Tuesday, January 22, 2008

Kebijakan yang Timpang

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Seorang ibu rumah tangga mengeluh. Sudah beberapa minggu ini, ia sulit mendapatkan bahan bakar untuk memasak. Minyak tanah sulit didapatkan. Kalaupun ada, ia harus berdesakan dan antre hingga beberapa jam. Hanya untuk mendapatkan beberapa liter minyak tanah.

Masyarakat biasa dijatah lima liter saja untuk keperluan sehari-hari. Sisanya yang puluhan jerigen, dibawa dengan bus. Untuk mendapatkan lima liter minyak itu pun, tidak pasti kapan minyak tanah di depot bisa dibeli Tidak setiap hari depot minyak tanah buka.

Setiap kali ada pertanyaan dari masyarakat, ke mana larinya minyak tanah, sang pemilik depot minyak tanah selalu menjawab dengan kalimat sama. Kiriman belum datang. Semua dijatah dari sananya. Masyarakat pun cuma manggut-mangut. Bagi masyarakat, jalur distribusi minyak tanah, tak begitu penting dari mana asalnya dan bagaimana distribusinya. Yang mereka tahu, ketika butuh minyak tanah, dengan mudah hal itu didapatkan. Titik.


Tak hanya itu. Ketika pemerintah mencanangkan konversi minyak tanah ke elpiji, ini pun menimbulkan masalah baru. Sekali lagi, pemerintah tidak menyiapkan infrastruktur yang baik, ketika kebijakan itu digulirkan. Akibatnya, ketika kebijakan ini pun membuat masyarakat susah.

Pemerintah tak sanggup menyiapkan tabung gas elpiji bagi warga. Perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah, tak sanggup menyediakan tabung gas elpiji. Alhasil, pemerintah harus mengimpor tabung-tabung gas tersebut.

Lagi-lagi, pemerintah mendatangkan barang, untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Sebagai bangsa, kita sama sekali tak mandiri. Tak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Atau, karena mental para pembuat kebijakan kita yang selalu menjadikan sesuatu, sebagai proyek dan menghasilkan uang untuk dipungut bagi dirinya.

Anehnya lagi, kebijakan tak populis itu, dibungkus dengan sebuah suguhan, pembagian tabung tiga liter kepada masyarakat. Semua dibagikan secara gratis. Lucunya, masyarakat yang mendapatkan tabung itu, dijual lagi.

Untuk apa? Toh elpiji juga tak tersedia di semua tempat. Susah mendapatkannya. Mau fakta? Sekarang ini, coba saja cari elpiji di toko atau distributor sekalipun.

Hari ini, seorang pemilik toko yang biasa menjual gas elpiji, mengeluh tak karuan. Sudah berminggu-minggu, tokonya tak mendapat pasokan gas elpiji. Alasannya? Sekarang ini pasokan gas di Kalbar, hanya dari satu perusahaan. Inilah yang disebut dengan monopoli.

Sebelum gas dipegang satu perusahaan, tokonya biasa mendapat kiriman dari Jakarta, 5-6 kali seminggu. Setiap pengiriman bisa puluhan tabung. Sekarang ini, tokonya hanya mendapat kiriman sekali saja dalam seminggu. Itupun hanya 10 tabung. Bayangkan, berapa kerugian yang harus dia tanggung dalam hal ini.

Kelangkaan gas, membuat pemilik toko menaikkan harga gas. Sebelum dipegang oleh satu perusahaan, ia biasa menjual elpiji seharga Rp 75 ribu per/tabung. Kini, ia menjual gas elpiji Rp 90 ribu per/tabung. Fantastik. Naiknya Rp 15 ribu per/tabung atau sekitar 20 persen.

Lagi-lagi, masyarakat yang langsung kena imbas dari kebijakan tidak populer ini. Kebijakan itu juga menjadi lahan empuk bagi para spekulan dan pembuat kebijakan yang ingin mendapatkan untung. Dengan kondisi perekonomian seperti sekarang, hal itu makin memberatkan beban masyarakat.

Ironis memang. Bangsa Indonesia dijajah Belanda, karena VOC ingin melakukan monopoli perdagangan. Begitu merdeka dan memasuki era pemerintahan Orde Baru, monopoli juga terjadi di mana-mana.

Sekarang ini, ketika Orde Baru sudah tumbang, muncul para pedagang yang ingin melakukan monopoli terhadap suatu produk. Dan hal itu pun, dilindungi dan difasilitasi para pejabat yang ingin mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang dibuat.

Tak ada cara lain. Masyarakat harus mengkritisi berbagai kebijakan yang tidak populer ini.

Foto Lukas B. Wijanarko

No comments :