Monday, January 16, 2017

Sebuah Desertasi Ilmu Lingkungan dari Pahrian G. Siregar 
Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan dan Habitat Orangutan

Ringkasan Desertas ini untuk memperoleh gelar Doktor dalam Ilmu Lingkungan pada Universitas Indonesia, dan sudah dipertahankan di hadapan Komisi Sidang Akademik Universitas Indonesia, Rabu, 11 Januari 2017, pukul 14.00 WIB. Pemilik gelar Doktor itu adalah, Pahrian Ganawira Siregar.

Pahrian bukan nama asing bagi saya. Meski, saya hanya mengenalnya setahun saja, itu pun empat tahun yang lalu, ketika sama-sama bekerja untuk USAID, KINERJA. Aktivis lingkungan ini, sudah malang melintang di berbagai lembaga Internasional.

Pembawaannya selalu gelisah dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Ia disiplin dan pintar. Gaya bicaranya lugas dan analisis. Ia selalu memberi konteks terhadap masalah yang sedang dibicarakan. Namun, ia tidak menggurui, meski paham masalah itu.

Berbicara dengan Pahrian, ibarat bicara pergulatan ide dan pemikiran yang tak kunjung henti. Tak heran bila saya cepat akrab dengan dirinya. Ibaratnya, sumbu ketemu tutup. Klop. Dan, hasil penelitian ini, merupakan bentuk kegelisahan pada apa yang ditekuninya.

Penelitian dari desertasi ini, tujuan utamanya untuk pengembangan konsep pengelolaan lanskap yang lebih baik, menggunakan pendekatan metode gabungan memanfaatkan pemodelan system dynamics, pemodelan multi criteria evaluation, analisis trade off, evaluasi dan pemetaan keberlanjutan lanskap, serta analisis medan daya.

Penelitian ini memperlihatkan, jika terjadi peningkatan permintaan edible oil di pasar internasional, maka pembangunan kelapa sawit yang tidak ramah terhadap orangutan, akan meningkat dan berpotensi melebihi luasan hutan yang tersisa di 2030, dan mengakibatkan 200-900 orangutan kehilangan habitatnya.

“Keberlanjutan di tingkat lanskap terlihat cenderung seimbang, namun terjadi dominasi penguasaan lahan dan kesenjangan pemanfaatan antar sub lanskap. Penelitian ini merekomendasikan beberapa rencana aksi, untuk mewujudkan pengelolaan lanskap berkelanjutan,” tulis Pahrian.

Orangutan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan hujan tropis. Saat ini, jenis kera besar ini hanya ditemukan di Sumatera dan Borneo (Kalimantan), yang 90 persennya di Indonesia.

Populasi orangutan Kalimantan ada tiga kelompok geografi atau sub spesies. Pertama, Pongo pygmaeus pygmaeus. Orangutan ini di bagian Barat Laut Kalimantan, yaitu utara dari Sungai Kapuas sampai ke Timur Laut Sarawak. Kedua, Pongo pygmaeus wurmbii, di bagian Selatan dan Barat Daya Kalimantan, antara sebelah Selatan Sungai Kapuas dan Barat Sungai Barito. Ketiga, Pongo pygmaeus morio, di Sabah sampai Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Pahrian menfokuskan penelitiannya pada jenis Pongo pygmaeus pygmaeus.

Mengapa ia tertarik meneliti species itu? Sebab, pembangunan di Indonesia 40 tahun terakhir ini, meluluhlantakkan hutan hujan tropis. Padahal, hutan itu memiliki keanekaragamanhayati. Akibatnya, lanskap-lanskap yang dahulunya didominasi hutan alami mengalami perubahan, akibat eksploitasi kandungan mineral di dalamnya, ekstraksi tegakan kayunya maupun dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman dan infrastruktur, perkotaan, industri serta lahan budidaya masyarakat.

Forest Watch Indonesia (2011) mencatat, luas hutan hujan tropika Indonesia yang mencapai 120,35 juta hektar pada 2008, memiliki laju deforestasi yang tinggi. Yakni: 0,45 juta hektar pada 2009-2011. Bahkan, pernah mencapai 2 juta hektar, pada 1997-2001.

Lalu, bagaimana dengan Kalbar? Provinsi ini mengalami proses pembangunan dengan menopang penggerak pembangunannya, melalui eksploitasi sumber daya hutan. Eksploitasi dilakukan, untuk melayani permintaan pasar global. Harapannya, tentu saja supaya dapat meningkatkan pendapatan negara. Era itu ditandai dengan pemanfaatan kayu pada 1970-1990-an. Selanjutnya, pembangunan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.

Dominasi Kelapa Sawit 
Pembangunan yang eksploitatif menghadirkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, baik secara langsung maupun karena multiplier effect. Pertumbuhan ekonomi yang berlangsung, ternyata tidak serta merta menghadirkan kesejahteraan pada masyarakat yang hidup di sekitarnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2013), tingkat kemiskinan di Kabupaten Ketapang, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Landak berada di bawah garis nasional. Padahal, ketiga kabupaten ini, pemanfaatan lahannya didominasi kelapa sawit.

“Peneliti tertarik melihat dinamika pembangunan di Kalimantan Barat, khususnya dinamika di tingkat lanskap. Pemilihan pendekatan pada tingkat lanskap dikarenakan pemanfaatan lahan dan pemanfaat dari lahan lebih dapat dilihat dengan cara yang terintegrasi,” tulis Pahrian.

Kegiatan ekstraktif, seperti konversi hutan, intensifikasi pertanian dan penanaman pohon mengakibatkan dampak pada lingkungan, ekonomi dan sosial.

Terkait species Pongo pygmaeus pygmaeus, konservasi keanekaragaman hayati tidak akan efektif, bila perlindungan hanya pada keanekaragaman hayati di kawasan yang dilindungi. Alasannya, kondisi keberlanjutan di kawasan dipengaruhi juga kondisi di sekitarnya.

Hal ini terjadi karena, banyak spesies perlu melakukan migrasi atau perpindahan untuk mendapatkan sumber daya yang tidak tersedia di dalam kawasan yang dilindungi. Orangutan digunakan sebagai spesies payung di dalam konservasi hutan tropis Kalimantan, karena berperan penting untuk memencarkan biji-biji dari tumbuhan yang dikonsumsinya.

Dari penelitian yang dilakukan, Pahrian memiliki kesimpulan. Berdasarkan hasil pemodelan business as usual, jika terjadi peningkatan permintaan edible oil di pasar internasional, mengakibatkan peningkatan pembangunan kelapa sawit di Kalbar.

Perkebunan kelapa sawit merupakan pemanfaatan lahan yang paling menguntungkan, ditinjau dari potensi keuntungan ekonominya. Namun, kerentanannya yang tinggi pada keberlanjutan orangutan dan keanekaragaman hayati lainnya, dominasi kelapa sawit di lanskap akan mengancam kelestarian keduanya.

Selanjutnya, supaya dapat mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan di seluruh lanskap yang ada, pemerintah pusat (c.q. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) diharapkan dapat menegakkan, dan meningkatkan pengawasan pelaksanaan aturan kewajiban pengalokasian luas kawasan hutan, dalam setiap daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau, minimal 30 persen dari luas daratan.

Pemerintah propinsi atas fasilitasi dari pemerintah pusat (c.q. Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral), diharapkan dapat mengundang investor dalam pengembangan industri pengolahan biodiesel berbahan baku produk kelapa sawit di lanskap penelitian, sebagai upaya meningkatkan nilai tambah dari perkebunan kelapa sawit dan penyerapan tenaga kerja.

Pemerintah daerah (propinsi dan kabupaten) diharapkan dapat mempromosikan, meningkatkan kemampuan teknis masyarakat, menyediakan pemodalan bagi masyarakat, mengatur tata niaga dan penguatan industri rumah tangga pengolahan hasil produksi, untuk mengembangkan hutan rakyat dan agroforestri.

Selain itu, perusahaan perkebunan kelapa sawit dan koperasi petani kelapa sawit, diharapkan dapat bekerja sama mengembangkan program intergrasi sawit dan sapi, sebagai upaya meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kelapa sawit, dan meningkatkan ketahanan pangan daerah.

Tak lupa, Pahrian juga mengingatkan, semua pemangku kepentingan di sektor perkebunan diharapkan, dapat memulai dialog mengenai redistribusi aset dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit.

No comments :