Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Dia dipenuhi dengan nilai Kristiani. Nilai-nilai itu menjadi semangat dan pedoman dalam setiap langkah yang dilakukan. Segala hidup yang dijalani, tak lepas dari nilai keagamaan yang dimiliki.
Lelaki itu santun. Cara bicaranya hati-hati. Sikapnya tenang. Suara dan intonasinya terdengar datar. Sesekali senyum tergambar dari wajahnya. Ia mengenakan kaca mata. Kesan pendidik makin terlihat dari wajahnya. Begitulah memang dia adanya. Lahir dari bakat dan didikan seorang pendidik. Tak heran, bila dalam hidupnya, belajar dan terus belajar menjadi suatu sikap dan tindakan. Karenanya, tiga gelar akademis menempel pada namanya. Drs. Christiandy Sanjaya, SE, MM.
Dia terlahir dengan nama Bong Hon San. Ayahnya bernama B. Kurniadi (Bong Kui Hin). Ibunya bernama C. Tjukriati (Djong Tjuk Tjhin). Keduanya pendidik. Guru bahasa Mandarin. Ayahnya telah meninggal. Ibu, telah berusia 78 tahun.
Christiandy lahir di Singkawang pada 29 Maret 1964. Dia memiliki enam saudara. Kini, mereka berpencar. Ada yang jadi pedagang, petani jeruk, guru, dan lainnya.
Orang tuanya menanamkan tiga prinsip yang mesti dijalani dalam hidup. Pertama, kejujuran. Alasannya, Kejujuran ditekankan karena orang tua berlatarbelakang pendidik. Dengan bersikap jujur, orang menjadi percaya. Dengan kepercayaan yang diperoleh itulah, hidup bisa lebih baik. Kejujuran penting dalam menjalani hidup. Dengan kejujuran menyebabkan kepercayaan ada kepada seseorang. Hal itu sangat penting dan menjadi kunci sukses. Ia meyakini bahwa hidup di dunia tidak bisa melakukan sesuatu dengan sendiri. Orang butuh kerja sama dan bantuan dari orang lain. Nah, di situlah kalau orang bersikap jujur, orang bakal percaya. Sehingga bisa mendapat sukses.
Prinsip kedua harus terus belajar. Pada dasarnya, dari kecil sampai dewasa, orang selalu dalam proses belajar. Semakin banyak belajar, orang menjadi mengerti dan paham. Sehingga bisa membuat orang berbuat dengan tepatnya. Ketiga, kerja keras. Dengan kerja keras, sesuatu bisa dikerjakan.
“Tiga hal itulah yang selalu diajarkan orang tua. Kebetulan saya belajar di bidang pendidikan, sehingga menanamkan suatu proses belajar terus menerus dalam hidup. Kita harus mau dan terus meningkatkan diri,” kata Christiandy.
Dulu, dua orang tua sebagai guru bahasa Mandarin di sekolah Singkawang. Ketika ada pergolakan politik, banyak sekolah Mandarin ditutup. Tidak hanya di Singkwang, tapi juga di seluruh Indonesia. Pasca peristiwa penculikan para jenderal 1965, hubungan RI dan Republik Rakyat China, memburuk. Bahkan, hubungan diplomatik juga terputus. Akibatnya, berimbas pada penutupan berbagai sekolah Mandarin. Dengan ditutupnya sekolah, berarti guru-guru kehilangan pekerjaan. Kedua orang tuanya menganggur. Sehingga kedua orang tua tidak bisa mengajar lagi. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1967.
Dengan modal kecil, orang tuanya beralih profesi sebagai pedagang dengan membuka warung. Tak heran bila sedari kecil, dia sudah terbiasa dengan menjaga warung. Nilai-nilai hidup yang bisa dipetik semasa hidup di Singkawang, adalah nilai kedekatan dan kekeluargaan.
Dia tinggal di dekat Pasar Beringin. Daerah itu termasuk wilayah pinggiran di Singkawang. Ada sungai. Sawah dengan berbagai saluran airnya. Dan gerumbul pepohonan dari hutan di sekitar daerahnya.
Ada romantisme muncul dengan kondisi tempat tinggalnya. Namun, efek pembangunan dan kerusakan yang ditimbulkannya, telah merusak semua keindahan itu.
Christiandy kecil sekolah di SD Horeb Singkawang,.hingga kelas tiga. Selepas itu, keluarganya pindah ke Pontianak, pada 1973 dan tinggal di Jalan Patimura. Selepas itu, dia meneruskan di SD Kristen Immanuel Pontianak. Dia biasa kerja keras menjaga warung selepas sekolah. Karena itu, nilai yang ditanamkan adalah kejujuran dan kerja keras. Dia bisa belajar langsung mengenai sikap jujur tak hanya di lingkungan keluarga. Semasa menjaga warung, dia juga bisa belajar langsung melalui para pembeli dan masyarakat. Pada 1977, dia menamatkan sekolah dasarnya.
Sekolah menengah pertama dijalaninya di SMP Negeri 1 Pontianak. Dia menamatkan sekolahnya pada 1981. Pada 1984, dia menamatkan sekolah di SMA Negeri 3 Pontianak.
Semasa sekolah di SMP dan SMA, tak banyak kegiatan sekolah diikuti. Dia lebih banyak membantu orang tua menjaga warung kelontong keluarga.
Selepas SMA, dia masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura Pontianak. Christiandy mengambil jurusan matematika. Dia memang suka dengan matematika, sejak SMP. Nilainya selalu bagus.
Sejak SMP sudah mulai tertarik dengan matematika. Dan termasuk murid yang pintar dalam hal matematika. Menurutnya, matematika menyangkut juga dalam hal pola berpikir. Ia merasa sangat terbantu dengan pendidikannya di matematika. Banyak membantu dalam kehidupan sehari-hari. Logika dan sistematika berpikir ada dalam sistem matematika.
Walaupun saat ini lebih banyak bergerak di bidang managerial, tapi logika pengambilan keputusan sangat dibantu oleh logika dan sistem matematika. Dalam matematika ada sistem logaritma. Ada suatu sistematika dalam menyelesaikan soal. Sehingga bila menyelesaikan suatu masalah, bisa lebih efisien dari segi biaya dan waktu. “Karena kita lebih fokus dalam menyelesaikan suatu masalah. Pola-pola berpikir itu ada pada matematika,” kata Christiandy.
Semenjak kuliah, dia mulai mencari uang sendiri. Caranya, dengan menjadi pengajar di SMP Immanuel. Antara ilmu yang diperoleh langsung dipraktekkan. Dia juga mulai aktif di berbagai kegiatan kerohanian. Dengan kegiatan itu, ia memperoleh berbagai pengalaman spritual. Dia merasa bisa berbuat di pemuda gereja. Kebetulan di gereja ada persekutuan-persekutuan. Bahkan lintas gereja. Tidak hanya gereja di Kalbar, tapi juga gereja di luar Kalbar.
Christiandy juga pernah bergabung di KNPI. Ini organisasi lintas etnis dan agama. Dari sini, dia banyak belajar tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak heran, dia juga pernah menjadi Wakil Bendahara Badan Pengurus Cabang KWK-MKGR Kota Pontianak, pada 1996 – 2001.
Pada 1990, dia menamatkan kuliahnya di FKIP Untan. Namun, pada akhir semester di Untan, dia mengambil kuliah ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Panca Bhakti (UPB) Pontianak. Dia menamatkan kuliahnya pada 1997. Karena semangat untuk terus belajar, membuatnya melanjutkan kuliah di Magister Manajemen, Program Studi Magister Manajemen Universitas Tanjungpura. Dia menyelesaikannya pada 2000.
Dari perkawinannya dengan Karyanti Tjung, ia mendapatkan seorang anak. Dia memberinya nama Paulus Arkan Dhanu. Paulus adalah nama baptis. Arkan dhanu berarti, pemberian yang berarti. Sekarang ini, ia duduk di bangku kelas dua SMP Immanuel Pontianak.
Ada satu kelebihan yang dilihat dalam diri sang istri. Keluarga maupun istrinya, sangat bisa berhemat dalam hal apapun. Tak heran, sang anak pun mendapatkan nilai itu. Sang anak kalau diajak jalan kemanapun, tidak pernah minta uang jajan. Karena ajaran dari istri yang bersifat hemat itu tadi. Bahkan, ketika sekolah pun anaknya tidak pernah minta uang jajan. Istrinya selalu mengantarkan makanan ransum untuk makan siang sang anak.
Tentunya, juga nilai kejujuran, belajar dan bekerja keras dari Christiandy.
Meski begitu, Christiandy tak menerapkan aturan bahwa anak harus mengikuti apa yang ada dalam pikirannya. Dalam pikirannya, setiap orang yang dilahirkan, termasuk anaknya bersifat khas. Bahkan, detak jantung setiap orang berbeda ritmenya. Begitupun dengan sidik jari. Ada miliaran orang di dunia, namun tak ada yang sama sidik jarinya.
Karena itu, dia tidak berusaha mengatur anak untuk jadi apa. Tapi, dia mendorong apa yang terbaik bagi anak. “Dia bisa menjadi apapun sesuai dengan talenta yang diberikan Tuhan, pada dirinya,” kata Christiandy.
Istri dan keluarga hobinya di rumah. Kalaupun ada waktu, mereka bisa ke pantai. Anaknya punya kegemaran main di pantai. Pernah dibawa ke luar negeri yang ada gedung-gedungnya, tidak berkesan. Begitu juga ketika dibawa ke Jakarta, tidak ada kesan. Malah lebih senang di Pasir Panjang, Singkawang. Diajak jalan ke mal juga tak suka.
Dalam melihat keluarganya, Christiandy punya pendapat sangat religius. Menurutnya, setiap yang beriman, pasti tahu bahwa keluarga merupakan satu wujud karunia dari yang di atas. “Yang telah diberikan Tuhan. Setelah dapat istri dan anak, berarti kita harus menjaga anak dan istri kita dengan baik-baik dipelihara dengan baik.”
Keluarga mendukung karirnya. Kebetulan keluarga seiman. Setiap ada kesempatan, selalu berdoa bersama-sama. Anak dan istri juga tahu apa yang dilakukan. Istri karyawan perusahaan. Dia bekerja. Jadi, dunianya berbeda. Anak dan istri selalu mendukungnya dengan doa.
Dia tak memiliki pengarang atau buku favorite. Tergantung isinya. Kalau temanya menarik, bakal dibaca. Sekarang ini, biasanya tentang semua bidang. Selama dua tahun terakhir, karena bergerak di bidang pendidikan, tentu buku pendidikan yang lebih sering dibaca.
Begitupun dengan tokoh politik atau pendidikan. Dia tak punya tokoh favorit. Karena dia menyadari, bahwa semua itu ada titik lemahnya. Orang ada kelemahannya. Mengapa mesti menokohkan orang, kalau memang ada titik lemahnya. Kalau mau belajar tentang kelebihan, tentu saja semua orang ada kelebihannya.
Karenanya, di berbagai pengalaman dan dari apa yang biasanya dipelajari, dia menokohkan Yesus, Sang Juru Selamat. “Kita baca banyak di Alkitab, dan pengajaran Tuhan. Disitulah kita merasakan hidup,” kata Chrstiandy.
Apa kelemahan dan kelebihan yang dimiliki Christiandy? Dia memberikan jawaban terbuka. Sekarang ini misalnya, dia sedang berusaha untuk berjuang dan butuh dukungan besar. Yang pasti, kalau berjuang dengan diri sendiri, hal itu bakal sulit dilakukan. Artinya, dia menyadari banyak kelemahan. Dan masyarakat yang mendukungnya, yang menguatkannya untuk terus maju.
Begitupun ketika menjadi kepala sekolah dan menangani suatu kasus. Terkadang usulan dan masukan dari guru wali kelas, jauh lebih bijaksana daripada yang terpikir olehnya, dalam melihat suatu masalah yang sedang terjadi. “Jadi, ada suatu pelajaran. Kalau masalah dipikirkan oleh seribu orang, pasti lebih baik dari pada hanya dipecahkan seorang saja,” kata Christiandy. Ini berari kalau orang sendiri-sendiri saja banyak kelemahan.
Kelebihannya? Yang pasti, kalau dia melakukan sesuatu, harus melakukannya dengan segenap kemampuan yang ada pada dirinya. Pada saat menyadari bahwa pekerjaannya sangat besar, dia butuh ada pemikiran teman lain. Tidak boleh egois dan memaksakan pendapat sendiri. Yang penting dan menjadi fokusnya adalah hasil. Dan hasil terbaik itu seperti apa. Itu yang mesti dilakukan.
Apapaun yang dilakukan, itu dilakukan sesuai dengan kehendak yang di atas. Mungkin, kaitan dengan Pilkada, adalah Pemimpin yang Melayani. “Yang pasti berbuat terus sesuai dengan kemampuan kita,” kata Christiandy.
Christiandy selalu memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat. Ketika menjadi guru pendidik di SMK Immanuel, dia menjalani tugasnya dengan satu niatan, memberikan pelayanan kepada semua siswa-siswi dan guru. Begitupun ketika menjadi anggota DPRD Kota. Dia menjiwai pekerjaan yang dilakukannya dengan sikap melayani pada seluruh masyarakat Kota Pontianak yang telah memilihnya.
Sewaktu di Dewan Kota, ia berada di Komisi C. Dia menerapkan masalah ekonomi dan managemen. SDM yang bergerak di bidang keuangan tidak banyak. Waktu itu, banyak hal bisa diperbuatnya dalam hal ekonomi, pemberdayaan ekonomi daerah dan lainnya. Dari catatan dewan, semasa 1999-2004, PAD Kota Pontianak meningkat. Dengan peningkatan PAD, peningkatan pelayanan jadi memungkinkan.
Nah, kalaupun sekarang mencalonkan diri sebagai wakil gubernur misalnya, baginya tidak ada bedanya. Karena sama-sama melayani masyarakat. Yang membedakan hanya cakupannya. Ketika menjadi guru, dia melayani masyarakat sebagai guru. Ketika menjadi anggota dewan kota, dia melayani masyarakat seluruh kota. “Seandainya masyarakat memilih dan saya menjadi wakil gubernur, maka saya melayani masyarakat di propinsi,” kata Christiandy.
Programnya bila terpilih, “Jika kita bisa berbuat banyak untuk bidang pendidikannya, itu tentu tidak keluar dari pelayanan yang menjadi tujuannya. Saya tidak terlalu pusing untuk memikirkan masalah politiknya. Karena yang terpenting adalah masalah pelayanan masyarakat.”
Nah, ke pelayanan yang lebih luas, sehingga bisa dipahami. Dan sejauh ini tidak ada kendala apapun. Ketika memutuskan harus maju dalam pemilihan seperti ini, dia pun menjelaskan pada keluarga. Ada suatu yang lebih tinggi harus dilakukan. Dengan pengertian, ada pelayanan kepada masyarakat yang harus dilakukan.
Dia mengakui, semasa menjalani hidup tidak ada pengalaman berat terjadi. Dia belajar banyak dari ajaran, cukupkan diri kita dalam segala hal. Kebetulan dalam Alkitab, hal itu diajarkan. “Berarti kita juga mencukupkan diri dalam segala hal,” kata Christiandy.
Dia memberikan pemahamannya tentang makna dari ajaran itu dan dia mengalami dan melihat langsung. Misalnya, ketika dia menjadi kepala sekolah. Gaji Rp 1,5 juta dan istri juga bekerja. Anak hanya satu. Pada saat dia tidak puas dengan penghasilannya, dia melihat guru di sekolah yang sama, gajinya Rp 600 ribu, dengan anak lima orang.
Namun, sang guru tersebut bisa senang. Hidupnya juga bahagia. Cara mengajar penuh semangat. Di sana dia menemukan satu nilai. Bahwa masing-masng orang bisa dan mampu untuk mengelola dengan apa yang diberikan. Sesuai dengan apa yang diberikan pada yang diatas. “Intinya, pada saat kita merasa cukup, kita merasa kaya.”
Lalu, apa programnya untuk pendidikan kelak?
Menurutnya, hal yang harus dilakukan adalah menetapkan tujuan. Bahwa ini satu peluang untuk memberikan pelayanan, kepada masyarakat yang lebih luas. Kalau sudah terpilih tentu ada struktur dan undang-undang yang mengatur. Tentu ini berhubungan dengan pelaksanaan. Dan sia harus melakukannya dengan tanggung jawab. Kalau masalah yakin, ini harus dikembalikan lagi kepada rakyat.
Selama ini, dia bekerja di sekolah yang cukup bermutu dan berkualitas. Pendidikan di Kalbar, yang beranggotakan yayasan yang bernaung di tingkat nasional. Ini juga penting untuk membantu dalam penyelenggarakan sekolah yang akan dikembangkan di Kalbar.
Dalam membangun Kalbar, menurutnya banyak sumber daya yang bisa dijadikan PAD. Kalbar masih banyak yang bisa digali dari segi sumber daya alam (SDA), perikananannya, kelautannya, dan bisa digali untuk membantu pemerintah dalam hal penanaman investasi. Yang bisa membuat peningkatan ekonomi masyarakat, kesejahteraan.
Masyarakat begitu banyak. Ada lahan luas. Ini suatu potensi. Dan hal itu bisa dilakukan bagi perbaikan pertanian sehingga tak perlu impor beras. Masalah sawit, karet dan lainnya, ini juga suatu potensi. “Kalau digerakkan secara serentak bakal membuat sejahtera,” kata Christiandy. Semoga.□
Sunday, October 28, 2007
*Christiandy Sanjaya, Pemimpin yang Melayani
Posted by Muhlis Suhaeri at 11:01 AM 0 comments
Labels: Profile
Sunday, October 21, 2007
Nasionalisme dalam Sepotong Tanah, Air dan Udara
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Salah satu pendiri bangsa Indonesia, Sukarno dalam salah satu bukunya menulis, “Nasionalisme adalah, bila terjadi kemakmuran dan tidak ada penindasan satu masyarakat terhadap lainnya.” Nah, dalam rangka menyambut ulang tahun Kota Pontianak ke 236, sudahkah, kota ini membuat bangga dan rasa cinta bagi warga yang menempatinya? Mari kita lihat beberapa fakta yang menunjukkan hal itu.
Serombongan gerobak sepeda berjajar pada ruas kiri jalan. Pengendaranya berpakaian lusuh. Sebuah topi butut melindungi kepala dari terik sang surya. Sepasang sepatu telah koyak di sana-sini, melambari telapak kaki yang tak kalah dekil. Di gerobak itu, berbagai barang bekas terjajar dan menumpuk.
Seorang anak kecil melonggokkan kepalanya dari balik gerobak yang sedang berjalan. Pandangannya khas anak kecil. Riang dan gembira. Sesekali tangannya menunjuk pada sebuah tempat yang membuatnya tersenyum. Senyum tanpa dosa. Sang ayah menanggapi, sambil tetap mengayuh pedal gerobaknya. Dia coba menyenangkan buah hatinya dengan respon. Senyum yang tertahan.
Sore itu, dua generasi ini baru saja menyelesaikan sebuah tugas. Mengumpulkan barang bekas dan berbagai sampah. Ya, dari barang bekas itulah, mereka menggantungkan hidup, demi sebuah cita bagi hari esok.
Seperti sebuah aliran air, rombongan gerobak sepeda itu terus bergerak. Pada sebuah tikungan di Jalan Kesehatan, Kota Baru, rombongan mengarahkan stang sepedanya. Rombongan berhenti pada sebuah “komplek” rumah papan. Di area yang tak lebih dari 10 x 20 meter ini, puluhan kepala keluarga berjejal dan tinggal. Sungguh pemandangan yang mengiriskan hati. Inilah rumah para pemulung yang biasa berkeliling dengan gerobak sepedanya ke seluruh Kota Pontianak.
62 tahun kemerdekaan, tak menyisakan sebentuk hasil pembangunan pada nasib mereka. Pemukiman mereka kumuh dan tak teratur. Anak hidup dalam lingkungan tak sehat. Tak ada sumber air bagi kehidupan mereka. Air hanya didapat dari kemurahan alam, melalui hujan. Sanitasi buruk. Rumah papan dengan celah dan lubang mengangga di mana-mana. Untuk mandi, mereka mengandalkan air parit yang ada di depan komplek. Parit sedalam setengah meter dan lebar satu setengah meter itu, menjadi tempat mandi dan mencuci. Itu pun kalau airnya tidak kering.
Komplek rumah pemulung itu, tentu saja bukan satu-satunya komplek kumuh dan tak mendapatkan fasilitas air dan sanitasi di Pontianak. Masih banyak lagi komplek serupa dengan kondisi yang sama.
Bicara mengenai sanitasi, ada beberapa elemen dalam hal sanitasi. Sanitasi berhubungan dengan pembuangan air kotor dari rumah tangga, perdagangan dan industri. Dalam masalah sanitasi, harus dipikirkan bagaimana mengatasinya masalah air kotor tersebut.
Hal ini penting, karena pembuangan air kotor yang baik, bakal menjamin kesehatan masyarakat dan lingkungannya. Dalam hal pembuangan air kotor, mesti memperhatikan seberapa kualitas buangan air yang dihasilkan, dan kwantitas atau jumlah air kotor yang dibuang.
Bicara mengenai sanitasi, juga berhubungan dengan bagaimana pengelolaan sampah dilakukan. Sampah merupakan masalah klasik setiap kota di belahan dunia manapun. Masalah sampah di perkotaan, berhubungan dengan pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan yang dilakukan terhadap sampah.
Ada tiga sumber sampah. Sampah rumah tangga, perdagangan (termasuk pasar), dan daerah industri. Sampah dari tiga daerah itu tentu saja berbeda. Dengan mengetahui asal sampah, bakal memudahkan pengumpulan sampah.
Pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan sampah saling berkait. Ketiga hal itu berhubung. Contohnya, Pemkot Pontianak memiliki mesin pengolahan dan angkutan sampah. Namun, pengumpulan sampah tidak dilakukan dengan baik. Akibatnya, sampah bertebaran di sepanjang jalan. Seperti, di Jalan Purnama, Veteran, Komyos Sudarso, dan lainnya. Di daerah ini tidak ada penampungan sampah sementara. Kondisi ini makin diperparah dengan tidak disiplinnya masyarakat membuat sampah. Jadilah, Pontianak sebagai gudang sampah. Di mana-mana ada sampah berserak di sepanjang jalan.
Kita juga tak habis pikir, penanganan terhadap air bersih. Bagaimana tidak, Pontianak khususnya dan Kalbar pada umumnya, dialiri sungai-sungai besar. Sungai ini mengalirkan air setiap tahunnya. Namun, untuk mendapatkan air bersih, susahnya setengah mati. Kualitas pengolahan air yang dilakukan Perusahaan Daerah Air Minum Daerah (PDAM), pun kurang maksimal. Air masih keruh dan tak siap pakai. Hasil pengolahan air kurang maksimal. Padahal, teknologi pengolahan air, tidak menggunakan teknologi tinggi.
Tak tersedianya air bersih, tentu saja berimbas pada produktifitas penduduk. Masyarakat jadi kurang produktif. Hal ini berimbas pada peningkatan ekonomi. Begitu juga dengan munculnya penyakit. Berbagai penyakit susulan juga muncul, akibat buruknya kualitas air bersih.
Tak tersedianya air juga berimbas pada mahalnya biaya hidup. Bayangkan saja, bila dalam keseharian kita minum air mineral. Satu galon air mineral seharga Rp 22.000 (di Jakarta merk yang sama seharga Rp 8.500). Untuk keluarga dengan jumlah empat orang, air itu habis sekitar 4-5 hari. Dalam sebulan, kalikan saja uang yang harus kita keluarkan untuk membeli air minum.
Kehidupan kota tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan penyediaan energi listrik. Listrik menjadi salah satu infrastruktur yang penting bagi segala aktifitas. Dengan kurangnya pasokan energi listrik, sebagus apapun Pemkot melakukan promosi terhadap kota Pontianak, hasilnya bakal sulit mendatangkan investor. Padahal dengan semboyan ”Pontianak Kota Khatulistiwa Berwawasan Lingkungan Sebagai Pusat Perdagangan dan Jasa Bertaraf Internasional” bakal sulit dicapai.
Jangankan untuk Kota Perdagangan Bertaraf Internasional, Kota Perdagangan Antarpulau pun bakal sulit. Hal ini makin diperparah dengan posisi pelabuhan yang berada di alur sungai Kapuas. Untuk menjangkau Kota Pontianak, kapal harus masuk ke hulu sungai sejauh 25 km. Kondisi makin parah dengan pendangkalan yang terjadi pada alur sungai. Keberadaan pelabuhan juga menyulitkan kapal dengan tonase besar masuk ke pelabuhan. Belum lagi, posisi kapal ketika menyandar. Posisi sandar tidak diikuti dengan berbagai pembangunan gudang pelabuhan. Bongkar muat kapal dilakukan di sepanjang Jalan Komyos Sudarso, sementara keberadaan gudang-gudang berada di Siantan. Hal ini membuat biaya tambahan bagi perusahaan untuk transportasi yang dilakukan.
Begitupun dalam halm pembangunan yang dilakukan. Pembangunan yang dilakukan, semestinya tidak tambal sulam. Sebagai contoh, untuk membangun jalur transportasi darat, Pemkot melakukan penimbunan terhadap berbagai parit di Pontianak. Pada awal tahun 70-an, Pontianak dikenal sebagai Kota Seribu Parit. Sekarang ini, parit-parit itu telah banyak yang ditimbun dan dijadikan jalan raya, pertokoan atau rumah.
Padahal, fungsi parit sanagt vital sekali. Parit merupakan sarana pembuangan air dan saluran drainase yang baik bagi kota. Parit juga berfungsi sebagai sirkulasi dan cara membersihkan kota dari berbagai sampah yang ada, secara alami. Dengan parit, lingkungan kota juga menjadi sehat, karena bisa membuat sirkulasi air. Pontianak yang berupa rawa, butuh sirkulasi yang baik. Salah satunya dengan pembuatan parit sebagai drainase.
Sekarang ini, orang banyak beranggapan, perkembangan Kota Pontianak semakin maju. Hal itu bisa dilihat dengan munculnya berbagai bangunan modern di kota ini.
Hal itu ada benarnya. Namun, pembangunan berbagai gedung baru, seharusnya tidak menggusur atau merobohkan gedung-gedung yang bersejarah. Dengan hilangnya bangunan bersejarah, hilang juga budaya suatu masyarakat.
Pembangunan bangunan pusat perbelanjaan modern, hendaknya juga tidak menggusur pasar-pasar tradisional yang sudah ada. Bagaimanapun, setiap sentra ekonomi memiliki pangsa pasarnya sendiri. Selain itu, dengan memberikan kesempatan pada para pelaku ekonomi kecil mengembangkan perekonomiannya, bakal menguatkan sistem perekonomian masyarakat.
Pemkot harus berusaha membina dan menghidupkan pasar tradisional. Kalaupun pasar tersebut kurang bersih, tidak bisa langsung digusur atau dibongkar. Malah sebaliknya, Pemkot harus melakukan pembinaan dengan memberi berbagai kemudahan dari segi fasilitas, sarana dan prasarana.
Dari berbagai kondisi dan realitas yang ada itulah, seharusnya menjadi satu refleksi kita bersama, untuk membangun Kota Pontianak, kedepannya.
Bagaimanapun, nasionalisme tidak hanya bersifat sloganistik dan bersifat mengilusi saja. Nasionalisme dan cinta pada tanah air, kota, dan tempat yang kita tinggali, tidak lepas dari pemenuhan berbagai kebutuhan dan hajat hidup orang banyak.
Bagaimana kita bisa bicara tentang nasionalisme, bila tanah yang kita tempati selalu digusur. Air yang kita minum mahal sekali. Udara yang kita hirup, selalu penuh dengan debu dan kabut asap.□
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 21 Oktober 2007
Foto Lukas B. Wijanarko
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:47 AM 0 comments
Labels: Essai
Friday, October 19, 2007
Bulan Bahasa, SMA Santo Paulus Pontianak Gelar Diklat Jurnalistik
Oleh: Herkulanus Agus
Niat SMA Santo Paulus Pontianak untuk membimbing siswanya meraih prestasi dalam semua bidang bukan hanya semboyan. Terbukti bulan bahasa Oktober ini tidak disia-siakan. Kreativitas mereka munculkan lewat Pendidikan Kilat (Diklat) Jurnalistik yang merupakan kerja sama dengan harian Borneo Tribune. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama 3 hari, yaitu 18, 19 dan 20 Oktober 2007.
“Kita berharap acara ini bisa memberikan bekal bagi siswa-siswi, khususnya yang ikut ekstra Varia,” ungkap Kepala SMA Santo Paulus Pontianak Drs. Raden Yusepha ketika membuka kegiatan secara resmi di ruang perpustakaan SMA Santo Paulus, Kamis (18/10) kemarin.
Ia berharap dengan dilaksanakan Diklat jurnalistik bisa membuka wacana berpikir siswa, khususnya redaksi majalah varia. Sebab beberapa tahun terakhir media tersebut sempat vakum.
“Baru beberapa bulan kemarin Varia beroperasi kembali, sehingga perlu terus dihidupkan dengan motivasi,” terangnya.
Kegiatan Diklat Jurnalistik mendapat tanggapan positif dari para pemateri hari pertama. Muklis Suhaeri, Tanto Yakobus, Stefanus Akim dan Herkulanus Agus.
Menurut Stefanus Akim yang memberikan materi jurnalistik dasar. Cukup banyak tahapan yang mesti dilalui dan perlu dipahami dari para calon reporter terutama dari teori. Akim panggilan akrabnya menyampaikan apa arti jurnalistik, bagaimana cara bekerja jurnalistik, teori dasar jurnaliastik, 5 W + I H, hingga contoh-contoh lead. Teori yang disampaikan melalui proyektor tidak menyita waktu lama. Sebab siswa diberikan kesempatan yang luas untuk bertanya mengulas tentang dunia wartawan. Pola mendidik orang dewasa diterapkan saat itu. Bagi yang ingin tahu banyak tentang jurnalistik tentu berusaha menggali lewat pertanyaan.
Misalnya Diana Wong yang meminta tanggapan tentang minimnya orang tertarik menjadi wartawan. Mahesa Romulo yang berpandangan tugas jurnalistik suka mencampuri orang lain. Niko tentang tugas peliputan di medan perang dan resikonya. Hilaria tingkatan dan jenjang wartawan. Meliani dan Lidia tentang kesan dan pengalaman selama menjadi wartawan serta Ida S motivasi menjadi wartawan.
Dengan dibukanya dialog, siswa-siswi lebih tertarik menyampaikan pandangannya terhadap dunia jurnalistik yang mereka lihat. Dunia jurnalistik yang masih sangat awam bagi orang banyak. Secara bergantian Stefanus Akim, Muhlis Suhaeri dan Tanto menjawab pertanyaan.
Menurut Tanto jurnalis dilindungi oleh undang-undang di dalam melaksanakan tugasnya. Memberikan hak publik untuk ingin tahu. Termasuk aktivitas pejabat publik, tindak tanduk serta figurnya ketika memimpin. Pejabat publik mempunyai nilai berita yang lebih besar dari masyarakat biasa. Misalnya ketika gubernur digigit anjing, tentu berbeda jika yang digigit anjing orang biasa.
Muhlis si penulis buku Benjamin S dan Novel Tanpa Huruf R, bercerita banyak tentang penulis-penulis yang sukses. “Kunci menulis awalnya adalah membaca, dengan membaca orang tentu lebih berwawasan dan wawasan itu dituangkan dalam bentuk tulisan,’ paparnya.
Muhlis juga menjelaskan tugas seorang jurnalis di medan perang.
“Jurnalis harus pandai melindungi dirinya, tahu menempatkan kondisi. Itulah salah satu jurus ampuh,” terang penulis yang sudah banyak makan asam garam.
Para pemateri juga mengungkapkan suka duka menjadi wartawan. Bisa keliling dari wilayah lokal hingga luar negeri. Pekerjaan jurnalis adalah profesi yang penuh tantangan. Setelah mendapatkan teori siswa diwajibkan untuk menulis. Pengalaman pribadi, pengalaman di sekolah yang akan di koreksi hari ini, oleh pemeteri Asriyadi Alexander Mering.
Guru Bahasa Indonesia Bruder Gerardus, MTB dan Wakasek Kesiswaan SMA Santo Paulus Drs. Arif Budi Putranto, berharap kegiatan tersebut dapat memberikan manfaat bagi siswa. Agar siswa mempunyai bekal di dalam tulis menulis.
“Kita juga ingin belajar lebih jauh di Borneo Tribune termasuk semua prosesnya,” papar Bruder Gerar bersemangat.
*Edisi Cetak Borneo Tribune 19 Oktober 2007
Sunday, October 21, 2007
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:51 AM 0 comments
Thursday, October 18, 2007
Profil Akil Mochtar
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
NAMANYA AKIL Mochtar. Dia anggota DPR RI dari Komisi III. Akil juga calon gubernur Kalbar pada Pemilu Gubernur pada 15 Novemver 2007. Akil berpasangan dengan AR Mecer. Mecer pernah menjadi anggota MPR RI, sebagai utusan golongan periode 1999-2004. Mecer juga aktivis gerakan pemberdayaan ekonomi kerakyatan Pancur Kasih. Gerakan itu biasa disebut Credit Union (CU). Gerakan ekonomi ini cukup massif dan bekerja kongkrit dalam hal pemberdayaan ekonomi kerakyatan.
Pasangan ini mendeklarasikan diri di GOR Pangsuma, Pontianak pada 7 April 2007. Ada delapan partai pengusung mendukungnya. Partai tersebut tergabung dalam Koalisi Rakyat Kalbar Bersatu (KRKB). Delapan partai ini memperoleh 288.578 suara atau 15,08 persen. Delapan partai pengusung itu PPDK, PNBK, PKPI, PPDI, PBB, Pelopor, PSI, dan PPNUI.
Pada Selasa (21/8), Akil dan Mecer menjadi pasangan pertama yang mendaftar di KPUD Kalbar. Selepas pendaftaran, di hadapan para jurnalis, Akil berharap pelaksanaan Pilkada, berlangsung dengan adil, jujur, langsung, bebas dan demokratis. Dia ingin bersaing secara sehat. Karena inilah saatnya, gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Mengapa dia ingin mencalonkan diri sebagai gubernur, karena tidak bisa dipisahkan kepeduliannya terhadap berbagai masalah di Kalbar. Masalah itu, salah satunya adalah kemiskinan. Mereka harus ditolong dari kemiskinan, kata Akil. “Karenanya, jabatan yang ingin diraih bukan untuk suatu kekuasaan. Tapi untuk seluruh rakyat Kalbar,” kata Akil.
Kedua pasangan ini mengusung isu pendidikan, kesehatan, mengentaskan kemiskinan, perbaikan infrastruktur, perbatasan, pemekaran wilayah, dan lingkungan hidup. Setelah cabut undi, pasangan calon gubernur dan wakil ini mendapat nomor urut 3. Angka 3 diberi lambang dengan menjentikkan tiga jari. Simbol itu juga diidentikkan dengan lambang anak muda. Metal.
AKIL TERLAHIR dengan nama Rachmat Abdillah. Rachmat mempunyai makna karunia atau belas kasih. Abdillah berarti hamba Allah. Orang tuanya memberi nama itu dengan harapan, anaknya merupakan seorang sosok manusia yang akan selalu mengabdi pada Allah SWT. Dia terlahir pada bulan Ramadhan. Tepatnya, 18 Oktober 1960.
Hampir seluruh anggota keluarga, kedua orang tua maupun kakak-kakaknya, memanggilnya Bujang. Sampai sekarang pun, orang-orang tua di kampung kalau ketemu Akil selalu menyebut dengan Bujang Akil. Itu panggilan kasih untuk Akil. Ini hanya orang-orang tertentu saja. Cara mengucapkannya sama seperti kata Ujang.
Oleh pamannya yang bernama Den Mahmud, dia diberi nama Muhammad Akil. Den Mahmud saudara ibu Akil. Orang tua perempuan Akil dari Sambas. Jadi saudara ibunya kawin dengan Den Mahmud. Pekerjaannya guru mengaji dan guru silat di Putussibau.
Nama Muhammad Akil sebenarnya merupakan nama saudaranya yang kebetulan abangnya sendiri, dan berpangkat kapten. Den Mahmud ingin mengambil berkat dari nama itu. Orang yang biasa juga dipanggil Syeh Mahmud memang paling sayang dengan keponakannya.
Den Mahmud terbilang “ngotot” dan tetap memanggil bocah kecil itu, sesuai pemberian namanya. Akhirnya, hampir seluruh keluarga ikutan dengan memanggilnya Akil. Ketika bocah kecil itu mulai masuk sekolah, keluarga dekat bernama Syawaludin biasa dipanggil Bujang Syawal, mendaftarkannya ke sekolah dengan nama; Muhammad Akil.
Kedua orang tua tidak mempermasalahkan, nama Rachmat Abdillah diganti Muhammad Akil. Toh, saudara sendiri juga yang mengganti. Dan nama itu pula yang mengangkatnya.
Ya, kenyataannya, bocah kecil bernama Muhammad Akil, sekarang ini merupakan salah satu anggota DPR RI. Yang mewakili Kalimantan Barat di Gedung Wakil Rakyat, Senayan. Ia maju melalui Partai Golkar.
Pada Pemilu 1999, Akil memperoleh 157 ribu dari 185 ribu suara yang diperebutkan. Dia mewakili daerah pemilihan Kabupaten Kapuas Hulu dan memperoleh 85 persen suara. Akil menjadi anggota DPR RI di Komisi II, membidangi omisi pemerintahan dalam negeri, otonomi daerah, aparatur negara, dan agraria. Pasangan kerjanya adalah menteri dalam negeri, mentreri negara otonomi daerah, menteri sekretaris negara, menteri pendayagunaan aparatur negara, kepala kepolisian negara, kepala BPN, KPU, KPKPN termasuk KPK. Semasa di Komisi II inilah, ia turut serta memekarkan 97 kabupaten dan 6 propinsi baru di Indonesia.
Beberapa kabupaten dan kota di Kalbar, yang dimekarkan antara lain; Kabupaten Melawi, Sekadau, dan Kota Singkawang. Pemekaran Kabupaten Kayong Utara dan Kubu Raya juga tak lepas dari peran yang dilakukannya.
Pada Pemilu 2004, ia terpilih kembali dengan perolehan suara terbanyak dari semua calon anggota DPR RI di Kalbar. Akil memperoleh 127 ribu suara. Angka itu merupakan suara terbanyak dari 10 anggota DPR RI. Termasuk mengalahkan suara Ketua Golkar kala itu, Drs. Gusti Symasumin. Periode kedua, ia duduk di Komisi III, yang membidangi komisi hukum HAM, perundang-undangan, dan keamanan. Sejak dulu, ia turut serta dalam membuat berbagai produk perundang-undangan. Diantaranya, UU Perlindungan Saksi UU, UU PT, dan lainnya.
Akil dikenal dan sering muncul dalam pemberitaan media massa. Seperti, koran, majalah, radio, dan televisi. Berbagai masalah yang menjadi tugas dan kewenangannya di DPR RI, menjadi bahan kajian dan topik permasalahan. Sikapnya yang terbuka dan blak-blakan, terkadang membuat pernyataannya menjadi kontroversi dan bahan perdebatan. Akibat sikapnya itu pula, berimbas pada perjalanan karir politiknya. Banyak orang merasa “gerah.”
Sikap ini pula yang mengakibatkan ancaman hingga pemberhentian dari anggota DPR RI. Ia dianggap terlalu mengkritik. Sikap kritis itu dilakukannya, karena ia berpegang pada prinsip yang tak bisa ditawar.
Bagi orang yang mengenalnya, Akil punya sikap welas asih dan suka membantu. Dia peduli dengan sesama. Doa dalam namanya, mewujud dalam tindakannya.
AKIL LAHIR di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu. Kota Putussibau merupakan ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu. Bila ditilik dari namanya, nama ibu kota kabupaten terdiri dari dua suku kata. Putus dan Sibau. Putus berarti tidak terhubung lagi. Sibau adalah nama sungai yang melewati kota Putussibau. Di kota inilah, sungai Sibau bertemu dengan sungai Kapuas. Sibau juga merupakan nama sejenis buah yang bentuknya seperti rambutan.
Banyak orang beranggapan, nama Putussibau identik dengan kondisi kota, yang terputus dari dunia luar. Kala itu sarana transportasi dan angkutan, hanya mengandalkan sungai. Dan ketika musim kering, sungai menjadi dangkal dan tak bisa dilewati. “Kalau kemarau bisa lima-enam bulan. Makanya, nama kota ini Putussibau. Kalau sudah putus, putus sekali gitu bah,” kata Asnah Mochtar, kakak tertua Akil. Sibau merupakan sungai kecil di dekat pasar pagi, Putussibau.
Menurut Dr Anton W. Nieuwenhuis dalam bukunya, “Di Pedalaman Borneo, Perjalanannya dari Pontianak ke Samarinda 1894,” berkat pelayaran kapal api, harga-harga di Putussibau tidak terlalu jauh dengan di Pontianak. Dan orang Cina telah menjadi pedagang perantara bagi perekonomian di daerah tapal batas itu.
Pada 1960-an ke atas, orang mulai menggunakan perahu Bandung. Perahu ini biasanya milik pemerintah daerah Kapuas Hulu atau pengusaha. Dengan perahu ini, waktu tempuh sekitar 2-3 mingguan. Dengan teknologi yang semakin berkembang, sekarang ini orang bisa menempuh 4-5 hari, untuk menyusuri sungai Kapuas.
Ketika musim kemarau tiba, air sungai Kapuas tidak bisa dilayari perahu Bandung. Akibatnya, masyarakat terisolir. Segala bahan kebutuhan tidak tersalurkan. Kondisi itu menempa masyarakat. Mereka terbiasa menghadapi ganasnya kondisi alam. Begitulah Kapuas Hulu. Alamnya keras. Karenanya, masyarakat terbiasa berjuang dan mandiri.
Untuk membuka keterasingan dari dunia luar, pada masa Drs. H. Abang Mohammad Djapari menjabat sebagai bupati Kapuas Hulu, pemerintah membuat jalan darat yang menghubungkan Kabupaten Kapuas Hulu dengan Kabupaten Sintang, pada 1985.
Menurut H. M. Syahaldin Husman, meski alam Kapuas Hulu keras, namun orangnya patuh pada aturan dan menjunjung tinggi adat istiadat. Yang namanya kekurangan sandang dan pangan, menjadi hal biasa. Masyarakat terlatih memenuhi kebutuhan hidup dari alam sekitar. Mereka bercocok tanam dan berladang. Didikan alam menempa masyarakat untuk bekerja keras.
Putussibau, merupakan kalimat yang ditakuti pegawai negeri pemerintah atau swasta. Karenanya, bila ada pegawai yang dianggap membangkang atau kurang produktif, akan dipindah ke sana. Mereka akan minta ampun pada atasannya. Dipindah ke Putussibau, berarti harus siap-siap dengan keterasingan. Bahkan, ada semacam anekdot, “Lebih baik putus cinta, dari pada Putussibau.”
Keluarga Sederhana dan Disiplin Tinggi
KETIKA MENJADI reporter di Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT), 2001, saya berkesempatan melakukan wawancara untuk rubrik Apa dan Siapa Tempo. Saya wawancara dengan 50-an tokoh di bidangnya. Tokoh itu dari berbagai bidang. Beberapa di antaranya para pucuk pimpinan serdadu, Endriartono Sutarto (Panglima TNI), Marsekal Muda TNI Graito Usodo (Kapuspen TNI), Laksamana Bernard Kent Sondakh (KASAL). Agamawan, Hasyim Muzadi, Mustofa Bisri, Habib Rizieq, Ja’far Umar Thalib. Pengacara, Amir Syamsuddin, Albert Hasibuan, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Hendardi. Aktivis, Munir, Bambang Widjoyanto, Budiman Sudjatmiko, Dita Indah Sari. Sutradara film, Aria Kusumadewa, Riri Reza, Rudi Sujarwo. Penulis, Taufik Ismail, Sapardi Joko Damono, Ayu Utami, Hamsad Rangkuti. Seniman, Sawung Jabo, Dolorosa Sinaga. Ekonom, Renald Kasali. Artis, Okky Asokawati, Lola Amaria, Ine Febrianti. Dan, masih banyak lagi. Saya wawancara dengan mereka minimal satu jam.
Dari wawancara itu, saya mengambil kesimpulan, keberhasilan yang mereka peroleh, tidak lepas dari didikan dan bimbingan orang tua. Hal lain adalah, semangat dan kegigihan dalam berjuang serta menekuni profesinya.
Nah, begitu pun, ketika saya wawancara dengan HM Akil Mochtar, SH. MH, calon gubernur Kalbar. Dua hal itu muncul pada diri Akil. Tak heran, bila dia berhasil dalam bidang yang ditekuninya. Ketika menjadi pengacara, nama Akil melambung hingga jenjang nasional dan internasional. Hal itu bisa dilihat ketika dia menangani kasus salah vonis, Lingah, Pacah dan Sumir. Begitu pun ketika menjadi anggota DPR RI. Akil memberi warna tersendiri dan muncul dalam berbagai pemberitaan media massa. Dia orang yang kritis dan membawa aspirasi masyarakat Kalbar yang diwakilinya.
ORANG TUA itu telah berumur 87 tahun. Namanya, Mochtar Anyoek. Badannya tidak terlalu tinggi. Sekitar 160 cm. Cara berjalannya masih tegak dan kuat. Garis-garis waktu menanda dengan jelas di tubuhnya. Menimbulkan guratan pada kening, dahi dan seluruh kulit. Di dahinya ada lebam hitam. Tanda itu seperti mengisyaratkan, dia seringkali membungkukkan punggung dan menempelkan dahinya untuk bersujud, pada sang penciptanya. Memang demikianlah adanya.
Sebuah alat membantu pendengarannya. Usia menggerogoti fungsi telinga. Dia kelahiran 22 Maret 1920. Ketika melamar pegawai negeri dan bisa diterima, umurnya ditulis lebih muda. Jadi, pada KTP-nya sekarang, tertera kelahiran Putussibau, 22 Maret 1923.
Anyoek lahir di Dusun Nanga Nyawa, Desa Bekuan, Simpang-Sejiram, Kapuas Hulu. Dia keturunan Dayak Suhaid. Keluarganya ada tiga orang. Mereka berpencar. Hanya satu orang tinggal di Nanga Nyawa.
Lelaki itu santun dan lembut penampilannya. Wajah dan sorot matanya mengisyaratkan hal itu. Di balik penampilannya yang lembut, tersimpan energi besar. Bekerja dan terus berusaha.
Dia sosok pekerja keras. Segala pekerjaan pernah dijalaninya. Bahkan, ketika usia telah menginjak senja, dia masih menggembalakan kambing dan sapi di padang rumput sekitar kampung. Saban hari, dia mengayuh sepeda dan menuntun binatang peliharaannya. Anak-anaknya tentu tidak ingin ayah mereka mengerjakan hal ini. Namun, sang ayah tidak bisa dilarang.
Apa boleh buat, terkadang anaknya sengaja merusak sepedanya. Tujuannya, agar sang ayah di rumah dan beristirahat. Sang ayah dengan segala cara mencari sepeda pengganti, dan kembali mengangon sapi dan kambingnya.
Ya sudah. Mungkin dengan cara itu bisa menghibur dirinya. Begitu kira-kira desahan yang dirasakan anaknya. Merekapun membiarkannya tetap beraktifitas. Dia pekerja keras dan ulet sedari muda.
Keluarga ini mempunyai sembilan anak. Anak pertama bernama Asnah Mochtar. Kedua, Syahril Mochtar. Ketiga, Siti Murjanah. Keempat, Dahyani Mochtar. Kelima, Fatmawati. Keenam, Muhammad Akil Mochtar. Ketujuh, Agustina Mochtar. Kedelapan, Ahmad Mulyani Mochtar. Kesembilan, Muhammad Kamil Mochtar.
Anyoek memberi nama anaknya dengan nama orang besar dan terkenal di Indonesia. Nama Syahril diambil dari Perdana Menteri Pertama Indonesia, Sutan Sahrir. Nama Fatmawati diambil dari istri Presiden Sukarno. Nama Mulyani diambil dari nama Ade Irma Suryani, karena bertepatan dengan peristiwa G30SPKI. Tapi, nama itu menjadi A. Mulyani.
Jaman dulu, keluarga sebesar ini dianggap lumrah. Meski berjumlah sembilan orang, mereka akur dan tidak berselisih. “Bagaimana ya, orang tua kalau diukur dengan pendidikan tentu sangat minim. Tapi anak bisa akur. Rasa kekeluargaan memang sudah ditanamkan sejak dini. Jadi, rasa kekeluargaan sampai sekarang masih kuat,” kata Agustina Mochtar. Seluruh keluarga memanggil Agustina dengan sebutan Anjang. Artinya, orang yang disayang.
Anyoek menjalani hidup dalam keterbatasan. Terbatas karena kondisi alam dan sistem penjajahan, yang memiskinkan rakyat secara struktural. Karena keterbatasan itulah, dia menggali potensi pada dirinya untuk bekerja keras. Tak banyak pilihan tersedia. Karenanya, apapun pekerjaan, bakal dilakoninya.
Anyoek bertemu istrinya, Junnah Ismail pada 1938. Junnah dari Kabupaten Sambas. Ayahnya seorang serdadu. Ketika bertugas ke Putussibau, dia membawa anaknya. Di Putusibau itulah, Junnah dan Anyoek bertemu. Mereka melangsungkan perkawinan pada Agustus 1940.
“Yang diingat dengan sosok orang tua adalah mengajarkan melalui prilaku. Misalnya kita diajak pergi ke ladang atau ke hutan, kita mesti bisa menyelesaikan pekerjaan yang diberikan,” kata Akil. Anyoek biasa dipanggil uwak oleh anaknya.
Akil masih mengingat hal itu. Suatu ketika, ia masih terlelap. Orang tua membangunkan untuk membantu menangkap ikan. Caranya? Dengan menyebar jaring ikan di sungai. Orang menyebutnya pukat. Akil mengemudikan sampan di belakang. Anak yang hidup di sungai, secara alamiah bisa bersampan. Anyoek memasang pukat di depan perahu yang terus berjalan pelan. Pada saat memasang jaring, biasanya mengikuti aliran arus sungai. Jaring ikut arus sungai, tapi diberi pelampung. Begitu balik mereka harus melawan arus sungai.
Namanya juga masih SD, apalagi pada tengah malam, tentu rasa kantuk menghinggap. Sehingga cara mengemudikan sampan tidak lurus dan berbelok ke sana kemari. Ketika perahu tidak berjalan lurus, memasang jaring menjadi susah.
Ketika tahu anaknya mengemudi sampan dengan mengantuk, Anyoek menggoyang sampan. Akil tercebur ke sungai. Rasa kantuk sontak hilang dan berganti rasa takut. Karenanya, dia cepat naik ke sampan sambil menangis dan menggerutu.
“Kalau kerja itu jangan sambil tidurlah,” kata Anyoek.
Dalam pikiran Akil, kenapa orang tuanya begitu kejam. Setelah besar, Akil memahami sikap orang tuanya. Ada suatu pelajaran, “Kalau kerja harus sungguh-sungguh.” Kalaupun dalam keadaan lelah dan mengantuk, harus kerja dengan benar.
Anyoek lebih banyak memberi nasehat dan jarang marah. Begitupun ketika melihat anaknya bersikap tidak lumrah. Contohnya, Akil rambutnya panjang ketika sekolah di Pontianak. Gaya rambut panjang sedang populer. Melihat anaknya gondrong jengky. Ayahnya berkata, “Apa bagusnya rambut gondrong begitu?”
Anyoek mempunyai disiplin tinggi. Dia selalu bangun jam empat subuh. Setelah mengerjakan salat subuh, dia berangkat ke kebun. Jaraknya lumayan jauh, sekitar dua kilometer. Hanya ada jalan setapak di hutan. Dia menembus kegelapan hutan dengan obor. Sesampai di kebun, Anyoek menoreh gula aren dan mengambil air legennya. Setelah itu, dia menoreh getah karet. Setelah menoreh di kebun, Anyoek pulang ke rumah, mandi dan sarapan.
Bila Mochtar Anyoek seorang lelaki lembut dan pekerja keras. Lain halnya dengan Junnah Ismail. Karakternya keras. Kalau tidak suka melihat sesuatu, akan langsung bicara. Dalam keseharian, dia lebih banyak menasehati.
Junnah posturnya tinggi. Lebih tinggi daripada sang ayah. Dia sangat ketat dengan waktu. Setiap anak mendapat jatah pendidikan. Bila sudah waktunya pulang sekolah, dan masih ada yang keluyuran, dia bakal marah pada anaknya. Cara pendidikannya keras dan disiplin.
Masa itu belum banyak hiburan. Tidak ada gedung bioskop, namun ada pertunjukan sandiwara. Televisi masuk ke Putussibau pada 1975. Itupun baru bupati dan kepala DPD. Cuma dua orang. Siarannya yang bisa diterima hanya TV3, Malaysia. Cara nonton televisi seperti layar tancap. Yang punya rumah menaruh TV di depan rumah, dan ditonton ramai-ramai.
Sang ibu menerapkan peraturan ketat. Terutama pada anak perempuan. Menurutnya, seorang perempuan dianggap tabu, bila pulang malam hari. Masyarakat menganggap, bila orang tua membiarkan anak keluyuran, mereka bakal dianggap tidak bisa menggurus anak.
“Bapak dan ibu mendidik kami dengan ketat. Misalnya, anak gadisnya tidak boleh keluar malam. Maklumlah, saat itu Kapuas Hulu masih rawan,” kata Murjanah.
Setiap anak biasanya diberi pekerjaan sesuai dengan umur dan kemampuannya. Tak heran jika anak umur belasan tahun, sudah terbiasa mencuci, mengepel, dan masak. Semua dikerjakan. Ada hirarki dalam pembagian kerja.
Kini, dari hasil didikan orang tua itulah, anak berhasil dalam menjalani hidup dan berkiprah di bidangnya masing-masing.
Memiliki Sifat Kepemimpinan Sedari Kecil
KETIKA AKIL Mochtar dalam kandungan, Mochtar Anyoek mimpi naik pesawat terbang. Jaman itu, jangankan naik pesawat, melihat pesawat lewat juga tidak pernah.
Mungkin itulah pertanda, kelak si bocah bakal menjadi orang besar. “Walaupun tidak jadi orang besar, tapi bisa mengangkat derajat keluarga,” kata Syahril.
Ketika Akil masih kecil, ada sepupu bernama Hamdi Isa, yang kebetulan sedang sekolah di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta. Dia pulang ke Putussibau. Akil berusia satu tahun dan belum pandai berdiri. Tapi, sudah sanggup duduk. Bila ada orang datang, dia memberi salam dan mencium tangan orang tersebut.
“Oh, kamu ini pintar ya. Pasti kamu jadi orang besar,” kata Hamdi Isa.
Akil tumbuh di lingkungan keluarga besar. Karenanya, terbiasa hidup kekeluargaan. Secara psikologis, dia mudah menerima siapa saja dalam pergaulan. Selain itu, lingkungan keluarga mendidik anak tidak membedakan orang.
Sebagai keluarga dengan latar belakang pegawai biasa dan anak banyak, orang tua kesulitan menguliahkan semua anaknya. “Keinginan Akil keras untuk kuliah. Pokoknya kalau dia mau, dia harus bisa. Dia tahan menderita,” tutur Murjanah.
Di mata keluarganya, Akil dikenal sebagai sosok yang keras sedari kecil. Kalau belum ketemu dengan apa yang dia mau, dia tidak akan berhenti. Orangnya berani dan tidak mudah putus asa. Maju dan maju lagi. Dia kuat sekali mempertahankan pendiriannya. Keras. Bandel tapi bukan nakal.
Ada-ada saja yang dilakukan Akil. Ketika itu dia duduk di bangku kelas lima SD. Bersama teman-temannya, dia melihat sunatan massal di rumah dinas bupati yang berjarak satu kilo meter. Acara itu diadakan untuk anak di Putussibau dan sekitarnya.
Dulu, di rumah dinas bupati ada semacam pavilion. Dan di tempat itulah acara dilakukan. Ketika mereka tiba di sana, sudah ada puluhan anak menunggu untuk disunat.
Ketika melihat banyak anak sebaya disunat, Akil tergelitik mengikuti ritual itu. Dia memasrahkan dirinya pada pisau sunat yang dipegang sang mantri. Cresshh. Maka, pisahlah ujung kulit itu.
Selesai disunat, Akil jalan kaki ke rumah, sambil memegangi celananya agak ke depan. Keluarganya tentu saja heran, kenapa anak ini berjalan sambil memegangi ujung celananya ke depan. Begitu tahu si bocah telah disunat, keluarga langsung mengadakan selamatan. Padahal, ketika itu waktunya belum dianggap tepat.
Sedari sekolah dasar, Akil menunjukkan sifat kepemimpinan. Dia selalu mengambil inisiatif dan memberi contoh baik. Ketika ada selisih paham di antara temannya, Akil mendamaikan. Dia memberi jalan keluar. Caranya? Dengan memberi nasehat pada temannya.
“Kita kan sama-sama berkawan. Hal-hal kayak begini itukan tidak baik. Di samping melanggar hukum, juga melanggar norma yang berlaku di daerah kita,” kata Rusmadin, menirukan ucapan Akil. Rusmadin kawan Akil sekolah SD di Putussibau.
Sifat khas berkawan, Akil sanggup mengatasi masalah kawan. Kalau ada teman berselisih, dia memberi pengertian. Nasehat tidak menyakitkan, dan teman bisa akur kembali. Akil dianggap sebagai panutan di kelompoknya. “Seingat saya dia tidak pernah mengajak orang untuk tidak berbuat baik,” kata Rusmadin.
Kalau ada teman minta bantu, Akil tidak pernah menolak. Dia pernah bicara, kalau ada keperluan atau kesulitan, dia meminta temannya memberitahu.
Bakat menggeluti dunia politik sudah nampak sedari kecil. Begitu ada pidato di radio, Akil mendengarkannya sampai selesai. Setelah itu baru mandi. Dan kalau ada pidato Bung Karno, dia bersila dan mendengarkan pidato itu. Dia tidak bergerser dari duduknya, meski abang atau kakaknya, memintanya mengambil sesuatu.
Selesai mendengarkan pidato dari radio, Akil akan menyampaikan pada temannya. Caranya? “Ya, kayak orang pidato. Teman-temannya duduk, dia berdiri sambil berpidato,” tutur Dahyani.
Tau Hui, teman Tionghoa semasa sekolah dasar berkomentar tentang Akil, “Orangnya pintar dari kecil dan modelnya slow saja dan tidak nakal.” Sedari kecil, Akil bergaul tidak membedakan suku dan etnis. Dia bergaul dengan orang Melayu, Dayak, Cina, Jawa, atau lainnya. Mereka bergaul tanpa membedakan etnik dan warna kulit.
Ada sikap kebersamaan dimiliki Akil sedari kecil. Untuk mendapatkan sesuatu, mereka mencari dan mengumpulkan botol. Misalnya, botol kecap, bir, dan lainnya. Setelah botol terkumpul, mereka menjual atau menukar dengan kue sagu. Kue sagu termasuk langka. Disuguhkan ketika lebaran saja. Setelah mendapat kue sagu, mereka bagi beberapa potong dan dimakan bersama. Begitulah cara mereka mendapatkan sesuatu.
Namun, kalau ada duit, Akil lebih senang membeli koran untuk dibaca. Terkadang temannya meledek, “Memangnya bisa kenyang beli koran,” kata Imamuddin. Di antara temannya, Akil termasuk suka membaca. Baca buku apa saja. Dan dia mau meminjamkan buku untuk teman.
Ketika SMP, Akil biasa biasa menjadi komandan upacara, komandan regu, membaca Pancasila, membaca UUD 45, dan janji pelajar. Bila anak lain harus membaca teks Pancasila, Akil hafal di luar kepala. Sejak kelas 4 SD, dia biasa melakukan tugas itu. Dia tidak gugup, malu atau segan menjalankan tugas itu. “Pokoknya jago di sekolah, tuh dialah. Di sekolah selalu membaca,” kata Sudirman, teman semasa SMP.
Bila guru tak datang mengajar, kepala sekolah mengantikan. Siswa diberikan soal, dan mengerjakan di kelas. Atau, murid mencatat pelajaran. Tugas itu diberikan pada Akil. Dia duduk di kursi guru dan mendikte pelajaran pada teman di kelas. Bila tidak, dia akan menulis pelajaran itu di papan tulis. Akil biasa mengerjakan tugas ini sejak duduk di bangku kelas 5, kelas 6, sampai SMP.
Sifat khas Akil sedari kecil, dia tidak suka mencampuri urusan orang. Dia punya sikap dalam belajar. Menginjak bangku kelas 3 SMP, Akil pindah ke Singkawang. Dia ikut kakaknya, Dahyani. Suami Dahyani ditugaskan ke Kota Seribu Klenteng. Akil sekolah di SMP Negeri 1 Singkawang. “Saya memang tidak lama hidup dengan keluarga, karena SMP saya sudah pergi dari keluarga untuk sekolah. Setelah sekolah juga jarang pulang ke rumah karena jauh sekali,” kata Akil. Hal itu membuat dirinya tumbuh sebagai manusia mandiri dan terbiasa menangani berbagai masalah.
Ada yang khas dari karakter masyarakat di Kapuas Hulu dalam memperoleh pendidikan. Faktor dan kondisi alam penyebabnya. “Orang di Kapuas Hulu, kalau mau berusaha harus kuat dan keras. Tahan menderitalah,” kata Syahril Mochtar. Kalaupun mereka dikirim sekolah, memperoleh biaya tidak mudah. Sebagian besar orang kurang mampu. Makanya orang berusaha apa saja, asal bisa bertahan hidup, dan melanjutkan sekolah.
Pada 1977, Akil Mochtar masuk SMA Muhammadiyah Pontianak. Karena tak mau merepotkan kelaurga, dia memilih tinggal di asrama pelajar Putussibau yang ada di Gang Belibis, Pontianak.
Akil punya kepedulian dan rasa memiliki. Mereka keliling minta sumbangan pada pada kader Muhammadiyah. Uang yang terkumpul digunakan membangun pagar mengelilingi sekolah. Kepala sekolahnya, Yakim Noor merasa salut dengan usaha anak didiknya. Yakim Noor baru saja meninggal sebulanan yang lalu.
Semasa SMA, Akil selalu jadi ketua kelas. Dia tegas menyelesaikan masalah. Sebagai wakil Budiman Taher. Begitu juga dengan kepengurusan di OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Budiman selalu menjadi wakilnya. “Dia itu selalu berusaha membantu teman dalam segala permasalahan,” kata Budiman.
Menurut Budiman, bakat kepemimpinan Akil sudah nampak dari SMA. Hal itu terlihat, ketika jadi ketua kelas maupun di kegiatan pengajian sekolah. Dalam pertemanan, Akil punya solidaritas tinggi dan membela teman. Komunikasi sosial dengan teman berjalan baik. Dia berusaha membantu teman. Ada kepedulian dalam menampung berbagai permasalahan teman. Akil punya semangat belajar tinggi. Ditengah kesibukan sebagai anggota DPR, dia sanggup menyelesaikan pendidikan S2.
Akil juga memberi saran atau ide, bila dilihatnya sistem sekolah dianggap menyimpang atau tidak tegas. Misalnya mengenai kesenian. Namun, ide dan saran tidak terlaksana karena terbentur masalah dana. Meski dalam keseharian selalu mengolok teman, tapi sebagian besar teman menurut pada Akil. Lalu, bagaimana sosok Akil di mata kepala sekolah?
“Anak ini luar biasa. Pertama otaknya luar biasa. IQ bagus. Bertato pula di tangan, kalau tak salah. Gilanya lagi, dia ini kalau ada guru tak disenangi, bakal dikerjekan,” kata Yakim Noor, suatu ketika. “Ape kata die, nurut semue. Itu hebatnya die. Kader kepemimpinan sudah tampak. Dia anaknye tuh, cerdas, kreatif, inovatif dan kritis.”
Semasa sekolah, Akil aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Semacam organisasi intra sekolah (OSIS), dan menjadi pusat kegiatan siswa. Ketika ada penerimaan siswa baru, mereka jadi panitia MABITA (masa orientasi). Akil mempelopori pengajian di sekolah. Pengajian dilakukan secara keliling. Mulai dari Kampung Kapur, Saigon, atau Sungai Raya. Pengajian berisi pengetahuan agama, pembangunan akidah dan prilaku.
Akil juga aktif menulis di Warta Kelas atau Mading (Majalah Dinding). Berbagai karya siswa ditempel di sana. Ada puisi, cerpen, artikel dan lainnya. Akil menulis apa? Puisi cintakah? “Dia tak akan bisa. Karena tidak pernah pacaran semasa SMA,” kata Budiman. Akil senang menulis cerpen. Dia tidak menulis tema cinta, tapi masalah sosial. Dia juga menulis artikel tentang organisasi, kepemimpinan dan kemuhammadiyahan.
Akil pernah mengikuti pelatihan yang diadakan Muhammadiyah selama seminggu. Dia duduk di bangku kelas 2 SMA. Dia berangkat bersama, Mirza dan M. Abduh. Acara itu diselenggarakan di Yogyakarta. Ketika duduk di bangku kelas 3, Akil mengikuti Muktamar IPM se-Indonesia di Yogyakarta. Dia bersama Mirza A. Moein dan Upikar Bujang Gofur mewakili Kalimantan Barat.
Muktamar diisi berbagai laporan pertanggungjawaban, laporan dari daerah, dan pemilihan pengurus. Sebagai ketua, Akil melaporkan pertanggungjawaban IPM Kalimantan Barat. Selama Muktamar, mereka mendapat berbagai pembelajaran, seperti masalah organisasi, pengetahuan agama, kajian Al-quran. Mereka sadar diri dan masih awam. Dengan mengikuti muktamar, membantu perspektif mereka dalam melihat suatu masalah.
Ketua Muhammadiyah, KH. AR. Fahruddin, hadir sebagai pembicara. Dia bicara mengenai keimanan, keislaman, dan tausiyah. Yang diuraikan ilmiah, dan tajam analisisnya.
Bagi Akil, kegiatan di Muhammadiyah bukanlah hal baru bagi dirinya. Dia sudah aktif di Ormas ini, sejak SMA. Dia mulai mengenal organisasi dan besar di Muhammadiyah. Loyalitasnya terhadap Muhammadiyah juga sudah terbukti.
Pengacara yang Peduli pada Sesama
AKIL KULIAH di Universitas Panca Bhakti (UPB), jurusan hukum. Dia masuk UPB pada tahun 1980. Sewaktu kuliah di UPB, Akil tinggal di asrama pelajar dan mahasiswa Kapuas Hulu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia menjadi loper dan penjual koran. Dia kerja bareng dengan Uri Rahman.
Sekarang ini, Rahman bekerja di Dinas Tenaga Kerja kantor Pemda, Palangkaraya. Mereka punya banyak pelanggan. Pagi sekali, mereka keliling Kota Pontianak dengan sepeda, mulai dari Jeruju, Jalan A Yani hingga Sungai Raya.
Semasa kuliah, Akil aktif di kegiatan mahasiswa. Dia ikut karate, kelompok studi, dan Resimen Mahasiswa. Dalam kejuaraan karate di Untan, Akil dapat medali perak. Di Menwa, Akil pernah menjabat sebagai Komandan Batalyon (Danyon) Menwa di UPB.
Sikap tegas Akil mendapat tempat di Menwa, juga kegiatan lain. “Setiap ada kegiatan mahasiswa di UPB, Akil selalu menjadi seksi keamanan. Dia punya sifat kepemimpinan di tingkatan kawannya,” kata Buyung Djumaan Rivai, mantan rektor UPB.
Setiap tahun ajaran bagi, Akil menjadi panitia Ospek, Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Dengan ospek, mahasiswa baru diberi bekal dan pengetahuan tentang dunia kampus. Ospek berlangsung dua minggu. Namun, Ospek juga jadi ajang mencari pasangan. Yang cantik bakal jadi rebutan.
“Kalau sudah ada Menwa, sudahlah. Tidak ada senyum untuk hari ini. Senyum adalah kegagalan,” kata Ramli Ramlan. Ramlan satu angkatan dengan Akil di UPB. Semua mencari perhatian. Mereka memasang pin, wing, dan berbagai atribut penghargaan di baju seragam. Tapi, kalau Akil datang, semua pada minggir.
“Dia itu raje dari rajenye di kampus,” kata Ramli.
“Biar kita tampil bagaimana, begitu Akil datang dan bicara, akhirnya yunior tidak percaya dengan yang lain. Diplomasinya hebat. Pendekatan secara pribadi bagus,” kata Tugimin.
Di akhir acara Ospek, ada pemilihan panitia. Ada panitia tercantik, terganteng dan terkutuk. Akil pernah terpilih sebagai panitia terganteng dan terbaik.
“Dia termasuk idola mahasiswi dulunya,” kata Ustin Rosma.
Akil pernah jadi Komandan Batalyon (Danyon). Dia bahkan pernah mengikuti pertukaran Menwa ke Malaysia, pada 1986. Setelah aktif di Menwa, kurang lebih empat tahun, dia sering mendapat kesempatan memimpin acara seremonial.
”Kalau acara pengambilan baret atau cara lain, dia selalu diberi kepercayaan sebagai komandan,” kata Tugimin. Bahkan, ketika tidak aktif lagi di Menwa, Akil sering diminta menyumbang berbagai pemikiran, atau tenaga. Akil juga pernah terpilih sebagai ketua alumni Menwa se-Kalbar. Dia memimpin selama lima tahun. Alasan orang memilih, karena dia selalu mengembangkan sikap kebersamaan. Tidak hanya dalam lingkup Menwa, juga di mahasiswa dan masyarakat. Akil punya prinsip mengayomi. Kalau bisa membantu, akan dilakukan.
“Akil tidak pernah membedakan,” kata Ramli. Orang dari golongan apa saja diterima, dan diperlakukan sama. “Dia punya sifat pengayom.”
Akil piawai membantu orang lain. Dia tak segan membantu warga miskin perjuangkan keadilan. Tingkat diplomasi juga tinggi. “Dan kepada siapa pun dia melayani. Apalagi pada orang kecil. Dia juga orang yang terbuka terhadap permasalahan,” kata Sabran.
Ada satu peristiwa dapat dilihat dari karakter dan sifat kepemimpinannya. Peristiwa itu terkenal dengan nama Kagulaga. Isi peraturan, jika pengendara sepeda motor boncengan, harus memakai dua helm. Peraturan menggunakan dua helm berlaku efektif pada 4 Agustus 1983. Tapi, pada 1 Agustus 1983, mahasiswa mulai demo dan minta peraturan dicabut.
Mahasiswa menolak peraturan itu. Alasannya, helm standar tidak ada, dan ekonomi masih kacau. Pemberlakuan satu helm, baru dua tahun. Selain itu, ada indikasi kolusi, antara produsen helm dengan (polisi). Ketika itu pemilik sepeda motor masih sedikit. Mahasiswa harus menumpang pada teman. Kalau peraturan diberlakukan, banyak mahasiswa kesulitan kuliah.
Mahasiswa bentrok dengan pihak keamanan di lapangan. Dandim 1207, Daud Monten, memerintahkan anak buah melempar gas air mata ke mahasiswa. Pada pukul 14.00, satu mahasiswa UPB terkena bayonet. Namun, bentrokan tak juga berhenti. Aparat keamanan memberi ultmatum. Bila demo tidak berhenti pada pukul 16.00, pihak keamanan akan bertindak.
Seluruh wakil perguruan tinggi kumpul di Rektorat Untan (rektorat lama). Mereka rapat. Suasana tegang. Rektor Hadari dan Mahmud Akil, Purek II, juga hadir. Rapat berjalan alot. Semua ingin menyampaikan aspirasi. Intinya, mahasiswa ingin Kapolda hadir di ruang rapat, dan peraturan dua helm ditunda.
Akil menolak usulan mahasiswa. Alasannya, faktor keamanan dan situasi tidak memungkinkan untuk menghadirkan Kapolda. Dia memberi usulan, “Bagaimana kalau kita bawa seluruh usulan ini, perwakilan menghadap bapak Kapolda.”
Mahasiswa sepakat. Mereka mengirim Akil, Eddy Setiawan, dan seorang mahasiswa, menemui Kapolda. Kebetulan Kapolda tak ada. Tapi, pelaksanaan helm ganda ditunda. Mahasiswa membubarkan diri. “Dari situlah orang melihat kepemimpinan dan kepiawaian Akil, selama dia menjadi mahasiswa,” kata Sabran. Dalam masalah Kagulaga, Akil mempertemukan keinginan pemerintah, pihak kampus dan mahasiswa. Dia menawarkan solusi-solusi baru dan tidak otoriter.
Meski sudah jadi pejabat dan menyelesaikan pendidikan, Akil selalu bersikap rendah hati. Bila pulang ke Pontianak dan ketemu kawan, dia tanya kesulitan teman. Kalau bisa membantu, bakal dilakukan. Dia ingat dengan teman.
“Yang jelas, di mata saya, dia low profile,” kata Sabran.
Kalau temperamennya? “Itu sih memang sudah modelnya. Gayanya dari dulu memang seperti itu,” kata Ramli. Kalau orang tak mengenal, pasti menyumpah. Padahal dia sedang bergurau. Di mata kawan, Akil termasuk tipe tidak melupakan orang atau lingkungan yang pernah membesarkannya. “Akil punya kepedulian sosial tinggi terhadap masyarakat,” kata Sabran.
Pada tahun ketiga kuliah, Akil mulai membantu dosennya, MB Panggabean, sebagai pengacara praktek. Dia mengerjakan banyak hal. Akil meniti karir sebagai pengacara dari nol. Mulai dari menyupir, mengetik, membuat konsep, membacakan berkas perkara, hingga jadi asisten pengacara dan menangani kasus. Yang berkesan bagi Panggabean, Akil tidak pernah menolak diminta mengerjakan sesuatu. Dia segera melakukan pekerjaan itu. Seringkali Akil mengerjakan pekerjaan hingga larut malam. Kalau sudah demikian, dia menginap di rumah Panggabean. Ketika itu Panggabean masih bujangan.
“Disamping pekerjaan cepat selesai dan ada laporan, Akil juga tanggap. Dalam masalah keuangan tidak terlalu perhitungan. Ada tugas pokoknya dikerjakan dulu,” kata Panggabean. Begitu pun ketika kerja, tidak perhitungan melakukan pekerjaan. Dia tidak menanyakan, bakal dapat berapa menangani suatu kasus. Pada 1986, Akil membuka kantor sendiri di Jalan Merdeka. Namanya Muhammad Akil Mochtar dan Rekan.
Pada awal Oktober 1992, Vincent Julipin, wartawan rubrik hukum dan kriminalitas harian Akcaya (sekarang bernama Pontianak Post) melakukan investigasi dan masuk ke penjara Ketapang. Dia menyelidiki kasus salah vonis yang menimpa Lingah, Pacah dan Sumir. Tiga orang ini dituduh membunuh Pamor. Mereka sudah menjalani hukuman selama 7 tahun, dari 12 tahun yang harus dijalani. Padahal, ketiganya tidak melakukan pembunuhan. Pembunuh sebenarnya adalah Asun.
Julipin mendatangi Akil di kantor pengacaranya. Dia ingin ketiga terpidana bebas.
“Bisa tidak mendampingi ketiga orang ini? Kalau tidak didampingi oleh orang yang punya kepedulian kuat, ketiganya akan terus berada di penjara,” kata Julipin. Akil langsung menyatakan kesediaannya. Tapi dia juga berpikir taktis. Ini kasus besar. Harus waspada dengan berbagai tekanan. Kasus juga berpotensi menimbulkan ketegangan. Akil menyarankan, kasus mesti ditangani suatu tim.
Julipin kebagian cari pengacara lain. Bergabunglah Tamsil Sjoekoer dan Alamuddin. Empat pengacara lain yang dihubungi Julipin, menolak secara halus. Selanjutnya, tiga pengacara tersebut mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus tersebut. Kasus ini terkenal hingga tingkat nasional, bahkan internasional. Berbagai koran nasional seperti, Kompas, Jawa Post, Suara Pembaruan, dan lainnya, memberitakan kasus ini. Bahkan, Radio BBC London membahas kasus ini dalam rubrik hukumnya.
Sebagai pengacara, ketiganya tidak bisa dibilang kaya. Karenanya, mereka patungan uang buat ikuti acara persidangan. Uang Julipin kadang dipakai juga. Maklum, jarak Pontianak ke Ketapang lumayan jauh dan sarana transportasi belum memadai. Naik kapal Ekspress Rp 75 ribu sekali jalan. Naik pesawat kecil berpenumpang 5-6 orang, Rp 300 ribu per tiket. Ketika itu, jumlah uang transpor itu termasuk besar. Jalan darat melalui Sandai, Tayap dan Tanjung, penuh lumpur. Apalagi kalau hujan. Mereka juga harus menyiapkan uang makan dan penginapan.
“Saya tidak dibayar dan tidak mendapatkan satu rupiah pun dari kasus itu,” kata Akil. Mengapa Akil mau membantu kasus ini?
“Ini komitmen kemanusiaan. Keluarga saya miskin. Ketika saya kecil, saya melihat banyak hak-hak orang desa dilanggar. Mereka tidak punya daya untuk melawan. Saya sungguh sakit melihat kejadian itu. Kalau sekarang keadaan saya lebih baik, apa salahnya kalau saya membantu orang. Lingah itu orang miskin, orang bodoh, orang yang tidak tahu hukum. Mereka pantas ditolong. Begitu saya mendengar kasus itu, saya langsung terpanggil untuk menolongnya. Kalau tidak ada orang yang mendampingi mereka, siapa lagi,” ucap Akil Mochtar, dalam wawancara dengan Kompas, 23 Desember 1994.
Selain Lingah, Pacah dan Sumir, Akil juga membantu banyak kasus pidana. Orang yang tidak bersalah, dimasukkan bui. Zaman Orde Baru memang lagi kuat-kuatnya sistem militeristik, sehingga orang bisa langsung ditangkap tanpa proses pemeriksaan. BAP juga bisa dibuat dengan cara rekayasa dan apa yang dikehendaki si aparat. Salah satunya, Sulaiman di Sanggau. Dia dituduh membunuh Babinsa di Sanggau. Selama pemeriksaan, dia terus diplasah supaya mengaku sebagai pembunuh. Akil menjadi pengacaranya. Dia membelanya tanpa minta pembayaran sepeser pun. Sulaiman akhirnya bebas dalam persidangan.
Begitu juga dengan Syarifal, biasa dipanggil Mahipal. Ketika diplasah oleh serdadu dan butuh pengacara dalam persidangan, Akil tampil membantunya. Akil tak pernah minta bayaran. “Malah, kalah ada uang, beliau memberi kita untuk uang rokok,” kata Mahipal.
Sulaiman dan Mahipal, kebetulan anggota Pemuda Pancasila (PP). Karena dibela tanpa pamrih itulah, orang-orang ini pun, siap menyerahkan nyawanya untuk membela Akil.
Akil telah begitu banyak menanamkan jasa dan kebaikan pada orang. Tak heran, bila dia memiliki pendukung yang setia dan loyal pada dirinya. Begitulah Akil Mochtar, calon Gubernur Kalbar, nomor urut 3 dan berpasangan dengan AR Mecer, ini.
Politisi dan Cendekiawan
PADA OKTOBER 1998, Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar digelar. Gusti Syamsumin terpilih sebagai ketua DPD Partai Golkar. Akil duduk sebagai wakil ketua. Pilihan terhadap Akil, tak lepas dari prestasi yang diraihnya dalam organisasi maupun pengacara. Akil Mochtar dikenal masyarakat. Itulah pertimbangan Partai Golkar menempatkan Akil di deretan pengurus harian.
Dalam wawancara yang pernah dilakukan dengan Lutfi Ali, anggota DPRD Kalbar, ada beberapa karakteristik Akil. Pertama, orangnya terbuka pada perbedaan pendapat. Kedua, Akil cukup gigih memperjuangkan keinginannya. Ketiga, Akil cukup kreatif dalam menggalang dan merangkul orang. Lutfi Ali.
“Dalam masalah pribadi, Akil juga loyal dalam berteman dan cukup solid. Dia tidak segan-segan dalam membantu teman. Rasa hormatnya dengan senior juga cukup tinggi. Walaupun kami sama-sama pengurus dan wakil, tapi dia bisa menempatkan diri bila berhadapan dengan seniornya,” kata Lutfi. Kini, Lutfi Ali sudah meninggal.
Sebagai orang baru, Akil mesti menyesuaikan diri. Pada rapat pertama di DPD Partai Golkar, dia melontarkan ide. Bagaimana menuju Partai Golkar yang reformis.
“Sebagai partai yang reformis, Golkar semestinya tidak lagi berpijak pada azaz senioritas dalam menentukan pemimpin, namun harus melihat aspek prestasi, kemampuan, dan profesionalisme. Jika azaz senioritas tetap dipertahankan, seperti budaya Golkar selama ini, maka akan timbul benturan-benturan nilai. Karena era dan masanya sudah tidak pas lagi,” ujar Akil.
Menurut Akil, hal pertama yang mesti dilakukan adalah mereformasi dari segi struktur. Struktur Golkar pada masa lalu membuat buruk citra Golkar. Struktur Golkar merupakan struktur penguasa. Karenanya, harus berubah. Keputusan tidak bisa lagi diintervensi dari luar struktur. Golkar harus menjadi partai mandiri. Karenanya, harus diikuti dengan proses pengkaderan yang baik.
Awalnya sejumlah tokoh Golkar mengalami kesulitan beradaptasi dengan Akil. Begitu juga sebaliknya. Ini lantaran perbedaan pendekatan dalam menghadapi suatu masalah atau pengambilan keputusan politik. Melakukan perubahan suatu sistem, termasuk di tubuh Golkar, tidak semudah yang dibayangkan. Untuk menerima pola reformasi diperlukan penyesuaian secara bertahap, tidak bisa secara cepat dan gradual seperti diharapkan kelompok-kelompok reformis.
“Memang dalam beberapa rapat kita pernah berbeda pandangan. Dan kita memang melihat Akil sangat demokratislah. Dia kalau menyampaikan pandangan memang berdasarkan prinsip. Tapi kalau dia merasa pendapatnya tidak mendapatkan dukungan, Akil akan berjiwa besar untuk menerimanya,” ujar Zulfadhli dalam suatu wawancara.
Meski termasuk orang baru dalam politik, Akil langsung diserahi tugas berat. Ia mewakili DPD Golkar dalam Panitia Pemilihan Daerah (PPD), cikal bakal KPU. PPD dibentuk sebagai pelaksana Pemilu di daerah. Anggotanya dari partai peserta Pemilu.
Pada Pemilu 1999 diikuti 48 partai. Sebagai satu-satunya wakil Golkar di PPD, Akil harus tahan banting. Butuh keberanian masuk di dalamnya, karena hampir semua partai menghujat dan berusaha menjegal Golkar. Akil harus berusaha menetralisir stigma yang terlanjur melekat. Golkar harus tetap bisa eksis menghadapi berbagai hujatan di PPD. Untungnya, sebagian besar anggota PPD anak muda seperti dia. Banyak juga teman yang kenal sudah lama, walaupun beda partai. Ini mempermudah kerja Akil.
“Pertimbangan pemilihan Akil untuk duduk di PPD karena Akil orang yang tepat untuk itu. Alasannya, Akil orang yang berani. Biasa berbeda pendapat dan berargumentasi,” ujar Lutfi Ali.
Pada tahun itu juga, Akil diserahi tugas sebagai wakil ketua Badan pemenangan Pemilu (Bapillu) Golkar, mendampingi Lutfi Ali sebagai ketua. Badan ini dibentuk Golkar menjelang Pemilu yang tugasnya memenangkan Partai Golkar. Melalui Bapillu segala aktivitas kampanye dan hal berkaitan dengan Pemilu digosok dan dikoordinasikan di antara anggota.
Selain itu, penggalangan massa dan mencari simpati menjadi tugas pokok badan ini. Lewat Bappilu, Akil bergerak dan menghimpun kekuatan-kekuatan di daerah.
Akil menjadi koordinator daerah (Korda) Kapuas Hulu. Tugas Korda lebih pada koordinasi partai di wilayah setempat, tetapi yang punya otoritas tetap kabupaten. Dari situlah dia menjalin simpul-simpul koordinasi dan komunikasi. Di waktu-waktu tertentu dia akan turun untuk berkoordinasi dengan kader Golkar di kecamatan, desa. Perkembangannya dirapatkan, baik menyangkut evaluasi, perkembangan politik regional, program, dan pelatihan.
“Bagi Akil, jarak tidak menjadi hambatan. Akibat jarak kan biaya. Tapi dia tidak pedulikan. Soal uang, biar gaji abislah kasarnya, asal tanggung jawab bisa jalan,” ujar Awang, rekan Akil yang menjabat Korda bidang Ekonomi dan Koperasi untuk Kapuas Hulu.
Di daerah pemilihan Kapuas Hulu pula Akil terdaftar sebagai calon anggota legislatif nomor urut pertama. Semula, Akil memang akan diplot di daerah pemilihan itu. Tapi Syamsumin tidak mengizinkan karena bisa bentrok dengan Yakobus Layang. Yakobus adalah bupati Kapuas Hulu, dari Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI) waktu Pemilu itu, dan sering dikritik keras oleh Akil.
Akil lalu mendapat daerah binaan di Sanggau. Sebulan sebelum Pemilu, Akil pindah ke daerah pemilihan Kapuas Hulu. Donatus Zaman-lah, ketua DPD Golkar, yang menyarankan Akil pindah ke Kapuas Hulu. Alasannya, Arsen mau bertarung lagi di sana, dan dia adalah orang Sanggau. Arsen Rikson waktu itu bukan pengurus DPD I. Akil mengalah. Padahal jumlah pemilih Sanggau lebih banyak ketimbang Kapuas Hulu, sekitar 600 ribu.
Hari-H pencoblosan dilaksanakan tepat waktu, yakni 7 Juni 1999. Tidak seperti dikhawatirkan banyak pihak, Pemilu berjalan damai dan lancar. Hasil final perolehan suara diumumkan oleh KPU pada 26 Juli 1999. PDI-P berhasil memenangi Pemilu 1999 dengan 35.689.073 suara. Diikuti Golkar, PKB, PPP, dan PAN, PBB, dan PK. Dari 48 partai yang ikut dalam Pemilu 1999, hanya 21 partai yang dapat menempatkan wakilnya di legislatif, sedangkan 27 partai lainnya tidak memperoleh kursi.
Kemenangan Partai Golkar ini mengagetkan banyak pengamat. Tapi toh harus diakui bahwa Golkar masih kekuatan yang harus diperhitungkan. Golkar punya sumber daya manusia yang memadai dan berkualitas. Golkar juga punya jaringan yang sudah tertata dan rapi sampai ke bawah. Dan tak kalah penting, Golkar sudah berpengalaman dalam Pemilu.
Akil dinilai mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Hasil Pemilu 1999 menggembirakan Partai Golkar Kalbar. Di Kalbar, Partai Golkar berada di urutan pertama, memang di tujuh dari sembilan kabupaten, yakni Kapuas Hulu, Sintang, Sanggau, Ketapang, Sambas, dan kabupaten Pontianak, satunya apa ya. Di Bengkayang dan kota Pontianak Golkar kalah. Arsen menang di daerah pemilihannya, dan berhak duduk di DPR RI mewakili Sanggau. Husni Thamrin menang Ketapang. Jimmi Ibrahim menang di kabupaten Pontianak. Akil menang di Kapuas Hulu. Masing-maisng duduk di nomor urut pertama di daerah pemilihan.
Di sinilah persoalan timbul: siapa yang menjadi anggota DPR RI, sementara berdasarkan akumulasi suara Golkar Kalbar hanya menempatkan tiga kursi di DPR RI?
Tujuh calon DPR yang menang di daerah pemilihan masing-masing punya hak yang sama. Timbullah friksi. Sebagai wakil Golkar di PPD, Akil menerima keberatan masing-masing calon di DPD I. Kepada mereka Akil mengatakan bahwa, “Yang menentukan (DPP) di Jakarta.”
“Saya menjadi anggota DPR ini, bukan sekadar untuk menjadi anggota DPR. Tapi tujuan lain saya adalah untuk juga mencapai S2,” ujar Akil kepada Lutfi Ali.
Dari sinilah, Lutfi melihat Akil punya konsen yang tinggi dalam masalah intelektualitas. Tidak hanya mengejar karier politik tapi juga mengejar karier keilmuan. “Dari aspek itu, Akil selain seorang politisi juga seorang cendekiawan,” ujar Lutfi Ali.□
Edisi Cetak di Borneo Tribune, 18-22 Oktober 2007
Baca Selengkapnya...
Posted by Muhlis Suhaeri at 10:05 AM 1 comments
Labels: Profile
Saturday, October 13, 2007
LH Kadir di Mata Keluarga
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
SEORANG PEREMPUAN paruh baya sedang mengaduk bubur dalam kuali. Usia tak menghalangi niatnya. Ia selesaikan pekerjaan itu hingga larut malam. Pagi sekali, ia telah beranjak dari halaman rumah. Membawa bubur, minuman, dan berbagai kebutuhan pokok. Hari itu, bersama beberapa temannya, ia menuju Gedung Olah Raga (GOR) Pangsuma.
Di gedung itu, ribuan orang sedang mengungsi. Mereka tercerabut dari rumah dan tempat tinggalnya, akibat kerusuhan sosial di Sanggau Ledo, Bengkayang. Ia langsung menuju jantung pengungsian. Ribuan manusia tumplek dalam GOR tersebut. Melihat ada yang datang, pengungsi segera menyambut. Makanan pun berpindah tangan.
Perempuan itu bernama Margaretta Maria. Ia perempuan Dayak. Ribuan pengungsi di GOR, adalah orang Madura. Ketika itu, 1997, orang Dayak dan Madura sedang terlibat konflik sosial. Konflik membuat masyarakat saling menyembelih. Tak sedikit yang meregang nyawa. Ribuan lainnya mengungsi ke berbagai tempat. Salah satunya di GOR Pangsuma Pontianak.
Ia tidak khawatir. Tujuannya adalah menolong. “Kalau kita mau menolong orang, jangan pandang siapa dia. Kalau dia butuh bantuan, harus kita tolong,” kata Margaretha, suatu ketika.
Margaretha orang yang peduli dengan sesama. Dia juga seorang organisatoris. Hidupnya digunakan untuk membantu dan berbuat baik pada sesama. Tak heran, bila ia pulang dari bepergian, sebagian besar orang yang berada di sekitarnya, bakal mendapat hadiah. Bahkan, anak tetangga pun akan kebagian.
Sayangnya, kebaikan yang memancar dari perempuan itu, terhenti oleh takdir. Ia meninggal karena kista. Kista merupakan tumor berbentuk kantung berisi cairan. Organ reproduksi yang sering mengalami kelainan berupa kista adalah ovarium (indung telur). Ia pernah mendapat perawatan dan operasi di sebuah rumah sakit di Pontianak. Namun, operasi itu tak jua membuatnya sembuh. Pada 1999, ia akhirnya kembali pada sang pencipta.
Margaretha Maria, istri dari Laurentius Herman Kadir, Wakil Gubernur, Kalbar.
SEBUAH RUANGAN sekira empat kali empat meter. Pada dua sisinya, sebuah kaca menjadi pembatas bagi ruangan. Dari ruangan ini, orang bisa memandang berbagai aktivitas di bawahnya. Kita bisa melihat counter bar, meja biliar, atau orang sedang berdansa. Ya, inilah satu ruangan di D One Cafe Ayani Megamal, lantai tiga.
Dua kali aku ke tempat itu. Pertama, menemui Alexander. Kedua, ketemu Silvia Triwahyuni. Biasa dipanggil Nunik. Keduanya dalam rangka wawancara. Alex anak pertama dari LH Kadir. Nunik, istri Alex.
Alex orang yang rendah hati. Istrinya enak diajak bicara dan supel. Dengan dua orang keluarga inilah, aku berbincang mengenai ayah mereka, LH Kadir.
Kadir lahir dari pasangan Paulus Banda dan Maria Pikai. Darah suku Kantuk Melaban, mengalir dalam dirinya. Keluarganya petani kecil ladang berpindah. Dia lahir 28 Mei 1941, di Sungai Utik, Temeru, Kemacatan Embaloh Hulu, Kapuas Hulu.
Pada 1970, dia menikah dengan Margaretta Maria. Dari pernikahan tersebut, lahir tiga momongan. Semuanya lelaki. Alexander, Yan Fransf, dan David Riyan. “Yang menarik dari sang istri, selain orangnya cantik, juga cerdas. Sejak kelas 5 SD, selalu menjadi juara kelas,” kata Kadir di http//:muhlissuhaeri.blogspot.com.
Di mata anak dan menantunya, Kadir kepala keluarga penuh perhatian. Dalam kesehariannya yang begitu sibuk, dia selalu berusaha punya waktu dan memberikan perhatian pada keluarga. Kalau ketemu anak atau menantu, dia selalu menanyakan kabar anak dan menantunya. Bahkan, untuk hal-hal kecil sekali pun. Kalau “mengontrol” anaknya dengan satu pertanyaan saja, apakah semua baik-baik saja.
Kadir tipe pekerja keras. Ia tidak suka menumpuk pekerjaan. Waktunya lebih banyak untuk melakukan kerja dari pada wisata atau jalan-jalan, misalnya. Meski lelah, dia tidak menunjukkan hal itu pada raut wajahnya. Dengan usia seperti sekarang, 66 tahun, dia masih semangat dan tidak mengeluh. Dia tidak akan berhenti, hingga semua pekerjaan terselesaikan.
Walaupun berhenti kerja, dia masih juga berpikir. Cara mengalihkannya, biasanya dia bermain dengan cucu. Kalau capek, dia akan berhenti sebentar atau tidur. Setelah bangun, segar lagi, dia akan tertawa dan bergurau lagi.
Selain pekerja keras, dia juga pemikir dan konseptor. Hingga larut malam, dia masih berpikir dan membuat konsep. Yang dipikirkan adalah masalah pekerjaan. Bukan masalah anak, karena anak sudah bisa hidup sendiri. Ketiga anaknya pun demikian. Mereka pekerja keras dan pemikir.
Kadir punya sikap adil. Ketika pulang dari suatu kunjungan, dia selalu membawa oleh-oleh. Namun, biasanya hanya menantu yang dapat. Ketiganya mendapat barang dan souvenir sama. Karena tidak mendapat bagian, terkadang anak lelakinya mengolok.
“Sudah tak ingat lagi nih, sama anak?”
“Kan kalian lelaki, bisa mencari sendiri.”
Dia orang yang demokratis dan tidak otoriter. Kadir berbaur dengan lingkungan dan bergaul dengan siapa saja. Begitupun ketika menangani masalah. Ia membicarakannya dengan keluarga. Namun, tidak sampai dalam hal teknis, karena itu bukan bidang kami, kata Alex.
Biasanya mereka tahu duluan dari media. Dan, diskusinya juga seputar berita yang ada di media. Dia merasa, secara etika moral memang tidak pantas. “Tapi beliau masih mendengarkan,” kata Alex. Bagi menantunya, mereka juga merasa bebas bicara apa saja. Tentunya dengan koridor kesopanan. “Bapak bukan tipikal mertua yang suka mengatur,” kata Nunik.
Dia orang yang punya prinsip kuat. Kalau mau menjalani sesuatu, akan dijalaninya.
Kadir jarang memberi perintah. Biasanya dia memberitahu dengan perbuatan. Dalam masalah pekerjaan, tidak mau menonjolkan pekerjaan yang dilakukan. Dia mempersilakan orang lain menilai, dan tidak terlalu suka dengan sesuatu yang digembar-gemborkan.
Dia tidak suka dengan hal-hal berbau formal. Kadir senang suasana keakraban. Kalau terlalu formal, susah untuk merespon kembali. Yang pasti, dia tak mau terlalu jelimet dengan hal-hal kecil. Dia membebaskan orang untuk berpikir dan melakukan sesuatu.
Satu hal pasti dilihat pada sosoknya, dia penuh tanggung jawab. Kalau memberitahu selalu dengan tersenyum. Tidak pernah marah.
Begitu pun dalam memahami sifat dan karakter seseorang. Dia cukup maklum dengan sifat orang. Sebagai contoh, ketika keluarga besar ini berangkat untuk makan bareng atau sekedar jalan. Biasanya yang paling lama keluar dari kamar adalah perempuan. Beda dengan lelaki. Praktis saja.
Perempuan mesti berdandan dulu. Kalau sudah begitu, para suami mulai meneriaki istrinya, untuk segera menyelesaikan dandanan. Melihat hal itu, Kadir menasihati anak-anaknya. “Eh, jangan begitulah. Namanya juga perempuan. Perlu berdandan.”
Setelah itu, Kadir menetralisir anak-anaknya dengan mengajak para anak lelakinya berbincang dan bercanda. Mereka jadi rilek. Kadir membuat orang jadi sabar.
Meski terlihat seram dari segi penampilan wajahnya, Kadir orang yang humoris. Saat pertama kali mengenalnya, Nunik sempat deg-degan dan gugup. Nunik merasa canggung. Kadir mengajaknya main scramble. Akhirnya, dia bisa merasa rilek.
Begitu kenal dengan Kadir, dia merupakan orang dengan tipikal terbuka. Pada awal keluarga Nunik juga kaget dengan sikapnya. Wajah seram, tapi sering bercanda. Sebagai mertua, dia cukup terbuka.
Dia punya perhatian dengan masyarakat kecil. Contohnya terhadap pembantu. Kadir selalu memberikan perhatian. Bahkan, dia selalu mengecek, apakah ada makanan tersedia untuk para pembantu.
Ada pengalaman unik ketika Alex dan Nunik menikah. Meski lahir di Jakarta, keluarga Nunik kuat menjalankan budaya Jawa. Karenanya, mereka memakai adat Jawa. Kadir mengikuti setiap ritual upacara dengan khusuk. Beda dengan Alex. Dia lebih sering tertawa-tawa. Ketika difoto, Kadir memakai blankon terbalik. Namun, cara blangkon terbalik itu, ternyata cara memakai blangkon gaya raja-raja Surakarta.
Kadir tidak terlalu suka dilayani dalam berbagai hal. Dia lebih suka mengambil sendiri. Oh, ya, kamukan orang Jawa. Dalam perspektif Kadir, orang Jawa selalu memberikan pelayanan. “Kalau bisa mengerjakan sendiri, beliau akan mengerjakannya sendiri,” kata Nunik.
Meski di rumah ada beberapa pembantu, kalau dia minta tolong tidak seperti memerintah.
Begitupun kalau memberi usulan pada anaknya. “Kalau memang itu baik menurut kamu, jalani dengan penuh keyakinan dan sungguh-sungguh,” kata Kadir.
Dalam hal makan, Kadir paling suka dengan ikan Jelawat, kepala ikan asam pedas, atau teri merah diberi bawang. Dia tidak senang makanan daging. Lalapan seperti, daun ubi dan pepaya, paling disenanginya. Karenanya, pas hari Sabtu, selalu dibuatkan masakan ikan asam pedas.
Kadir tidak pernah lupa minum jus buah. Dia selalu minum jus wortel, tomat, atau belimbing. Minuman itu untuk kesehatan. Dalam hal makan, Kadir makan apa adanya.
Cukup mudah menyediakannya.
Untuk membina komunikasi, keluarga ini punya kebiasaan makan bareng. Selepas makan siang, mereka menggunakan kesempatan tersebut dengan dialog. Semua orang mengungkapkan berbagai perbincangan. Kalau sudah begitu, waktu tak terasa mengalir. Biasanya, mereka berbincang di sekitar meja hingga satu jam. Tak lupa, seduhan kopi dan teh, jadi teman sebagai hidangan penutup.
Kalau ada waktu luang, Kadir menggunakannya dengan mengisi teka teki silang (TTS). Hal itu dilakukannya untuk selalu mengasah kemampuan otak. Tak heran, dia selalu titip TTS pada sang menantu. Untuk membelikan 4-5 eksemplar TTS. Supaya wawasan tetap nambah, katanya.
Tak hanya itu. Kadir suka menyanyi karaoke. Biasanya dia membawakan lagu ciptaan Rinto Harahap, Christine Panjaitan, dan lainnya. Kalau sudah karaoke, dia mengajak para menantunya untuk ikut bareng menyanyi.
TIGA ORANG itu sangat solid. Mereka kompak dalam segala hal. Ketika masih sekolah di Pontianak, ketiganya membuat band. Alex kebagian memegang gitar. Ian sebagai vokalis. David memencet tuts organ. Tak hanya organ, David menguasai sebagian besar alat musik.
“Tiga orang itu sangat solid sekali. Mereka saling menguatkan. Sewaktu di Bandung juga selalu jalan bertiga. Tiga orang itu kompak,” kata Nunik.
Mereka selalu makan siang bareng. Begitu juga makan malam. Mereka peduli satu dengan lainnya. Hal itu memang didikan orang tua. Tak ada satu pun anak Kadir, mengikuti jejaknya sebagai birokrat. Mereka menekuni dunia seni dan entertainment.
Bagi Alex, Kadir figure cukup kuat. Contohnya, ketika dia mau kuliah. Kadir tidak mau mengarahkan anaknya memilih kampus tertentu. Tapi, dia mengajak anaknya jalan ke beberapa kampus. Dari jalan-jalan itulah, Alex bisa memilih kampus untuk kuliahnya.
Alex mengambil kuliah di Parahiyangan, Bandung. Di sana, dia mengambil kuliah di jurusan Hukum, untuk Strata Satu (S1). Selepas itu, ia meneruskan Strata Dua (S2) di Hukum Bisnis, pada kampus yang sama.
“Sebenarnya saya ingin kuliah di Pontianak. Akhirnya memilih kuliah di Bandung. Untuk lebih membuka wawasan juga,” kata Alex.
Di kampus inilah, dia ketemu sang istri. Nunik, mahasiswi FISIP jurusan Hubungan Internasional (HI), Parahiyangan.
Kini, meski kuliah tidak sama dengan pekerjaan yang dijalani, Kadir tidak pernah bicara pada anaknya, bahwa pendidikan yang mereka jalani tidak berguna. Bagaimana pun pendidikan bisa dipakai dalam bidang pekerjaan yang dijalani.
Dalam masalah pergaulan, anak mendapat berbagai pelajaran dari orang tua. Sang anak diberi wejangan, harus selalu menjaga perasaan orang lain. Anak diminta tidak mempermalukan orang lain. “Kalau tidak mau diganggu, jangan menganggu orang. Kalau kamu mau mengganggu orang, kamu harus siap,” kata Alex, menirukan ucapan sang ayah. Sang anak juga diminta tidak mengambil rejeki dari orang lain.
Kadir kurang tahu dunia entertainment yang digeluti anaknya. Bahkan, istilah disc jockey (DJ), dia baru tahu sekarang. Bisnis entertaiment yang digeluti sekarang, berasal dari modal enam orang teman. “Modal patungan,” kata Alex.
Dalam mendidik anak, Kadir tidak mendidik dengan cara mengekang terlalu berlebihan. Juga tidak mendidik dengan cara sebebas-bebasnya. “Anak perlu dihargai, walaupun masih kecil. Anak diajak berkomunikasi,” kata Kadir, suatu ketika.
Sang anak pun terbentuk sebagai pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Kalau ada masalah dengan sesama anak, mereka bertiga bisa menyelesaikannya di tingkatan mereka sendiri. Tidak sampai ke orang tua.
Ada satu momen paling berat yang mereka jalani. Momen itu ketika sang ibu meninggal dunia. “Kami sadar, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Namanya orang meninggal. Tidak bisa diatasi,” kata Alex. Kepergiannya cukup mendadak.
Untuk menghilangkan rasa sakit itu cukup lama. Namun, ada sesuatu juga muncul dari musibah tersebut. Mereka merasa semakin dekat dan saling menguatkan.
Lalu, apa pendapat Alex tentang jabatan orang tuanya?
“Kayaknya kita tidak perlu untuk sombong. Berapa lama sih, jabatan seorang Wakil Gubernur? Paling lima tahun. Paling lama 10 tahun. Mendingan biasa-biasa saja. Dengan bersikap biasa, bisa mengerjakan sesuatu hal lebih banyak,” kata Alex.
Salah satu ciri peminpin sukses adalah, dia mesti sukses membina keluarga dan mendidik anak-anaknya. Dalam istilah peribahasa, buah jatuhnya tidak jauh dari pohon. Anak adalah cermin orang tua.
Begitupun LH Kadir. Dia telah memberikan lingkungan dan contoh baik bagi anak-anaknya. Karenanya, tak heran bila sang menantu memberikan pujian pada diri dan keluarganya.
“Saya merasa sangat beruntung memiliki mertua dan berada di keluarga tersebut,” kata Nunik.□
Edisi Cetak di Borneo Tribune 13 Oktober 2007
Foto by Lukas B. Wijanarko
Posted by Muhlis Suhaeri at 8:22 AM 0 comments
Labels: Profile