Tiga Wartawan Dipanggi Jadi Saksi
MAKASSAR, Harian Fajar
Koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers, Upi Asmaradana resmi ditetapkan tersangka oleh pihak Polda Sulsel. Upi yang juga mantan Kontributor Metro TV itu disebut telah melakukan tindak pidana mengadu secara memfitnah dan atau memfitnah dengan tulisan.
Penetapan tersangka Upi diketahui setelah pihak Direktorat Reserse Kriminal Polda Sulsel memanggil tiga wartawan Fajar sebagai saksi dalam kasus
tersebut. Ketiga saksi dalam surat pemanggilan itu diinisialkan; Sil, Her, dan Lis.
Surat panggilan bernomor polisi: S.Pgl/666/XI/2008/Ditreskrim dilayangkan ke redaksi Fajar 7 November untuk menghadap ke penyidik AKP Anwar, SH pada Senin 10 November 2008.
Upi yang dihubungi kemarin, mengaku kaget dengan penetapannya sebagai tersangka. “Saya tidak pernah juga mendapat pemberitahuan sebagai tersangka. Memang yang lalu saya datang ke Polda sebagai saksi,” katanya.
Pengamat Pers dari Unhas, Dr Hasrullah menyayangkan penetapan Upi sebagai tersangka. Menurut Hasrullah, wartawan dan polisi adalah dua profesi yang sifatnya melayani masyarakat. "Wartawan memberi informasi yang konstruktif dan polisi memberi perlindungan kepada masyarakat," katanya saat dihubungi malam tadi.
Hasrullah juga mempertanyakan pihak Polda melakukan penetapan tersangka terhadap Upi. “Mestinya Polda memperjelas akar persoalannya, apakah terkait dengan
pernyataan Upi di media atau karena orasinya pada aksi demo,” tandasnya.
Dia mengungkapkan, jika Upi meliput atau menulis berita dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, polisi tidak berhak menjadikannya tersangka. Pasalnya, hal tersebut telah melanggar UU Pers No 40 tahun 1999 mengenai hak jawab. Isi UU ini dimana seseorang diberitakan nama baiknya tercemar, maka yang bersangkutan diberi hak untuk menjawab.
"Kasus Upi yang dijadikan tersangka ini sangat berbahaya. Karena itu sama saja
membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat seseorang," tandasnya. Hal tersebut, lanjutnya, sama halnya melanggar deklarasi PBB mengenai hak asasi manusia (human rights).
Padahal, wartawan pun memiliki hak berbicara. "Jika ini dibiarkan, sama saja dengan pembunuhan karakter wartawan. Makanya jangan semena-mena membunuh pilar demokrasi," tambah Hasrullah.
Fungsi pers sebagai fungsi survilance bertugas membeberkan kesewenang-wenangan. Jika ini tidak dibiarkan, maka terjadi pembredelan pers karena wartawan tidak punya hak lagi menyampaikan informasi.
Fungsi wartawan, kata Hasrullah, ada dua. Pertama, sebagai peliput yang memiliki intelektual dan kecerdasan. Kedua, sebagai intelijen yang mencari berita lebih dalam dan menjadi spionase.
"Jika Upi dianggap mencemarkan nama baik sementara tidak ada bukti yang kuat,
dia tidak layak dianggap tersangka. Kalau ini terus dibiarkan, saya khawatir demokrasi dan fungsi pers di Makassar tidak jalan," tegas Hasrullah.
Sementara, dalam penetapan Upi sebagai tersangka, seharusnya menggunakan UU Pers dan bukan UU KUHP. "Kajian masalah ini harus menggunakan UU Pers yakni UU No 4 tahun 1990. Kecuali kalau sudah bersentuhan dengan masalah kriminal barulah menggunakan KUHP," tambahnya.
Terkait penetapan Upi selaku tersangka, Kabid Humas Polda, Kombes Hery Subiansauri mengaku belum tahu menahu. Ia malah balik menanyakan sumber informasinya. Saat dijelaskan bahwa itu berdasarkan surat pemanggilan saksi, Hery menyarankan untuk menghubungi langsung Kasat Reskrim Polda Sulselbar, Kombes Sobry. Hanya sayangnya, Sobry yang coba dikonfirmasi tak bisa tersambung. HP-nya aktif namun tidak diangkat. (m02-amr)
(berita ini dikutip dari Harian Fajar Edisi 9 November 2008).
Gambar diambil dari profile.myspace.com. Judul RED FLAG.
Lagi-lagi Kriminalisasi Pers......Lawan!
Sunday, November 9, 2008
Koordinator Koalisi Resmi Tersangka
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:34 AM 0 comments
Labels: Pers
Wednesday, November 5, 2008
Berharap Perubahan dari Obama
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Change. Demikian singkat dan sederhana kalimat itu. Namun, efeknya sangat luar biasa. Kalimat itulah yang selalu menyertai kampanye yang dilakukan kandidat dari Partai Demokrat di Amerika Serikat (AS), Barack Hussein Obama (47).
Masyarakat di AS sudah jengah dengan berbagai kebijakan George Bush dari Partai Republik, yang cenderung agresor dan membahayakan perdamaian dunia. Perang di Afganistan dan Irak, jadi contoh. Perang itu menguras anggaran pertahanan AS. Ekonomi tak terbangun dengan baik. Akibatnya, muncul krisis dalam pemerintahan George Bush. Puncaknya adalah, krisis finansial atau keuangan yang melibas struktur keuangan di AS. Krisis ini juga menghantam keuangan dunia.
Karenanya, rakyat Amerika ingin perubahan. Ini merupakan syarat utama dalam tatanan sebuah sistem, bila terjadi kejenuhan dan kemandegan. Agaknya, kebutuhan itulah yang dilihat dengan baik oleh Obama. Dan, program serta kampanye yang dilakukan, sesuai dengan apa yang dibutuhkan rakyat AS.
Dalam berbagai jajak pendapat dan pemilihan pendahuluan, Obama lebih unggul dari John Mc Cain. Popularitas Obama tidak sekali jadi. Untuk menjadi kandidat dari Partai Demokrat, ia harus bersaing ketat dengan Hillary Clinton. Senator dari Illinois ini, menunjukkan konsistensi. Meski pada kampanye awal, ia sempat tertinggal. Pelan tapi pasti, akhirnya Obama bisa meraih suara dan menggungguli Hillary.
Pemilihan presiden 2008 di AS, menorehkan sejarah baru di AS. Bila Obama terpilih, ia akan menjadi presiden pertama dari kulit hitam. Begitu juga bila Mc Cain terpilih. Dia akan menjadi presiden tertua dalam sejarah AS. Umurnya 72 tahun. Dari segi partisipasi pemilih, pemilihan ini mencatat rekor tertinggi sejak 1920. Tingkat partisipasi sebesar 73,5 persen.
Di Indonesia, publik tak kalah bergairahnya. Obama pernah tinggal di Indonesia. Ayah tirinya juga dari Indonesia. Keterkaitan sejarah dan psikologi ini, tentu akan berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Amerika terhadap Indonesia, bila Obama terpilih kelak.
Tak hanya itu. Obama juga representasi dari sebuah proses multikulturalisme. Apalagi dengan kondisi sosial masyarakat Amerika, yang dibangun dari beragam budaya dan bangsa. Proses ini tentu bagian penting dari perjalanan sebuah bangsa.
Kini, semua mata tertuju pada pemilihan presiden AS, yang dianggap sebagai barometer dunia dalam proses demokrasi. Semua berharap, hasil yang didapat, bakal membawa proses perubahan yang lebih baik, bagi tatanan dunia.
Harapan itu, ada pada Obama.□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 5 November 2008
Gambar diambil dari www.creativeriview.co.uk
Posted by Muhlis Suhaeri at 2:54 AM 0 comments
Labels: Opini
Tuesday, November 4, 2008
Istri Imam Samudera
Zakiyah “Prenjak” Darajad
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Entah mengapa, ingatanku tiba-tiba menyambar pada sebuah sosok. Teman yang tak pernah kutemui selama 18 tahun lamanya. Gambaran itu semakin nyata, terutama ketika menyaksikan layar televisi yang menayangkan, jelang eksekusi tiga terpidana mati Bom Bali: Amrozi, Ali Ghufron dan Abdul Aziz alias Imam Samudera.
Ya, gambaran dan sosok itu, bernama Zakiyah Darajad. Ia, istri Imam Samudera. Aku dan Zakiyah sekolah di SMAN 1, Jepara. Kami angkatan 1987. Lulus pada 1990. Sekolah kami berada di Jalan KS Tubun, Jepara. Pas di persimpangan jalan. Ini sekolah favorit.
Dua orang lulusannya, termasuk aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar Kopassus. Namanya, Rahardja Waluyo Jati dan Mugiyanto. Keduanya, kakak kelas dan adik kelas. Aku kenal keduanya di Jakarta. Sama-sama aktif di organisasi.
Aku dan Zakiyah satu kelas hingga tiga tahun lamanya. Murid tingkat pertama di SMA kami, ada delapan kelas. Kami duduk di kelas I-6. Wali kelasnya bernama, Endang. Ia mengajar biologi. Satu kelas bervariasi jumlah muridnya. Ada 40-45 murid tiap kelasnya. Kelas dua dibagi menjadi A1, ada dua kelas. Ini jurusan IPA-Fisika. A2, ada dua kelas. Ini jurusan IPA-Biologi. A3 ada tiga kelas. Ini jurusan Ekonomi. A4, ada satu kelas. Ini jurusan Bahasa.
Menginjak kelas dua, Zakiyah mengambil jurusan biologi atau A2. Kebetulan ada dua kelas, IIA2-1 dan IIA2-2. Zakiyah duduk di kelas IIA2-2. Satu kelas denganku. Guru walinya Widodo, guru biologi. Kelas tiga masih satu kelas di IIIA2-2.
Zakiyah berpostur kecil. Tingginya sekitar 150 cm. Tak gemuk dan kurus. Proporsional untuk tubuh seukuran itu. Rambutnya yang sebahu, selalu dikepang dua. Hampir tiga tahun lamanya, aku lihat tak ada perubahan dalam penampilan rambutnya. Selalu dikepang dua.
Begitu juga model seragam sekolahnya. Baju lengan pendek warna putih itu, selalu dikancingkan hingga ke leher. Bagian bawah mengenakan rok abu-abu. Dari segi penampilan, Zakiyah termasuk orang yang sederhana. Atau, mungkin konservatif. Tak seperti anak seusianya, yang selalu ingin tampil modis.
Itu terlihat dalam kesehariannya di sekolah. Di sekolah kami, mulai hari Senin hingga Kamis, murid mengenakan seragam abu-abu dan baju putih. Hari Sabtu, mengenakan seragam coklat Pramuka. Pada hari Jumat, kami tak mengenakan seragam sekolah. Siswa mengenakan pakaian bebas. Boleh pakaian apa saja. Pada hari itu, suasana sekolah marak sekali. Gaul banget pokoknya.
Pukul 07.00 Wib, semua murid dari kelas satu hingga kelas tiga berkumpul di lapangan sekolah. Kami melakukan senam pagi secara massal. Sekolah kami bentuknya U. Pas di tengah sekolah ada tanah lapang berumput. Di lapangan itulah, kami melakukan senam pagi. Pemandangan penuh warna-warni. Terlihat kontras dan menarik.
Namun, di antara warna-warni baju dan celana murid pagi itu, selalu saja ada baju putih dan rok abu-abu. Pemilik pakaian itu, tak lain adalah Zakiyah Darajad. Ia selalu mengenakan seragam, meski peraturan membolehkan berpakaian bebas.
Zakiyah mengenakan kaca mata minus. Bentuknya agak bulat. Kalau sedang bicara serius, matanya selalu menyala-nyala dan mengembang. Meski terlihat serius, kalau sudah tertawa, ia juga terlihat ekspresif. Tawanya berderai. Lepas mengalir.
Ia sosok mandiri. Ketika pertama kali mengenalnya, aku tanya:
“Kenapa sekolah di Jepara.”
“Ingin hidup mandiri.”
Ayahnya kelahiran Jepara. Namanya Saiful Fauzan. Dia bekerja dan tinggal di Serang sebagai PNS. Setelah pemekaran, tempat tinggalnya, termasuk wilayah Banten. Mereka tinggal di sebuah perumahan. Namun, aku lupa nama perumahannya. Zakiyah pernah berikan sebuah alamat pada secarik kertas padaku.
Tahun pertama sekolah, Zakiyah tak bisa bahasa Jawa. Dia selalu pakai bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Cara bicaranya penuh dengan semangat dan antusias. Karenanya, kami memberinya julukan Prenjak. Ini sejenis burung pipit. Bentuknya kecil. Gerakannya gesit. Selalu terbang dan berpindah tempat untuk mencari makan.
Di Jepara, Zakiyah tinggal dengan saudara dari pihak bapak di Kauman. Daerah ini dekat dengan Masjid Raya, kantor bupati dan alun-alun. Termasuk pusat kota dan pemerintahan. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 700 meter. Dia selalu jalan kaki bareng teman-temannya.
Semenjak kelas satu hingga kelas tiga, Zakiyah anak yang aktif berorganisasi. Ketika kelas satu, dia menjadi ketua kelas. Kelas dua, menjadi ketua OSIS. Selain itu, dia juga aktif di Pramuka. Dalam berbagai kegiatan sekolah, dia selalu aktif dan ikut partisipasi.
Meski tak dalam satu organisasi, saat itu aku lebih aktif di Palang Merah Remaja (PMR), kami selalu bertukar pendapat tentang pengalaman di organisasi masing-masing. Dia teman yang enak diajak bicara. Tapi, juga teman yang tak bisa terlalu dekat dengan pria. Rasa-rasanya, selama tiga tahun sekolah, tak pernah terdengar dia pacaran. Padahal, banyak sekali yang tertarik dan naksir dia.
Dalam bidang akademik, Zakiyah termasuk anak yang cerdas. Kelas satu dia juara kelas. Bahkan, untuk tingkat sekolah, dia masih termasuk juara. Tak heran ketika lulus sekolah, pada 1990, dia mendapatkan kesempatan kuliah tanpa tes masuk atau PMDK, pada Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang, Jawa Tengah.
Setelah itu, aku tak mendengar cerita tentang Zakiyah Darajad. Aku sibuk mencari hidup dan menempuh pendidikan di Jakarta.
Dari seorang teman, aku mendapat kabar, dia aktif di sebuah pengajian. Setelah itu, dia pakai jilbab, dan menutupi wajahnya dengan cadar. Kabar terakhir, dia meninggalkan kampus dan semakin aktif di pengajiannya pada semester VI di Undip. Kabar terakhir lagi, dia menikah dengan seseorang. Kabar terakhir, suaminya, Imam Samudera, merupakan salah satu pelaku bom di Legian, Bali. Kabar terakhir lagi, Imam Samudera bakal dieksekusi mati.
Yang ingin aku tanyakan sekarang, bagaimana kabar terakhirmu, Zakiyah Darajad?□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 5 November 2008
Foto oleh Harian Suara Merdeka.
Posted by Muhlis Suhaeri at 3:15 AM 3 comments
Labels: Profile
Monday, November 3, 2008
Promosi Lewat Adu Nyali
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Namanya keren. One Make Race (OMR). Bahasa sederhananya, Balapan Satu Merek. Populernya arena adu balap cepat, tak bisa dipisahkan dengan gelaran OMR yang dihelat oleh merek pabrikan ini, Suzuki.
Motor dengan logo huruf S lancip dan tegas ini, memulai debut balapan OMR dengan menggelar tiga kejuaraan di tiga kota besar, Jakarta, Bandung dan Bali pada 1991. Balapan di Jakarta berlangsung di Sirkuit Ancol. Bandung di Sirkuit Gazibu. Bali berlangsung di Sirkuit Renon. Sebelumnya, kejuaraan adu balap hanya berlangsung di Sirkuit Ancol, Jakarta.
Kegiatan OMR 1991, merupakan arena uji teknologi hasil produksi merek Suzuki. Ketika itu, Suzuki meluncurkan motor RGR. Begitu diluncurkan, motor roda dua dengan kapasitas mesin 150 cc tersebut, langsung menguasai jalanan. Menumbangkan “Raja” jalanan sebelumnya.
Tommy Ernawan, Marketing and Promotion 2W Departement, juga Racing Group Leader dalam kegiatan di Pontianak, memaparkan pengalamannya, ketika menggelar OMR 1991. Kegiatan itu tujuannya baik. Membina dan mengarahkan pembalap-pembalap muda.
Saat itu, kegiatan balap belum terkoordinir dengan baik. Banyak balap liar di jalan raya. “Nah, dari pada balap di jalanan, lebih baik dibuatkan acara balap,” kata Tommy, mantan pembalap motocross yang pernah jadi juara Asean Motocross pada 1984 di Batam.
Sukses dengan kegiatan ini, kejuaraan adu nyali dan teknologi ini, mulai merambah ke berbagai kota di Indonesia. Kegiatan adu balap ini, tentu tak bisa dipisahkan dengan kegiatan promosi, untuk mendongkrak penjualan merek pabrikan ini.
Ketika ditemui, Helmi sedang berada di Sirkuit Sultan Syarif Abdurrahman Pontianak, Minggu (2/11). Pagi itu, ia mengkoordinasikan sebuah hajatan balap bertema One Make Race 2008.
Untuk tahun 2008, agenda adu cepat ini, digelar 13 balapan. Acara dibagi dalam enam region. Region pertama, Sumatera. Ada empat balapan di region ini. Kedua, Jawa. Ada lima balapan di region ini. Ketiga, Bali, NTB dan NTT. Ada satu balapan di region ini. Keempat, Sulawesi. Ada satu balapan. Kelima, Kalimantan. Ada dua balapan di region ini.
Pontianak merupakan tempat penyelenggaraan ke 11, 1-2 November 2008. Kota Medan menjadi kota pembuka kegiatan, 1-2 Maret 2008. Dan, tahun ini, lomba ditutup pada 22-23 November di Surabaya.
Dalam setiap lomba, ada 10 kategori diperlombakan. Kelas bebek 4 Tak Shogun, Smash, Satria dan Matik STD. Ada kelas pemula, Seeded, dan Open.
Meski OMR sudah berlangsung sejak 1991, penyelenggaraan di Kalbar, baru dua tahun terakhir ini. Agar acara berjalan dengan sukses, mesti ada pembangian tugas. Ada yang menangani penyelenggaraan semua acara. Juga, harus ada yang menangani banyaknya penonton dan peserta balap yang hadir.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 3 November 2008
Fotografer Jessica Wuysang.
Posted by Muhlis Suhaeri at 3:10 AM 1 comments
Labels: Olah Raga