Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Pontianak.
Riri, nama panggilannya. Kini, ia sedang di pesakitan, jeruji besi di Polsekta Pontianak Utara, beberapa waktu lalu. Di ruang pengap dan gelap itu, ia bagaikan pungguk merindukan bulan. Ia merindukan anaknya.
Anaknya bernama, Septi Ramadani (1 tahun). Ia anak satu-satunya. Dengan menjadi pesakitan, praktis ia jadi jauh dengan anaknya. Riri tak bisa memeluk dan menimangnya. “Saya selalu menangis jika ingat wajahnya,” kata Riri. Ia tinggal di Perum II, Jalan Kom Yos Sudarso, Pontianak.
Apalagi menjelang tengah malam. Sebelum memejamkan mata, ia hanya bisa berdoa, semoga anaknya selalu baik-baik saja.
Septi anak yang manis. Wajahnya halus. Biasanya, menjelang malam hari, ia selalu memangku dan menggendong anaknya dipangkuan. Setelah itu, sang anak bakal tidur dan terlelap.
Pada hari itu, saya mampir ke ruangannya. Seperti biasanya, saya selalu mencari berita di setiap polsek. Saya menyapukan pandangan ke ruangan itu. Hanya terlihat gelap dan pengap. Ia mendekam di sana. Wajahnya terlihat kusam.
Lalu, ia mulai bercerita. Semenjak bercerai dengan suaminya, Adi Arwan, setahun lalu, hidupnya sebatang kara. Ia sempat bingung, bagaimana cara membesarkan anak. Hanya cukup makan, tidak mampu membeli susu.
Ia tidak bekerja. Hanya ibu rumah tangga. Untuk mencukupi hidupnya, ia biasanya dibantu kakaknya, Ade. Sang kakak tinggal tiga puluh meter dari rumahnya. Biasanya ia mengantarkan beras, dan lauk pauk.
”Sedih melihat anak yang jarang minum susu,” katanya.
Kalaupun minum susu, bisa dihitung dengan jari. Itu pun dari belas kasihan tetangganya. Yang kebetulan mempunyai anak seusia dengan anaknya. Bahkan, tak segan-segan Riri mengemis kepada tetangganya, meminta sesendok susu dari tetangganya.
Ketika itu, pagi baru saja beringsut. Matahari pagi menyingsing. Riri kebingungan. Septi menangis. Anak itu haus. Padahal, ia tak memiliki uang untuk membeli susu.
Ibu berkulit putih, berambut panjang dan lurus ini, bingung. Hendak ke mana mencari susu. Tetangga yang biasa diandalkan, sedang keluar kota. Uang tak punya. Kalaupun ada, hanya cukup untuk ia makan dan anaknya. Sementara itu, harga susu cukup mahal.
Septi ditinggalnya. Riri pergi menggunakan oplet menuju Pasar Siantan. Ia gelap mata dan mengambil susu di sebuah swalayan. Namun, ia tertangkap basah. Ketahuan sedang mengutil sekaleng susu S-26 seharga Rp 165.000. Susu itu disembunyikan di roknya.
Kini, hidup Riri terasa hampa. Tak satu pun anak kecil dilihatnya.
Di tahanan itu, ia bersama tahanan lain, yang kebanyakan adalah pria. Mereka terlibat berbagai kasus. Sebulan yang lalu, ia dibesuk kakaknya, Ade. Untuk sementara, Septi tinggal bersamanya, sampai ada kesempatan Riri dipertemukan dengan anaknya.
Riri adalah potret buram ketidakberdayaan seorang perempuan. Yang demi anaknya, harus menanggung beban berat. Apa yang dialaminya, juga menjadi malapetaka bagi sang anak, karena harus berpisah dengan ibunya. Padahal, seorang anak, apalagi masih kecil, sangat tergantung pada orang tuanya.
Pada Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Sedunia yang jatuh pada 25 November, data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mencatat, pada akhir 2006 yang dihimpun Komnas Perempuan. Dari 258 lembaga di 32 provinsi di Indonesia, tercatat telah terjadi 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2006.
Untuk Kota Pontianak, dari data penyandang masalah sosial, untuk kategori rawan sosial ekonomi sebanyak 405 laki-laki dan 1.034 perempuan. Tuna susila sebanyak 61 laki-laki dan 476 perempuan. Anak terlantar 632 laki-laki dan 754 perempuan. Anak nakal 404 laki- laki dan 268 perempuan. Gelandang dan pengemis 227 laki-laki dan 415 perempuan. Eks narapidana 187 laki-laki dan 23 perempuan.
Hilfira Hamid, Kabag Pemberdayaan Perempuan dan Kesra Kota Pontianak mengatakan, memang selama ini kasus yang sering terjadi, kekerasan terhadap perempuan rata-rata tidak membekali diri, dikarenakan masih tergantung kepada suami. Untuk itu, perempuan perlu membentengi dengan pendidikan dan ketrampilan.
Hilfira menambahkan, biasanya kasus kekerasan yang sering terjadi kepada keluarga ekonomi menengah kebawah. Perempuan mesti memahami kehidupan rumah tangganya. Sehingga mengetahui hak–haknya sebagai ibu rumah tangga. Dengan cara itu, bakal menghambat terjadinya kekerasan.
Kekerasan perempuan untuk ekonomi menengah keatas juga sering terjadi, terutama kekerasan fisik. Ini dikarenakan, si perempuan merasa terlalu diatas. Baik dalam hal pendidikan maupun penghasilan terhadap suami, karena lebih mengutamakan ego masing-masing pasangan.
Untuk mengatasi tindak kekerasan, hal terpenting adalah pendidikan agama. “Jika pendidikan ini sudah kuat, saya yakin, kekerasan tidak akan terjadi,” kata Hilfira.
Menanggapi kasus yang dialami Riri, Hilfira mengatakan, akan memperjuangkan. Dikarenakan di dalam pengadilan nantinya, hendaknya para hakim harus mempertimbangkan latar belakang seseorang. Yaitu, dari segi ekonomi, seperti yang dialami Riri. Seorang ibu rela mencuri susu kaleng, hanya semata-mata untuk anaknya.
"Korupsi besar saja tidak ditahan, sedangkan Riri harus ditahan,” kata Hilfira.
Hilfira juga menyikapi mengenai sel ruang tahanan. Kebanyakan dari pemantauannya, ruang tahanan perempuan satu sel dengan tahanan pria. Walaupun terdapat sekat, ini akan mengganggu, terutama psikologis perempuan itu sendiri.
Bukan berarti masuk penjara, selesai permasalahan. Tetapi, bagaimana mencari jalan permasalahannya. “Sedangkan yang menjadi korban adalah anak, siapa lagi yang mengurusnya,” kata Hilfira.
Untuk itu, pemerintah berusaha membina perempuan-perempuan yang rawan terhadap masalah sosial. Salah satunya dengan menyediakan sekolah wajib bagi perempuan, khususnya Kota Pontianak. □
Foto Muhlis Suhaeri
Monday, November 26, 2007
Kasih yang Terampas
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
1 comment :
Tugas buat gubernur dan wagub baru tampaknya...
Post a Comment