Resume ‘Serangkai’
Judul Buku: Serangkai
Penulis: Valerie Patkar
Penerbit: Bhuana Ilmu Populer
Tahun Terbit: 2021
Tebal: 400 halaman
Serangkai merupakan karya dari penulis Valerie Patkar. Mengisahkan tentang Kai Deverra yang masih bertarung dengan dukanya akibat ditinggal oleh sang mantan kekasih, namun hal ini membawanya bertemu Karina Maladivas Nota, sosok gadis yang keras dan penuh misteri.
Kai Deverra merupakan seorang pembalap
ternama Indonesia yang sudah dikenal hingga internasional. Di saat yang sama,
Divas, merupakan seorang dokter yang kala itu ikut menjadi bagian dari tim
medis klub Kai. Watak Divas yang ceplas ceplos dan Kai yang keras kepala
membuat pertemuan mereka berdua diisi oleh adu mulut.
Ketika pengecekan sebelum hari
kualifikasi, Divas melarang Kai untuk ikut pertandingan akibat kondisi tubuhnya
yang tidak fit. Namun, Kai Deverra tidak pernah meninggalkan setiap kesempatan
yang ada untuk turun ke sirkuit membawa nama klubnya. Hal ini memicu perdebatan
di antara mereka.
Selain tubuhnya yang tidak fit, Kai juga
tidak fokus setelah mendapat undangan pernikahan dari sang mantan kekasih,
Claire. Hal ini mengakibatkan Kai terlibat kecelakaan ringan yang membuatnya
harus rehat dari sirkuit beberapa saat. Kai kembali ke Jakarta untuk menjalani fisioterapi,
tanpa disangka, hal ini membawanya kembali bertemu Divas, yang saat itu menjadi
asisten dokter Kai.
“Dokter Divas, ini Kai Deverra, dia
pembalap tim BehIND, kakaknya Dokter Nima.”
“Udah kenal kan kita? Masa mau
kenalan lagi.”
Hari-hari berlalu, Kai dan Divas menjadi semakin dekat. Kai mulai mengenal Divas dan semua kebiasaan anehnya. Divas yang suka berdiam diri di ruang istirahat setiap jam 6 sore hanya termenung sambil mendengarkan lagu Kasih Tak Sampai milik Padi di Ipod kuno yang selalu ia bawa.
Divas yang selalu memilih untuk tidur di lantai seolah permukaan kasar itu
lebih nyaman dibandingkan kasur empuk. Divas yang selalu membawa keripik balado
namun tak pernah ia makan dan hanya ia bagikan kepada rekan-rekannya di rumah
sakit. Divas yang menghabiskan seluruh waktunya di rumah sakit seakan ia enggan
untuk kembali ke rumah.
Dari kedekatan mereka, Kai belajar banyak hal dari
Divas. Kai yang selama ini selalu merasa bersalah, berduka, dan marah atas
putusnya hubungan mereka berdua, mulai menerima keadaan. Ia berdamai dengan
lukanya, dengan bantuan kecil dari kata-kata Divas.
“Luka hati tuh ngerepotin banget.
Bikin sakit, bikin nggak bisa ngapa-ngapain, bikin capek, bikin kepikiran. Itu
kalau lukanya diterima, apalagi nggak diterima coba? You will always lose
things if you keep acting up as if you’re fine and ignoring your shits.”
Sedikit yang Kai ketahui mengenai Divas, namun hal ini
juga yang membuat Divas terlihat sangat menarik baginya. Pertengkaran yang
selalu terjadi di antara mereka ketika pertama kali bertemu, menimbulkan rasa
nyaman di dalam diri keduanya. Tanpa Kai sadari, ia telah membangun rasa untuk
Divas.
Sampai akhirnya sehari sebelum keberangkatan Kai untuk
mengikuti Grand Pix berikutnya, ia mengundang Divas untuk menonton
pertandingannya kali ini. Walau harus diikuti dengan perselisihan di antara
mereka seperti biasa, yang berakhir dengan mereka yang saling mengungkapkan
perasaan satu sama lain. Dengan begini, kisah romansa di antara mereka dimulai.
“Cuti apa susahnya sih? Kalau emang
lo bener-bener nggak bisa datang, bilang cepet pulang kek, atau kesel gitu
karena gue harus pergi? Lo… nggak tau lah.”
“Nah… gitu dong marah. Gue kesel kok
lo tiba-tiba pergi. Gue juga pengen banget cuti. Tapi gue pengen denger alasan
lo. Gue pengen tahu sebesar apa keinginan lo untuk ngajak gue ikut sama lo.
Karena dengan begitu gue tahu… kalau gue penting buat lo.”
Ketika Kai merasa luka lamanya disembuhkan atas
kehadiran Divas, hal ini tidak berlaku sama untuknya. Karena Divas telah
memendam luka mendalam selama 10 tahun terakhir, semenjak kepergian sang kakak
yang sangat ia kagumi, Zacchio. Divas dan sang kakak memiliki hubungan
persaudaraan yang sempurna. Mereka sangat akrab dengan satu sama lain, dan
sering menghabiskan waktu bersama.
Semua kebiasaan yang dilakukan oleh Divas selama ini juga berasal dari Zacchio. Semasa hidup Zacchio, ia sering mengajak Divas ke kolong jembatan Ciputat untuk melukis mural setiap jam 6 sore. Zacchio lebih sering tidur di lantai dibandingkan di kasur kamarnya, ia merasa ada suara-suara dari lantai yang mengantarnya tidur lebih nyenyak.
Zacchio selalu
mendengarkan Kasih Tak Sampai lewat ipod nano kuno yang diberikan oleh Divas.
Serta kegemaran Zacchio terhadap keripik balado buatan sang ibunda, sampai ia
pergi pun ibunya tetap membuat keripik tersebut walau sang ayah serta Divas
tidak pernah memakannya.
“Pokoknya tiap jam 6 sore, kamu harus
nemenin Kakak ya ke sini. Nggak boleh pergi sama temen, nggak boleh ke
mana-mana, harus sama kakak. Kalau ada yang nanya, bilang sibuk, oke?”
Zacchio wafat di usianya yang menginjak 18 tahun,
kanker mastoid, telah ia derita 6 tahun lamanya. Ketika ia memasuki bangku
putih abu, Zacchio memutuskan untuk berhenti melakukan pengobatan, menurut
dokter penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan. Yang paling naas adalah, Divas
sama sekali tidak mengetahui penyakit sang kakak. Ia baru mengetahuinya
seminggu sebelum Zacchio wafat. Kematian Zacchio menghancurkan Divas serta
keluarganya.
Di hari kualifikasi Grand Prix, terjadi kecelakaan
besar yang menewaskan salah satu pembalap F1. Hal ini memicu ketakutan dalam
diri Divas akan keselamatan Kai. Ia tidak ingin ditinggal oleh orang yang ia
sayangi untuk ke sekian kalinya. Divas melarang Kai untuk mengikuti
pertandingan di keesokan harinya. Hal ini memicu pertengkaran di antara mereka
yang akhirnya Divas kembali ke Jakarta meninggalkan Kai di Singapura.
“Lo kenapa jadi begini sih, Vas?
Kenapa lo jadi memperumit keadaan? Yang kecelakaan orang lain, bukan gue.
Sekarang gue baik-baik aja, apa yang lo takutin?”
“Jangan pernah bawa gue masuk ke
hidup lo kalau lo masih gampangin ketakutan gue.”
Ketika Divas sampai di Jakarta, ia harus dihadapi
dengan salah satu pasiennya yang tewas akibat kanker darah. Pasiennya bernama
Evan, usianya baru 8 tahun ketika akhirnya tewas setelah berjuang melawan
kanker yang menggerogoti tubuhnya. Divas berusaha menyelamatkan Evan yang
kritis namun kenangan mengenai kematian sang kakak, Zacchio, menyerangnya di
tengah-tengah ia bertugas.
Divas akhirnya ditarik keluar oleh suster karena
dianggap sedang dalam keadaan yang tidak mumpuni. Ditambah dengan seorang
pasian yang kerap memprotes karena Evan yang dilayani terlebih dahulu, semakin
menambah beban yang dirasakan oleh Divas. Ketika ia mendengar bahwa Evan tidak
bisa diselamatkan, dengan kalap ia mengamuk dan tanpa sadar menyerang pasien
yang sedari tadi memicu emosinya.
“Lagi pula kalau memang sakitnya
sudah parah ya sudah, nggak bisa ditolong
lagi. Lebih baik tolong orang yang masih punya kesempatan hidup.”
“Kalau sakitnya udah parah nggak bisa
ditolong lagi anda bilang?! Kenapa mereka nggak boleh ditolong? Kenapa mereka
nggak boleh hidup juga!”
Hal ini mengakibatkan Divas harus di-terminate
dari rumah sakit dan menjalani masa penaltinya. Pradhika, sahabat baik Zacchio,
yang sekarang bekerja di tempat yang sama dengan Divas akhirnya mengajak Divas
berbicara. Ia percaya Divas masih memiliki kesedihan yang terpendam semenjak
kematian sang kakak. Dhika menyarankan Divas untuk melakukan terapi namun
ditolak oleh Divas.
Setelah pertandingannya yang berjalan lancar di
Singapura, Kai memutuskan untuk rehat dari beberapa pertandingan setelahnya untuk
kembali ke Jakarta dan mencari Divas. Ia mendapat kabar dari adiknya yang juga
merupakan seorang dokter, Nima, mengenai tragedi di rumah sakit. Akhirnya Kai
berusaha mencari Divas ke rumahnya, rumah sakit, sampai akhirnya ia kembali ke
kolong jembatan Ciputat.
Ia menemukan Divas sedang mengamati mural-mural di
sana. Kai meminta penjelasan atas sikap Divas belakangan hari ini. Namun Divas
tak kunjung membuka lukanya ke Kai, ia meinta Kai untuk kembali ke Singapura
dan melanjutkan Grand Prixnya.
“Luka gue nggak akan pernah bisa
disembuhin siapa pun… gue nggak akan pernah bisa sembuh. Jadi, jangan pernah
coba. Jangan pernah berusaha sembuhin luka gue, karena itu cuma buang waktu
lo.”
Setelah mengantar Divas kembali ke rumah, Kai pergi
kembali ke rumah sakit untuk bertemu Pradhika. Ia merasa Dhika lebih mengetahui
dan mengenal Divas dibandingkan dirinya. Akhirnya ia berhasil mendaptkan
jawaban atas pertanyaannya selama ini. Tentang Divas yang sikapnya selalu
berubah-ubah, dan siapa itu Zacchio pencipta mural yang selama ini selalu
dikagumi oleh Divas.
Keesokan harinya Divas terlibat pertengkaran dengan
sang ibunda. Semua dimulai dengan ia yang tak sengaja mendengar sang ibunda
yang bercerita ke temannya dan bercerita seakan-akan Zacchio masih hidup.
Sesampainya di rumah, Divas tak bisa menahan emosi yang selama ini ditahannya
dan berakhir dengan pertengkaran. Di tengah adu mulut tersebut, sang ayah
kembali bersama Kai yang baru saja pergi menemaninya ke studio lukis sang ayah.
“Kenapa semua orang di rumah ini
doyang banget jadi pembohong sih?” Dan semua kejadian itu terputar ulang
seperti time lapse dalam waktu beberapa detik. Saat semua orang memiliki waktu
lebih banyak dengan kakak gue karena mereka tahu apa yang terjadi padanya, gue
baru mengetahui semuanya seminggu sebelum dia pergi.
“Kalian hidup tuh kayak nggak ada
masalah. Anak kalian itu udah meninggal! Anak kalian udah nggak ada lagi! Dan
kalian masih bisa ngomong sama orang lain kalau dia masih ada?! Padahal kalian
yang bikin dia mati karena nggak mau ada usaha untuk buat dia hidup lebih lama!”
Divas memutuskan untuk pergi dari rumah dan berhasil
dikejar oleh Kai. Setelah memutari kota selama beberapa jam akhirnya ia
memutuskan untuk membawa Divas pulang ke apartemennya. Ia membiarkan Divas
untuk memiliki waktu sendiri.
Setelah merasa tenang, Divas mulai membuka dirinya pada
Kai. Ia menceritakan perasaannya selama ini setelah kehilangan Zacchio.
“Tante Nia dan Om Bhima, mereka
berdua Cuma maksain diri untuk kuat dan bahagia karena mereka tahu, mereka
masih punya lo. Karena lo harus hidup lebih lama. Karena cuma lo yang mereka
punya, dan mereka nggak mau kehilangan lo. Dan sekarang, mereka kehilangan lo,
Vas.”
Berkat Kai, Divas berhasil berdamai dengan masa
lalunya. Divas sudah bisa berkunjung ke makam Zacchio. Divas dan keluarganya
sudah bisa membicarakan Zacchio dengan tawa bahagia. Divas berhasil menghadapi
kesedihan yang selalu ia pendam selama 10 tahun terakhir ini.
Peresume:
Cori Nariswari Mernissi
Baca Selengkapnya...