Saturday, October 13, 2007

LH Kadir di Mata Keluarga

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak


SEORANG PEREMPUAN paruh baya sedang mengaduk bubur dalam kuali. Usia tak menghalangi niatnya. Ia selesaikan pekerjaan itu hingga larut malam. Pagi sekali, ia telah beranjak dari halaman rumah. Membawa bubur, minuman, dan berbagai kebutuhan pokok. Hari itu, bersama beberapa temannya, ia menuju Gedung Olah Raga (GOR) Pangsuma.

Di gedung itu, ribuan orang sedang mengungsi. Mereka tercerabut dari rumah dan tempat tinggalnya, akibat kerusuhan sosial di Sanggau Ledo, Bengkayang. Ia langsung menuju jantung pengungsian. Ribuan manusia tumplek dalam GOR tersebut. Melihat ada yang datang, pengungsi segera menyambut. Makanan pun berpindah tangan.


Perempuan itu bernama Margaretta Maria. Ia perempuan Dayak. Ribuan pengungsi di GOR, adalah orang Madura. Ketika itu, 1997, orang Dayak dan Madura sedang terlibat konflik sosial. Konflik membuat masyarakat saling menyembelih. Tak sedikit yang meregang nyawa. Ribuan lainnya mengungsi ke berbagai tempat. Salah satunya di GOR Pangsuma Pontianak.

Ia tidak khawatir. Tujuannya adalah menolong. “Kalau kita mau menolong orang, jangan pandang siapa dia. Kalau dia butuh bantuan, harus kita tolong,” kata Margaretha, suatu ketika.

Margaretha orang yang peduli dengan sesama. Dia juga seorang organisatoris. Hidupnya digunakan untuk membantu dan berbuat baik pada sesama. Tak heran, bila ia pulang dari bepergian, sebagian besar orang yang berada di sekitarnya, bakal mendapat hadiah. Bahkan, anak tetangga pun akan kebagian.

Sayangnya, kebaikan yang memancar dari perempuan itu, terhenti oleh takdir. Ia meninggal karena kista. Kista merupakan tumor berbentuk kantung berisi cairan. Organ reproduksi yang sering mengalami kelainan berupa kista adalah ovarium (indung telur). Ia pernah mendapat perawatan dan operasi di sebuah rumah sakit di Pontianak. Namun, operasi itu tak jua membuatnya sembuh. Pada 1999, ia akhirnya kembali pada sang pencipta.

Margaretha Maria, istri dari Laurentius Herman Kadir, Wakil Gubernur, Kalbar.


SEBUAH RUANGAN sekira empat kali empat meter. Pada dua sisinya, sebuah kaca menjadi pembatas bagi ruangan. Dari ruangan ini, orang bisa memandang berbagai aktivitas di bawahnya. Kita bisa melihat counter bar, meja biliar, atau orang sedang berdansa. Ya, inilah satu ruangan di D One Cafe Ayani Megamal, lantai tiga.

Dua kali aku ke tempat itu. Pertama, menemui Alexander. Kedua, ketemu Silvia Triwahyuni. Biasa dipanggil Nunik. Keduanya dalam rangka wawancara. Alex anak pertama dari LH Kadir. Nunik, istri Alex.

Alex orang yang rendah hati. Istrinya enak diajak bicara dan supel. Dengan dua orang keluarga inilah, aku berbincang mengenai ayah mereka, LH Kadir.

Kadir lahir dari pasangan Paulus Banda dan Maria Pikai. Darah suku Kantuk Melaban, mengalir dalam dirinya. Keluarganya petani kecil ladang berpindah. Dia lahir 28 Mei 1941, di Sungai Utik, Temeru, Kemacatan Embaloh Hulu, Kapuas Hulu.

Pada 1970, dia menikah dengan Margaretta Maria. Dari pernikahan tersebut, lahir tiga momongan. Semuanya lelaki. Alexander, Yan Fransf, dan David Riyan. “Yang menarik dari sang istri, selain orangnya cantik, juga cerdas. Sejak kelas 5 SD, selalu menjadi juara kelas,” kata Kadir di http//:muhlissuhaeri.blogspot.com.

Di mata anak dan menantunya, Kadir kepala keluarga penuh perhatian. Dalam kesehariannya yang begitu sibuk, dia selalu berusaha punya waktu dan memberikan perhatian pada keluarga. Kalau ketemu anak atau menantu, dia selalu menanyakan kabar anak dan menantunya. Bahkan, untuk hal-hal kecil sekali pun. Kalau “mengontrol” anaknya dengan satu pertanyaan saja, apakah semua baik-baik saja.

Kadir tipe pekerja keras. Ia tidak suka menumpuk pekerjaan. Waktunya lebih banyak untuk melakukan kerja dari pada wisata atau jalan-jalan, misalnya. Meski lelah, dia tidak menunjukkan hal itu pada raut wajahnya. Dengan usia seperti sekarang, 66 tahun, dia masih semangat dan tidak mengeluh. Dia tidak akan berhenti, hingga semua pekerjaan terselesaikan.

Walaupun berhenti kerja, dia masih juga berpikir. Cara mengalihkannya, biasanya dia bermain dengan cucu. Kalau capek, dia akan berhenti sebentar atau tidur. Setelah bangun, segar lagi, dia akan tertawa dan bergurau lagi.

Selain pekerja keras, dia juga pemikir dan konseptor. Hingga larut malam, dia masih berpikir dan membuat konsep. Yang dipikirkan adalah masalah pekerjaan. Bukan masalah anak, karena anak sudah bisa hidup sendiri. Ketiga anaknya pun demikian. Mereka pekerja keras dan pemikir.

Kadir punya sikap adil. Ketika pulang dari suatu kunjungan, dia selalu membawa oleh-oleh. Namun, biasanya hanya menantu yang dapat. Ketiganya mendapat barang dan souvenir sama. Karena tidak mendapat bagian, terkadang anak lelakinya mengolok.
“Sudah tak ingat lagi nih, sama anak?”
“Kan kalian lelaki, bisa mencari sendiri.”

Dia orang yang demokratis dan tidak otoriter. Kadir berbaur dengan lingkungan dan bergaul dengan siapa saja. Begitupun ketika menangani masalah. Ia membicarakannya dengan keluarga. Namun, tidak sampai dalam hal teknis, karena itu bukan bidang kami, kata Alex.

Biasanya mereka tahu duluan dari media. Dan, diskusinya juga seputar berita yang ada di media. Dia merasa, secara etika moral memang tidak pantas. “Tapi beliau masih mendengarkan,” kata Alex. Bagi menantunya, mereka juga merasa bebas bicara apa saja. Tentunya dengan koridor kesopanan. “Bapak bukan tipikal mertua yang suka mengatur,” kata Nunik.

Dia orang yang punya prinsip kuat. Kalau mau menjalani sesuatu, akan dijalaninya.
Kadir jarang memberi perintah. Biasanya dia memberitahu dengan perbuatan. Dalam masalah pekerjaan, tidak mau menonjolkan pekerjaan yang dilakukan. Dia mempersilakan orang lain menilai, dan tidak terlalu suka dengan sesuatu yang digembar-gemborkan.

Dia tidak suka dengan hal-hal berbau formal. Kadir senang suasana keakraban. Kalau terlalu formal, susah untuk merespon kembali. Yang pasti, dia tak mau terlalu jelimet dengan hal-hal kecil. Dia membebaskan orang untuk berpikir dan melakukan sesuatu.

Satu hal pasti dilihat pada sosoknya, dia penuh tanggung jawab. Kalau memberitahu selalu dengan tersenyum. Tidak pernah marah.

Begitu pun dalam memahami sifat dan karakter seseorang. Dia cukup maklum dengan sifat orang. Sebagai contoh, ketika keluarga besar ini berangkat untuk makan bareng atau sekedar jalan. Biasanya yang paling lama keluar dari kamar adalah perempuan. Beda dengan lelaki. Praktis saja.

Perempuan mesti berdandan dulu. Kalau sudah begitu, para suami mulai meneriaki istrinya, untuk segera menyelesaikan dandanan. Melihat hal itu, Kadir menasihati anak-anaknya. “Eh, jangan begitulah. Namanya juga perempuan. Perlu berdandan.”
Setelah itu, Kadir menetralisir anak-anaknya dengan mengajak para anak lelakinya berbincang dan bercanda. Mereka jadi rilek. Kadir membuat orang jadi sabar.

Meski terlihat seram dari segi penampilan wajahnya, Kadir orang yang humoris. Saat pertama kali mengenalnya, Nunik sempat deg-degan dan gugup. Nunik merasa canggung. Kadir mengajaknya main scramble. Akhirnya, dia bisa merasa rilek.

Begitu kenal dengan Kadir, dia merupakan orang dengan tipikal terbuka. Pada awal keluarga Nunik juga kaget dengan sikapnya. Wajah seram, tapi sering bercanda. Sebagai mertua, dia cukup terbuka.

Dia punya perhatian dengan masyarakat kecil. Contohnya terhadap pembantu. Kadir selalu memberikan perhatian. Bahkan, dia selalu mengecek, apakah ada makanan tersedia untuk para pembantu.

Ada pengalaman unik ketika Alex dan Nunik menikah. Meski lahir di Jakarta, keluarga Nunik kuat menjalankan budaya Jawa. Karenanya, mereka memakai adat Jawa. Kadir mengikuti setiap ritual upacara dengan khusuk. Beda dengan Alex. Dia lebih sering tertawa-tawa. Ketika difoto, Kadir memakai blankon terbalik. Namun, cara blangkon terbalik itu, ternyata cara memakai blangkon gaya raja-raja Surakarta.

Kadir tidak terlalu suka dilayani dalam berbagai hal. Dia lebih suka mengambil sendiri. Oh, ya, kamukan orang Jawa. Dalam perspektif Kadir, orang Jawa selalu memberikan pelayanan. “Kalau bisa mengerjakan sendiri, beliau akan mengerjakannya sendiri,” kata Nunik.

Meski di rumah ada beberapa pembantu, kalau dia minta tolong tidak seperti memerintah.
Begitupun kalau memberi usulan pada anaknya. “Kalau memang itu baik menurut kamu, jalani dengan penuh keyakinan dan sungguh-sungguh,” kata Kadir.

Dalam hal makan, Kadir paling suka dengan ikan Jelawat, kepala ikan asam pedas, atau teri merah diberi bawang. Dia tidak senang makanan daging. Lalapan seperti, daun ubi dan pepaya, paling disenanginya. Karenanya, pas hari Sabtu, selalu dibuatkan masakan ikan asam pedas.

Kadir tidak pernah lupa minum jus buah. Dia selalu minum jus wortel, tomat, atau belimbing. Minuman itu untuk kesehatan. Dalam hal makan, Kadir makan apa adanya.
Cukup mudah menyediakannya.

Untuk membina komunikasi, keluarga ini punya kebiasaan makan bareng. Selepas makan siang, mereka menggunakan kesempatan tersebut dengan dialog. Semua orang mengungkapkan berbagai perbincangan. Kalau sudah begitu, waktu tak terasa mengalir. Biasanya, mereka berbincang di sekitar meja hingga satu jam. Tak lupa, seduhan kopi dan teh, jadi teman sebagai hidangan penutup.

Kalau ada waktu luang, Kadir menggunakannya dengan mengisi teka teki silang (TTS). Hal itu dilakukannya untuk selalu mengasah kemampuan otak. Tak heran, dia selalu titip TTS pada sang menantu. Untuk membelikan 4-5 eksemplar TTS. Supaya wawasan tetap nambah, katanya.

Tak hanya itu. Kadir suka menyanyi karaoke. Biasanya dia membawakan lagu ciptaan Rinto Harahap, Christine Panjaitan, dan lainnya. Kalau sudah karaoke, dia mengajak para menantunya untuk ikut bareng menyanyi.


TIGA ORANG itu sangat solid. Mereka kompak dalam segala hal. Ketika masih sekolah di Pontianak, ketiganya membuat band. Alex kebagian memegang gitar. Ian sebagai vokalis. David memencet tuts organ. Tak hanya organ, David menguasai sebagian besar alat musik.

“Tiga orang itu sangat solid sekali. Mereka saling menguatkan. Sewaktu di Bandung juga selalu jalan bertiga. Tiga orang itu kompak,” kata Nunik.

Mereka selalu makan siang bareng. Begitu juga makan malam. Mereka peduli satu dengan lainnya. Hal itu memang didikan orang tua. Tak ada satu pun anak Kadir, mengikuti jejaknya sebagai birokrat. Mereka menekuni dunia seni dan entertainment.

Bagi Alex, Kadir figure cukup kuat. Contohnya, ketika dia mau kuliah. Kadir tidak mau mengarahkan anaknya memilih kampus tertentu. Tapi, dia mengajak anaknya jalan ke beberapa kampus. Dari jalan-jalan itulah, Alex bisa memilih kampus untuk kuliahnya.

Alex mengambil kuliah di Parahiyangan, Bandung. Di sana, dia mengambil kuliah di jurusan Hukum, untuk Strata Satu (S1). Selepas itu, ia meneruskan Strata Dua (S2) di Hukum Bisnis, pada kampus yang sama.

“Sebenarnya saya ingin kuliah di Pontianak. Akhirnya memilih kuliah di Bandung. Untuk lebih membuka wawasan juga,” kata Alex.

Di kampus inilah, dia ketemu sang istri. Nunik, mahasiswi FISIP jurusan Hubungan Internasional (HI), Parahiyangan.

Kini, meski kuliah tidak sama dengan pekerjaan yang dijalani, Kadir tidak pernah bicara pada anaknya, bahwa pendidikan yang mereka jalani tidak berguna. Bagaimana pun pendidikan bisa dipakai dalam bidang pekerjaan yang dijalani.

Dalam masalah pergaulan, anak mendapat berbagai pelajaran dari orang tua. Sang anak diberi wejangan, harus selalu menjaga perasaan orang lain. Anak diminta tidak mempermalukan orang lain. “Kalau tidak mau diganggu, jangan menganggu orang. Kalau kamu mau mengganggu orang, kamu harus siap,” kata Alex, menirukan ucapan sang ayah. Sang anak juga diminta tidak mengambil rejeki dari orang lain.

Kadir kurang tahu dunia entertainment yang digeluti anaknya. Bahkan, istilah disc jockey (DJ), dia baru tahu sekarang. Bisnis entertaiment yang digeluti sekarang, berasal dari modal enam orang teman. “Modal patungan,” kata Alex.

Dalam mendidik anak, Kadir tidak mendidik dengan cara mengekang terlalu berlebihan. Juga tidak mendidik dengan cara sebebas-bebasnya. “Anak perlu dihargai, walaupun masih kecil. Anak diajak berkomunikasi,” kata Kadir, suatu ketika.

Sang anak pun terbentuk sebagai pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Kalau ada masalah dengan sesama anak, mereka bertiga bisa menyelesaikannya di tingkatan mereka sendiri. Tidak sampai ke orang tua.

Ada satu momen paling berat yang mereka jalani. Momen itu ketika sang ibu meninggal dunia. “Kami sadar, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Namanya orang meninggal. Tidak bisa diatasi,” kata Alex. Kepergiannya cukup mendadak.

Untuk menghilangkan rasa sakit itu cukup lama. Namun, ada sesuatu juga muncul dari musibah tersebut. Mereka merasa semakin dekat dan saling menguatkan.

Lalu, apa pendapat Alex tentang jabatan orang tuanya?
“Kayaknya kita tidak perlu untuk sombong. Berapa lama sih, jabatan seorang Wakil Gubernur? Paling lima tahun. Paling lama 10 tahun. Mendingan biasa-biasa saja. Dengan bersikap biasa, bisa mengerjakan sesuatu hal lebih banyak,” kata Alex.

Salah satu ciri peminpin sukses adalah, dia mesti sukses membina keluarga dan mendidik anak-anaknya. Dalam istilah peribahasa, buah jatuhnya tidak jauh dari pohon. Anak adalah cermin orang tua.

Begitupun LH Kadir. Dia telah memberikan lingkungan dan contoh baik bagi anak-anaknya. Karenanya, tak heran bila sang menantu memberikan pujian pada diri dan keluarganya.

“Saya merasa sangat beruntung memiliki mertua dan berada di keluarga tersebut,” kata Nunik.□

Edisi Cetak di Borneo Tribune 13 Oktober 2007

Foto by Lukas B. Wijanarko


No comments :