Friday, June 27, 2008

Belajar Menjadi Manusia

Dari Manusia yang Selalu Belajar

Muhlis Suhaeri
Borneo Tribune, Pontianak

Membaca buku kumpulan tulisan Dr. Aswandi, Dekan Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan (FKIP) Universitas Tanjungpura (Untan), ibarat menyelami luas dan dalamnya samudera. Kenapa begitu? Karena yang dipaparkan dalam buku ini, sebuah proses panjang dalam rentang waktu dan ruang, perjalanan hidup manusia.

Sebuah perjalanan, tentu saja perlu berbagai persiapan. Butuh pengetahuan. Semangat mencari berbagai hal dan pemahaman hakiki mengenai manusia. Tentang nilai. Untuk apa dan harus bagaimana, manusia menjalani dan menghadapi hidup.

Karenanya, judul yang diberikan dalam buku ini, “Belajar Menjadi Manusia” terasa tepat dan pas. Ada sikap rendah hati dari sang penulis. Ada pemaknaan, bahwa manusia harus selalu belajar. Bukankah, dalam ajaran agama pun menyatakan, belajar harus dilakukan sejak manusia lahir, hingga ajal menjemput?


Nah, dalam proses belajar itulah, manusia mengalami berbagai peristiwa dan pengalaman, yang membuat dirinya selalu menggunakan akal pikiran, pengetahuan, dan nilai agama, religi atau budaya.

Pada dasarnya, semua anak terlahir dengan jenius 99,99 persen. Anak berusia 0-5 tahun dapat mempelajari lebih banyak data dan fakta dari pada mahasiswa di perguruan tinggi, untuk mendapatkan kesarjanaan. Alasannya, anak menikmati proses belajar, dan sangat senang melakukannya. Sementara mahasiswa melakukannya dalam keadaan stress. Tetapi dengan begitu cepat selama enam bulan pertama, orang dewasa memupuskan kejeniusan anak (Sandy Mac Gregor dan Bucmester Fuller, 2000).

Orang dewasa secara sengaja atau tidak sengaja, memaksakan berbagai pemahaman dan nilai yang ada, pada seorang anak. Anak menjadi terkekang. Pada akhirnya, kreatifitas dan sikap spontanitas seorang anak, menjadi mandeg. Begitu juga ketika seorang anak memasuki jenjang sekolah.

Dalam proses belajar, sesuatu harus dilakukan dengan senang hati. Belajar akan efektif, bila dilakukan dalam suasana menyenangkan. Namun, kenyataan yang ada adalah, semakin dewasa seseorang, sekolah ternyata menciptakan sebuah sistem dan situasi belajar tidak menyenangkan (Rose dan Nicholl, 2002).

Lebih parah lagi, orang tua terkadang “memaksa” anaknya tumbuh menjadi anak sempurna, sesuai dengan pikiran, nilai-nilai dan ukuran sukses orang dewasa. Berbagai pendidikan dijejalkan. Alasannya, supaya anak bisa bersaing dalam kehidupannya kelak.

Menurut Dr. Aswandi, mengorbankan kebahagiaan anak demi mencapai kesempurnaan adalah kebablasan dan tidak manusiawi. Kesuksesan bukan kunci menuju kebahagiaan, melainkan kebahagiaan yang menjadi kunci kesuksesan (hal 16).

Dalam hidup, orang ingin sukses. Namun, sukses besar tidak dibangun di atas sukses. Melainkan dibangun di atas kesulitan, setumpuk masalah, kegagalan, frustasi, bencana besar, dan ditentukan oleh cara kita mengatasi dan mengubahnya.

Peristiwa sulit, ternyata mempunyai dampak penting dan berpengaruh terhadap otak manusia. Dalam bahasa Robin Sharma (2006), rasa sakit adalah guru menuju keberhasilan. Karakter terbentuk bukan dari pengalaman paling mudah. Melainkan dari pengalaman hidup sulit dan keras. Dari sanalah, seseorang menemukan siapa dirinya (hal 6).

Membaca kalimat tersebut, saya teringat dengan kawan satu tongkrongan, Ibnu Nurwanto. Sekarang, dia tinggal di Jakarta. Dia seniman dan pematung kayu cukup populer. Karya-karyanya menghiasi berbagai galeri terkenal di Jakarta dan luar negeri. Karya patungya dikoleksi orang dengan harga puluhan hingga ratusan juta.

Ketika saya tanya, apa dasar dia dalam berkarya? Dengan spontan dia menjawab. “Rasa sakit.” Ya, rasa sakit itulah yang menempa kehidupannya. Kesulitan hidup dan rasa sakit tidak disikapi dengan cengeng. Namun, menjadi batu pijakan untuk bangkit dan terus mengasah diri. Hasilnya, patung-patung yang ekspresif dan “bernyawa.”

Namun, ada sesuatu yang agak melegakan. Ternyata, sebagian besar orang tahan dengan penderitaan dan rasa sakit. Ketika manusia memperoleh kekuasaan dan harta, orang tidak tahan dan mudah jatuh. Setidaknya, itulah pendapat Si Penyair Burung Merak, Rendra, dalam sebuah perbincangan di rumahnya yang asri di Bojong, akhir 2003.

Nah, oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran yang efektif, harus mengajarkan kepada peserta didik tentang kecerdasan menghadapi masalah (hal 7). Dalam hal ini, sikap dan watak Dr. Aswandi sebagai seorang pendidik, muncul dalam wujud sejatinya.

Dalam belajar mengarungi hidup, manusia selalu berhadapan dengan realitas dan kenyataan. Realitas pada setiap sisi dan sudutnya, selalu menampilkan sosoknya yang paling ekstrem. Tak heran, tokoh revolusi Rusia, Vladimir Ilyich Lenin pernah berkata, “Realitas itu sesuatu yang revolusioner.”

Tak heran, bila berhadapan dengan suatu realitas, manusia terkadang harus menenggelamkan dirinya, agar bisa tetap bertahan. Terutama dalam mempertahankan jabatan yang disandangnya. Atau, mempertahankan kepemilikannya. Orang melakukan berbagai kebohongan, bukan suatu kebetulan belaka. Kebohongan tidak berada dalam kevakuman. Melainkan, telah direncanakan secara matang. Termasuk menghindari akibat buruk yang timbul dari kebohongan tersebut (hal 12).

Dalam sebuah proses belajar, salah satu penyakit manusia adalah, hasrat menjadi penting atau besar. Ini sifat dasar pembeda manusia dan binatang. Setidaknya, itulah pendapat Freud dan Dewey. Dalam prosesnya, banyak manusia menjadi gila dalam usahanya, mendapatkan perasaan menjadi penting.

Perasaan ini sering menghinggapi mereka yang pernah berkuasa atau berprestasi. Ketika semua telah redup, mereka tak kuasa menghadapi realitas yang terjadi. Dengan kalimat sederhana bisa diartikan, hasrat diri menjadi penting atau besar, tidak akan terwujud melalui jalan “Merasa Diri Penting”. Melainkan melalui kepemimpinan diri yang efektif, dan dirasakan oleh orang di sekitarnya, sebagai sesuatu yang bermakna (hal 24).

Buku ini memberikan pandangan, bagaimana cara dan sikap, serta tipe seorang pemimpin. Bagaimana menjadi pemimpin pemaaf. Memimpin dengan contoh. Kecerdasan sosial memimpin. Pemimpin dengan pengikut. Takut menjadi pemimpin. Pemimpin berkuping lebar. Kejujuran seorang pemimpin. Integritas seorang pemimpin. Pemimpin populer. Pemberani. Zuhud. Kepemimpinan berbasis nilai, moral dan lainnya.

Menjadi apa diri kita besok pagi, tergantung pada menjadi apa kita hari ini. Masa depan hanya milik seseorang menciptakannya hari ini. Mulailah dari diri sendiri. Dari yang kecil dan sekarang juga (230).

Buku ini layak dibaca bagi mereka yang masih ingin menjadi manusia. Dr. Aswandi memberikan berbagai wacana dan sudut pandang, bagaimana menjadi manusia yang baik dan berkualitas. Buku ini juga memberikan pemahaman khas seorang pendidik, dalam menyampaikan suatu permasalahan. Ada berbagai contoh kongkret tentang pengalaman hidup, dan referensi permasalahan secara literer.

Secara teknis penulisan, ada beberapa bagian dan bab di buku ini, masih menggunakan standar penulisan makalah akademis. Adanya penomoran angka, tanda kurung, dan lainnya. Banyaknya kutipan dari literatur, juga terasa menyesakkan isi sebuah buku. Begitu juga format spasi yang terkadang terlalu panjang, terasa sangat melelahkan pikiran, untuk menyerap pokok pikiran di alinea tersebut.

Pada akhirnya, siapa pun yang ingin memiliki kehendak menjadi manusia baik dan berkualitas, buku ini layak menjadi referensi dan bacaan. Dan, konsistensi Dr Aswandi untuk selalu menuangkan pokok pikirannya di media massa, patut diapresiasi dan diacungi jempol.

Sebab, sepintar apa pun seseorang, ketika tidak menulis, dia akan hilang dalam ingatan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Begitulah, kata sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dan, Dr. Aswandi sudah membuktikan hal itu.

Jadi, kalau Anda tidak ingin terlupakan dan hilang dalam ingatan sejarah, MENULISLAH.□


Judul buku : Belajar Menjadi Manusia
Penulis : Dr. Aswandi
Penerbit : Muare PR (Public Relation), Pontianak
Cetakan : I, Mei 2008
Dimensi : 152 mm x 270 mm
: xiii + 200 halaman


1 comment :

Unknown said...

saya senang dengan kata kata yang ini "Dalam proses belajar, sesuatu harus dilakukan dengan senang hati. Belajar akan efektif, bila dilakukan dalam suasana menyenangkan. Namun, kenyataan yang ada adalah, semakin dewasa seseorang, sekolah ternyata menciptakan sebuah sistem dan situasi belajar tidak menyenangkan (Rose dan Nicholl, 2002." kayaknya pas banget untuk dipraktekkan
salam kenal, Sheero