Oleh: Muhlis Suhaeri dan Mujidi
Ia ingin mengaktualisasikan diri. Berjuang sesuai dengan kemampuannya di bidang penelitian sejarah. Ia menganggap, Pontianak merupakan kota kedua kelahirannya. Di kota inilah, ia melebur dalam penyatuan. Pada diri dan lingkungan sosial.
“Saya ingin menyumbangkan pikiran dan tenaga, melalui program yang kita buat,” kata Dra. Lisyawati Nurcahyani, Msi, Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai tradisional Pontianak.
Awalnya, ia kurang tertarik dengan ilmu sejarah. Tapi, seiring perjalanan waktu, ia makin tertarik dan mencintainya. “Sejarah membuat orang lebih bijaksana, karena punya pengalaman. Sejarah bisa jadi guru untuk melangkah dan mengambil keputusan,” kata Lisyawati.
Ia kelahiran Surakarta, Jawa Tengah. Karirnya diawali dengan belajar di Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Lulus dari sana, ia langsung menyeberang ke Pontianak, mengikuti sang suami, Siswanto. Yang merupakan teman sekampus.
Siswanto, orang Jawa Pontianak. Sekarang ini, ia bekerja di kantor Bappeda, Kota Pontianak. Dari perkawinannya, Lisyawati dikarunia lima kanak. Empat lelaki dan satu perempuan.
Tak mudah memulai kehidupan baru di Pontianak. Dengan keragaman masyarakat, budaya, dan etnis, jadi tantangan sendiri. Kesulitan terutama dalam masalah sarana dan prasarana. Ketika musim kemarau, kehidupan seakan terhenti. Air susah. Ledeng tak mengalir. Air hujan pun jadi pilihan.
Pertama minum air hujan yang ditampung di tempayan, ia merasa geli. Seiring berjalannya waktu, ia terbiasa. Karena memang itulah, satu-satunya air minum yang bisa dikonsumsi. Mengandalkan air PAM, kualitasnya masih sebatas, kebutuhan mandi, cuci dan kakus. Belum lagi, masalah kabut asap dan selera makanan.
Menurutnya, masyarakat Pontianak lebih menyukai nasi manyar. Nasi agak kering dan memisah. Sementara ia, terbiasa makan nasi agak lengket, seperti ketan.
“Itu masa-masa sulit,” katanya. Tak mudah menghadapi. Butuh waktu tiga hingga lima tahun penyesuaian.
Beruntung, ia punya suami yang mengerti dan menguatkannya. Selain itu, tuntutan profesi dan berbagai penelitian yang ia lakukan, makin membuatnya mencintai kota ini. Banyak hal baru bisa digali.
Ada beberapa kendala memang dalam penelitian. Ia sulit mendapatkan sumber lisan, maupun tertulis. Dokumen penting sebagai pendukung sejarah. Ini tentu saja menyulitkan dirinya, ketika menulis. Padahal, Kalbar merupakan ladang penelitian yang tidak ada habisnya. Beragam etnis, budaya, dan sejarah, seakan tak ada habisnya untuk digali.
Penelitian lapangan juga memberinya berbagai pengalaman pribadi. Kadang lucu dan menggelikan. Misalnya saja, ketika ia melakukan penelitian di Sambas. Ia harus mandi di sungai. Apa boleh buat, inilah satu-satunya sarana membersihkan diri.
Mandi di sungai bukan tak ada kendala. Ia harus berjalan melewati perkampungan. Dengan memakai kemban atau kain yang dililitkan ke badan sebatas dada. Karena malu dan tak terbiasa, ia harus menunggu hingga perkampungan sepi dan gelap. Jadi, kalau mandi pagi, ia harus menyeberang kampung pada jam lima pagi. Bila mandi sore, ia harus menunggu hingga jam setengah tujuh malam.
Tak hanya itu. Berjalan puluhan kilometer, jadi kegiatan biasa. Ada saja pengalaman dialami. Ketika melakukan penelitian, ia punya pengalaman menggelikan. Ketika pulang dari daerah penelitian, beberapa warga bertanya padanya.
“Habis menyanyi ya, mbak?”
Baginya, menjalani kerja penelitian sejarah dan budaya, memang mengasyikkan. Ia merasa tertantang, untuk lebih mempopulerkan Pontianak dan Kalimantan Barat. Banyak sejarah belum tergali. Terutama mengenai kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.
Dari segi budaya, juga punya keunikan tersendiri. Terutama budaya dan etnis Cina. Di Kalbar, penduduk Cina menempati urutan ketiga dari segi jumlah, setelah etnis Dayak dan Melayu. Ini tidak ditemui di propinsi lain.
Masyarakat Cina di Kalbar, sangat spesifik. Mereka mengisi beragam profesi. Ada kuli, sopir, petani hingga pengusaha. Bahasa dan dialegnya juga beragam. Dari aspek budaya, mereka melestarikan budaya. Bila ini digali, bisa jadi peluang bidang budaya dan sejarah.
Lalu, bagaimana dengan perkembangan kota, semasa tinggal di Pontianak? Yang pasti, banyak perubahan. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Pontianak tahun 1990-an, kota ini masih sepi. Jam tujuh malam, tak ada orang di jalan.
Pembangunan sarana dan prasarana, gedung, jalan, dan jembatan, banyak dilakukan. Sarana transportasi berkembang dengan pesat. Maskapai penerbangan dan pelayaran, marak dan berkembang. Menurutnya, peningkatan suatu daerah, bisa dilihat dari tranportasinya. Kalau transportasi lancar, mobilitas penduduk tinggi, perkembangan kota bakal cepat berkembang. Begitu juga sebaliknya.
Ada satu tempat jadi pilihannya, ketika ingin berlibur. Ia senang agrobisnis dan suasana pedesaan. Tak heran, ia selalu datang ke Punggur untuk rekreasi. Di sana, ia bisa menikmati suasana pedesaan, dan jauh dari polusi udara. Punggur merupakan pusat kebun langsat, jeruk sambal, dan beragam buah-buahan.
Ia menilai, Punggur mulai berubah. Petani menyekat tanahnya untuk dijual. Lahan kebun berubah jadi perumahan. Perlahan tapi pasti, kelezatan langsat Punggur, mulai tergusur.
Tak jauh dari Punggur, ada satu tempat yang juga menjadi kesukaannya. Ia senang menyambangi pelabuhan ikan di Sungai Kakap. Di sana, ia bisa menikmati beragam makanan hasil laut.
Namun, ada tempat yang membuatnya merasa suntuk dan semrawut. Daerah itu adalah Pasar Tengah. Menurutnya, kawasan itu tidak tertib dan semerawut. Tak membuat orang merasa aman. “Pokok ndak sukalah. Kawasannya semerawut, tidak aman, dan tidak ditata dengan bagus,” kata Lisyawati.
Pasar Tengah merupakan pasar pertama kali di Pontianak. Kehadiran pasar itu, merupakan satu ruang, pemenuhan berbagai kebutuhan Belanda, ketika itu. Parit berfungsi sebagai sarana perdagangan dan jalur transportasi. Seperti, pasang terapung.
Kawasan itu seharusnya ditata, supaya orang merasa nyaman, ketika belanja dan menjual barang. “Saya tidak setuju pasar tradisional hilang, karena itu salah satu pasar masyarakat kelas bawah,” kata alumni, S2 Sospol Untan, ini.
Ada satu masalah yang selalu menganggunya di kota ini. Selalu ada banjir. Air menggenangi kantor, rumah, dan perkotaan. Ia menyayangkan hilangnya berbagai parit di Pontianak. Parit-parit itu merupakan satu pemecahan terhadap banjir di Pontianak.
“Saya rasa, harus ada peningkatan dari segi pembangunan saluran air,” kata Lisyawati.
Apa rahasia sukses dalam menjalani profesinya?
“Saya selalu berpikir positif dan terbuka,” kata Lisyawati. Begitu pun ketika memimpin kantor. Ia menerapkan sikap itu. Tak heran, pada usia relatif muda, ia sudah menjadi kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional di Pontianak.
Memimpin pada usia relatif muda, terkadang punya pengalaman tersendiri. Semisal ketika ia melakukan kunjungan atau tugas. Seorang ibu bertanya padanya.
“Lho, mana kepala kantornya?”
“Ya, saya.”
Ia dikira bukan kepala kantor. Maklumlah, sudah terlanjur ada di benak kita. Seorang kepala kantor, biasanya berumur, dan lelaki. Kalau dipikir, agak menyinggung harga diri memang, karena tidak dianggap. Tapi, ia berpikir positif saja.
Itulah, satu sosok warga Kota Pontianak. Ia ingin mendarmabaktikan kemampuannya di kota ini. Bersama waktu, ia ingin membingkai kota, melalui penelusuran sejarah dan nilai tradisional di dalamnya.□
Foto by Mujidi
Edisi Cetak, Harian Borneo Tribune, 21 Mei 2007
Monday, May 21, 2007
Bingkai Kota Melalui Penelusuran Sejarah
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments :
Post a Comment