Oleh: Muhlis Suhaeri
Kekerasan dalam rumah tangga terus terjadi. Banyak korban enggan melapor. Perlu pemahaman hak asasi bagi pasangan suami-istri.
Riyanti hanya bisa pasrah, ketika tamparan keras suaminya menghajar wajah. Tak ada perlawanan. Sebagian warga Desa Ngarak, Lubuk Batu, Landak, Kalimantan Barat, mencoba menengahi urusan rumah tangga tersebut.
Tamparan itu pengalaman Riyanti 17 tahun lalu. Peristiwa itu masih membekas dalam ingatan. Kini Riyanti (42 tahun) sudah pindah rumah. Tak lagi tinggal di kampung. Ia membuka warung di depan markas Pemadam Kebakaran Bhakti Suci di Pontianak. Di sana, ia meneruskan hidup.
Saat itu Riyanti suka bertandang ke rumah tetangga. Saat suaminya, Agus Sabi, pulang dari bekerja di bengkel tak menemuinya di rumah, langsung marah-marah. Suaminya juga sering cemburu. “Saya tidak dendam saat dipukul, karena memang saya yang salah,” katanya.
Budaya Patriarki
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus yang paling banyak menimpa perempuan. Sepanjang tahun 2009 Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Pontianak menangani 80 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, 52% kasus KDRT. Urutan berikutnya pencabulan dan kekerasan terhadap buruh migran perempuan, mencapai 10% dan 8% kasus. “Jumlah kasus KDRT cenderung meningkat,” kata Ruslaini Sitompul, Direktur LBH APIK Pontianak.
Penyebab kekerasan dalam rumah tangga antara lain budaya patriarki, bias pemahaman agama, dan permasalahan ekonomi. KDRT dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. “Keempat model itu saling melengkapi,” ujar Suprihatin, Koordinator Bantuan Hukum LBH APIK Pontianak.
Suprihatin melihat permasalahan KDRT masih dianggap isu pinggiran. Padahal, KDRT sangat berpengaruh terhadap masalah sosial. Menurut dia, generasi yang baik berasal dari rumah tangga yang sehat. Dia meminta pemerintah melindungi korban KDRT.
Meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak lepas dari rendahnya kesadaran korban, sebagian besar perempuan, untuk melapor. Sejak tahun 1997 LBH APIK mulai melakukan sosialisasi melawan KDRT, namun belum menampakkan hasil yang efektif.
Perempuan masih memiliki pemahaman yang minim soal UU tentang KDRT. UU ini mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban, menindak pelaku, dan memelihara keutuhan rumah tangga.
Kendala lain juga muncul, yaitu rendahnya pemahaman aparat hukum mengenai KDRT. Suprihatin berharap pemerintah memberikan pelatihan khusus kepada aparat hukum dalam menangani kasus KDRT. “Sehingga ketika menangani kasus tersebut, tidak muncul bias gender atau agama,” ujarnya.
Penanganan KDRT
Humas Polda Kalimantan Barat AKBP Suhadi SW mengatakan, kepolisian sudah melakukan sosialisasi internal mengenai penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Meningkatnya kasus KDRT menunjukkan masyarakat semakin berani melaporkan kasus ini kepada polisi. “Mungkin, karena pemahaman sudah mulai tinggi.”
Menurut Suhadi, kesadaran warga terhadap hak sudah meningkat. Ada beberapa pelaku KDRT yang ditahan. Namun, banyak juga yang mencabut laporan, ketika suami akan ditahan, karena menjadi tulang punggung keluarga.
Dalam banyak tradisi masyarakat Indonesia, kekerasan terhadap perempuan dilarang. Di Bugis, misalnya, suami dihukum tidak boleh berhubungan badan jika memukul istri. Pasangan suami-istri harus mengucapkan ijab kabul kembali. Bahkan, menyentil telinga istri sudah dapat dianggap menjatuhkan talak.
Memukul istri merupakan pantangan bagi masyarakat Bugis. “Takut kualat karena istri, umpama ibu sendiri. Karenanya, sebelum menikah harus memahami ekonomi dan semua informasi mengenai calon pasangan. Ibaratnya, harus keliling dapur tujuh kali, sebelum memutuskan nikah,” kata Nasir asal Bugis. (E4)
Terbit di Voice of Human Right (VHR).
Saturday, May 29, 2010
Bara Dalam Rumah Tangga
Posted by Muhlis Suhaeri at 9:05 AM
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment