Tuesday, November 4, 2008

Istri Imam Samudera

Zakiyah “Prenjak” Darajad

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Entah mengapa, ingatanku tiba-tiba menyambar pada sebuah sosok. Teman yang tak pernah kutemui selama 18 tahun lamanya. Gambaran itu semakin nyata, terutama ketika menyaksikan layar televisi yang menayangkan, jelang eksekusi tiga terpidana mati Bom Bali: Amrozi, Ali Ghufron dan Abdul Aziz alias Imam Samudera.

Ya, gambaran dan sosok itu, bernama Zakiyah Darajad. Ia, istri Imam Samudera. Aku dan Zakiyah sekolah di SMAN 1, Jepara. Kami angkatan 1987. Lulus pada 1990. Sekolah kami berada di Jalan KS Tubun, Jepara. Pas di persimpangan jalan. Ini sekolah favorit.


Dua orang lulusannya, termasuk aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar Kopassus. Namanya, Rahardja Waluyo Jati dan Mugiyanto. Keduanya, kakak kelas dan adik kelas. Aku kenal keduanya di Jakarta. Sama-sama aktif di organisasi.

Aku dan Zakiyah satu kelas hingga tiga tahun lamanya. Murid tingkat pertama di SMA kami, ada delapan kelas. Kami duduk di kelas I-6. Wali kelasnya bernama, Endang. Ia mengajar biologi. Satu kelas bervariasi jumlah muridnya. Ada 40-45 murid tiap kelasnya. Kelas dua dibagi menjadi A1, ada dua kelas. Ini jurusan IPA-Fisika. A2, ada dua kelas. Ini jurusan IPA-Biologi. A3 ada tiga kelas. Ini jurusan Ekonomi. A4, ada satu kelas. Ini jurusan Bahasa.

Menginjak kelas dua, Zakiyah mengambil jurusan biologi atau A2. Kebetulan ada dua kelas, IIA2-1 dan IIA2-2. Zakiyah duduk di kelas IIA2-2. Satu kelas denganku. Guru walinya Widodo, guru biologi. Kelas tiga masih satu kelas di IIIA2-2.

Zakiyah berpostur kecil. Tingginya sekitar 150 cm. Tak gemuk dan kurus. Proporsional untuk tubuh seukuran itu. Rambutnya yang sebahu, selalu dikepang dua. Hampir tiga tahun lamanya, aku lihat tak ada perubahan dalam penampilan rambutnya. Selalu dikepang dua.

Begitu juga model seragam sekolahnya. Baju lengan pendek warna putih itu, selalu dikancingkan hingga ke leher. Bagian bawah mengenakan rok abu-abu. Dari segi penampilan, Zakiyah termasuk orang yang sederhana. Atau, mungkin konservatif. Tak seperti anak seusianya, yang selalu ingin tampil modis.

Itu terlihat dalam kesehariannya di sekolah. Di sekolah kami, mulai hari Senin hingga Kamis, murid mengenakan seragam abu-abu dan baju putih. Hari Sabtu, mengenakan seragam coklat Pramuka. Pada hari Jumat, kami tak mengenakan seragam sekolah. Siswa mengenakan pakaian bebas. Boleh pakaian apa saja. Pada hari itu, suasana sekolah marak sekali. Gaul banget pokoknya.

Pukul 07.00 Wib, semua murid dari kelas satu hingga kelas tiga berkumpul di lapangan sekolah. Kami melakukan senam pagi secara massal. Sekolah kami bentuknya U. Pas di tengah sekolah ada tanah lapang berumput. Di lapangan itulah, kami melakukan senam pagi. Pemandangan penuh warna-warni. Terlihat kontras dan menarik.

Namun, di antara warna-warni baju dan celana murid pagi itu, selalu saja ada baju putih dan rok abu-abu. Pemilik pakaian itu, tak lain adalah Zakiyah Darajad. Ia selalu mengenakan seragam, meski peraturan membolehkan berpakaian bebas.

Zakiyah mengenakan kaca mata minus. Bentuknya agak bulat. Kalau sedang bicara serius, matanya selalu menyala-nyala dan mengembang. Meski terlihat serius, kalau sudah tertawa, ia juga terlihat ekspresif. Tawanya berderai. Lepas mengalir.

Ia sosok mandiri. Ketika pertama kali mengenalnya, aku tanya:
“Kenapa sekolah di Jepara.”
“Ingin hidup mandiri.”

Ayahnya kelahiran Jepara. Namanya Saiful Fauzan. Dia bekerja dan tinggal di Serang sebagai PNS. Setelah pemekaran, tempat tinggalnya, termasuk wilayah Banten. Mereka tinggal di sebuah perumahan. Namun, aku lupa nama perumahannya. Zakiyah pernah berikan sebuah alamat pada secarik kertas padaku.

Tahun pertama sekolah, Zakiyah tak bisa bahasa Jawa. Dia selalu pakai bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari. Cara bicaranya penuh dengan semangat dan antusias. Karenanya, kami memberinya julukan Prenjak. Ini sejenis burung pipit. Bentuknya kecil. Gerakannya gesit. Selalu terbang dan berpindah tempat untuk mencari makan.

Di Jepara, Zakiyah tinggal dengan saudara dari pihak bapak di Kauman. Daerah ini dekat dengan Masjid Raya, kantor bupati dan alun-alun. Termasuk pusat kota dan pemerintahan. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 700 meter. Dia selalu jalan kaki bareng teman-temannya.

Semenjak kelas satu hingga kelas tiga, Zakiyah anak yang aktif berorganisasi. Ketika kelas satu, dia menjadi ketua kelas. Kelas dua, menjadi ketua OSIS. Selain itu, dia juga aktif di Pramuka. Dalam berbagai kegiatan sekolah, dia selalu aktif dan ikut partisipasi.

Meski tak dalam satu organisasi, saat itu aku lebih aktif di Palang Merah Remaja (PMR), kami selalu bertukar pendapat tentang pengalaman di organisasi masing-masing. Dia teman yang enak diajak bicara. Tapi, juga teman yang tak bisa terlalu dekat dengan pria. Rasa-rasanya, selama tiga tahun sekolah, tak pernah terdengar dia pacaran. Padahal, banyak sekali yang tertarik dan naksir dia.

Dalam bidang akademik, Zakiyah termasuk anak yang cerdas. Kelas satu dia juara kelas. Bahkan, untuk tingkat sekolah, dia masih termasuk juara. Tak heran ketika lulus sekolah, pada 1990, dia mendapatkan kesempatan kuliah tanpa tes masuk atau PMDK, pada Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang, Jawa Tengah.

Setelah itu, aku tak mendengar cerita tentang Zakiyah Darajad. Aku sibuk mencari hidup dan menempuh pendidikan di Jakarta.

Dari seorang teman, aku mendapat kabar, dia aktif di sebuah pengajian. Setelah itu, dia pakai jilbab, dan menutupi wajahnya dengan cadar. Kabar terakhir, dia meninggalkan kampus dan semakin aktif di pengajiannya pada semester VI di Undip. Kabar terakhir lagi, dia menikah dengan seseorang. Kabar terakhir, suaminya, Imam Samudera, merupakan salah satu pelaku bom di Legian, Bali. Kabar terakhir lagi, Imam Samudera bakal dieksekusi mati.

Yang ingin aku tanyakan sekarang, bagaimana kabar terakhirmu, Zakiyah Darajad?□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 5 November 2008
Foto oleh Harian Suara Merdeka.

3 comments :

Mugiyanto said...

Bung Muchlis

terima kasih telah membawaku ke jl kartini.

aku tunggu tulisannya yg lain

mugi

Tigor said...

Rumahnya dekat rumah saya, Mas...
Di Komplek Pasir Indah, daerah Cinanggung, Serang. Mungkin kalau Mas kesana, beberapa orang bisa tunjukkan rumahnya.

Unknown said...

Engkau sahabatku tetap sahabatku