Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Bila Anda ditanya, siapa aktris berwajah dan punya karakter khas Indonesia? Lola Amaria, mungkin jawaban yang tepat. Kenapa? Sebab, karakter wajahnya memang khas Indonesia. Tak heran bila, ada produser film asing membuat film dengan tema Indonesia, Lola bakal kebagian peran.
Sebut saja film berjudul Dokuritsu atau Kemerdekaan yang dibuat produser Jepang. Lola kebagian peran utama perempuan dalam film tersebut. Begitu juga dengan film terbarunya yang dibuat di Taipe dengan produser dari Negara tersebut. Film berjudul 'The Detours to Paradise', dibintangi Lola Amaria dirilis pada Maret 2009 di Taiwan. Kedua film tersebut, tak diputar di Indonesia. Film terakhir baru saja diputar di Hongkong, Taipe dan Singapura.
Lola juga pernah menjadi peran utama dalam film Ca Bau Kan, Novel Tanpa Huruf R, sutradara film Betina. Kebetulan dipembuatan film Novel tanpa Huruf R, aku mengenal Lola Amaria. Menulis proses pembuatan film itu, hingga menjadi sebuah buku dengan judul “Di Balik Novel Tanpa Huruf R”. Buku itu diterbitkan LKiS, Yogyakarta.
Dalam suatu perbincangan melalui jejaring sosial Facebook, Lola mengatakan, sedang mempersiapkan film drama terbarunya, berlatar belakang tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong. Rencananya, pembuatan film itu setelah lebaran atau awal Oktober 2009. Film berjudul TKW Hong Kong Rhapsody. Ia berperan sebagai pemain.
Kini, dia sedang mempersiapkan film terbarunya. Ia ingin mengangkat tema itu, untuk menepis TKW bukan perempuan yang terpinggirkan. Keberadaan TKW di Hongkong beda sekali dengan di Malaysia atau Timur Tengah. Mereka lebih punya daya juang.
“Aku agak paham di bidang ini, aku mau angkat kesuksesan mereka. Bukan melulu penderitaan, karena mereka adalah penghasil devisa nomor dua terbesar setelah migas. Tahun 2008, mereka menghasilkan 90 triliun rupiah,” kata Lola.
Selain itu, fenomena TKW di Hongkong juga menarik. Misalnya, adanya hubungan sesama jenis atau lesbian. Atau, percintaan dengan tenaga kerja Pakistan, tapi ternyata TKW hanya diporotin saja uangnya.
Susah-susah cari duit, tapi uangnya habis untuk membelikan berbagai barang orang Pakistan ini.
Inspirasi mengangkat film itu, berawal ketika Lola main dalam film Taiwan, yang juga bercerita tentang TKW.
“Masa yg bikin film tentang TKW justru orang luar. Dan memang belum pernah ada film Indonesia yang angkat tema itu. Makanya aku tertarik,” tulis Lola.
Kenapa setting filmnya di Hongkong, karena TKW yang dianggap paling berhasil, berada di Hongkong. TKW di Hongkong punya standar khusus. Hongkong lebih nyaman dan hukumnya jelas. Sebelum berangkat, para TKW juga ada pelatihan khusus selama 3-6 bulan, mengenai berbagai ketrampilan dan bahasa.
Di Hongkong gaji besar. Bisa mencapai Rp 8 juta sebulan. Ada libur, majikan baik, dan mereka bebas, tidak dianggap sebagai pembantu, tapi manusia. Ia tak mungkin membuat film itu di Malaysia atau Timur Tengah, tanpa kekerasan dan pelecehan, karena faktanya seperti itu.
“Lagian, kisah sukses mereka tak banyak orang yang tahu,” tulis Lola.
Lola juga menyayangkan berbagai kekerasan yang dialmi TKW di Malaysia dan Timteng. Menurutnya, harus ada ketegasan dari pemerintah. “Jangan cuma mau duitnya saja, tapi tak dilindungi hak mereka sebagai warga Negara,” tulis Lola.
Menurutnya, hal itu ibarat dua sisi mata uang.
Untuk menggarap film itu, Lola sudah sering bolak-balik ke Jawa Timur yang menjadi pusat atau asal para TKW yang ke Hongkong. Lola dan timnya sudah tiga kali riset ke Hongkong. Risetnya sudah setahun ini.
Dia berharap, semua berjalan dengan lancar. Biayanya juga agak kecil. Apalagi lokasi syuting 95 persen berada di Hongkong. Sisanya berada di Surabaya.
Ia merasa beruntung karena didukung tim yang kuat. Ada Noe, dari grup Letto, anaknya Cak Nun, dan Dewi Umaya. Mereka berdua sebagai produser. Skenario ditulis Titin Wattimena. Camera dipegang Yadi Sugandi. Ada beberapa kru lain dari Hongkong. Dalam pembuatan itu, ia kerja sama dengan sebuah rumah produksi di Hongkong. Semua alat juga dari Hongkong.
Nah, bagaimana film itu kedepannya, kita tunggu debut Lola Amaria dengan filmnya.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 28 Juni 2009
Foto dari Face Book Lola Amaria
Sunday, June 28, 2009
Lola Amaria Jadi TKW
Posted by Muhlis Suhaeri at 7:46 AM 0 comments
Labels: Perempuan
Saturday, June 20, 2009
Membedah Karya Pemenang MLA
Majalah Gatra
Oleh: Lufti Avianto
Resensi Buku: Menuju Jurnalisme Berkualitas
Penyunting: Ignatius Haryanto
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, April 2009, xvi+424 halaman
Untuk pertama kali Mochtar Lubis Award digelar pada tahun 2008. Berisi 25 karya wartawan Indonesia, ada catatan penting para juri terhadap karya-karya para pemenangnya.
Siang itu, 31 Oktober 1967 di Kampung Sebadu, 88 kilometer arah timur Pontianak; Kalimantan Barat. Perkampungan yang sebelumnya tenang dan damai itu sontak berubah seratus delapan puluh derajat. Suara lolongan riuh-rendah bersahutan. Terkadang teratur, dan terkadang melengking dengan irama acak yang menyiratkan makna yang mencekam. Auuuuu…Auuuu…
Suara itu berasal dari ratusan orang Suku Dayak. Mereka menggunakan kain merah di kepala. Ada yang memegang tombak, mandau, dan senjata tajam lainnya. Mereka merangsek ke perkampungan. Menyisiri rumah-rumah dan merampas harta benda yang ditinggalkan pemiliknya yang mengungsi. Bila ada yang melawan, maka ngayau (pemenggalan kepala) adalah balasannya.
Dari sebuah tempat yang jauh dari perkampungan, sepasang mata milik Tyhie Dju Khian mengawasi lekat-lekat peristiwa itu. Lelaki itu terpaksa mengungsi bersama istrinya, Dyong Sin Lan, dan dua anaknya yang masih balita.
Mereka berjalan kaki puluhan kilometer meninggalkan rumah dan segala yang dimilikinya. Mereka tak sendiri. Di jalan, Khian bertemu dengan pengungsi lainnya. Mereka menggendong anak kecil dan menandu lansia. Tak ada barang yang bisa mereka bawa.
Itulah penggalan kisah memilukan yang diungkap Muhlis Suheri dalam buku ini. Ini bukan cerita dalam novel, melainkan kisah nyata yang dialami seorang dari sekian banyak etnis Tionghoa di perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia. Cerita getir yang terjadi selama pemberangusan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dalam kurun 1966-1967.
Karya Muhlis yang diberi judul The Lost Generation ini muncul sebagai pemenang Mochtar Lubis Award (MLA) tahun lalu untuk kategori pelaporan investigasi. Ada beberapa pertimbangan juri memilih laporan panjang ini sebagai pemenang di antara 13 naskah yang masuk. Satu diantaranya adalah kesan yang kuat tentang upaya penulis menelusuri data, dokumen, dan pilihan narasumber dalam peristiwa yang terjadi lebih dari empat dasawarsa lalu itu.
Selain karya Muhlis, ada dua tulisan karya pemenang lain yang ditampilkan dalam buku ini untuk kategori pelayanan publik dan tulisan feature. Masing-masing berjudul Politik Pendidikan Penebus Dosa karya Asrori S. Karni, wartawan GATRA, dan Meno Kaya Tidur di Selokan tulisan Ahmad Arif dari Kompas. Juga dimunculkan karya pemenang untuk kategori foto jurnalistik dan liputan mendalam jurnalisme televisi.
Selain itu, buku ini juga menyertakan 20 karya finalis lain dalam lima kategori. Sehingga, genap 25 karya tersajikan, disertai dengan catatan juri dan behind the story para pemenang. Dari catatan-catatan juri dan para pemenang itu, kita bisa mengambil banyak pelajaran. Terutama sekali ihwal apa dan bagaimananya sebuah karya jurnalistik berkualitas dirancang dan ditulis.
Dari sisi ini, tak berlebihan, bila karya para finalis dan pemenang MLA yang baru pertama kali digelar pada tahun lalu itu diabadikan dalam buku berjudul Menuju Jurnalisme Berkualitas.
“Dengan mengabadikan karya ini, saya merasakan denyut dan gairah wartawan Indonesia untuk berprestasi,” ujar Susanto Pudjomartono, salah seorang anggota dewan pembina MLA.
Ada sedikit catatan untuk kategori tulisan feature. Kita tidak tahu persis, dari 59 karya yang masuk ke meja juri, berapa banyak tulisan yang bersifat inspiratif dan menggugah kreativitas. Barangkali, faktor ini juga layak dijadikan sebagai bahan pertimbangan juri. Seperti disinggung juga oleh Susanto, pers pun berfungsi memberi informasi dan mendidik bangsa ini.
Walau demikian, buku ini jelas sangat bermanfaat. Siapa pun Anda – wartawan, mahasiswa, blogger, jurnalis warga (citizen journalist), ataupun pembaca umum – yang ingin menikmati kumpulan karya jurnalistik berkualitas, buku ini adalah salah satu referensi yang tepat.***
Catatan:
Tulisan ini merupakan salinan dari Majalah GATRA, Edisi 20 Mei 2009, halaman 58
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:25 AM 0 comments
Labels: Resensi
Monday, June 15, 2009
Mengawetkan Berita Berkelas
Koran Jakarta
Senin, 15 Juni 2009
Judul : Menuju Jurnalisme Berkualitas
Kumpulan Karya Finalis dan Pemenang Mochtar Lubis Award 2008
Penyunting : Ignatius Haryanto
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Edisi : I, April 2009
Tebal : xvi + 424 halaman
Harga : Rp 55.000,-
Tahun 1965-1967, terjadi pengusiran orang Tionghoa di sepanjang perbatasan Kalimantan Barat dan Serawak, Malaysia. Peristiwa itu berkaitan dengan operasi militer yang dilakukan Tentara RI atas para mantan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (PARAKU).
Sebelumnya, mantan PGRS-PARAKU, yang mayoritas beretnik Tionghoa, direkrut dan dilatih Pemerintah RI ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia, 1963. Namun ketika konstelasi politik Indonesia berubah pasca G30S PKI, keberadaan mereka dianggap sebagai pemberontak yang harus segera disingkirkan.
Militer kesulitan mematahkan perlawanan para gerilyawan. Karena militer memprovokasi orang Dayak untuk melakukan pengusiran terhadap orang Tionghoa, termasuk yang dianggap membantu dan memasok makanan para pemberontak. “Ini peristiwa kemanusiaan yang luar biasa besar. Namun, peristiwa itu seakan dilupakan sejarah. Kalaupun pernah tertulis pada 1971, buku itu versi militer atau pemerintah Orde Baru,” Begitulah yang terlintas dalam pikiran Muhlis Suhaeri, wartawan Borneo Tribune, ketika pertama kali melakukan riset dan akan menulis naskah The Lost Generation. Kelak, liputan investigatif ini dinobatkan sebagai pemenang Mochtar Lubis Award (MLA) 2008 kategori Pelaporan Investigasi.
Penghargaan Jurnalistik Mochtar Lubis Award 2008 mengapresiasi karya para jurnalis yang dipilah dalam lima kategori: pelayanan publik, tulisan feature, pelaporan investigasi, foto jurnalistik, sera liputan mendalam jurnalisme televisi. Terdokumentasikan dalam buku ini, Menuju Jurnalisme Berkualitas, 19 karya finalis dan 6 karya pemenang MLA 2008.
MLA yang tahun ini baru memasuki tahun kedua adalah program yang bertujuan memberikan apresiasi dan menumbuhkan semangat kompetisi di kalangan wartawan Indonesia untuk menghasilkan karya jurnalistik terbaik. Barangkali, satu hal yang menggembirakan di Indonesia belakangan ini adalah munculnya banyak wartawan muda yang idealis, bersemangat, dan ingin membuktikan diri bahwa mereka mampu dan berkualitas.
Penggunaan nama Mochtar Lubis adalah sebagai bentuk dedikasi kepada salah satu jurnalis Indonesia terbaik yang tak hanya terkenal di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Mochtar Lubis kita kenang sebagai wartawan legendaris karena keberaniannya melawan pemerintahan otoriter, berani mengambil risiko atas tulisan-tulisan kritis, dan keunggulannya dalam mengungkap pelbagai kasus korupsi di saat republik ini masih berusia sangat muda.
Kehadiran buku ini semakin menarik sebagai bentuk pengawetan berita-berita kelas wahid, karena selain menyuguhkan 25 karya terbaik jurnalistik, juga dibubuhkan catatan penting mengenai penilaian dan penentuan pemenang masing-masing kategori serta behind the story dari setiap pemenang. Tentu kita berharap pendokumentasian ini menjadikan karya-karya yang baik menjadi lebih abadi, karena akan ada banyak pihak yang merasakan manfaatnya.
Makin meluasnya citizen journalism dan blogs merupakan pertanda bahwa publik ingin berpartisipasi lebih dan ikut serta dalam diskusi publik yang menyangkut nasib serta masa depan mereka. Tak salah lagi, buku ini layak menjadi bacaan wajib bagi para wartawan maupun mahasiswa jurnalistik dan mahasiswa komunikasi yang berminat menjadi wartawan. Juga para blogger, bisa menjaring banyak manfaat dari buku ini.
Peresensi adalah Fauzi A Muda, penulis lepas tinggal di Jakarta
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:11 AM 0 comments
Labels: Resensi
Sunday, June 7, 2009
Sembelit di Pelabuhan Dwikora Pontianak
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Kalau Anda mengalami sembelit dan tak bisa buang air besar, yang terjadi adalah situasi tak nyaman. Anda mau melakukan apapun, merasa tak enak dan gelisah. Begitu pun sebuah pelabuhan yang melayani kepentingan umum. Saat alami sembelit, berbagai pelayanan, akan dirasakan tak nyaman.
Sangkut di Alur Pelayaran
Tiga buah kapal keluar dari Pelabuhan Dwikora Pontianak, secara berurutan. Kapal paling depan bernama Mabuhai. Ini jenis kapal penumpang. Kapal nomor dua, KM Lawit. Juga kapal penumpang. Kapal ketiga, KM Caraka Jaya. Sebuah kapal peti kemas.
Keberangkatan tiga kapal sekira pukul 17.0 Wib. Almanak menunjuk angka, 23 April 2009. Muara Sungai Kapuas berhadapan langsung dengan Laut Natuna. Untuk mencapai laut lepas, kapal harus melayari alur Sungai Kapuas sejauh 17 mile. Biasanya, jarak itu ditempuh selama dua jam perjalanan.
Setiba di Jungkat, ada dua perahu layar motor (PLM) kandas. Iringan kapal tak serta merta melewati PLM yang kandas. Alur pelayaran tak lagi lebar. Kapal harus hati-hati melewati alur, agar tak bernasib sama, kandas di alur pelayaran.
Pukul 21.0 Wib, kapal berhasil melewati satu PLM yang kandas. Kapal berhenti sambil menunggu pasang air naik. Pukul 2.0 Wib, kapal berangkat lagi. Namun, masih ada satu PLM kandas. KM Lawit tidak bisa meneruskan pelayaran, karena alurnya terhalang. Daripada menabrak PLM, kapal dengan panjang 110 meter dan lebar 20 meter, akhirnya keluar alur atau dikandaskan. Diharapkan, pasang surut air bisa mencapai 1,7 meter. Tapi, pasang air hari itu, cuma 1,3 meter. Dan, kapal tidak bisa bergerak sama sekali.
Akibat kejadian itu, ada 12 kapal yang bakal keluar muara menjadi terhambat. Ada 18 kapal terhambat masuk. Esoknya dilakukan evakuasi penumpang. Mereka yang berada di KM Lawit, segera dibawa kembai ke pelabuhan Pontianak.
Kapal yang boleh masuk dan aman bagi pelabuhan Pontianak, bila memiliki DWT 5.750. Panjang kapal 109 meter dan lebar 16 meter, dan draft kedalaman. Hal itu berdasarkan Admiralty Charts and Publication 2005.
Akibat KM Lawit kandas, ada kerugian diterima. Managemen Pelayaran Laut Indonesia (Pelni) harus mengeluarkan ongkos, untuk evakuasi penumpang. Biaya hariannya juga besar. Penampilan dan sistem kerja, dianggap tak baik. “Orang jadi punya penilaian buruk terhadap KM Lawit,” kata Medi Kusmana (41), Assisten Manager Kepanduan.
Kepanduan berfungsi menuntun kapal yang masuk dan keluar alur pelayaran, dari dan menuju Pelabuhan Dwikora Pontianak. Kepanduan adalah petugas ahli nautis yang bertugas sebagai penasehat nahkoda, sehingga kapal selamat sampai tujuan. Ahli nautis didapat dari pelayaran. Sebagai penasehat kapten, ia harus memahami olah gerak kapal. Misalnya, bagaimana kapal mundur, jalan, lingkaran putar, dan lainnya.
“Pandu selalu beri alternatif dan saran pada kapten kapal yang dipandu. Namun, keputusan akhir tetap di kapten kapal,” kata Medi, mantan nahkoda yang sudah 10 tahun menekuni dunia Kepanduan ini.
KM Lawit bisa lepas dari kandas, pada 25 April, 17.30 Wib. Kandasnya KM Lawit, membuat polemik di masyarakat, mengenai layak atau tidaknya alur pelayaran di alur Sungai Kapuas. Berbagai pendapat muncul. Bahkan, nahkoda, kepala kamar mesin KM Lawit, sempat dipanggil pihak Administrasi Pelayaran (Adpel) sebagai pengawas pelayaran.
“Sebenarnya, bukan Lawit yang salah,” kata Harlafi Rasyid (55), Nahkoda KM Caraka Jaya, yang saat itu konvoi dengan KM Lawit. Kandasnya KM Lawit, karena alur Sungai Kapuas tertutup oleh PLM yang kandas.
Kepala Bidang Pengawasan dan Keselamatan Pelayaran (Gamat), Adpel Pontianak, Slamet Atmojo mengemukakan hal yang sama. KM Lawit kandas bukan karena alur dangkal. Namun, menghidari kapal yang kandas. Karenanya, dikandaskan. “Kalau tak menghindar, akan lebih berbahaya. Kalau ada yang tenggelam, akan menutup alur. Akibatnya, jauh lebih berbahaya,” kata Slamet.
Alur pelayaran memang rentan. Dari segi keamanan bila terjadi peperangan, pelabuhan Pontianak, mudah sekali dipatahkan. Aktivitas pelabuhan Pontianak, dengan satu granat saja sudah lumpuh. Kapal yang ada dikandaskan di alur pelayaran. Sehingga tak ada kapal yang bisa masuk atau keluar.
“Ada kendala di pengaturan lalu lintas alur pelayaran. Peraturan belum bisa optimal,” kata Medi.
Alur pelayaran Sungai Kapuas kalau diatur dengan baik, tidak akan ada masalah. Yang membuat kapal kandas, draff dalam tetap masuk. Ini yang membuat kapal kandas. “Tetap harus ada peraturan,” kata Medi. Draff adalah daya angkut dengan keselamatan.
Kalau kapal besar yang masuk, jalur pelayaran bisa teratur. Sebelum masuk alur, kapal memberitahu pihak pelabuhan. Sehingga dari Kepanduan akan menjemput kapal ini. Sehingga kapal bisa aman. Namun, bagi PLM yang mau masuk alur pelayaran, mereka bisa langsung masuk dan tak perlu dipandu. Ada ketentuan, PLM berbobot 500 ton, tak perlu dipandu.
PLM merupakan angkutan laut yang panjangnya kurang dari 50 meter. Kapal atau perahu layar yang beratnya tak sampai 500 ton, diizinkan keluar sendiri, tanpa dipandu. “Dengan dispensi seperti itu, harusnya tetap diawasi. Yang harus tetap diawsi adalah draffnya,” kata Harlafi Rasyid.
Kalau hanya menyalahkan Pelni, tidak adil juga. Itu salah satu penyebab saja. “Tapi, PLM yang masuk tidak ada kontrol dengan cepat, sehingga kandas di alur,” kata Harlafi.
Menurutnya, Adpel tak ada tindakan. Masalah lalu lintas wewenang Adpel. Yang keluarkan ICB Adpel. Pandu dibawah Adpel. “Kalau Adpel tegas dan PLM diawasi dengan baik, maka jalur pelayaran akan aman,” kata Harlafi. PLM untuk komunikasi susah.
PLM draffnya dalam karena ada di tengah. Kadang muatannya dibuat sebanyak-banyaknya, sehingga draffnya tinggi. Yang harus diperhatikan sebelum masuk alur Sungai Kapuas, masalah pasang surut air.
PLM harus selalu diawasi draffnya. Ada cara dan mekanisme yang dilakukan. Ada cek fisik meliputi stabilitas kapal. Apakah kapal laik laut atau tidak. Dalam cek fisik, Graffity of Metasentrum (GM) atau garis berat kapal harus positif. Titik normalnya seimbang. Beratnya normal. GM harus dibawah 0,5 meter. Selain itu, muatan kapal harus disesuaikan dengan draff yang ada saat itu.
Repotnya lagi, di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, dan Pelabuhan Pontianak, tidak ada cek fisik sebelum kapal berangkat. “Sebenarnya dari dulu sudah ada cek fisik, tapi realisasinya tidak ada,” kata Halafi.
Setiap PLM yang berangkat dari Jakarta, harus tahu kapan sampai di Pontianak. Terkadang, PLM yang kandas, malah dijadikan alasan untuk istirahat. Ini yang malah mengganggu alur pelayaran. “PLM daripada harus menunggu arus, lebih baik terus jalan, walaupun bakal tahu akan kandas,” kata Medi.
Dalam satu bulan, ada sekitar 30 kapal yang kandas. Padahal, dari sisi pengamanan harus bersih dan tidak ada yang menghalangi alur pelayaran. Berarti, dalam sehari ada satu PLM kandas di alur Sungai Kapuas.
Burhan (42), juru mudi PLM Sumber Keluarga, ketika ditemui di Pelabuhan Nipah Kuning, Pontianak, menyatakan, mereka sebenarnya ingin tertib. “Tapi, alur pelayaran memang cetek,” kata Burhan, asal Sumbawa.
Selain itu, jalur sempit. PLM kalau kandas, biasanya langsung melintang. Kalau yang kandas belakang, bagian haluan biasanya langsung memutar. Kalau yang kandas bagian haluan, biasanya langsung tak bergerak. Sebagian besar bagian PLM menggunakan kayu belian yang keras dan tahan air.
“Harusnya Adpel yang menindak. Tapi, ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau tegas, kantor Adpel bisa dibakar orang. Dulu, bisa strike, kalau tak mau ikuti aturan,” kata Medi.
Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, Slamet mengemukakan, Adpel tak bisa mendisiplinkan muatan kapal, karena itu hak dari pemilik atau nahkoda kapal. Kalau memang tonase muatannya seberat 850 ton, dan memuat seberat itu, tentu tidak bisa dilarang. Jumlah barang di kapal, terlihat melalui dokumen atau manives yang dimiliki.
Sebenarnya, setiap PLM ada alat komunikasi, namun tidak digunakan. Kalau tidak ada alat komunikasi, tidak akan diberikan izin berlayar. Harus disiplin dan bertanggung jawab. Disiplin menggunakan alur. Membawa kapal harus bertanggungjawab. Nahkoda harus mempergunakan semua yang ada di alur kapal. Kalau ada musibah di laut, bagaimana menggunakan pertolongan dan peralatan yang ada.
Sebenarnya sama semua. Cuma tingkat pendidikan dan pribadi. PLM tidak mematuhi draff, karena tidak disiplin. Harusnya tidak memuat draff yang dimaksud. Misalnya draff lima meter. Dan, tidak usah dimuat penuh. Sehingga draffnya bisa empat meter. Intinya, tak mendisiplinkan. Kalau tahu rugi, tak akan membuat draff maksimumnya.
Karenanya, sebagai Gamat di Adpel, Slamet menyikapi hal itu, melalui imbauan. “Bahwa, alur kita ini segini, jangan dipaksakan,” kata Slamet. Tak ada aturan yang bisa menjerat PLM. Kecuali, mereka membawa muatan berlebihan. Nah, hal itu baru bisa dijerat, kata Slamet.
“Adpel akan mengambil tindakan, kalau ada yang melanggar. Kalau tidak melanggar peraturan, tidak bisa mengambil tindakan,” kata Slamet.
Fardus menganggap muatan yang mereka muat, tidak terlalu berlebihan. Masih ada jeda sekitar 50-100 cm, antara permukaan air dengan badan kapal. Ketika masih jadi juru mudi perahu Phinisi yang hanya menggunakan layar, jarak air dengan bibir kapal paling 10 cm. Perahu layar berani melakukan itu, karena terpaan angin, seolah mengangkat badan kapal untuk selalu segaris dengan air. “Dan, perahu ini lebih laju,” kata Fardus, yang pernah alami beberapa kecelakaan di laut lepas.
Sekarang ini, tindakan yang dilakukan Adpel ketika ada PLM yang kandas, akan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Istilahnya, memeriksa pendahuluan. Layak atau tidak sebagai nahkoda. Yang berhubungan dengan Adpel, merupakan masalah kompetensi.
Adpel tak bisa menekan, karena tak ada aturannya. Yang menjadi pertanyaan, sebagai nahkoda yang kapalnya kandas, masih layak atau tidak menyandang nahkoda. Hal itu yang bisa dilihat. Artinya, Adpel akan mengevaluasi license atau SIM nahkoda tersebut, bisa ditangguhkan. Misalnya, tidak boleh menjadi nahkoda, selama beberapa bulan. Mereka juga wajib menjalani ujian kompetensi tiap tiga tahun.
“Kita menerapkan aturan ke PLM sulit. Dia tidak melanggar. Hanya tidak mematuhi,” kata Slamet menegaskan.
Untuk mengatasi kandas dan keselamatan pelayaran, Adpel selalu memberikan informasi kedalaman alur pelayaran, setiap tiga bulan. Juga, melakukan pemeriksaan pelayaran yang dilakukan dengan melihat bagaimana kapalnya, dilihat dari awak kapal, konstruksi kapal, alat navigasi, dan muatannya. Kalau semua itu baik, maka akan dinilai baik.
Menurutnya, ada beberapa hal yang menjadi faktor penting bagi keselamatan pelayaran. Misalnya, kepadatan alur sungai harus bisa menjamin keselamatan pelayaran. Kedalaman alur pelayaran. Lampu bisa berfungsi dengan baik. Tempat pengiriman, lalu lintas, perbaikan, buang jangkar, dan lainnya. Zona-zona itu diatur demi keselamatan pelayaran. Informasi alur, banyak yang bisa dilihat.
Mengenai beberapa BUOY yang rusak, Adpel juga sudah memperbaharuinya. “Sudah ada berita acaranya,” kata Slamet.
Dalam bidang pengamanan alur Sungai Kapuas, solusi sementara yang bisa dilakukan, Adpel dan Kepanduan bekerja sama mengatur lalu lintas kapal. Seharusnya, semua kapal yang masuk, harus terdata semua. Sementara ini, yang masuk dan ditangani Adpel, hanya kapal-kapal kargo dan besar. Yang memang minta jasa pelayaran.
Permasalahan yang terjadi sekarang, setidaknya bisa menjadi pelajaran kedepannya. Setidaknya, pada tahun 1995, alur pelayaran masih bagus. Bila ada yang melanggar ditahan sertifikat atau SIM-nya. “Kalau memaksa berlayar, bakal kena denda. Atau bakal ditolak di pelabuhan yang menjadi tujuan,” kata Medi.
Ia berharap, sebaiknya satu instansi saja yang menangani masalah pelayaran, karena akan semakin bagus. Adpel tidak maksimal karena banyak instansi yang punya kepentingan. Selama ini, Adpel dibantu KPLP, KP3, polisi, AL, dan Airud. Kalau dimintai panduan, mereka ini akan bertindak.
Setelah kejadian kandasnya KM Lawit, kapal KPLP bersliweran dengan kapal patrolinya untuk menertibkan alur.
Medi berkata, masalah pengaturan lalu lintas kapal, sepanjang belum ada pengaturan yang jelas, Kepanduan bakal selalu deg-degan. Masalah kandas merupakan resiko terkecil. Kalau sampai timbul korban jiwa, bisa turun mental bagian Kepanduan.
“Sangat dilematis. Disatu sisi ingin membawa kapal dengan aman. Namun yang lain persepsinya belum disamakan,” kata Medi yang pernah bekerja di Jakarta Lyoid.
Ini yang membuat kapal dengan jalur internasional atau kapal asing, tak mau masuk ke alur pelayaran di Sungai Kapuas. Para nahkoda asing, lebih baik bongkar muatan di luar atau di muara, dari pada harus kandas karena alur tertutup.
Padahal, bongkar di luar, harus mengeluarkan dana yang lebih besar. Misalnya, mereka harus keluarkan uang sekitar Rp 200 juta, untuk membongkar barang dan membawanya dengan kapal tongkang. Namun, mereka merasa lebih aman daripada harus kandas, yang bisa menghabiskan uang Rp 1 miliaran, untuk biaya operasional yang harus dikeluarkan. Sebab, sekali kandas, biaya harian sebuah kapal bisa mencapai Rp 50 juta.
Karenanya, masalah keselamatan harus diperhatikan dan diutamakan. Kapal yang masuk ke pelabuhan, butuh draff 5,5 meter. Kapal bisa untung bila draff 5,8 - 6 meter. Sehingga harga barang bisa lebih murah. Dengan kapal yang sama seharusnya bisa muat 200 kontainer. Karena alur tak memungkinkan, kapal hanya bawa 120 peti kemas. Karenanya, mau tak mau, pihak pelayaran menaikkan harga angkut barang. Harga tarif dibebankan pada pada pengguna.
“Itulah yang membuat bahan pokok menjadi mahal di Kalbar atau Pontianak,” kata Medi.
Masalah alur pelayaran juga membuat kemampuan persediaan bahan bakar di Pontianak, hanya sanggup bertahan lima hari saja. Lebih dari itu, BBM habis. Kapal besar tak bisa masuk Pelabuhan Pontianak.
Pelabuhan Pontianak memiliki panjang alur 17 mile, hingga ke ambang luar. Satu mile setara dengan 1,3 km. Rata-rata lebar alur 40-50 meter. Pada 1998-2000, lebar alur rata-rata 80 meter. Sehingga kapal masih bisa berpapasan. Malahan, lebar alur di depan pelabuhan mencapai 200-300 meter.
Kondisi pelayaran, alur dari pelabuhan hingga ke Batu Layang masih aman. Setelah di Sumber Harapan, Liberty, Stasiun Jungkat, mulai mengatur pelayaran.
Dalam alur pelayaran, ada istilah BUOY atau batas alur yang merupakan alat pengaturan pelayaran. BUOY dalam bahasa masyarakat lokal disebut anjir. Di alur Sungai Kapuas, ada sembilan BUOY. Yang bermasalah di BUOY 1-9. “Ini yang tiap tahun harus dikeruk tiap tahun,” kata Medi. Namun, pengerukan terakhir yang dilakukan pada 2007, gagal karena kedalamannya tak sampai 5,7 meter.
Alur pelayaran Sungai Kapuas nol mile kilometer dimulai dari pelabuhan Dwikora. BUOY 7-8, lebar alur sekitar 80 meter, jarak 12 mile dari Pelabuhan Dwikora. BUOY 5-6, lebar alur 50 meter, jarak sekitar 13,5 mile. BUOY 3-4, sekitar 35-40 meter, jaraknya 15 mile. BUOY 1-2, sekitar 60 meter, jaraknya 17 mile.
Dalam masalah pelayaran, harus memahami arus dan pasang surut air. Arus Sungai Kapuas memiliki kecepatan 2 - 2,5 knot. Satu knot setara dengan 1,852 km/jam. Kecepatan rata-rata kapal 8-10 knot/jam. Sehingga 17 mile biasanya ditempuh selama dua jam.
Ada istilah Squad dalam pelayaran. Artinya, ada penambahan draff yang diakibatkan konstruksi kapal dan kecepatannya. Misalnya, draff KM Caraka Jaya 0,2 meter. Makin cepat kapal, makin tinggi Squad-nya.
Ada yang namanya haluan sejati atau haluan yang sesuai dengan peta. Untuk masuk ke Pelabuhan Pontianak, haluan sejati berada di titik 103 derajat. Karena pengaruh luar, kalau arus surut atau dari Tenggara, maka haluan kapal harus ke arah Barat Daya atau melawan arus.
Arus Sungai Kapuas kalau pasang ke arah negatif atau 146 derajat, atau arah dari Barat Laut ke Tenggara. Kalau surut, arus mengarah ke positif atau 326 derajat. Mengetahui arah arus sangat penting dilakukan, agar bisa mempertimbangkan kemudi ditujukan pada haluan berapa.
Pada pukul 12 siang, air sungai paling rendah surutnya 0,3 meter. Ini biasanya disebut low water spring (LWS) atau ketinggian air surut terendah 0,01 meter. Pasang tertinggi pada pukul 12 malam, setinggi 1,7 meter. Angka itu dikoreksi dua jam ke belakang. Perjalanan air dari laut ke sungai, butuh waktu sekitar dua jam.
Alur pelayaran sangat penting bagi Kepanduan. Menurut Medi, sementara ini, kendala di Kepanduan adalah masalah tarif. Biaya memandu sebesar Rp 140 ribu. Ada tiga tug boat. Dalam satu jam operasional butuh solar 50 liter. Untuk biaya bolak balik, butuh waktu dua jam. Solar yang dibutuhkan berarti sekitar 100 liter. Jika harga solar industri sebesar Rp 6.000 per liter, berarti butuh dana Rp 600 ribu setiap operasional. Setiap operasi, berarti selalu nombok Rp 460 ribu. Itu baru dari segi BBM. Belum membayar gaji pegawai, perawatan kapal, dan lainnya. Dalam satu bulan, Kepanduan menuntun sekitar 300 kapal. Satu kapal satu pandu.
Ada dua tipe pelabuhan atau pandu. Tipe pandu laut atau sungai, biasa disebut River Pilot. Pandu bandar atau Harbour Pilot.
Kendala lain, sekarang ini, tug boat yang ada hanya 1.000 HP (Hourse Power) kekuatannya. Seharusnya 1.600 HP. Sekarang sedang diusahakan tug boat dengan kekuatan 1.200 HP.
“Kepanduan merupakan divisi yang rugi. Tapi tidak bisa dihilangkan,” kata Medi.
Pelabuhan Dwikora Pontianak
Siang yang terik. Khas Kota Pontianak. Deretan mobil berjejer di depan pintu masuk pelabuhan. Di dalam pelabuhan, beberapa truk hilir mudik menuju titik pembongkaran barang. Orang berlalu lalu dengan kesibukannya sendiri. Ada yang menawarkan minuman. Menawarkan jasa angkutan kendaraan menuju daerah tujuan. Menawarkan tiket kapal. Mengawasi bongkar muat kapal. Jadi centeng pelabuhan. Dan, berbagai kesibukan lainnya.
Semua seolah saling berlomba, dengan berjalannya waktu yang seakan melambat di Bumi Khatulistiwa. Padahal, arus Sungai Kapuas selalu bergerak. Dinamis. Memompakan semua yang ada di alirannya, menuju sebuah perhentian terakhir, laut lepas.
Di bagian depan dan masih termasuk areal pelabuhan, sebuah kantor dengan struktur bangunan baru di bagian depan, dan berbagai ornamen, serta kelengkapan khas bangunan lama, masih terlihat dengan baik dan terawat. Inilah kantor Perusahaan Pelayaran Indonesia (Pelindo) II Cabang Pontianak.
Pelindo merupakan perusahaan Badan Usaha Miliki Negara (BUMN), yang bergerak di bidang kapal barang dan jasa. Pelindo dibagi menjadi III wilayah. Pelindo I, wilayah kerjanya di sebagian besar Sumatera. Pelindo II, di Indonesia bagian tengah, dan sebagian Sumatera. Pelindo III, wilayah kerjanya di Indonesia bagian timur. Kantor Pelindo Pontianak, termasuk wilayah kerja Pelindo II.
Setiap Pelindo, punya pelabuhan utama, kelas 1, dan 2. Di Pelindo II, pelabuhan utama berada di Jakarta, Tanjung Priok. Pelabuhan kelas I, Pelabuhan Dwikora di Pontianak. Pelabuhan Teluk Bayur di Padang. Pelabuhan Bum Baru di Palembang. Pelabuhan Panjang di Lampung. Pelabuhan Kelas II di Banten, Cirebon, Jambi, dan Bengkulu.
Menurut Anwar Dja’far, Ketua DPD INSA Kalbar, sebelum dibawah operasional Pelindo, Pelabuhan Pontianak, memiliki sejarah yang cukup panjang, sebagai pelabuhan utama di Kalbar. Pada zaman penjajahan Belanda, untuk merawat dan menjaga alur pelayaran, ada kapal keruk yang setiap hari mengikis lumpur. Sehingga tidak ada sedimentasi lumpur yang mengganggu di alur pelayaran.
Sebelum tahun 1978, alur pelayaran menuju dan keluar Pelabuhan Pontianak, lewat muara Kubu. Jarak dari muara Kubu ke Pontianak ditempuh selama 12 jam. Kapal yang masuk dengan bobot 2.000-3.000 ton. Semua kapal yang masuk bersandar di Pelabuhan Senghie. Hingga sekarang, Senghie masih difungsikan sebagai pelabuhan tradisional yang melayari pelayaran ke Ketapang dengan kapal cepat, dan pelayaran ke pedalaman Kalbar.
Ada juga jenis perahu layar. “Perahu bisa muat sekitar 350 ton barang,” kata Fardus (54), juru mudi PLM Sumber Keluarga. Lelaki dari Nusa Tenggara Timur ini, sudah berlayar sejak 1972.
Pada 1978, saat kuala Kubu akan dikeruk hingga ke Pontianak, rencananya harus memotong tujuh tanjung. Maksudnya, aliran sungai yang meliuk-liuk, harus dipangkas. Supaya memudahkan alur pelayaran. Alur pelayarana menjadi lurus bentuknya. Namun, baru dipotong dua tanjung, dihentikan tim dari Nedeco, Belanda. Alasannya, Kota Pontianak bisa kebanjiran atau benar-benar kekeringan. Arus air langsung menuju Pontianak. Alur akan cepat sekali. Nedeco merupakan perusahaan yang melakukan survei, sebelum dilakukan pengerukan.
Setelah dilakukan pengerukan pada 1978, dapat LWS 5,5 meter dan lebar alur 100 meter. Namun yang efektif hanya 80 meter. Jalur pelayaran berganti dari muara Kubu ke muara Jungkat. Jarak lebih pendek.
Pelabuhan Dwikora Pontianak memiliki luas sekitar 600 hektar. Pelabuhan Pontianak berada di tengah kota. Tercepit di antara berbagai bangunan dan pemukiman. Di sebelah kiri pelabuhan, ada Hotel Kartika. Sebelah kanan ada masyarakat. Nah, bagaimana kalau dikembangkan? Kalaupun ada pengembangan dilakukan ke arah barat. Cuma, tanah itu bukan milik Pelindo lagi.
Kegiatan Pelindo dalam bidang jasa dan pelabuhan. Saat ini, Pelindo II Cabang Pontianak, memiliki 150 karyawan organik dan 150 lepas. Kegiatan dimulai dengan menjemput kapal yang datang, dan dilakukan bagian layanan pandu. Lalu, kapal dibawa ke dermaga. Selepas itu, kapal melakukan bongkar dan muat barang. Selama kapal menggunakan jasa pelabuhan dan berbagai aktivitas itulah, kapal dikenakan biaya. Biaya dihitung berdasarkan lamanya kapal bersandar. Kapal biasanya bersandar sehingga dua hari. Itu untuk kapal internasional. Untuk kapal lokal, biasanya 3-4 hari.
Hasnul Halim, karyawan yang bekerja di Pelindo dari 1965-1996, dan menangani bongkar muat barang di kapal menyatakan, Pelindo bekerja dengan menyiapkan berbagai macam fasilitas. Misalnya, jasa labuh dan tambat kapal, penumpukan barang, dan lainnya. Intinya, Pelindo melayani kegiatan bongkar muat kapal, dan bergerak di bidang jasa.
Dalam melayani konsumen, Pelindo sudah siapkan alur pelayaran dan fasilitas bongkar muat, serta gudang. Alat bongkar muat selalu siap. Sebelum ada kontainer, bongkar muat dilakukan dengan tenaga manusia. Butuh banyak buruh untuk membongkar barang dari kapal. Ini juga bisa terkendala dengan cuaca. Sehingga barang bisa basah dan tak terawat.
Dengan kemajuan teknologi, tenaga buruh diganti peralatan bongkar muat barang. Misalnya, Crane, Reach Stocker atau Super Stocker, dan lainnya. Barang juga semakin aman dengan penggunaan peti kemas. Karenanya, dibutuhkan lapangan peti kemas dan lahan lebih luas, untuk penempatan Crane, dan lapangan penumpukan peti kemas.
Kegiatan bongkar muat barang di dalam peti kemas, dilakukan di lapangan penumpukan peti kemas. Di pelabuhan lain, biasanya kegiatan dilakukan di luar pelabuhan penumpukan.
Karenanya, dibutuhkan container yard atau lapangan penumpukan peti kemas. Yang riel, fasilitas lapangan penumpukan peti kemas, 6.000 meter persegi. Dulu, tanah itu disewakan untuk perusahaan Aspalindo. Setelah itu, gudang dirubuhkan dan dibuat lapangan kontainer 3.000 meter. Lapangan penumpukan seluas 6.000 meter persegi. Ditambah gudang dengan luas 3.000 meter persegi.
Dengan adanya kegiatan di dalam, lahan semakin sempit. Sehingga membatasi pengoperasian alat. Akibatnya, alat yang digunakan sulit bermanuver. Alat yang bergerak dengan peti kemas, jadi lambat. Ini berpengaruh pada kecepatan pelayanan. Konsekwensinya, operator alat gerak harus lebih waspada, karena ada orang di sekitar bongkar peti kemas.
Hal ini berpengaruh pada alatnya. Kemiringan bagaimana, beratnya berapa, manuvernya berpengaruh terhadap peralatan. Kalau ada suku cadang yang rusak, terkadang harus mencari langsung ke Swedia.
Apalagi dengan kondisi di lapangan tanah gambut. Lapangan bergelombang. Ini berpengaruh pada alat. Tanah gambut membuat kekuatan lapangan turun. Akibatnya, biaya investasi dan perawatan alami kenaikan.
Pelabuhan Pontianak memiliki delapan dermaga. Dermaga 1, merupakan dermaga penumpang dengan panjang 127 meter dan kedalaman alur 5,4 meter. Dermaga 2, penumpang dan lokal. Panjang 75 meter dan kedalaman alur 4,5 meter. Dermaga 3, general kargo dan lokal. Panjang dermaga 127 meter dan kedalaman 5,4 meter. Dermaga 4, general kargo. Panjang 100 meter dan kedalaman 5,4 meter. Dermaga 5, general kargo, panjang 100 meter. Kedalaman 5,4 meter. Dermaga 6, peti kemas. Panjang dermaga 90 meter dan kedalaman 5,5 meter. Dermaga 7, panjang dermaga 103 dan kedalaman 5,5 meter. Dermaga 8, panjang 102 meter dan kedalaman 6 meter.
“Saat ini yang harus dilakukan adalah, penambahan dermaga. Dermaga paling tidak panjangnya 300 meter. Pembuatan dermaga satu meter butuh dana sekitar Rp 1 miliar,” kata Kurnia Jaya, Humas Pelindo.
Bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Dwikora Pontianak dibagi menjadi dua, perdagangan luar negeri dan luar negeri. Perdagangan impor dan ekspor pada 2007, sebanyak 224.792 ton dan 16.294 box, serta 18.909 teus. Perdagangan dalam negeri antar pulau pada 2007, sebanyak 1.671.114 ton dan 131.619 box, serta 143.443 teus. Pada 2008, alami penurunan. Perdagangan luar negeri 197.249 ton dan 11.915 box, serta 14.657 teus. Perdagangan dalam negeri, juga alami penurunan. Jumlahnya 1.596.381 ton dan 119.413 box, serta 132.732 teus.
Sukarmin Sekretaris DPD INSA Kalbar, tarif jasa tidak bisa dibilang mahal, karena dinegosiasikan dengan INSA. “Kalau negosisasi sudah diterima, tidak bisa bilang mahal karena sudah setuju semua,” kata Sukarmin.
Dari segi lalu lintas penumpang, pada 2007, ada 76.946 orang lakukan embarkasi atau keberangkatan dari Pelabuhan Pontianak, dan 108.486 debarkasi atau kedatangan. Pada 2008, alami kenaikan. Penumpang yang lakukan embarkasi sebanyak 93.877. Yang lakukan debarkasi sebanyak 135.616. Data hingga Maret 2009, sebanyak 12.979 penumpang lakukan embarkasi. Sebanyak 21.198 lakukan debarkasi.
Realisasi kunjungan kapal pada 2007, sebanyak 2.988 kapal dengan jumlah keseluruhan bobot mencapai 5.313.787 GT. Pada 2008, ada kapal sebanyak 3.195 dengan jumlah 5.907.802 GT. Hingga akhir Maret 2009, ada 616 kapal dan 1.316.324 GT.
Pelabuhan Pontianak merupakan pelabuhan sungai. Faktor alam ini, mengakibatkan sedimentasi di beberapa tempat. Kondisi itu membuat kedalaman sungai berkurang. Yang dilakukan Pelindo adalah, melakukan pengerukan. “Biayanya bisa mencapai Rp 15-16 miliar,” kata Kurnia.
Sebelum melakukan pengerukan, ada namanya tim survei. Tim ini melakukan survei di lapangan, apakah alur pelayaran harus dikeruk atau tidak. Tim survey dari petugas Pelindo Pusat.
Tahun 2009, pengerukan dimulai pada Maret, dengan jangka waktu enam bulan.
Hal yang tak kalah penting, di pelabuhan harus ada cadangan air bersih. Pada Januari 2009, air yang disediakan bagi kapal yang bersandar sekitar 3.098 ton. Pada Februari 2009, sekitar 5.670 ton. Maret, sekitar 3.841 ton.
Berdasarkan buku tarif jasa Pelabuhan Pontianak, uang air dihitung berdasarkan jumlah ton atau kubik. Tarif dibagi untuk luar negeri dan dalam negeri. Air yang diangkut dari dermaga, dikenakan biaya Rp 11.900 setiap kubik. Untuk kapal luar, US$ 5,40. Air yang diangkut dengan kapal tongkang, Rp 28.000 setiap kubik. Kapal luar dengan harga US$ 8,40. Dan, air yang diangkut dengan truk tangki, Rp 68.500 setiap kubiknya. Kapal luar dengan harga US$ 34,50.
Pelindo selalu melakukan peningkatan operasional dengan pelayanan. Motto yang diberikan, Menjadi Pelabuhan Pilihan Pelanggan. Untuk menunjang pelayanan prima, dilakukan dengan meningkatkan SDM karyawan. Sambil berjalan, managemen Pelindo akan mengubah pola pikir karyawan yang kadung terbentuk, karena akan ada saingan. Sistem dan prosedur mana yang jadi kelemahan. “Ini yang perlu ditingkatkan. Fokus terhadap pelabuhan kita,” kata Kurnia.
Pelatihan dilakukan demi pelayanan prima dan diarahkan pada kebutuhan pelanggan. Terutama bagi yang berada di ujung tombak pelayanan. Harus lebih mementingkan pelayanan pelanggan.
Dari segi peralatan, Pelindo II mendatangkan Reach Stocker atau Super Stocker menjadi lima unit. Ini demi kelancaran bongkar muat. Juga, melakukan pelatihan SDM, demi meningkatkan kemampuan. Dari segi SDM, pada 2008, ada lima orang dikirim ke Singapura. Dua orang ke Hongkong. Dua orang ke Jerman.
“Mereka studi banding pelabuhan di sana. Ada dua orang yang lulus sekolah di luar negeri,” kata Kurnia. Ia juga sempat mendapatkan beasiswa S2 ke Australia.
Pada saat terjadi krisis, kegiatan bongkar muat turun hingga 30 persen. Pada Maret 2009, naik lagi. Namun, untuk bidang ekspor relatif lebih kecil.
Lalu, bagaimana pelayanan Pelindo di mata pemakai jasa?
“Masalah di pelabuhan yang harus dilakukan adalah, crane kapal,” kata Halafi, Nahkoda KM Caraka Jaya.
Di Pelabuhan ada dua crane. Sekarang ini, kapasitas crane atau kapal tak sampai 15 peti kemas per jamnya. Crane sering rusak, terutama yang warna merah.
“Tak ada kompensasi ketika ada penundaan yang disebabkan Pelindo. Ini, kita terus yang ditimpakan,” kata Halafi.
Namun, bila ada keterlambatan di kapal karena ada kapal yang rusak, sehingga terlambat bongkar, dikenakan pinalty. Yang ditujukan pada Perusahaan Bongkar Muat (PBM). Tapi, PBM akhirnya juga menimpakan ke kapal. “PBM besaran denda kecil, tapi proses birokrasinya yang buat lama,” kata Halafi.
Di luar negeri jelas dendanya. Ia mencontohkan pelabuhan di Singapura. Setengah jam kena denda 500 dollar Singapura. Sebab, keterlambatan disatu sisi, akan berpengaruh pada bidang lainnya. Akibatnya berentet dan saling berhubungan. Di Singapura, dari sisi perencanaan matang, karena jadwal disesuaikan berdasarkan tumpukan kontainer.
Masalah pelabuhan memang harus sejalan antara SDM yang menangani dan peralatan atau infrastruktur yang mendukung. Karenanya, ketepatan keberangkatan peti kemas bisa dilakukan, karena muatan sudah ada di pelabuhan. Di Pontianak, kadang muatan baru dibawa dan dimasukkan ke pelabuhan, kalau kapal sudah datang. “Jadi, kapal terkadang menunggu peti kemas yang bakal dimuat,” kata Halafi.
Namun, Halafi tidak mau menyalahkan kinerja yang dilakukan pihak Pelindo. Sebab, ada keterkaitan antara disiplin kerja, dan kesejahteraan yang diterima karyawan.
Medi melihat, Pemkot Pontianak, nampaknya belum begitu peduli dengan masalah pelabuhan. Terutama masalah alur pelayaran. Padahal, dari sisi ekonomi, pelabuhan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan lainnya. Pelabuhan harus diprioritaskan, karena mendukung berbagai kegiatan ekonomi.
Ketika diminta konfirmasi tentang permasalahan ini, Walikota Pontianak, Sutarmidji menyadari sepenuhnya fungsi pelabuhan sebagai penunjang perekonomian daerah. Yang pasti dengan adanya pelabuhan, bisa menjadi tempat singgah, berlabuh, dan bongkar muat barang dan jasa. “Pelindo tidak ada perhatian dengan pemerintah Kota Pontianak,” kata Sutarmidji.
Dalam sebuah berita di situs ANTARA, General Manager PT Pelindo II Cabang Pontianak, Amris Bahar menyatakan, pendangkalan Sungai Kapuas membuat laba PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Cabang Pontianak, habis untuk membiayai pengerukan, agar mempermudah lalu lintas kapal dari dan ke Pontianak.
”Pelindo Cabang Pontianak masih tekor. Masih mendapatkan subsidi dari pusat,” kata Amris Bahar di Pontianak, Kamis (30/4).
Saat ini PT Pelindo II tengah melakukan pengerukan sejumlah lokasi di Sungai Kapuas. Biayanya mencapai Rp 15,9 miliar dengan waktu pengerjaan enam bulan oleh pemenang lelang. Pengerukan terakhir di alur Sungai Kapuas dilakukan pada tahun 2007.
Sedangkan laba PT Pelindo Cabang II Pontianak berkisar Rp 8 miliar. “Biaya untuk mengeruk bisa dua kali lipat,” kata Amris.
Menanggapi keluhan itu, Sutarmidji menyatakan bahwa, hal itu suatu kebohongan. “Mana ada pengerukan Rp 15 miliar. Kalau Pelindo rugi, sudah tutup. Dana pengerukan diperoleh dari APBN. Kenapa bilang rugi?” kata Sutarmidji.
Amris Bahar menyatakan, dengan adanya UU Nomor 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran yang disahkan 7 Mei 2008, diharapkan dapat membawa perkembangan dalam pengelolaan layanan kepelabuhanan, terutama berkaitan bongkar muat barang dan penumpang.
Termasuk peluang pembiayaan pengerukan dari Daftar Isian Proyek (DIP) bukan bersumber keuntungan atau pendapatan PT Pelindo. Di Sumatera Selatan, pelabuhan juga berada di alur Sungai Musi. Pertamina dan PT Pupuk Sriwijaya ikut membantu pembiayaan pengerukan alur sungai.
Sutarmidji menanggapai hal itu, bahwa Pemkot tidak punya tanggung jawab melakukan atau membantu dana pengerukan bagi alur pelayaran. Mengenai adanya pihak pemerintah dan swasta yang ikut membantu pengerukan sungai bagi pelabuhan yang mereka miliki, Sutarmidji menganggap hal itu bisa saja dilakukan, karena Pelindo ada kontribusinya bagi pemerintah daerah tersebut.
“Kita yang bayar keruk sungai, mereka yang untung. Apalagi ini bisnis murni,” kata Sutarmidji, menanggapi pernyataan Amris.
Sukarmin, Sekretaris DPD INSA Kalbar menanggapi, pemeliharaan yang dilakukan terhadap alur, sangat penting bagi pihak pengguna, khususnya anggota INSA. Pengerukan tak selalu dilakukan setiap tahunnya. Kadang dua tahun sekali. Namun, sebagai pengguna INSA tidak bisa turut ambil bagian dalam pembiayaan pengerukan.
INSA hanya bertugas mengangkut barang. “Apa-apa yang kita perbuat di pelabuhan, semua harus bayar. Jadi, bukan tugas kita untuk lakukan pengerukan,” kata Sukarmin.
Menurut Sutarmidji, Pelindo ibarat pemerintahan yang ada di pemerintahan. Tidak pernah membuat IMB. Peraturan daerah tidak berlaku di Pelindo. Karenanya, pemerintah daerah tak perlu beri fasilitas dan perhatian pada Pelindo.
Saat ini, hanya Pelindo yang menangani bongkar muat barang dan jasa di pelabuhan. “Harusnya Pelindo memberikan pelayanan yang baik,” kata Sutarmidji.
Sutarmidji menilai, pimpinan Pelindo sekarang ini, bersikap arogan. Misalnya, kendaraan tidak boleh masuk pelabuhan. Pelindo mestinya koordinasi dengan Pemkot. Misalnya, kalau ada bongkar kapal, jangan bongkar di jalan-jalan. Banyak truk parkir di Jalan Pak Kasih, di depan pelabuhan. Jalur jalan yang seharusnya bisa untuk tiga lajur kendaraan, hanya bisa dipakai satu kendaraan. Akibatnya, jalan menjadi macet. Malah, pernah terjadi korban kecelakaan, karena pengendara menabrak truk yang parkir.
Selain itu, ada juga kerusakan jalan akibat kontainer. Jalan banyak yang rusak, karena dilewati kontainer ukuran 40 feet. Padahal, jalan hanya bisa dilewati kontainer 20 feet. Harusnya Pelindo bisa koordinasi dengan baik, bukan malah arogan.
Humas PT. Pelindo II Pontianak, Kurnia Jaya, membantah pihaknya tidak memperbolehkan aktivitas bongkar muat di areal pelabuhan. “Kita memang mengeluarkan kebijakan mobil roda empat yang tidak melakukan bongkar muat, tidak parkir di areal pelabuhan karena sempit,” ujarnya.
Ia mengatakan, kebijakan itu dibuat agar kendaraan roda empat pengangkut barang yang ada di pelabuhan, tidak mengganggu aktivitas bongkar muat lainnya.
Menurutnya, permasalahan itu bisa diatasi kalau Pemerintah Kota Pontianak memiliki depot bongkar muat peti kemas. “Sehingga aktivitas tidak dilakukan di areal pelabuhan maupun di jalan raya, seperti di kota-kota lain,” kata Kurnia.
Kapasitas tampung Pelindo II Cabang Pontianak, saat ini mampu menampung 2.000 peti kemas dengan luas lahan 96.789 meter persegi. Dengan luas 96.789 meter persegi tersebut, 60 persen digunakan bagi penyimpanan peti kemas. Selebihnya digunakan untuk perkantoran.
Sutarmidji menganggap perluasan bagi pelabuhan Dwikora, tidak perlu dilakukan. “Mosok kita juga diminta sediakan lahan. Pelindo tidak ada kontribusinya bagi Pemkot,” kata Sutarmidji.
Ia berpendapat, harusnya Pelindo mencari solusi. Bongkar atau muat barang di pelabuhan, paling lama 1-2 jam. Ia mencontohkan, pada malam hari tidak ada kegiatan bongkar muat di pelabuhan. Tapi, truk yang parkir di sepanjang Jalan Pak Kasih, tetap ada. Padahal, truk-truk itu, selain menggangu jalan raya, juga timbulkan kerawanan.
Manager Pelindo diajak kordinasi tapi tidak mau. Padahal, koordinasi untuk cari jalan terbaik. “Manager sebelumnya, Pak Wisnu, baik dan mau diajak koordinasi. Dulu, ada perluasan lahan juga bisa kita bantu. Sekarang sulit diajak bicara,” kata Sutarmidji.
Ia menyurati Pelindo Pusat, agar managernya diganti. “Orangnya tidak kooperatif dan arogan,” kata Sutarmidji. Setiap akhir minggu, tak ada di Pontianak, dan pulang ke Jakarta. Ia mengganggap, para manager ini, tidak tahu tentang permasalahan Kota Pontianak.
Ia berharap, Pelindo sebagai pelaku bisnis di Kota Pontianak, bisa koordinasi dengan Pemkot. “Toh, kita juga tidak pernah minta duit,” kata Sutarmidji, “kalau ada kendala, harus ditangani. Kalau perlu, malam truk bisa masuk pelabuhan. Kalau kepemimpinan yang lalu bisa, kenapa yang sekarang tidak?”
Sutarmidji memberikan alternatif bagi pelabuhan baru di Wajok. Ini termasuk wilayah Kabupaten Pontianak. Daerahnya masih luas. Ada sekitar 1.000 hektar. Selain itu, lalu lintasnya bagus dan tidak macet. Ada banyak lokasi pergudangan di Wajok. Di Wajok sudah ada pelabuhan untuk kapal Pertamina.
Pembuatan pelabuhan mesti dilihat dari pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Nah, bagaimana dengan Pontianak, khususnya. Dan, Kalbar pada umumnya?
Kurnia, Humas Pelindo berpendapat, pembuatan pelabuhan berhubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk, pembangunan infrastruktur yang mendukungnya.
Menurutnya, sekarang ini, dengan kecilnya pertumbuhan dan aktivitas ekonomi di Pontianak dan Kalbar, belum saatnya untuk membuat pelabuhan baru.
Namun, Walikota Pontianak, berpendapat lain. “Jangankan satu pelabuhan. Dua sekaligus juga bisa dibuat,” kata Suatrmidji. Semua barang dan jasa dari Jawa datang lewat Pontianak.
Menurutnya, kalau semua daerah punya pelabuhan, malah lebih bagus. Yang penting Pelindo punya pesaing, sehingga bisa tingkatkan pelayanan.
Pemkot berani membangun pelabuhan sesuai dengan regulasi yang sudah ada. Dan itu harus dilaksanakan. Di wilayah Kota Pontianak tidak mungkin lagi. Yang lebih bagus di Wajok. “Kalaupun Pelindo pindah dari Kota Pontianak, tidak ada masalah, karena tak ada kontribusinya bagi Kota Pontianak,” kata Sutarmidji.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran, ia merasa bersyukur, sehingga bisa mendorong pihak swasta membuat pelabuhan. Pelindo ada pesaing dan tidak lakukan monopoli. Sehingga bisa meningkatkan pelayanan.
Sutarmidji merasa bersyukur, ada regulasi yang mengatur pembangunan pelabuhan. Menurutnya, hal itu harus didukung.
Menanggapi tentang dana bagi pengerukan alur Sungai Kapuas, Hersan Aslirosa, Ketua DPRD Kota Pontianak menyatakan, “Kita memahami bahwa pelabuhan merupakan salah satu fasilitas transportasi umum. Setidak-tidaknya, dari kutipan yang didapat, harus ada yang disimpan untuk Pelindo. Pelindo dapat kutipan, kita yang dibebani pengerukan.”
Pemkot hanya dapat Rp 10 juta setahun dari Pelindo. Itu tak sepadan dengan kerusakan jalan yang ditimbulkan. Pemkot harus mengeluarkan miliaran rupiah untuk memperbaikinya.
“Kita menyadari bahwa, itu sarana umum. Yang harus disadari, setiap rupiah yang dikeluarkan Pemkot, harus ada efeknya ke masyarakat. Sementara Pelindo dapat miliaran rupiah, namun Pemkot tak dapat apa-apa,” kata Hersan.
Menurutnya, Pelindo jangan terlalu mementingkan segi bisnis saja. Namun juga mementingkan segi sosial.
Mengenai adanya pengerukan juga tak jelas hasilnya. Kenyataannya, tak ada angka berapa rubrikasi kubik lumpur yang telah dikeruk. Dan, kalau tak ada angka yang jelas, kenapa Pelindo harus mengeluhkan hal itu.
“Berapa rubrikasi yang dihasilkan, kita bisa hitung. Kita ada staf ahli untuk itu. Jadi, jangan asal omong,” kata Hersan.
Mengenai polemik yang terjadi dan permasalahan seputar pengerukan alur pelayaran, Hersan menyatakan, DPRD siap memfasilitasi pertemuan dan membicarakannya. Karena ini kepentingan umum.
Dari berbagai keluhan yang disampaikan, Pelindo membuat para pengusaha pelayaran harus mengeluarkan uang besar, karena sistem bongkar muat yang lambat. Makin lama kapal bersandar di pelabuhan, tentu saja makin banyak uang yang diperoleh Pelindo.
“Karena mereka bilang tidak, kita juga bilang tidak,” kata Hersan, menanggapi Pelindo yang tak merespon ajakan Pemkot, mengenai koordinasi yang harus dilakukan.
Hersan mendukung bila ada pembangunan pelabuhan baru. Karena akan ada kompetisi. Mengenai persiapan pembangunan infrastruktur bagi kebutuhan sebuah pelabuhan baru, seperti, pembangunan jalan, jembatan, listrik, air bersih, dan lainnya.
“Sampai sekarang semua sarana dan prasarana tidak ada masalah,” kata Hersan.
Sukarmin, Sekretaris INSA Kalbar berpendapat, kalau punya modal besar pun, bangun pelabuhan di Pontianak, akan rugi. Alasannya, harus berbagi dengan Pelindo. “Karena yang mengeruk dan membuat BUOY adalah Pelindo,” kata Sukarmin.
Perlukah Pelabuhan Baru?
Dengan adanya UU Nomor 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran, semua kepala daerah bisa membuat pelabuhan. Ada perubahan mendasar dalam bidang kewenangan. Adpel bakal hilang perannya. Yang ada hanya Syahbandar. Swasta bisa membuat pelabuhan di mana saja. Pemerintah akan membuat badan baru bernama Otorita Pelabuhan. Fungsinya belum jelas, karena Peraturan Pemerintah (PP) belum ada. Swasta dan pemerintah akan bersaing.
Ada dua pendapat mengenai keberadaan Pelabuhan Pontianak. Dipertahankan atau membuat pelabuhan baru. Dengan kondisi di muara Sungai Kapuas, yang alurnya sering berpindah-pindah. Penyebabnya arus dari laut bertemu dengan arus sungai, sehingga sering berpindah-pindah alurnya. Meski dikeruk akan terjadi pendangkalan kembali.
Ada satu cara menangani sedimentasi. Misalnya, harus dibuat tembok penahan atau Dam, seperti di Belanda. Sebelah kiri dan kanan dibuat tembok. Tapi, biayanya sangat mahal. Selain itu, untuk jangka panjang, apakah pembuatan Dam di sepanjang muara sungai, relevan dengan masuknya kapal-kapal berbobot besar ke pelabuhan Pontianak, nantinya.
Ali Jafar, pengusaha, sekaligus pengguna pelayaran menyatakan, kendala di Pelabuhan Pontianak, karena terletak di muara sungai. Sehingga tak bisa dilebarkan. Butuh biaya tinggi kalau harus bebaskan tanah penduduk. Sehingga biaya dibebankan pada konsumen. “Kalaupun dikembangkan paling jangka waktunya hanya lima tahun,” kata Ali.
Selain itu, kondisi sungai dulu dan sekarang berbeda. Kalau dulu belum ada pencemaran. Sekarang sungai banyak yang tercemar. Ini tentu saja berpengaruh pada sedimentasi. Kalau banyak kapal yang sandar, akan menghambat alur pelayaran.
“Ada baiknya dibuat pelabuhan samudera yang tak ganggu pelayaran,” kata Hasnul Halim, orang lama di Pelindo.
Pelabuhan Dwikora Pontianak, walaupun diperluas lahannya, tempatnya sudah tak memadai. Karenanya, pelabuhan mesti pindah. Wacana tentang perpindahan pelabuhan, sudah ada sejak Gubernur Sujiman, menjabat sebagai Gubernur Kalbar.
“Memperluas pelabuhan Dwikora percuma saja, karena tempatnya sudah tak memungkinkan,” kata Ali.
Dulu, pernah ada rencana membangun pelabuhan di Temajo dan Pulau Datuk di Sambas. Menurutnya, dari dua tempat itu, yang paling memungkinkan adalah Pulau Temajo. Namun, mesti dibuat jembatan yang menghubungkan Temajo dengan daratan. Panjangnya sekitar lima kilometer. Namun, yang juga menjadi pertanyaan adalah, apakah ada air bersih di Temajo. Sebab, kapal harus membawa air bersih bagi pelayarannya. Diperkirakan, proyek pembangunan pelabuhan di Pulau Temajo, biayanya sekitar Rp 7 triliun. Terakhir, pembangunan pelabuhan, coba dialihkan ke Tanjung Gundul, Kabupaten Bengkayang.
Proyek pelabuhan Temajo sudah ada sejak Gubernur Kalbar dipegang Aspar Aswin selama dua periode hingga Usman Ja’far. Namun, belum terealisasi juga. Ganti gubernur, ganti kebijakan. Pemilihan tempat pelabuhan baru, tidak saja berpikir tentang nilai ekonomis, tapi sudah ada nilai politis.
Anwar Dja’far, Ketua DPD INSA Kalbar, menyatakan, untuk pembuatan pelabuhan, INSA tidak pernah dilibatkan. Padahal, pemakai pelabuhan adalah orang INSA. “Kadang-kadang masalah pelabuhan itu dibangun, hanya masalah politis dulu. Tapi, tak pikirkan nilai ekonomis,” kata Anwar.
Pembuatan pelabuhan penting dilakukan. Pelabuhan merupakan pintu gerbang ekonomi di Kalbar. “Pemerintah pusat, provinsi, BUMN, harus turun tangan,” kata Hasnul.
Namun, sebelum pelabuhan baru dibuat, ada pertanyaan mesti dijawab. Apakah pelabuhan baru mendesak untuk dibuat? “Pelabuhan baru bisa dibuat, bila ada keseimbangan antara barang yang masuk dan keluar. Di Kalbar, lebih banyak barang yang masuk, daripada barang yang keluar,” kata Kurnia, dari Pelindo.
Ali Jafar punya pendapat yang sama. Pelabuhan Dwikora Pontianak volume bongkarnya lebih tinggi dari pada muatnya. Lebih banyak barang datang dari pengiriman barang. “Sebagian besar kebutuhan warga Kalbar, dipasok dari Jawa,” kata Ali.
Karenanya, volume peti kemas harus diperhitungkan Pelindo kedepannya. Sebab, lebih banyak peti kemas yang kosong. Habis diturunkan dari kapal, harus dimuat lagi ke truk. Itu yang butuh pemangkasan, begitu peti kemas turun langsung kena biaya.
Saat crane peti kemas rusak, orang pada teriak, karena waktu itu peti kemas yang isi atau yang kosong sudah kena biaya. Peti kemas sangat lambat. Mesti ada surat-surat dan dokumen lainnya, sehingga lama pengurusannya. Mesti ada surat perintah pengeluaran. Setelah itu, baru dimuat dengan tronton. Jadi, ada dua kali kegiatan bongkar muat.
Kapal peti kemas lama bersandarnya, karena tergantung pada Pelindo. “Kalau kontainer kita sudah masuk, tapi kontainer yang lain belum masuk, kapal belum bisa berangkat juga,” kata Ali.
Menurutnya, sekarang ini, Pelindo dengan peralatan yang ada, dan SDM yang dimaksimalkan dari segi jam kerjanya, pelaksanaannya tidak akan bisa maksimal.
Karenanya, sekarang ini, orang lebih senang pakai kapal Roro, untuk menghindari lamanya proses peti kemas. Roro merupakan jenis kapal penumpang antarpulau. Kalau pakai kapal Roro, barang harus segera turun dengan cepat.
Dari segi harga, naik kapal Roro lebih mahal. Misalnya, kontainer dengan isi 20 ton atau 20 feet, kalau pakai peti kemas biaya angkut ke Jakarta sekitar Rp 12 juta. Kalau pakai kapal Roro, bisa mencapai Rp 15-16 juta. Meski lebih mahal, pengusaha biasanya lebih memperhitungkan waktu. Sekalipun, bedanya cuma sehari atau dua hari.
Untuk mengangkut barang di kapal Roro, harus menggunakan truk. Biasanya truk dengan ukuran bak dua kali tujuh meter, bisa dimuat sekitar 28 kubik. Ini lebih banyak bila menggunakan peti kemas. Apalagi bila barangnya ringan, lebih enak pakai Roro.
“Waktu keberangkatannya juga pasti,” kata Ali.
Menurut Sukarmin, kendala di pelabuhan kalau kapal banyak, maka pelayanan Pelindo menjadi kurang baik. Sekarang ini kapal sedikit, sehingga bisa tertangani. Suatu saat kalau ekonomi sudah baik, maka akan muncul lagi permasalahan.
“Pelabuhan Pontianak sudah tak layak karena berada di tengah kota,” kata Sukarmin.
Untuk antri dan dapatkan dermaga atau timbunan butuh waktu lama. Lama antri di pelabuhan berpengaruh pada terhadap pelayaran, juga terhadap jumlah angkutan yang didapat.
Sehingga muatan ke daerah berkurang. “Berkurangnya hingga 20 persen,” kata Sukarmin.
Lamanya proses di pelabuhan, ada beberapa sebab. Misalnya, kalau kapal belum masuk, barang belum dimasukkan ke kontainer. Ketika kapal baru datang, barang baru dimasukkan. Ini juga yang memperlambat pelayaran. Namun, hal itu dilakukan untuk menghemat biaya. Sebab kalau barang sudah dimasukkan ke kontainer di pelabuhan akan dikenakan biaya.
Pelabuhan merupakan lalu lintas barang dan jasa. Karenanya, barang yang masuk dan keluar harus seimbang. Sehingga pelayaran bisa untuung.
Fardus, awak PLM Sumber Keluarga mengatakan, untuk bongkar muatan di Pelabuhan Nipah Kuning, antrinya bisa seminggu. Padahal, itu hanya untuk bongkar saja. Biasanya, ia membawa semen dari Jakarta. Pulangnya kosong, karena tak ada muatan dari Pontianak. Padahal, sekali bolak-balik Jakarta-Pontianak, butuh solar sekitar 40-45 drum. Satu drum sekitar 100 liter.
Kemajuan dunia pelayaran membuat peralatan dan pelayaran harus lebih baik. Pelabuhan Pontianak, kalau kapal kargo idealnya 3.000 ton. Kalau kapal kontainer idealnya 300 boks atau teus. Dengan kondisi alur sekarang ini, mereka harus mengurangi boks. Ini merugikan perusahaan pelayaran. Muatan imbangan dari Pontianak ke Jakarta kurang. Pada saat masih ada kegiatan illegal, seperti illegal logging bisa mendukung pelayaran. Dengan hilangnya itu, terasa di pelayaran. “Sekarang ini, yang diangkut dari Kalbar, keluar daerah hanya karet,” kata Sukarmin.
Pelabuhan merupakan satu bagian yang penting dalam proses produksi suatu barang dan jasa. Selain itu, ada kecenderungan orang yang berinvestasi, memikirkan beberapa hal. Pertama, mereka akan mendekatkan dengan pelabuhan, sehingga mudah ekspor. Kedua, mendirikan pabrik dekat dengan bahan baku. Ketiga, tempat investasi dekat dengan pasar. Sehingga ketika menjual produk, lebih dekat. Keempat, melihat ketersediaan tenaga kerja di daerah lokal.
Kalbar sangat berpotensi dan memiliki banyak bahan baku. Misalnya, karet, sawit yang hasilkan CPO, atau kakao. Padahal, sekarang ini, Gubernur Cornelis sudah menyediakan 1,5 juta hektar lahan untuk sawit. Yang baru ditanami sekitar 500 ribu hektar. Yang sudah panen sekitar 400 hektar.
Ali berharap, pemerintah perlu buat sebuah kebijakan, perusahaan yang butuh CPO, dihentikan terlebih dahulu. Sebagai gantinya, perusahaan itu mesti membuat pabriknya di Kalbar.
Seharusnya, Kalbar bisa membuat pabrik yang memproduksi produk turunan. Seperti, minyak goreng. Selama ini, CPO dibawa ke Jawa. Setelah jadi minyak, dibawa lagi ke Kalbar. Kalau dekat dengan pasar, masalah transportasi bisa ditanggulangi.
“Kalbar ini kaya potensi. Namun belum tergali saja. Nah, mungkin, faktor pelabuhan yang membuat orang kurang tertarik untuk investasi,” kata Ali.
Infrastruktur yang dibuat untuk melayani pelayanan jasa. Termasuk pembuatan infrastruktur jembatan, gudang pelabuhan, dan lainnya. Bagaimana membuat pelayanan yang baik dan peralatan yang memadai. Juga orang yang memiliki SDM baik. Dengan kemampuan personal yang baik. “Alat canggih kalau SDM tak baik, tidak akan imbang,” kata Ali.
Infrastruktur yang layak untuk menunjang pelayanan yang prima harus terealisasi. Perencanaannya harus benar. Ini yang sudah harus terencana sehingga tidak muncul polemik. Karenanya, sebelum penentuan tempat, harus diadakan forum diskusi yang melibatkan semua stakeholder. Misalnya, INSA, Ganeksi, dan lainnya.
“Mereka harus dilibatkan dan diajak bicara,” katanya. Jadi, konsepnya seperti apa. Sekarang ini, orang hanya berpolemik mengenai pelabuhan yang baru, dari segi tempat, maupun kegunaanya.
Menurut Safi’i Joko Bahari, Sekretaris DPC INSA Pontianak, masalah pelayaran pada dasarnya sama. Di alur pelayaran, dermaga dan lapangan penumpukan atau kontainer. Pada faktor pelayanan pada dasarnya sudah baik. Sekarang ini yang krusial adalah mengenai alur pelayaran. Ia berkata, LWS di Sungai Kapuas hanya 3,8 meter. Bahkan, ada titik spot yang hanya 3,6 meter. Kondisi itu dengan pasang surut 1,9, maka total kedalaman hanya 5,7 meter. Itupun tidak setiap hari.
“Intinya, air membatasi kapal kami yang harusnya bisa muat lebih banyak, namun karena kedalaman air atau LWS terlalu rendah. Akhirnya, memuat barang tidak maksimal,” kata Joko.
Akibat pendangkalan, kapal yang harusnya bisa muat banyak, terpaksa mengurangi muatan. Tentu saja pendapatan yang diterima pihak pelayaran, tidak sesuai dengan yang seharusnya mereka terima.
Ia berharap, Pemkot Pontianak juga ikut atasi masalah itu.
Sebelumnya alur pelayaran LWS 5,5 meter. Bila LWS 5,5 meter, maka kapal berbobot 6.000-8.000 bisa masuk. Sekarang ini yang bisa masuk hanya kapal dibawah 4.000 ton. Karenanya, PLM yang draffnya dalam, sering kandas karena alur pelayaran semakin sempit dan dangkal.
INSA usul memberntuk tim terpadu yang terdiri dari Adpel, INSA, navigasi, Pelindo, Dishub Provinsi, untuk sama-sama melakukan survei. Berapa LWS di Sungai Kapuas sebenarnya. Setelah itu harus dicari jalan, siapa yang bertanggungjawab dalam pengerukan.
Alur pelayaran mesti ada pemeliharaan. Setahun sekali harus ada pengerukan. Lebih bagus lagi, bila LWS 5,5 meter. Sehingga kapal besar bisa masuk. Ini akan membuat bahan bakar dan barang lebih mudah masuk, dan membuat harga lebih murah.
Dalam masalah lalu lintas pelayaran, INSA minta pada Adpel, sama-sama memperhatikan jalur pelayaran agar bisa lancar. “Kita mengimbau supaya sama-sama lancar. Yang kita butuhkan alur yang baik,” kata Joko.
Rosidi Usman, Ketua DPC INSA Pontianak mengatakan, suatu daerah bila ingin berkembang, harus memperhatikan pelabuhan. Transportasi penting bagi kelancaran dan pertumbuhan ekonomi. Daerah yang punya pelabuhan, harus perhatikan pelabuhan. Alasannya, transportasi yang murah melalui laut.
Dalam masalah alur pelayaran di pelabuhan, yang diutamakan adalah alur muara. Sebab, muara menjadi pintu masuk barang. Apabila alur sungai alami pendangkalan karena alam, maka semua pihak harus perhatikan masalah ini. Yang paling utama adalah, agar kapal bisa masuk. Alur muara harus baik.
Pelayanan menyangkut bongkar muat pengurusan pelayaran, fasilitas, salah satunya adalah dermaga. Fasilitas ini, apabila tidak penuhi peralatan standar, akan timbulkan biaya tinggi. Sehingga menimbulkan harga barang tinggi, karena pelayaran laut sangat memperhatikan efesiensi barang.
“Kalau tak bisa ditekan, akan mahal,” kata Rosidi.
Menurutnya, Pemda harus perhatikan masalah pelabuhan. Sebagai contoh distribusi BBM yang melewati laut. Apabila alur muara sering terjadi pendangkalan, secara otomatis, BBM akan alami kendala. “Sehingga Pemda harus konsen dengan permasalahan yang terjadi saat ini di pelabuhan,” kata Rosidi.
INSA juga pernah lakukan pembicaraan dengan Dirjen Perhubungan Laut (Dirhubla) di Jakarta. Dalam pembicaraan itu, mereka menjelaskan bahwa pelabuhan Pontianak LWS 3,8 meter. Padahal, pelabuhan Pontianak merupakan pelabuhan kelas 1. Standarnya, pelabuhan kelas satu LWS-nya minimal 6 meter.
Dengan adanya hal itu, harusnya semua pihak memperhatikan. Karena perdagangan dan ekonomi akan lancar dengan pelabuhan yang baik. Hal itu juga sudah dilaporkan ke Kadishub Provinsi. Jawabannya, akan dikoordinasikan dengan instansi terkait.
INSA mengharapkan pengerukan dan pemeliharaan pelabuhan, dianggarkan dalam APBN secara tetap. Ini sama pembicaraan yang dilakukan dengan Dirhubla. Realisasinya, menunggu kalau UU Nomor 17 Tahun 2008, sudah diberlakukan. Dengan Peraturan Pemerintah (PP), Pelindo cenderung tidak mendanai pengerukan. Kalau Pelindo lakukan pengerukan, sementara ada pelabuhan di depannya, maka Pelindo akan rugi.
“Ini kewajiban pemerintah untuk lakukan pengerukan,” kata Rosidi.
UU Nomor 17 Tahun 2008, mengubah status Pelindo menjadi Badan Usaha Pelabuhan. Ruang lingkupnya semakin kecil. Bila sekarang ini, Pelindo mengurusi berbagai urusan, mulai dari kapal masuk sampai keluar. Kedepannya, Pelindo hanya bekerja di lingkungannya sendiri, di Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan (DLKP). Ada Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP). Ini tergabung dalam suatu institusi bernama Badan Otorita Pelabuhan (BOP).
Anwar Dja’far, Ketua DPD INSA Kalbar, pernah bicara dengan Gubernur Kalbar sebelumnya, Usman Ja’far. Semua pelabuhan di Kalbar, merupakan pelabuhan sungai. Karena itu, Pemprov Kalbar, harus punya kapal keruk. Sebab ada enam pelabuhan sungai yang bisa menggunakan kapal keruk ini. Pelabuhan harus rutin dikeruk karena pendangkalannya cepat.
“Kalau diserahkan pada Pelindo, selain biayanya tinggi juga birokratis,” kata Rosidi menimpali.
Kalau enam pelabuhan itu ditangani kapal keruk, maka kapal tidak akan pernah berhenti. Karenanya, urusan itu bisa dijadikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). “Kalau punya kapal keruk, uangnya tidak akan lari kemana-mana,” kata Anwar.
Mengenai pendangkalan sungai, harus ada tim survei independen yang lakukan survei alur Sungai Kapuas, sehingga bisa akurat. Alur yang ada saat ini, dangkal dan bercampur tanah. Mesti ada tim yang akurat dan rutin. Tim ini harus mensurvei setiap muara. Pendangkalan terjadi karena lumpur, ombak, arah angin, iklim. Itu semua mempengaruhi cepat atau lambatnya pendangkalan. Apalagi pelabuhan di Ketapang, yang cepat dangkal karena muaranya merupakan pasir.
INSA sedang mencari-cari pelabuhan alternatif. Mereka berpendapat, Pelabuhan Kuala Mempawah merupakan alternatif dan cocok bagi pelabuhan.
Rosidi mengatakan, pada 5 Mei 2009, rombongan INSA meninjau Kelabuhan Kuala Mempawah, dan berdialog dengan Bupati Kabupaten Pontianak, Ria Norsan.
Setelah meninjau INSA langsung berkesimpulan, pelabuhan Mempawah perlu mendapat perhatian dari pemerintah. Dimungkinkan pelabuhan Mempawah jadi pelabuhan internasional. Dipandang dari segi tempatnya, pelabuhan Kuala Mempawah strategis, karena jarak dari muara ke kolam pelabuhan atau dermaga, sekitar 4 mile atau setengah jam perjalanan. Dengan kecepatan 5-6 knot. Pelabuhan Mempawah butuh dana sekitar Rp 2 triliun. Pelabuhan ini lebih efisien, karena tak terlalu mengeluarkan uang besar bagi pengerukan akibat pendangkalan.
Selain itu, posisi Kota Mempawah terletak di tengah Kalbar. Sehingga dekat dengan daerah sekitarnya. Seperti Kabupaten Sanggau, Bengkayang, Singkawang, dan lainnya.
HM Sukarmin, Sekretaris DPD INSA Kalbar mengatakan, pertimbangan memilih pelabuhan Mempawah, bukan tanpa sebab. Setelah dikeruk, alur dan kondisi pelabuhan Pontianak, tetap terbatas, kapasitasnya. Kapal besar tetap tidak bisa masuk. Atas dasar itu, sebagai pemilik kapal, ia butuh pelabuhan baru bertaraf internasional. Pelabuhan internasional memiliki kedalaman dermaga sekitar 12 meter, untuk kapal berukuran 20-30 ribu ton.
“Satu-satunya pelabuhan daerah yang dibiayai dengan APBN dan APBD adalah pelabuhan Mempawah,” kata Anwar.
Hatta Rajasa, saat menjabat Menteri Perhubungan, memberikan izin dan menganggap Pelabuhan Kuala Mempawah, memenuhi syarat. Bahkan, Hatta Rajasa memberikan sumbangan dari uang pribadinya sebesar Rp 1 miliar, untuk pembangunan awal pelabuhan Mempawah, pada tahun 2006.
“Dimanapun letaknya. Kita oke saja. Yang sudah ada di depan mata adalah Pelabuhan Kuala Mempawah. Kita minta pada Pemkab Pontianak, untuk mempercepat pembangunannya,” kata Sukarmin.
Bupati Kabupaten Pontianak, Ria Norsan pernah memperlihatkan proposal rencana pembangunan pelabuhan. Dari proposal yang ada, Pelabuhan Kuala Mempawah rencananya dibangun dengan luas sekitar 272,6 hektar.
INSA menganggap pelabuhan ini sudah pas. Ada banyak dermaga. Khususnya, dermaga untuk kontainer, curah, penumpang, cair, docking, dan lainnya.
Menurut Sukarmin, pelabuhan di Mempawah lebih memungkinkan. Alasannya, di Bengkayang ada tambang. Kalau dalam satu hari ada produksi sekitar 5.000 ton, kalau satu truk 500 kubik, berarti akan ada 100 truk beroperasi. Di Lumar, Bengkayang ada tambang mangan. Namun, tidak bisa produksi karena tidak ada pelabuhan. Ada tambang kaolin di Capkala, Bengkayang. Kaolin yang sudah diproses atau dibentuk dinamakan Clay. Bahan itu bisa digunakan menyaring air asin ke air tawar. Setelah disurvei, dimungkinkan untuk ditambang. Namun, karena terbentur dengan masalah pelabuhan, akhirnya investor mundur.
Rosidi Usman, Ketua DPC INSA Pontianak menyatakan, dalam masalah pelabuhan, INSA harus dilibatkan. “Itu yang paling pokok. Strategisnya pelabuhan seperti apa, karena kita pelaku utama. Kita adalah negara kepulauan. Apabila sebagian besar bahan pokok didatangkan dari Jawa,” kata Rosidi.
Pelabuhan Kuala Mempawah, diperkirakan selesai tahun 2010. Fasilitas yang harus disiapkan adalah, gudang, dermaga, penerangan pelabuhan. “Kita ingin pelabuhan Mempawah cepat selesai, sehingga bisa dijadikan pelabuhan alternatif,” kata Rosidi.
Sekarang ini, APBN untuk membangun pelabuhan Mempawah sudah turun Rp 150 miliar. Sehingga Pemkab bisa teruskan pekerjaan. Terutama jalan msuk ke pelabuhan. Jalan masuk ke pelabuhan Kuala. Jalan masuk ke pelabuhan ikan atau TPI.
“Mempawah bisa dijadikan Kota Pelabuhan,” kata Rosidi.□
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:02 AM 0 comments
Labels: Ekonomi