Saturday, May 19, 2007

Mencari Identitas dan Falsafah Kota

Oleh: Muhlis Suhaeri dan Mujidi

Semestinya, pembangunan sebuah kota, merujuk pada falsafah dan tujuan, ketika kota itu didirikan. Harus ada landasan berpikir, kota dibangun karena apa, dan kota bisa hidup dari mana.

Lelaki itu telah sepuh. Namanya Sudarto. Sikapnya ramah dan bersahabat. Guratan-guratan garis menanda pada wajahnya. Ia antusias dalam berbicara. Kalimatnya tersusun rapi dan terstruktur. Setiap fakta dan peristiwa, ia ingat betul datanya. Orang bilang, ia perpustakaan berjalan.


Ya, memang demikianlah adanya. Bicara dengannya, ibarat membuka puluhan lembar halaman buku. Segar dan mencerahkan. Malam itu, di rumahnya yang sederhana dan tertata apik, kami berbincang.

Setiap sudut rumahnya terisi rak buku dan majalah. Semua tersusun rapi. Puluhan gerabah, menghias lemari dan meja. Seolah mengikat si empunya rumah, pada daerah penghasil gerabah tersebut, Kasongan, Yogyakarta.

Sudarto kelahiran Yogyakarta. Pada awal 1960, ia hijrah ke Pontianak. Di tempat inilah, ia mendedikasikan diri pada pendidikan. Ia begitu peduli dengan pelestarian benda dan sejarah. Tak heran, ia begitu antusias, ketika berbincang tentang topik itu.

“Bila kita mengamati letak kota-kota di Kalimantan Barat, ada satu persamaan bisa diambil dari letak kota tersebut,” kata Sudarto, memulai dialog.

Kota selalu dibangun pada pertemuan dua aliran sungai. Misalnya, Pontianak yang dibangun pada pertemuan Sungai Kapuas dan Landak. Sintang, pertemuan Sungai Kapuas dan Melawi. Sambas, pertemuan Sungai Teberau dan Sungai Sambas. Sanggau, pertemuan Sungai Sempayan dan Sungai Kapuas. Sekadau, pertemuan Sungai Sekadau dan Sungai Kapuas. Ketapang, pertemuan Sungai Pawan dan Sungai Laur.

Para pendiri kerajaan, selalu membangun ibukota kerajaan pada pertemuan dua aliran sungai. Ini tidak lepas dari falsafah dan identitas dari masyarakat tersebut. “Masyarakat kita adalah berdagang, dan mendapatkan pajak dari lalu lintas perdagangan kapal yang lewat,” kata Sudarto, konsultan Pendidikan di Pontianak.

Lain halnya kota di Jawa. Misalkan saja, kota yang didirikan jaman kerajaan Mataram, Surakarta dan Yogyakarta. Kedua kota ini, hidup dan mengandalkan hasil pertanian. Karenanya, kota pun berdiri pada tanah subur, dan cukup menyediakan air bagi pertanian. Dari hasil pertanian itulah, dijual dan menjadi komoditas perdagangan.

Kota-kota di Kalimantan Barat, tidak punya lokasi pertanian. Karena itulah, konsep kota harus dikembangkan menjadi kota perdagangan, jasa dan industri. Ngabang dan Mempawah, merupakan perkecualian. Ngabang terletak di pedalaman, sehingga yang cocok dikembangkan adalah perkebunan. Ngabang sejak dulu mengandalkan hasil ekstraktif, seperti, tambang dan getah karet. Mempawah hanya kota transit. Sampai sekarang pun, kota ini sulit maju. Maka, rencana pembangunan pangkalan angkatan laut dan pelabuhan perikanan, dapat membuat kota ini lebih berkembang.

Lalu, bagaimana mencari jati diri kota Pontianak? Sejarah berdirinya Pontianak, berawal dan berpusat di sekitar istana Kadriah, serta masjid Jami’, Pontianak Timur. Pada perkembangannya, Belanda masuk dan mendirikan kota pemerintahan di Pontianak Selatan. Belanda minta tanah kerajaan, dan diberi lahan seribu tonggak. Lokasi tersebut berawal dari gertak satu di Sungai Jawi, hingga pusat perbelanjaan Ramayana di Tanjungpura. Daerah itulah yang disebut The Old Town.

Mau tidak mau, kita harus mengakui konsep pembangunan perkotaan, yang dilakukan Belanda. Ketika membangun Pontianak, Belanda sangat memahami falsafah pembangunan kota. Satu contoh, ketika melihat Pontianak berrawa dan ketinggiannya tidak lebih dari tiga meter di atas permukaan air. Di mana pun daerah berawa, selalu tidak sehat. Iklimnya lembab. Air tidak bagus. Banyak nyamuk. Kemudian dibuatlah cara, agar air tidak menggenang dan bisa berputar.

Belanda membuat parit-parit besar mengelilingi kota. Setiap parit terhubung dengan parit lainnya. Parit berfungsi sebagai jalan air dan membersihkan kota. Pasang dan surutnya air, bisa membersihkan berbagai kotoran, sehingga kota tetap bersih. Sirkulasi air juga berfungsi mendinginkan suhu panas.

Hingga 1960, kondisi parit masih bersih dan lebar. Awal 1970, Pontianak jarang terjadi banjir. Dalam perkembangannya, pembangunan kota yang tidak memahami falsafah kota, membuat parit menjadi hancur. Atas nama pembangunan jalan dan bangunan, banyak parit ditutup dan dipersempit. Akibatnya, parit tidak dapat menampung air, ketika hujan. Banjir pun menghadang. Berbagai infrastruktur kota, turut hancur. Efek dan kerugiannya, tentu saja masyarakat yang menanggungnya. Alhasil, lingkungan kota jadi tidak sehat.

Kini, sisa-sisa parit, masih bisa kita lihat di sepanjang Jalan Merdeka. Parit di Tanjungpura, sudah ditutup dan terjadi penyempitan. Bahkan, parit di Jalan Jawa atau Uray Bawadi dan Jalan Sumatera atau Johan Idrus, malah sudah hilang.

Falsafah dan konsep penataan kota jaman Belanda, mewujud pada penanaman pohon. Pemerintahan Belanda menamam pohon Singkup sepanjang jalan dan parit. Akar Singkup kuat dan berfungsi menahan tanah. Buahnya seperti Manggis dan berwarna kuning. Warna daun hijau tua dan lebat. Ketika musim buah tiba, keindahan memancar sepanjang jalan. Warna hijau tua berpadu dengan kuning, menimbulkan keindahan tersendiri.

Sekarang ini, kita banyak menebang pohon Singkup, dan menggantinya dengan pohon Angsana. Padahal, Angsana merupakan pohon yang cepat runtuh, dan akanya tidak kuat menahan tanah.

Begitu pun dengan bangunan kuno dan bersejarah. Pemerintah kurang punya perhatian. Alih-alih untuk merekonstruksi bangunan kota tua. Bangunan yang ada malah dihancurkan. “Mereka cenderung menghancurkan bangunan-bangunan, atau sesuatu yang punya nilai sejarah,” kata Sudarto.

Salah satu contoh, bekas bangunan benteng Belanda, yang kini berubah jadi pasar Nusa Indah. Atau, bangunan bekas penjara. Yang kini berubah jadi Rumah Sakit Antonius. Padahal di penjara itu, beberapa pejuang Kalbar pernah ditawan dan dieksekusi. Dengan hilangnya bangunan bersejarah, hilang pula nilai sejarah dan peristiwa yang melingkupinya.

Hendaknya, pembangunan kota, harus ada nilai kearifan. Pembangunan tidak hanya bersandar pada nilai ekonomis semata. Faktor sejarah, sosial dan budaya, juga menjadi prioritas. Bukankah, bila bangunan tua dan sejarah dipelihara, Pontianak bisa menjadi tujuan wisata. Orang berduyun-duyun datang, untuk menelusuri dan melihat kota tuanya.

Kalau pemerintah punya kepedulian kuat, bangunan dan wilayah yang punya nilai sejarah, tidak perlu dirubah. Kalau sudah dirubah dan jadi modern, orang tidak tahu, ini kota apa. Yang hidup, terputus dari akar sejarahnya. Kita memang tidak ingin berpikir pada sesuatu dimasa lampau. Tapi, setidaknya, kita bisa sesuatu dari masa lampau, untuk kepentingan masa depan.

Agaknya, kita bisa bercermin dari kata-kata bijak, mantan perdana menteri Inggris semasa perang dunia kedua, Sir Winston Churchill, “Pada mulanya, orang-orang membangun kota dan gedung-gedung. Kemudian justru gedung-gedung itulah yang membentuk identitas orang-orang yang membangunnya.”

Ada satu gundah, ketika kami mulai melangkah, meninggalkan rumah berlampu temaram itu. Ketika gedung-gedung bersejarah hilang dan tergusur, kemana generasi mendatang, mencari identitas diri itu?□

Foto by Muhlis Suhaeri, "Deretan Nasib."
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 19 Mei 2007

1 comment :

Pahrian Siregar said...

mas muklis,
pak darto apakah masih sehat wal afiat? beliau adalah mutiara ilmu pengetahuan dan kebijakan. banyak sekali pengetahuan dan ilmu beliau yang belum terturunkan ke generasi muda. mungkin mas muklis bisa banyak menggali pemahaman beliau, terutama menyangkut sejarah kalbar dan menuliskannya kembali untuk menjadi referensi generasi mendatang

percakburok.blogspot.com