Amerika, Negeri Para Pencari Kebebasan
by Muhlis Suhaeri
Angin musim dingin segera menyergap, saat kami tiba di Bandara Internasional Dulles, Washington, Amerika Serikat (AS). Angin seakan membekap dan memenjarakan kami dalam suatu mesin pendingin raksasa. Hawa dingin menusuk hingga ke sumsum tulang. Dua lapis baju dan jaket tebal, seakan tak sanggup menutup kulit tropis kami, yang sepanjang tahun menerima sinar matahari dengan terik. Apalagi aku yang biasa hidup di garis Khatulistiwa, Pontianak.
Dua orang intepreter, Irawan Nugroho dan Shawn Callanan, segera membimbing kami menuju mobil limo penjemput. Irawan mantan jurnalis Jawa Post di biro Washington. Dia juga pernah bekerja di Voice of America (VOA). Shawn pernah belajar bahasa Indonesia di Yogyakarta. Dia juga bisa bahasa Jawa, Spanyol, dan Inggris tentunya.
Pertengahan Februari, cuaca di AS memang sedang ekstrem. Berita di layar televisi ketika kami tiba di hotel menunjukkan, temperatur berada di bawah nol derajat. Itu artinya titik beku. Tak heran bila sepanjang mata memandang, yang nampak hanya warna putih. Salju. Dan, sebelum kami tiba di Washington, badai salju terparah sepanjang AS, baru saja terjadi. Salju menutup lapisan permukaan tanah hingga ketebalan 60 cm. Ini salju terburuk dalam sejarah Amerika sejak 1921.
“Ketika turun salju, truk pembawa makanan banyak yang terlambat. Sehingga persediaan makanan dan keperluan, banyak yang kosong. Ini jarang sekali terjadi, bahkan setelah 16 tahun saya di Amerika,” kata Svet Voloshin, pemandu wisata kami di Washington. Voloshin kelahiran Rusia. Dia sudah jadi warga negara AS.
Suatu keberuntungan, aku bisa melihat dan merasakan Amerika dari dekat. Kesempatan itu kuperoleh karena mendapatkan undangan secara personal dari Kedutaan Amerika di Jakarta. Kegiatan itu bernama International Visitor Leadership Program (IVLP). Tema programnya, Democracy and Governance. Kami bertemu dengan orang media, akademisi, aktivis, pejabat pemerintahan, dan mengunjungi berbagai tempat bersejarah atau yang menjadi pusat kegiatan penting di pemerintahan dan media massa.
Kami ada lima orang. Ada yang dari Riau, Lampung, Jakarta, Pontianak dan Tarakan. Semuanya jurnalis. Di Amerika kegiatan berlangsung selama 21 hari, menjelajah lima negara bagian di AS. Yaitu, Washington DC, New York, Atlanta, Saint Louis dan California. Bila ditarik garis lurus antara lima negara bagian tersebut, perjalanan itu sekira dengan Kota Sabang di Aceh hingga Merauke di Irian Barat.
Sejarah Amerika termasuk baru, bila dibandingkan dengan Negara-negara di Eropa. Namun, Amerika punya landasan kuat, didasari dari filosofi Eropa, Montesqui, John Lock, dan lainnya. Ketika menyatakan kemerdekaannya dari penjajahan Inggris pada 4 Juli 1776, AS merupakan tempat mencari kebebasan para imigran dari Inggris, Irlandia, Swedia, Norwegia, Perancis, Belanda, Prusia, Polandia dan berbagai bangsa lainnya. Karenanya, kebebasan dan hak individu sangat dijaga dan dihormati.
Amerika didukung 13 negara bagian, saat pertama kali merdeka. Sekarang ada 50 negara bagian. UUD merupakan instrumen utama pemerintahan dan hukum tertinggi. “Kekuatan UUD Amerika, karena sifatnya sederhana, luwes dan lentur. Ada proses amandemen atau pengubahan, jika kondisi sosial, ekonomi atau politik mengharuskan,” kata Akram Elias, President Capital Communication Group, Inc, ketika memberikan materi diskusi.
Sejak diberlakukan secara resmi pada 4 Maret 1789, UUD Amerika sudah diamandemen 27 kali. Sebelum UUD berlaku, dasar pijakan pemerintahan adalah Articles of Confederation.
Dalam buku berjudul Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, UUD diterjemahkan dalam suatu penjelasan bernama The Federalist Paper yang ditulis antara Oktober 1787 – Mei 1788 oleh Alexander Hamilton, 32 tahun, dan James Madison, 36 tahun. Penjelasan itu berupa tulisan essai sebanyak 51 surat di media massa. Intinya, untuk bisa bertahan sebagai bangsa terhormat, diperlukan transfer kekuasaan, meski terbatas kepada pemerintahan pusat. Para sejarawan, ilmuwan politik, berpendapat bahwa, The Federalist Paper merupakan karya penting mengenai filsafat politik dan pemerintahan di AS.
Amerika pernah mengalami perang sipil atau perang saudara antarnegara bagian, pada 1861-1864. Negara bagian selatan ingin memisahkan diri dari utara atau Union, dan memerintah sendiri dengan bentuk Konfederasi. Tapi hal itu dicegah pihak utara, terutama oleh Presiden AS ke 16, Abraham Lincoln. Isu utama perang, hak mengatur perbudakan di Negara Serikat yang baru terbentuk. Pihak utara ingin menghapuskan perbudakan, selatan tetap mempertahankan. Dalam perang ini, sebanyak 300-an ribu orang terbunuh dan 200-an ribu terluka.
Washington DC (District of Columbia) merupakan ibukota AS. Washington ibukota AS ketiga setelah New York dan Philadelphia.
Sebagai pusat pemerintahan, Washington merupakan kota yang ditinggali para diplomat. Sebagian besar negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan AS, menempatkan perwakilannya di sini. Karenanya, tak heran bila gedung-gedung di Washington, banyak berkibar beraneka warna bendera.
Ada satu pengalaman lucu terjadi. Ketika sedang mencari makan, salah seorang teman berkata, “Lho, kok petugas di Kedutaan Indonesia, memasang bendera terbalik, ya?”
Kami segera menengok arah yang dia tunjuk. Setelah diamati, ternyata ada dua gedung yang memasang bendera hampir sama. Bendera dengan warna putih di atas dan merah di bawah. Dan bendera dengan warna merah di atas dan putih di bawah.
Setelah diamati dengan seksama, ternyata itu dua gedung berbeda. Satu gedung milik kedutaan Polandia, dan satunya milik Indonesia. Kami tertawa terpingkal dengan bebas. Sebebas negeri ini melakukan pembebasan, atas para individunya.
Edisi cetak di Koran Tribun Pontianak
Wednesday, April 21, 2010
*Melongok Amerika dari Dekat (bagian 1)
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment