Kelahiran Pancasila dan Perdebatan di Sekitarnya
Pidato Bung Karno Tanpa Teks di Sidang BPUPKI
Hari Lahir Pancasila diperingati dengan gegap gempita pada 1 Juni. Berbagai kegiatan, sosialisasi, seminar hingga hari libur nasional telah dilaksanakan. Hari lahir Pancasila ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 24 Tahun 2016, tentang Hari Lahir Pancasila.
Meski sudah 71 tahun sejak pertama kali diucapkan dalam suatu pidato dan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK, selanjutnya ditambahi kata Indonesia, BPUPKI), namun peringatan hari lahir Pancasila, baru tahun ini diperingati.
Pancasila merupakan pidato Bung Karno yang diucapkan dengan tidak tertulis dalam sidang yang pertama Dokuristsu Zyunbi Tyoosakai, tanggal 1 Juni 1945, ketika sedang membicarakan Dasar Negara Indonesia Merdeka (buku berjudul Filsafah Merdeka, Adi Negoro, 1950).
Sukarno menyatakan, BPUPK telah bersidang tiga hari. Telah mendengar pendapat dari Dr Sukiman, Ki Bagus Hadikusumo, M Yamin, Ki Hadjar Dewantoro, Sanusi, Abikusno, Lim Kun Hian, dan lainnya. Sukarno menyatakan, sidang itu untuk mencari hal yang disetujui bersama, bukan kompromi.
“Pertama-tama saudara-saudara saja bertanja: apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu golongan yang kaja, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan yang kaja, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakan maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang dinamakan kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua. Bukan satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.”
Adi Negoro, jurnalis awal Indonesia ini menulis, “Pancasila, selain menjadi dasar falsafah Indonesia Merdeka, adalah dasar kesusilaan warga negara Indonesia, dan menunjukkan watas-watas fikiran.”
Dalam buku berjudul “Pengertian Pancasila” karya Dr Mohammad Hatta, rumusan Pancasila dari Sukarno, pertama, kebangsaan Indonesia. Kedua, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan. Ketiga, mufakat atau demokrasi. Keempat, kesejahteraan sosial. Kelima, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila punya dua lapis fundamen, yaitu; fundamen politik dan fundamen moral (etik agama). Bagi Bung Karno, sendi politik didahulukan, sendi moral menjadi penutup.
Sendi kebangsaan menghendaki satu Nationale Staat, meliputi seluruh kepulauan Indonesia, sebagai satu kepulauan di Khatulistiwa.
Menurut Sukarno, Sumatera, Jawa atau Sunda, Kalimantan, Sulawesi, satu per satu bukan Nationale Staat. Yang dinamakan Nationale Staat, bila kepulauan seluruhnya. Untuk menegaskan ini, dasar kebangsaan menajdi dasar pertama atau sila pertama.
Dalam memaknai nilai kebangsaan, Bung Karno mempergunakan dalil-dalil dari teori geopolitik, khususnya Blut-und-Boden teori dari Karl Haushofer. Teori ini sebenarnya sendi dari Imperialisme Jerman. Tetapi dianggap menarik bagi kaum nasionalis Asia dan Indoensia, khususnya untuk membela cita-cita kemerdekaan, persatuan Bangsa dan Tanah Air.
Teori geopolitik sebagai Nationale Staat cukup menarik, namun kebenarannya sangat terbatas. Kalau diterapkan di Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke Indonesia, dan Irian Barat dilepaskan. Demikian juga seluruh Kalimantan, harus masuk Indonesia.
Filipina tidak saja serangkai dengan Kepulauan Indonesia. Tapi, bangsa Filipina bangga mengatakan, mereka sebagai bangsa Melayu. Namun, Indonesia dan Filipina memiliki sejarah berbeda. Indonesia dijajah Belanda dan Jepang, Filipina dijajah Portugis, Spanyol, Amerika dan Jepang. Penjajahan itu menghasilkan sikap, prilaku, tradisi dan budaya berbeda.
India, setelah merdeka malah terpecah karena faktor agama.
India pecah menjadi India yang hindu, dan Pakistan yang Islam. Pada akhirnya, Pakistan juga terpecah menjadi Pakistan dan Bangladesh.
Soal bangsa dan kebangsaan memang tidak mudah memecahkannya secara ilmiah. Sukar mendapatkan kriteria yang tepat. Tidak bisa ditentukan dengan persamaan asal, bahasa dan agama.
“Bangsa ditentukan oleh keinsafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu. Yaitu, keinsafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan,” kata Bung Hatta.
Mohammad Ibnu Sajoeti atau Sajoeti Melik (dalam bukunya berjudul Demokrasi Pantja Sila dan Perjoengan Ideologis Didalamnya, 1953) menulis, Bung Karno pernah menerima surat dari orang-orang di daerah, mereka akan memisahkan diri dari Indonesia, bila dasar negara menggunakan dasar agama Islam. Karenanya, tak heran bila Bung Karno meletakkan dasar kebangsaan sebagai dasar pertama, selain ia adalah seorang nasionalis.
Setelah menempatkan dasar kebangsaan pada sila atau dasar pertama dari Pancasila, Bung Karno menggunakan paham Internasionalisme, pada dasar kedua.
Dasar ini untuk menegaskan bahwa, Indonesia tidak menganut paham nasionalisme yang picik, melainkan harus menuju persaudaraan dunia, kekeluargaan bangsa-bangsa. Internasionalisme bagi Bung Karno, sama dengan humanity atau perikemanusiaan. Pendapat ini berasal dari gerakan sosialisme abad ke 19 dan permulaan abad ke 20.
Dasar ketiga, Permusyawaratan. Oleh karena Indonesia didirikan sebagai negara “semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.” Artinya, demokrasi yang membawa sistem permusyawaratan dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
Dasar keempat, Kesejahteraan Sosial. Yaitu, menciptakan prinsip tidak ada kemiskinan dalam Indonesia Merdeka. Kesejahteraan sosial meliputi demokrasi politik dan ekonomi.
Dasar kelima, Ketuhanan yang Berkebudayaan. “Artinya, Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur. Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain, sehingga segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya,” tulis Bung Hatta.
Lalu, dari mana kalimat Bhineka Tunggal Ika, muncul di Pancasila? Dalam buku yang lain, “Bung Hatta Menjawab” karya Dr Z Yasni, Bung Hatta menjelaskan bahwa, Semboyan Bhineka Tunggal Ika bermula sejak kegiatan Perhimpunan Indonesia di Eropa.
Saat itu, para mahasiswa Indonesia di sana bersatu, dan menyadari betapa mereka yang datang dari berbagai daerah dan suku bangsa, serta adat dan pembawaan, harus bersatu padu kalau hendak berhasil melepaskan Indonesia dari penjajahan, dan membangunm bangsa untuk kemajuan dan kemakmuran.
Semboyan “bersatu kita kuat, berpecah kita lemah” sungguh-sungguh dihayati, walaupun masing-masing tahu dasar keanekaragaman tadi ada, tetapi dibawah terhadap prinsip kesatuan, ke-ika-an tadi.
Bung Hatta menegaskan, sejatinya, semboyan Bhineka Tunggal Ika adalah ciptaan Bung Karno, setelah Indonesia merdeka. Semboyan itu kemudian diperkuat dengan lambang yang dibuat oleh Sultan Hamid II, dan diresmikan pemakaiannya oleh Kabinet RIS tanggal 11 Februari 1950.
Pancasila sebagai dasar dari negara, perlu diamalkan dalam setiap perbuatan dengan penuh makna.
“Pancasila itu perlu disakralkan. Bukan berarti dianggap barang suci seperti agama, tidak! Disakralkan berarti dijadikan satu dengan jiwa dan perbuatan kita,” kata Bung Hatta.
Perdebatan Era Orde Baru
Siapa penggali Pancasila pernah menjadi perdebatan, ketika muncul buku berjudul “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara” karya Nugroho Notosusanto, Juli 1981. Buku setebal 68 halaman itu, antara lain berisi tulisan Prof Dr Mr AG Pringgodigdo, dan diberi kata pengantar oleh Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P & K, Prof Dr Dardji Darmodihardjo.
Seperti kita ketahui, saat itu, Prof Nugroho Notosusanto merupakan guru besar mata kuliah Metode Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Ia juga mengepalai Pusat Sejarah ABRI, berpangkat Brigadir Jenderal.
Dalam tulisannya, Nugroho Notosusanto menguraikan siapa penggali Pancasila berdasarkan buku Prof Muh Yamin. Isinya, “Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 yang terbit tahun 1959. Ia menarik kesimpulan bahwa, penggali Pancasila bukan hanya Bung Karno saja, tetapi juga Muhamad Yamin dan Supomo. Sedangkan hari Lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945, tapi hari lahir Pancasila Dasar Negara tanggal 18 Agustus 1945.
Buku itu menjadi heboh, karena dimuat di berbagai koran di Indonesia, khususnya koran yang terbit di Jakarta. Pemuatan di berbagai media itu, atas permintaan Departemen Penerangan (buku, Siapa Penggali Pancasila, Anjar Any, 1981).
Pendapat itu tentu saja mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Ada yang pro dan kontra.
Menanggapi hal itu, Nugroho menyatakan, “Ini karya ilmiah. Saya kan Profesor dan Doktor sejarah. Saya pertaruhkan nama saya pada buku itu.”
Meski demikian, Nugroho juga menyatakan bahwa, apabila nanti ada bukti yang kuat, bisa diuji dan mengatasi buktinya, dia pun tidak akan malu untuk mundur.
Dasar tulisan Nugroho berasal dari Prof Muhamad Yamin yang berjudul, “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.” Menurut Mr AG Pringgodigdo, buku Yamin dianggap otentik karena bagian dari sidang-sidang Tyoosakai memang percetakan belaka dari laporan stenografis yang pernah dipnjam Yamin dan tidak pernah kembali alias hilang.
Dalam buku Yamin, terdapat pidato Bung Karno “Lahirnya Pancasila” pada 1 Juni 1945, disusul pidato M Yamin pada 29 Mei 1945, dan pidato Supomo pada 31 Mei 1945. Tiga pidato itu, semua mengenai dasar negara yang mirip dengan Pancasila, meskipun tidak diberi nama Pancasila.
Hanya pidato Bung Karno yang memberikan nama Pancasila untuk pidatonya mengenai dasar negara tersebut.
Karenanya, Nugroho berkesimpulan, Hari Lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945, ketika Bung Karno pidato di BPUPK. Tapi kelahiran Pancasila pada 18 Agustus 1945, ketika Pancasila disahkan sebagai Dasar Negara.
Lalu, apa komentar orang terhadap tulisan Nugroho itu?
Drs Ruben Naelan, Sekretaris Lembaga Penelitian Sejarah UNTAG menulis, ia menyayangkan hilangnya dokumen yang dipinjam Yamin.
Menurutnya, apa yang ditulis dan dimuat dalam buku Yamin tentang pidato dan lampiran “Rancangan UUD”-nya dianggap tidak asli. Hal itu berdasar pendapat Bung Hatta, sewaktu diwawancara Lembaga Penelitian Sejarah UNTAG. Juga diperkuat dalam buku “Uraian Pancasila” oleh Panitia Lima, dimana Bung Hatta berkata;
”Ya, dalam buku yang disebut Naskah Persiapan UUD 45, Pancasila itu dimasukkan di sana (maksudnya pidato Yamin, 29 Mei 1945). Tahu saya, pidato Pancasila yang pertama kali Bung Karno, bukan Yamin. Kalau dia lebih dulu tentu saya ingat bahwa itu ulangan. Yamin bicara hari pertama, saya hari kedua. Itulah kelicikan Yamin dimasukkan ke sini (buku Uraian Pancasila oleh Panitia Lima, hal 100). Dalam buku ini juga, AG Pringgodigdo menambahi komentar, “Pak Yamin itu pinter nyulap Kok.”
Menurut Naleman, apabila Yamin sudah berpidato tentang rancangan dasar negara pada tanggal 29 Mei 1945, maka pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, hanya dianggap nyontek saja. Hal itu tidak mungkin. Sebab, pidato Bung Karno mendapat sambutan yang sangat meriah.
Begitu pun dengan Lampiran ’Rancangan UUD” dari Yamin itu persis dengan UUD yang selanjutnya disahkan. Artinya, panitia hanya nyontek dari Yamin.
Hal itu mustahil, karena Yamin tidak duduk di Panitia tersebut. Ketua Panitia Lima adalah Bung Hatta.
Selain itu, UUD yang akhirnya disahkan, prosesnya melalui perdebatan yang sangat panjang. Banyak perubahan kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Lalu, diperhalus oleh Panitia Penghalus Bahasa, kata R Nalenan.
BM Diah, jurnalis dan aktivis yang terlibat dalam dunia pergerakan menjelaskan, pidato Supomo tidak bisa dimasukkan sebagai bahan-bahan dasar negara. Supomo hanya bicara soal “keseimbangan lahir dan batin”.
Bahkan, Supomo mengatakan, satu susunan negara totaliter adalah baik, dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Edisi cetak di Suara Pemred, 6-8 Juni 2017. Foto dokumen negara. (Muhlis Suhaeri)
Thursday, June 8, 2017
Posted by Muhlis Suhaeri at 12:57 AM 1 comments
Wednesday, January 25, 2017
Drs H. Sudarto, Pendidik dan Sejarawan Kalbar
Meninggal
Ia Pergi Bersama Kesederhanaan dan Keteladanan
Baca Selengkapnya...
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:37 AM 0 comments
Friday, January 20, 2017
Posted by Muhlis Suhaeri at 6:03 AM 0 comments
Monday, January 16, 2017
Posted by Muhlis Suhaeri at 6:28 AM 0 comments
Tuesday, January 10, 2017
Sejarah Lambang Negara Garuda Pancasila
Tahukah Anda bahwa, Februari adalah bulan yang sangat bersejarah bagi lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Sebab, pada tanggal 8, 10, 15 dan 20 Februari 1950, rancangan pertama kali hingga pengumuman lambang negara Garuda Pancasila dilakukan.
Tak banyak yang tahu bahwa, Sultan Abdul Hamid Alkadrie atau Sultan Hamid II, putra kesultanan Kadriah, Pontianak adalah pencipta lambang negara Indonesia.
Apalagi, saat ini sebutan Garuda Pancasila lebih familiar di telinga. Padahal, Sultan Hamid II menamai lambang sakral negara kita dengan Elang Rajawali Garuda Pancasila.
Berdasarkan penelitian dari Turiman Fachturahman Nur disebutkan, salah satu sumber inspirasi Sultan Hamid II merancang lambang negara adalah, lambang Istana Kesultanan Sintang yang berbentuk Elang Garuda.
Berbekal fakta tersebut, Suara Pemred menyambangi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sintang, tepatnya menemui Siti Musrikah, Kabid Kebudayaan pada dinas tersebut.
Menurut Musrikah, berdasarkan keterangan dari pihak Kesultanan Sintang, memang dulu Sultan Hamid II pernah meminjam lambang kerajaan, sebagai salah satu sumber inspirasi mengerjakan tugas dari Presiden Sukarno, untuk membuat lambang negara.
“Sejarah penciptaan lambang negara, adalah salah satu sejarah yang ingin ditilepkan (dihilangkan),” ujar Siti.
Lalu, siapakah Sultan Hamid II? Sultan Hamid pernah menjabat sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang tercatat dalam konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949.
“Jadi, Kalimantan Barat itu bergabung ke NKRI. Sebelumnya, berdiri sendiri yang sejajar dengan bangsa Indonesia. Sultan Hamid II membawahi seluruh kesultanan yang tergabung dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat,” terang Turiman.
Di kancah internasional, sebelum hadir dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda, Sultan ke VII Kesultanan Kadriah Pontianak ini, menginisiator Konferensi Inter-Indonesia yang digelar di Yogyakarta dan Jakarta. Hasilnya, antara BFO (wakil daerah/negara buatan Belanda) dan Negara Republik Indonesia, sepakat duduk bersama Belanda.
Sultan Hamid II menjadi pemimpin delegasi BFO, dan dari Indonesia, Mohammad Hatta yang didaulat memimpin.
Delegasi Belanda diwakili Mr Van Maarseven. Dalam konferensi yang berlangsung pada 23 Agustus hingga 2 November 1949 itu, BFO dan Negara Republik Indonesia, menyerahkan kedaulatan bersama untuk bergabung dalam RIS. Inilah titik Indonesia benar-benar meraih kemerdekaan secara de facto dan yuridis.
“Andai kata waktu itu Sultan Hamid II tidak menyatakan bergabung dengan NKRI, apa iya Ratu Belanda mengakui kedaulatan bangsa Indonesia?” tanya peneliti yang juga dosen Fakultas Hukum Untan ini.
Berdasarkan buku, “Sejarah yang Hilang” karya Mahendra, Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), pada 19 Desember 1949-6 September 1950. Sultan Hamid merupakan Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet RIS. Salah satu tugasnya, membuat lambang negara.
Secara konstitusional hal itu tertuang dalam Pasal 3 Ayat (3) Konstitusi RIS 1949, bahwa negara menetapkan Materai dan Lambang Negara.
Pada Sidang Kabinet, 10 Januari 1950, dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinasi Menteri Negara Zonder Porofolio, Sultan Hamid II.
Untuk melaksanakan keputusan sidang kabinet, Menteri Prijono melaksanakan sayembara pembuatan lambang negara.
Ada dua hasil terbaik diperoleh. Yaitu, rancangan Muhammad Yamin dan Sultan Hamid II. Namun, rancangan M Yamin ditolak panitia, karena terlalu banyak garis-garis dan mengesankan gambar matahari, terpengaruh sekali oleh Jepang.
Pada 8 Februari 1950, sketsa lambang negara pertama kali diajukan ke Presiden Sukarno di Istana Gambir atau Istana Negara.
Rancangan pertama, gambar kepala sangat terpengaruh dengan lambang kesultanan Sintang. Bagian tengah ada tangan memegang perisai.
Tanggal 10 Februari 1950, Sultan Hamid II menyempurnakan gambar. Tangan di bagian tengah perisai dibuang. Bagian kepala ada penyempurnaan, seperti Garuda sekarang ini, namun belum ada jambulnya.
Sukarno memperkenalkan lambang negara kepada khalayak ramai di Hotel ‘des Indes’. Pada 20 Februari 1950, rancangan Sultan Hamid II, dipasang di ruangan Sidang Parlemen RIS untuk pertama kali.
Jadi, Februari merupakan bulan bersejarah sebagai cikal bakal lambang negara RI.
Penuh Simbol dan Makna
Garuda Pancasila merupakan lambang negara yang penuh simbol dan makna. Konsep dasar sebagai pandangan dan falsafah bangsa dituangkan dalam pembuatan simbol yang penuh makna, dalam setiap detail di lambang negara. Namun, semua merupakan satu kesatuan.
Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara, di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Mas Agung. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950, masih tetap disimpan oleh Istana Kadriyah, Pontianak.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Mas Agung (tahun 1974), sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan, “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.
Sultan Hamid teringat ucapan Presiden Soekarno, hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
Suara Pemred menemui Turiman Faturahman, peneliti perjuangan Sultan Hamid II.
Dikatakannya, lambang negara Indonesia memiliki tiga konsep dasar. Yakni Elang Rajawali Garuda Pancasila, perisai Pancasila yang tergantung di leher garuda, dan identitas bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika.
Dalam perisai tersebut, terdapat lima simbol Pancasila. Sila pertama disimbolkan dengan bintang bersudut lima. Mewakili nur atau cahaya. Ketuhanan Yang Maha Esa, diartikan sebagai cahaya. Persis berada di tengah. Dengan perisai tersendiri berwarna hitam.
"Lalu empat bidang lainnya, warnanya merah putih, sesuai dengan warna bendera kita. Jadi sila ke satu itu, cahaya bagi keempat sila lainnya," tutur Turiman.
Membaca Pancasila dalam lambang negara, haruslah melingkar. Sila pertama berada di tengah, sebagai pusat. Seperti tawaf mengelilingi Ka'bah. Bukan dibaca secara linier atau piramida. Sila kedua disimbolkan dengan kalung bersegi empat dan lingkaran berjumlah tujuh belas. Lingkar sebagai lambang wanita. Dan bentuk petak, simbol laki-laki. Lambang regenerasi.
"Artinya Tuhan Yang Maha Esa (sila pertama) itu menginginkan bangsa Indonesia, kemanusiaannya adil dan beradab. Laki juga perempuan. Itu paham humanisme,” sebutnya.
Manusia harus beradab. Berpikir adil. Karena adil mendekati takwa. Ketuhanan Yang Maha Esa. Manusia yang adil dan beradab membutuhkan suatu wadah. Yakni, Persatuan Indonesia. Sila ketiga.
"Karenanya menurut Sultan Hamid II, persatuan Indonesia, bukan kesatuan. Berujung pada pemikiran federalis. Berlambang pohon beringin," terangnya.
Lambang pohon beringin dipakai sebagai bentuk apresiasi Sultan Hamid II pada Purwacaraka, yang memberikan sumbangan pemikiran padanya. Pohon beringin merupakan simbol bersatunya rakyat dan penguasa. Di mana, biasanya pohon ini berada di alun-alun kerajaan, seperti di Yogyakarta. Yang mana alun-alun adalah tempat rakyat menyampaikan aspirasi kepada rajanya.
Lalu sila ke empat, perihal demokrasi. Bermusyawarah dan mufakat yang berlambang banteng.
Apresiasi rancangan Muhammad Yamin. Sila ke lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bersimbol sederhana, padi dan kapas. Lambang sandang pangan. Jika dua hal itu terpenuhi, rakyat Indonesia dipastikan makmur. Berdaulat jika semua dari dalam negeri.
“Sejatinya, Pancasila turut mengajarkan bagaimana sebaiknya membangun sebuah bangsa. Yakni kedaulatan sandang dan pangan,” kata Turiman.
Dalam lambang negara ada kalimat Bhineka Tunggal Ika. Selama ini orang kerap mengartikannya sebagai, ‘berbeda-beda tapi tetap satu jua’. Menurut Turiman, hal itu keliru. Dengan makna seperti itu, akhirnya yang ditonjolkan adalah perbedaan. Beda suku, beda agama, beda bendera.
“Sejatinya, bhineka itu berarti keragaman. Tunggal itu artinya satu. Sementara ika, artinya itu. Jadi Bhineka Tunggal Ika, yang beragam itu satu itu. Yang satu itu, beranekaragam,” terangnya.
Pemaknaan yang sudah masuk ke dalam pemikiran bangsa Indonesia sejak puluhan tahun, akhirnya memengaruhi seseorang dalam bersikap. Saling mengkafirkan satu sama lain pun tak bisa dihindari. Beda pilihan, jadi penyebab keributan. Kekayaan keberagaman, tak dipikirkan.
Padahal, Tuhan berfirman, sengaja menciptakan orang bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling mengenal.
Menurut Siti Musrikah, Kadis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sintang, ketika ditemui Suara Pemred mengatakan, lambang simbol rantai di dada burung Garuda yang bermakna persatuan dan kesatuan, filosofi yang diambil dari kalung masyarakat Dayak Kalimantan.
“Kalung itu berbentuk bulat dan persegi yang teruntai sambung menyambung, membentuk sebuah rantai dengan makna yang sesungguhnya adalah, regenerasi berkelanjutan,” kata Musrikah.
Pahlawan Nasional
Negara mestinya mengangkat Sultan Hamid II sebagai Pahlawan Nasional, karena telah merancang dan membuat lambang negara. Sama seperti penghargaan yang sudah diberikan kepada Wage Rudolf Supratman yang menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Usulan itu sudah diperjuangkan sejak tahun 2000.
Namun, hingga kini, masih belum ada titik terang mengenai hal tersebut.
Pada masanya, Sultan Hamid II adalah anak bangsa berpendidikan tertinggi di Indonesia. Ia mengikuti Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda, Belanda hingga tamat dan berpangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.
Sayangnya, putra mahkota Kesultanan Kadriah Pontianak yang lahir 12 Juli 1913 ini, dituduh terlibat dalam peristiwa Westerling. Sejarah tersebut tertulis di buku-buku sejarah sekolah hingga kini. Padahal, dari Mahkamah Agung sudah menyatakannya tidak bersalah.
“Usulan itu sudah masuk dan diperjuamgkan sejak tahun 2000, tinggal direspon oleh Dinas Sosial Provinsi yang punya kewenangan dan kompetensi dalam pengusungan beliau sebagai Pahlawan Nasional,” ujar Turiman Faturahman, peneliti perjuangan Sultan Hamid II kepada Suara Pemred.
Semua hal untuk pengusungan tersebut sudah dilakukan, hasil penelitian tentang perjuangan Sultan Hamid II pun, telah dibukukan. Aspirasi elemen masyarakat sudah disampaikan ke pemerintah, termasuk DPRD Provinsi Kalbar dari tahun 2000.
Saat ini yang dibutuhkan adalah pemulihan nama baik Sultan Hamid II, dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh semua elemen masyarakat Kalimantan Barat. Termasuk juga mendorong agar namanya diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Masalah sebenarnya belum berhenti di situ. Masih ada diskriminasi hukum terhadap Sultan Hamid II. Dimana lagu kebangsaan di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, diakui dirancang oleh WR Supratman. Sementara perihal lambang negara, nama Sultan Hamid II tidak dituliskan.
“Pengakuan pembuatan lambang negara saja baru pada 2012, itu pun secara de facto, tapi hari ini kita masih ada diskriminasi hukum. Yang bisa memperjuangkan semua ini masyarakat Kalimantan Barat,” ujar Turiman.
Bukan hanya ikhwal lambang negara saja, selama ini lekat di masyarakat Sultan Hamid II terlibat dalam pembunuhan massal peristiwa penyerbuan Westerling dan APRA (KNIL di Negara Bagian Pasundan), Bandung, 23 Januari 1950. Sedikitnya 79 anggota TNI Divisi Siliwangi dan 6 orang sipil tewas dalam pernyerbuan itu.
Dalam buku Sultan Hamid II; Sang Perancang Lambang Negara “Elang Rajawali-Garuda Pancasila” Anshari Dimyati, dkk menyebutkan, dalam Putusan Mahkamah Agung 8 April 1853, dikatakan bahwa Dakwaan Primair (pokok) Jaksa Agung Soeprapto tidak dapat dibuktikan secara hukum. Namun Sultan Hamid II tetap dijerat hukuman penjara 10 tahun, karena ber”niat” melakukan penyerbuan terhadap Sidang Dewan Menteri RIS, dan ber”niat” membunuh tiga orang pejabat negara.
Rencana penyerbuan Sidang Dewan Menteri RIS tanggal 24 Januari 1950, satu hari sebelum penyerangan Westerling, memang ia rencanakan, namun telah ia batalkan. Westerling dan Frans Najoan yang ia perintahkan pun tak jadi melakukannya. Tak ada insiden apapun pada hari itu. Lain kasus dengan penyerangan yang dilakukan Westerling satu hari sebelumnya yang menewaskan 85 orang.
“Sultan Hamid II sama sekali tak tahu perihal kejadian itu dan tak pernah memberi perintah,” kata Turiman.
Siti Musrikah, Kadis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sintang mengatakan, sang perancang lambang negara ini bisa segera diumumkan secara resmi oleh negara, dan tuduhan makar atas dirinya bisa segera dihapus. Sebab, di persidangan pun tidak terbukti bahwa, Sultan Hamid terlibat dalam pemberontakan Westerling.
“Kita berharap pengakuan dari negara atas Sultan Hamid bisa segera diumumkan, dan beliau bisa diangkat sebagai salah satu Pahlawan Nasional, sebagaimana pahlawan-pahlawan lain yang juga berjasa kepada negara,” kata Musrikah.
Max Yusuf Alkadrie, Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II, ketika dihubungi Suara Pemred mengatakan, tanggal 26 Agustus 2016, gambar rancangan asli Lambang Negara Indonesia ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya Nasional, lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 204/M/2016.
Kini, posisi lambang negara, sejajar dengan bendera kebangsaan merah putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
“Penetapan Elang Rajawali Garuda Pancasila sebagai cagar budaya nasional, merupakan buah keringat banyak orang. Upaya yang diperjuangkan sejak lama, diakui sekarang,” kata Max.
Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II ini menjelaskan, sejak beberapa lama pihaknya memperjuangkan penetapan cagar budaya nasional ini. Tak sekadar mengajukan ke pemerintah, seminar-seminar juga rutin digelar untuk menjelaskan bagaimana perjuangan Sultan Hamid II. Bahkan tahun 2013 di Pontianak sempat diadakan Seminar Nasional dan Pameran Lambang Negara oleh Sekretaris Negara.
“Kita berterima kasih kepada pemerintah, kepada saudara Turiman, Ansyari, semua pihak yang peduli pada Sultan Hamid II dan karyanya,” ucapnya dalam.
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta, dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Elang Rajawali Garuda Pancasila, karyanya telah jadi bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia.
“Semoga juga ingatan semua anak bangsa,” ujar Max. Edisi cetak di Suara Pemred, 10 Februari 2017 (bls/nan/lis)
Posted by Muhlis Suhaeri at 12:05 AM 0 comments