Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) di empat kabupaten, baru saja berlangsung. Dua kandidat di Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak, telah diketahui hasilnya. Dua lagi, Kabupaten Kubu Raya dan Sanggau, bakal melangsungkan putaran kedua. Paling lambat bulan Desember, dua daerah itu bakal melangsungkan putaran kedua.
Dari pelaksanaan kampanye yang dilakukan, berbagai janji ditebar para kandidat, untuk menarik simpati para pemilih. Ada pendidikan dan kesehatan gratis, pembangunan infrastruktu, jalan, jembatan, air bersih, peningkatan gaji pegawai dan lain sebagainya. Pokoknya indah, bagus dan enak didengar.
Ada warga yang menanggapi janji itu dengan antusias. Namun, tak sedikit yang abai dan menganggapnya sebagai angin lalu. Bagaimanapun, tebar janji dan program seperti itu, sudah menjadi tradisi dan perilaku politik bagi yang ingin menang dalam sebuah pemilihan.
Lalu, apakah ada apatisme terhadap politik dalam hal ini? Tentu saja tidak. Kesadaran memilih dan menentukan sosok pemimpin lima tahun kedepan, merupakan sikap politik yang sudah dibuktikan. Warga berbondong-bonding datang ke TPS dan mencoblos kertas suara.
Kesadaran memilih dan menentukan tidak sekali jadi. Namun, berangkat dari sebuah proses dan butuh waktu. Kesadaran ini, tidak sekali jadi. Ada proses pendidikan politik. Ada interaksi. Dari berbagai pemberitaan di media massa, orasi para kandidat, dan berbagai informasi lainnya.
Apalagi dengan era yang semakin global seperti sekarang. Informasi bisa diperoleh dengan mudah, cepat dan massal. Karenanya, hampir susah untuk menyembunyikan fakta dan berbagai borok yang ada. Tinggal, bagaimana orang punya keberanian untuk melakukannya.
Dalam hal ini, ada beberapa mekanisme kontrol dan pengawasan yang bisa dilakukan. Tentunya, siapa harus melakukan apa, sesuai kemampuan dan keahliannya. Warga yang mengetahui peristiwa, harus melaporkannya. Aparat hukum yang dilapori, harus memproses laporan dan melakukan tindakan. Awak media yang tahu peristiwa, harus memberitakan dengan berbagai prinsip dan etika jurnalistik yang baik. Bila hal itu bisa dilakukan, berbagai penyimpangan bisa dikurangi sekecil mungkin.
Bagaimanapun, niat melakukan penyimpangan muncul, karena adanya celah dan peluang. Bila semua orang memiliki kepedulian menutup dan menambal celah tersebut, semua orang pasti bisa menikmati hasil pembangunan. Bukan hanya segelintir orang saja.
Karenanya, menjadi kewajiban semua pihak, saling mengawasi dan mengingatkan. Akan pentingnya kelangsungan pembangunan kedepan. Dan, bagi yang sudah berjanji dan menawarkan program dalam kampanyenya, saatnya mengawasi dan melihat praktek dari pelaksanaan janji yang sudah terucap.
Janji merupakan sesuatu yang abstrak. Di Indonesia ini paling banyak agama. Tapi juga paling banyak terjadi korupsi. Terkadang, ketika orang dilantik dengan sumpah Alqur’an, Alkitab, atau apapun di atas kepalanya, hal itu hanya sebuah seremoni saja. Bukan sebuah janji kepada Sang Pencipta, Agama, atau Rakyat yang telah memilihnya.
Karenanya, harus ada mekanisme yang mengontrol dan melihat, bagaimana proses pembangunan dilakukan. Semua harus berperan dalam hal ini. Sehingga pembangunan bisa dinikmati oleh semua warga.
Bagi para kandidat yang terpilih, tentu harus memiliki kesadaran untuk membuktikan janji tersebut. Bila tidak, warga bakal menuntut janji, dan tak bakal memilih pada pemilihan berikutnya. Karena kesadaran warga bukanlah hanya sebatas beras dan sembako. Namun, lebih dari itu. Ada karakter yang mereka nilai dari sosok Sang Kandidat atau Pemimpin.□
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 26 Oktober 2008
Fotografer Muhlis Suhaeri
Sunday, October 26, 2008
Saatnya Membuktikan Janji
Posted by Muhlis Suhaeri at 3:26 AM 0 comments
Labels: Opini
Wednesday, October 22, 2008
Makanan dan Minuman Bermelamin Masih Beredar
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Masyarakat kembali dikejutkan dengan berbagai penemuan tentang makanan dan minuman yang mengandung bahan berbahaya. Fakta tentang efek dan akibat dari mengkonsumsi makanan ini, seakan dipandang sebelah mata oleh pihak berwenang. Juga bagi mereka yang ingin mendapat keuntungan dari sebuah perdagangan yang dilakukan.
Meski sudah sering beritakan kalangan media massa, makanan dan minuman yang mengandung bahan berbahaya melamin, masih beredar di pasaran. Fakta dan masih ditemukannya biskuit dan susu yang mengandung melamin, membuktikan pihak berwenang tidak tanggap dan mengabaikan keselamatan warga negara.
Padahal, efek dari makanan dan minuman mengandung bahan bermelamin dari China, sudah sangat jelas. Puluhan nyawa bayi di China melayang, dan banyak lagi yang mengalami gagal ginjal.
Ini sebuah permasalahan serius. Karenanya, pihak yang terkait, dalam hal ini pemerintah, harus serius pula menanganinya.
Beredarnya makanan dan minuman bermelamin di Kalimantan Barat, tak lepas dari mudahnya barang itu masuk melalui perbatasan. Kendornya pengawasan di lintas batas ini, menjadi surga paling empuk bagi para pemasok barang.
Tak heran bila di berbagai swalayan besar dan toko kecil di seluruh Kalbar, mudah ditemukan makanan dan minuman produk Malaysia. Kejadian yang sudah lama terjadi tersebut, kembali menemukan gaung dan gugatan dari warga, seiring dengan ditemukannya bahan berbahaya dari produk tersebut.
Lemahnya pengawasan dan pembiaran terhadap berbagai produk tersebut, berakibat pada beberapa hal. Pemerintah tak mendapatkan pemasukan pajak dari barang yang diperdagangkan. Masyarakat juga tak mendapatkan jaminan keselamatan dari produk yang diperjualbelikan. Bagaimanapun, sebuah produk makanan dan minuman, layak dikonsumsi bila sudah lolos dari uji klinis.
Menilik dari permasalahan tersebut, kiranya pemerintah melalui pihak berwenang, harus berbuat tegas dan melakukan tindakan. Agar barang berbahaya tidak bisa masuk ke Kalimantan Barat. Tindakan tegas tentu bisa diambil melalui berbagai razia dan penelusuran di lapangan terhadap produk ini. Pemerintah juga harus kembali mensosialisasikan berbagai produk berbahaya tersebut kepada masyarakat.
Bila tidak, korban yang sudah terjadi, akan terulang kembali. Kita tentu tak ingin, kejadian itu berakibat pada keluarga sendiri. Karenanya, semua harus bekerja sama, untuk menangani hal tersebut.
Bukankah melindungi dan mengamankan warga dari berbagai bahaya makanan dan minuman berbahaya, merupakan tanggung jawab pemerintah. Sebab, pemerintah yang memiliki kekuatan infrastruktur, kebijakan dan personel, untuk melakukannya.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune, 22 Oktober 2008
Gambar diambil dari www.fomca.org.my
Posted by Muhlis Suhaeri at 3:46 AM 0 comments
Labels: Opini
Wednesday, October 1, 2008
Kembali Suci Selamanya
Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak
Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan yang dilakukan secara bersama sebagai bentuk kembalinya manusia pada kesucian, sebagaimana awal manusia diciptakan. Itulah inti dari khutbah yang disampaikan Dr. Aswandi, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura (Untan), pada salat Idul Fitri di Masjid Mujahidin, Jalan A Yani, Pontianak, Rabu (1/10).
Kalimat fitri merupakan ajaran penting Islam. Bahwa, muasal manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih. Oleh karena itu, manusia bersifat hanif. Dalam artian, selalu merindukan dan mencari yang benar dan baik.
Kebenaran dan kebaikan sesuatu yang alami. Sedangkan, kepalsuan dan kejahatan tidak alamiah. Bertentangan dengan jati diri manusia yang ditetapkan Allah SWT.
“Jadi, inti dari perayaan Idul Fitri adalah, bersihnya kita dari dosa kepada Allah,” kata Aswandi. Dilengkapi dengan memohon maaf kepada sesama, serta saling memaafkan. Terutama kepada kedua orang tua, saudara dan saudari, dan para tetangga.
Pentingnya memohon maaf, tercermin dari doa malaikat yang diamini Nabi Muhammad SAW. Ketika itu, Beliau membaca khutbah kedua pada salat Jumat pada Ramadan. Yakni, tidak diterima ibadah puasa seorang hamba, ketika Idul Fitri tidak saling memohon maaf.
Hal itulah yang membuat manusia di seluruh penjuru dunia, berusaha balik dan kembali ke tempat asal mereka berada. Demi bersilaturahmi dan saling memohon maaf.
Kehidupan itu mempersyaratkan kondisi netral atau fase kesucian. Dosa kepada sesama, hanya dapat pengampunan dari Allah SWT, jika sesama manusia saling memaafkan. Karenanya, awal baru kehidupan hanif, hendaknya dimulai dengan merajut dan memantapkan kembali silaturahmi. Saling memaafkan, tanpa melihat status dan kedudukan dalam masyarakat.
Setelah mengalami masa pembinaan fisik dan mental menuju kesucian di bulan Ramadan, banyak manusia dengan mudah kambuh kembali kepada kebiasaan tidak baik yang pernah dilakukan. Ahli psikologi menjelaskan, fenomena kambuh kembali cenderung terjadi 80 persen, dalam waktu 90 hari. Sebanyak 60 persen kekambuhan berawal dari kesulitan emosional seperti perilaku tidak sabar dan tidak mampu menahan amarah.
Sekarang ini, rasa kemanusiaan semakin merosot. Beberapa tahun lalu, puluhan rektor berkumpul dalam suatu konferensi di Universitas Michigan, Amerika Serikat. Mereka tersentak dengan sebuah fenomena. Sekarang ini, manusia memiliki orang terdidik dan pintar yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Setiap tahun memiliki lulusan dengan jenjang pendidikan lebih banyak. Namun, nilai kemanusiaan yang dimiliki, berpenyakit atau cacat. Tidak utuh.
Ini bisa dilihat dengan semakin banyak orang pandai, tetapi semakin sulit mencari orang jujur. Bernalar tinggi, tapi berhati kering. Sarjana pandai merekayasa dalam teknik, namun merayap dalam etik. Kaum intelektual pongah dengan pengetahuan, tapi kebingungan menikmati kehidupan.
Sekarang ini, manusia bukan hanya membutuhkan pengetahuan. Tapi juga kemanusiaan. Sesuatu yang bersifat spritual.
Kini, bulan Ramadan telah purna. Mulai hari ini, semua manusia memikul beban berat, mempertahankan kesucian yang telah diperoleh. Apalagi dengan momentum bakal diselenggarakannya Pilkada di Kabupaten Kubu Raya, Sanggau, Pontianak, dan di Kota Pontianak. Pada saat bersamaan, juga diselenggarakan persiapan Pemilu, memilih anggota legislatif dan presiden pada 2009. Dari pengalaman yang pernah terjadi, setiap penyelenggaraan Pemilu, sering menimbulkan konflik. Fitnah juga tumbuh subur di tengah masyarakat.
“Mulai saat ini, kita akan diuji oleh Allah SWT. Apakah termasuk golongan orang yang terus mensucikan diri, berzikir atau tetap mencintai dan mendahulukan hegomeni atau kesenangan dunia,” kata Aswandi.
Manusia pantas cemas. Berhati-hati. Memikirkan dan menjaga diri, setelah bulan Ramadan berlalu. Rasulullah sering merintih memohon ampunan. Padahal, Beliau manusia suci, dan insan yang sudah mencapai kesempurnaan.
Kesucian hati dan perbuatan, berhubungan erat dengan kesucian pikiran. Kesucian pikiran tergantung pada informasi yang dibentuk oleh pikiran tersebut. Baik yang diperoleh melalui pengamatan mata maupun telinga. □
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 1 Oktober 2008
foto oleh Jessica Wuysang
Posted by Muhlis Suhaeri at 3:32 AM 1 comments
Labels: Agama