Tuesday, July 29, 2008

Media Miliki Peran Penting Menyikapi Konflik

Muhlis Suhaeri dan Jessica Wuysang

Borneo Tribune, Pontianak
Media massa memiliki peran penting dalam menyikapi konflik. Media bisa menjadi racun atau obat, tergantung bagaimana mengelolanya. Hal itu dikatakan Amirudin al Rahab dari Elsam, Jakarta, dalam seminar dan lokakarya mengenai kekerasan komunal di Hotel Kapuas Palace, Senin (28/7). Lokakarya difasilitasi oleh Elpagar, Pontianak.

Menurutnya, media perlu mendidik dengan baik wartawannya, sehingga bisa menyikapi dan memahami permasalahan yang dihadapi atau suatu konflik. Akibat tidak memahami dan melakukan suatu prosedur yang baik, media bisa mengobarkan konflik yang terjadi.


Ketidakmampuan media dalam menyikapi suatu konflik, bisa juga berasal dari media yang tidak dikelola dengan baik. Sehingga media cenderung memberitakan berita-berita yang sensasional. Hal ini bisa membuat konflik makin besar.

Untuk meredam konflik, media massa harus bekerja sama dengan berbagai pihak, untuk meredam konflik yang terjadi.

AKBP Hendi Handono, Wadir Reskrim Polda yang juga menjadi pembicara mengemukakan, konflik bisa ditangani bila dilakukan cara preventif sebelum konflik terjadi. Konflik bisa mereda, bila ada kejujuran, transparansi, saling memaafkan, ada kepastian, dan selalu melakukan komunikasi yang baik.

Pembicara lainnya, Hardi Sujaie dari Fisipol Untan menyatakan, ketika terjadi konflik di Kalbar, media tidak melakukan fungsi yang baik dalam meredam konflik. Dari studi yang dilakukan terhadap pemberitaan media ketika terjadi konflik di Kalbar, ada 30 persen pemberitaan media malah memprovokasi konflik. Hanya 10 persen yang berusaha meredam konflik. Sisanya, biasa saja dalam memberitakan suatu konflik. Studi itu dilakukan antara 1998-2002.

Ia berkata, prilaku media yang tidak sensitif konflik bisa terjadi karena beberapa hal.
Ketika itu muncul kebebasan pers yang demikian besar, sehingga pers tidak memiliki alat kontrol. Sementara, kontrol dari dalam perse sendiri kurang bisa dilakukan, karena perusahaan pers dan pekerja pers, tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai konflik.

Karenanya, dia mengimbau media untuk bisa bersikap profesional ketika terjadi konflik, sehingga tidak memperparah konflik itu sendiri.

Hardi memaparkan, sejak tanggal 17 Agustus 1945, telah terjadi beragam konflik sosial di Indonesia dengan beragam bentuk. Baik vertikal maupun horizontal. Dari sekian banyak kerusuhan konflik yang terjadi di Indonesia, secara umum kekerasan komunal itu lebih cenderung bernuansa politik. Misalnya, konflik antarmassa dan elite politik pendukung calon kepala daerah dalam Pilkada langsung.

Selain bernuansa politis, kekerasan komunal juga disebabkan oleh perebutan sumber daya, tawuran, amuk massa, etnik atau agama, dan melibatkan aparat keamanan.
Ini disebabkan perbedaan pemahaman yang timbul dari berbagai etnis. Sehingga konflik antarsuku, ras, dan agama, akan selalu menyertai di tengah-tengah merebaknya isu global.

Hal inilah yang terjadi hingga kini. Bahkan, jika pemerintah tidak segera menyikapinya, tidak tertutup kemungkinan, konflik semacam itu masih akan mengancam di tahun-tahun mendatang.

Lalu apa yang menjadi peran pers saat memberitakan suatu peristiwa yang terjadi di daerah rawan konflik? Pertama, pers mau tidak mau harus berdiri di luar dari mereka yang berkonflik. Masalahnya, seringkali pers terlibat atau sengaja melibatkan dirinya pada kelompok yang berkonflik. Tentu saja ini akan mengurangi objektivitas pemberitaannya. Bahkan seringkali pers menikmati keuntungan dibalik keterlibatannya.

Kedua, tidak terlibatnya pers dalam konflik akan memberikan otonomi pers untuk memilih dan memilah kalimat. Sehingga kata-kata secara lebih jernih sesuai untuk kepentingan semua pihak. Kata-kata yang memprovokasi tidak akan muncul manakala pers tak melibatkan diri dalam konflik tersebut.

Itulah sebenarnya, mengelola pers yang diserahkan pada mereka yang tak punya kepekaan akan berita, hanya akan menjadikan pers itu sebagai alat untuk mencapai keuntungan dan kepentingan sepihak.

Pers tugasnya adalah melihat, memperkaya fakta dan data kemudian melaporkannya saja. Interpretasi diserahkan pada masyarakat. Masih jauh untuk mencapai tujuan pers berperan sebagai pelopor pendidikan multikultur. Tetapi, usaha ke arah itu tentu harus didorong dan dipupuk. Maka, berikan informasi yang benar dan berimbang, pers akan melaporkan apa adanya.

Yadi Indradi, Danlanud yang hadir dalam seminar itu mengatakan, pers bisa menjadi dinamisator dan katalisator dalam suatu konflik. Ia menegaskan, jangan memberikan ruang pada militer untuk berada di depan, dalam menangani suatu konflik. Bila militer berada di depan, maka doktrin yang dimiliki dalam penanganan konflik adalah kill or to be kill.

Karenanya, ia mengajak semua masyarakat untuk melakukan civilisasi. ”Konflik tidak akan bisa berakhir. Yang bisa dilakukan adalah, meminimalisir konflik,” kata Yadi.

Listyawati Nurcahyani, Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai tradisional Pontianak, memberikan masukan mengenai peran pers dalam memberitakan masalah konflik. ”Pers seharusnya tidak hanya memberitakan masalah konflik saja. Tapi juga menulis berbagai hal yang mengenai pemulihan konflik,” kata Listyawati. Selama ini, menurutnya media kurang berimbang dalam memberitakan hal itu.□

Edisi cetak ada di Borneo Tribune 29 Juli 2008
Foto Jessica Wuysang

No comments :