Sunday, October 21, 2007

Nasionalisme dalam Sepotong Tanah, Air dan Udara

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Salah satu pendiri bangsa Indonesia, Sukarno dalam salah satu bukunya menulis, “Nasionalisme adalah, bila terjadi kemakmuran dan tidak ada penindasan satu masyarakat terhadap lainnya.” Nah, dalam rangka menyambut ulang tahun Kota Pontianak ke 236, sudahkah, kota ini membuat bangga dan rasa cinta bagi warga yang menempatinya? Mari kita lihat beberapa fakta yang menunjukkan hal itu.


Serombongan gerobak sepeda berjajar pada ruas kiri jalan. Pengendaranya berpakaian lusuh. Sebuah topi butut melindungi kepala dari terik sang surya. Sepasang sepatu telah koyak di sana-sini, melambari telapak kaki yang tak kalah dekil. Di gerobak itu, berbagai barang bekas terjajar dan menumpuk.


Seorang anak kecil melonggokkan kepalanya dari balik gerobak yang sedang berjalan. Pandangannya khas anak kecil. Riang dan gembira. Sesekali tangannya menunjuk pada sebuah tempat yang membuatnya tersenyum. Senyum tanpa dosa. Sang ayah menanggapi, sambil tetap mengayuh pedal gerobaknya. Dia coba menyenangkan buah hatinya dengan respon. Senyum yang tertahan.

Sore itu, dua generasi ini baru saja menyelesaikan sebuah tugas. Mengumpulkan barang bekas dan berbagai sampah. Ya, dari barang bekas itulah, mereka menggantungkan hidup, demi sebuah cita bagi hari esok.

Seperti sebuah aliran air, rombongan gerobak sepeda itu terus bergerak. Pada sebuah tikungan di Jalan Kesehatan, Kota Baru, rombongan mengarahkan stang sepedanya. Rombongan berhenti pada sebuah “komplek” rumah papan. Di area yang tak lebih dari 10 x 20 meter ini, puluhan kepala keluarga berjejal dan tinggal. Sungguh pemandangan yang mengiriskan hati. Inilah rumah para pemulung yang biasa berkeliling dengan gerobak sepedanya ke seluruh Kota Pontianak.

62 tahun kemerdekaan, tak menyisakan sebentuk hasil pembangunan pada nasib mereka. Pemukiman mereka kumuh dan tak teratur. Anak hidup dalam lingkungan tak sehat. Tak ada sumber air bagi kehidupan mereka. Air hanya didapat dari kemurahan alam, melalui hujan. Sanitasi buruk. Rumah papan dengan celah dan lubang mengangga di mana-mana. Untuk mandi, mereka mengandalkan air parit yang ada di depan komplek. Parit sedalam setengah meter dan lebar satu setengah meter itu, menjadi tempat mandi dan mencuci. Itu pun kalau airnya tidak kering.

Komplek rumah pemulung itu, tentu saja bukan satu-satunya komplek kumuh dan tak mendapatkan fasilitas air dan sanitasi di Pontianak. Masih banyak lagi komplek serupa dengan kondisi yang sama.

Bicara mengenai sanitasi, ada beberapa elemen dalam hal sanitasi. Sanitasi berhubungan dengan pembuangan air kotor dari rumah tangga, perdagangan dan industri. Dalam masalah sanitasi, harus dipikirkan bagaimana mengatasinya masalah air kotor tersebut.

Hal ini penting, karena pembuangan air kotor yang baik, bakal menjamin kesehatan masyarakat dan lingkungannya. Dalam hal pembuangan air kotor, mesti memperhatikan seberapa kualitas buangan air yang dihasilkan, dan kwantitas atau jumlah air kotor yang dibuang.

Bicara mengenai sanitasi, juga berhubungan dengan bagaimana pengelolaan sampah dilakukan. Sampah merupakan masalah klasik setiap kota di belahan dunia manapun. Masalah sampah di perkotaan, berhubungan dengan pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan yang dilakukan terhadap sampah.

Ada tiga sumber sampah. Sampah rumah tangga, perdagangan (termasuk pasar), dan daerah industri. Sampah dari tiga daerah itu tentu saja berbeda. Dengan mengetahui asal sampah, bakal memudahkan pengumpulan sampah.

Pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan sampah saling berkait. Ketiga hal itu berhubung. Contohnya, Pemkot Pontianak memiliki mesin pengolahan dan angkutan sampah. Namun, pengumpulan sampah tidak dilakukan dengan baik. Akibatnya, sampah bertebaran di sepanjang jalan. Seperti, di Jalan Purnama, Veteran, Komyos Sudarso, dan lainnya. Di daerah ini tidak ada penampungan sampah sementara. Kondisi ini makin diperparah dengan tidak disiplinnya masyarakat membuat sampah. Jadilah, Pontianak sebagai gudang sampah. Di mana-mana ada sampah berserak di sepanjang jalan.

Kita juga tak habis pikir, penanganan terhadap air bersih. Bagaimana tidak, Pontianak khususnya dan Kalbar pada umumnya, dialiri sungai-sungai besar. Sungai ini mengalirkan air setiap tahunnya. Namun, untuk mendapatkan air bersih, susahnya setengah mati. Kualitas pengolahan air yang dilakukan Perusahaan Daerah Air Minum Daerah (PDAM), pun kurang maksimal. Air masih keruh dan tak siap pakai. Hasil pengolahan air kurang maksimal. Padahal, teknologi pengolahan air, tidak menggunakan teknologi tinggi.

Tak tersedianya air bersih, tentu saja berimbas pada produktifitas penduduk. Masyarakat jadi kurang produktif. Hal ini berimbas pada peningkatan ekonomi. Begitu juga dengan munculnya penyakit. Berbagai penyakit susulan juga muncul, akibat buruknya kualitas air bersih.

Tak tersedianya air juga berimbas pada mahalnya biaya hidup. Bayangkan saja, bila dalam keseharian kita minum air mineral. Satu galon air mineral seharga Rp 22.000 (di Jakarta merk yang sama seharga Rp 8.500). Untuk keluarga dengan jumlah empat orang, air itu habis sekitar 4-5 hari. Dalam sebulan, kalikan saja uang yang harus kita keluarkan untuk membeli air minum.
Kehidupan kota tentu saja tidak bisa dipisahkan dengan penyediaan energi listrik. Listrik menjadi salah satu infrastruktur yang penting bagi segala aktifitas. Dengan kurangnya pasokan energi listrik, sebagus apapun Pemkot melakukan promosi terhadap kota Pontianak, hasilnya bakal sulit mendatangkan investor. Padahal dengan semboyan ”Pontianak Kota Khatulistiwa Berwawasan Lingkungan Sebagai Pusat Perdagangan dan Jasa Bertaraf Internasional” bakal sulit dicapai.

Jangankan untuk Kota Perdagangan Bertaraf Internasional, Kota Perdagangan Antarpulau pun bakal sulit. Hal ini makin diperparah dengan posisi pelabuhan yang berada di alur sungai Kapuas. Untuk menjangkau Kota Pontianak, kapal harus masuk ke hulu sungai sejauh 25 km. Kondisi makin parah dengan pendangkalan yang terjadi pada alur sungai. Keberadaan pelabuhan juga menyulitkan kapal dengan tonase besar masuk ke pelabuhan. Belum lagi, posisi kapal ketika menyandar. Posisi sandar tidak diikuti dengan berbagai pembangunan gudang pelabuhan. Bongkar muat kapal dilakukan di sepanjang Jalan Komyos Sudarso, sementara keberadaan gudang-gudang berada di Siantan. Hal ini membuat biaya tambahan bagi perusahaan untuk transportasi yang dilakukan.

Begitupun dalam halm pembangunan yang dilakukan. Pembangunan yang dilakukan, semestinya tidak tambal sulam. Sebagai contoh, untuk membangun jalur transportasi darat, Pemkot melakukan penimbunan terhadap berbagai parit di Pontianak. Pada awal tahun 70-an, Pontianak dikenal sebagai Kota Seribu Parit. Sekarang ini, parit-parit itu telah banyak yang ditimbun dan dijadikan jalan raya, pertokoan atau rumah.

Padahal, fungsi parit sanagt vital sekali. Parit merupakan sarana pembuangan air dan saluran drainase yang baik bagi kota. Parit juga berfungsi sebagai sirkulasi dan cara membersihkan kota dari berbagai sampah yang ada, secara alami. Dengan parit, lingkungan kota juga menjadi sehat, karena bisa membuat sirkulasi air. Pontianak yang berupa rawa, butuh sirkulasi yang baik. Salah satunya dengan pembuatan parit sebagai drainase.

Sekarang ini, orang banyak beranggapan, perkembangan Kota Pontianak semakin maju. Hal itu bisa dilihat dengan munculnya berbagai bangunan modern di kota ini.

Hal itu ada benarnya. Namun, pembangunan berbagai gedung baru, seharusnya tidak menggusur atau merobohkan gedung-gedung yang bersejarah. Dengan hilangnya bangunan bersejarah, hilang juga budaya suatu masyarakat.

Pembangunan bangunan pusat perbelanjaan modern, hendaknya juga tidak menggusur pasar-pasar tradisional yang sudah ada. Bagaimanapun, setiap sentra ekonomi memiliki pangsa pasarnya sendiri. Selain itu, dengan memberikan kesempatan pada para pelaku ekonomi kecil mengembangkan perekonomiannya, bakal menguatkan sistem perekonomian masyarakat.

Pemkot harus berusaha membina dan menghidupkan pasar tradisional. Kalaupun pasar tersebut kurang bersih, tidak bisa langsung digusur atau dibongkar. Malah sebaliknya, Pemkot harus melakukan pembinaan dengan memberi berbagai kemudahan dari segi fasilitas, sarana dan prasarana.

Dari berbagai kondisi dan realitas yang ada itulah, seharusnya menjadi satu refleksi kita bersama, untuk membangun Kota Pontianak, kedepannya.

Bagaimanapun, nasionalisme tidak hanya bersifat sloganistik dan bersifat mengilusi saja. Nasionalisme dan cinta pada tanah air, kota, dan tempat yang kita tinggali, tidak lepas dari pemenuhan berbagai kebutuhan dan hajat hidup orang banyak.

Bagaimana kita bisa bicara tentang nasionalisme, bila tanah yang kita tempati selalu digusur. Air yang kita minum mahal sekali. Udara yang kita hirup, selalu penuh dengan debu dan kabut asap.□


Edisi Cetak ada di Borneo Tribune, 21 Oktober 2007
Foto Lukas B. Wijanarko





















No comments :