yang lebih parah lagi dalam pemekaran adalah, orientasi mencari berbagai kekuasaan dari daerah yang dimekarkan. Hal ini terlihat, begitu daerah yang dimekarkan menjadi daerah otonom dan berdiri sendiri.

Satu persatu orang muncul dan memberikan berbagai pernyataan, bahwa mereka yang paling berperan dan punya jasa memekarkan daerah tersebut. Berbagai pernyataan itu muncul di media massa. Tak hanya itu. Pembuatan pernyataan juga diiringi dengan dukungan. Ada yang mengatasnamakan dan mendapat dukungan dari partai, organisasi kemasyarakatan, agama, etnis atau profesi.

Semua berlomba-lomba tampil mengenalkan diri pada masyarakat. Tak heran bila dalam keseharian, muncul berbagai wajah baru di media massa. Semua berusaha tampil dan dikenal. Namun, sedikit sekali dari mereka yang tampil, membawa semangat kebersamaan, untuk membangun daerah yang baru dimekarkan, dan bicara urusan rakyat kecil.

Semua berlomba-lomba mensosialisasikan diri melalui berbagai macam cara. Ada yang melalui kegiatan olah raga, sosial, pendidikan, acara keagamaan dan lainnya. Apa yang dilakukan tersebut, bermuara pada satu hal. Menapak jalan untuk memperoleh kekuasaan.

Berbagai pernyataan dikeluarkan untuk menarik simpati. Berbagai simbol dan identitas dimunculkan untuk memperoleh legitimasi dan kepercayaan diri dan golongan. Bagi mereka merasa tak percaya diri dengan prestasi dan kemampuan yang dimiliki, tentu mencari hal paling mudah dalam mendongkrak popularitas. Karenanya, tak heran bila muncul berbagai isu agama dan sentimen etnis dimunculkan.

Repotnya lagi, isu etnis dan agama itu, dilakukan untuk menekan suatu kelompok etnis, agama, atau golongan lainnya. Hal ini tentu saja membuat masyarakat saling berhadap-hadapan. Etnis satu berhadapan dengan etnis lain. Agama satu berhadapan dengan agama lain. Golongan satu berhadapan dengan golongan lain.

Isu-isu agama, etnis dan golongan memang sengaja dilanggengkan oleh para elit politik untuk mencari dukungan dan memperoleh kekuasaan. Kondisi SDM masyarakat yang masih rendah, bukannya diberi pendidikan politik yang baik, malah dipolitisir.

Kalau memang begitu orientasi orang memekarkan suatu daerah, buat apa kita berharap dari pemekaran?

Edisi cetak di Borneo Tribune 24 Januari 2008
Foto Muhlis Suhaeri

No comments :