Thursday, January 14, 2021

Surat kepada Sahabat, Korban Sriwijaya Air SJ-182


 Kulihat Liuk Jemarimu Dalam Doa yang Terpanjat

Ihsan Adlan Hakim. Tak pernah terbayang, harus berkabar tentang dirimu, dalam suasana penuh sesak oleh duka, seperti saat ini. Kalau boleh memilih, tentu aku ingin kembali ke zaman dulu. Zaman penuh suka cita. Zaman ketika kita menggebrak beragam panggung festival musik di Pontianak.

Masih lekat dalam ingatanku. Lirik lagu dari grup band legendaris, kita nyanyikan:

“Aku lari jauh

menggenggam dunia

kepak sayap

bentangkan layar

ombak-ombak mandi bertabur bintang

silaukan mata

Dunia.. simpan lah tangis dan duka..”

Ya, itu lirik lagu Menjilat Matahari dari Godbless.

Seperti aura dalam judul lagu itu, kita menyanyikannya dengan penuh semangat. Keceriaan dan totalitas. Khas anak baru gede, sedang ingin pamer kemampuan. Dan aku, bergerak dengan lincah di panggung Stadion Opu Daeng Manambon, Mempawah, 2003.

Itu panggung pertama Q-Mole. Band yang kita bentuk bersama. Dalam formasi band itu, aku sebagai vokalis. Dirimu, Ihsan ‘Keymol’ sebagai pemetik gitar. Sandi tukang betot bas. Isa penabuh drum. Dan Daus Keyboard.

Kita sangat beruntung malam itu. Bagaimana tidak? Band berisi para bocah ingusan itu, didapuk sebagai Juara II, Festival Musik se-Kalimantan Barat.

Duh, bangga sekali kita, ketika itu.

Mengenang dirimu, aku ingin menjelajah waktu. Memutar ingatan kembali. Merekonstruksi memori di kepala yang masih sesak. Oleh bayang aksi kita sebagai anak band.

Selepas festival musik di Mempawah, bagai pendekar sedang mekar, kita jelajahi panggung demi panggung. Kita taklukkan jagat musik dengan genre musik yang kita pilih, rock progressif.

Bahkan, Q-Mole sempat dijuluki sebagai Raja Festival Musik Pelajar Kalbar. Ini, tentu saja bukan pongah atau narsis, sahabat. Itu fakta. Begitulah adanya.

Medio 2003-2005, adalah tahun cemerlang dan keceriaan kita. Setiap festival musik, kita pasti keluar sebagai juara. Piala dan piagam penghargaan, bertabur bagai kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong. Lalu, terbang menjelajah dan melihat dunia. Penuh warna dan keceriaan. Seperti itulah dunia kita saat itu, sobat.

Sebagian piala itu masih kita pegang. Ada pula yang disimpan di Freest Studio, milik Om Barry. Pemilik studio tempat kita berlatih musik. Om Barry baik sekali. Dia sering beri diskon sewa studio. Tak jarang, Om Barry traktir makan. Kita posisikan dia seperti manajer.

Aku teringat, mengapa nama band itu kita beri nama Q-Mole.

Nama itu terinspirasi dari panggilan akrab dirimu, Ihsan Adlan Hakim alias Keymol. Tak ada arti atau filosofi khusus. Kesepakatan saja. Nama itu unik. Sekaligus, menghormati dirimu yang jago banget main gitar. Saking kerennya, kaulah ikon di band kita.

Petikan gitarmu maut dan melodius. Sesekali, seperti ada roh Eet Syahranie. Kamu mengangguk-anggukkan kepala saat tampil. Sejenak kemudian, menatap para penonton. Lalu, berlari mengitari setiap meter panggung.

Di waktu lain, seperti ada roh John Petrucci, gitaris Dream Theater, seolah merasukimu. Apalagi saat kita memainkan lagu dengan Arpeggio. Gila, melodinya yang dalam dan impresif itu, kau mainkan dengan begitu piawai. Deep banget.

Jarimu menari. Menjejak senar demi senar di atas grip gitar merk Star. Gitar itu bukan merk dagang terkenal. Kamu beli dengan harga murah. Lalu, dimodifikasi sedemikian rupa. Getaran resonansi yang keluar, seperti menyihir juri dan penonton festival. Sungguh jempolan.

Bagaimana juri tak suka, dirimu punya skill di atas rata-rata gitaris di Kalbar. Belum lagi, aksi “keiya-iyaan” kita menyebutnya. Dandanan nyentrik ala Rock and Roll. Blue jeans robek disematkan peniti beberapa biji. Entahlah, dapat inspirasi dari mana gaya itu. Aku kerap tersenyum sendiri, kala mengingatnya. Mungkin kamu menganggap, gaya itu sangat funky dan keren.

Style itu bikin band kita melejit. Terkenal. Keymol menjelma jadi idola anak seumuran. Tak sekadar bagi pelajar SMPN 3 Pontianak, khususnya yang lanjut studi di SMAN 1. Banyak gitaris berguru teknik main ‘Si Bodi Gadis Spanyol’ ke dirimu.

Julukan ‘Bang Best’ pun melekat. Kamu meraih banyak gelar The Best Player Guitar di berbagai festival.

Perjalanan panggung menuntun Een, panggilan akrab dalam lingkup keluargamu, ke kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Selepas SMA, kamu hijrah ke ibu kota. Ingin serius jadi gitaris andal. Formasi Q-Mole, akhirnya ambyar. Kita cari peruntungan dan langkah masing-masing.

Well, begitu sampai di Jakarta, kau mulai sisi kehidupan keras ibu kota. Kondisi itu membentuk lelaki mata empat, jadi petualang tangguh. Tak merepotkan orang tua. Kamu mulai mengumpulkan receh sendiri. Kerja apa saja. Yang penting dapat cuan. Mulai dari manggung bersama band yang dibentuk di Jakarta, hingga jualan apa saja. Termasuk, jualan rambut gondrongmu.

Terdengar konyol. Namun begitulah. Kamu bercerita, ketika terdesak dan butuh duit, saking tak punya apa-apa lagi, mahkota di kepala kau cukur. Ditebus rupiah. Rambut hitam keriting yang dipelihara bertahun-tahun itu, rela terpangkas. Urusan untuk apa, itu masih jadi rahasia hingga kini. Biar si pembeli rambut dan dirimu saja yang tahu.

Boleh dikata, kehidupan awal di Jakarta, penuh perjuangan. Tinggal di kos-kosan di bilangan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Turun naik angkot dan bus, adalah rutinitas sehari-hari. Rokok pun ketengan. Kalau ada duit baru beli sebungkus. Bahkan, baju saja, kamu beli baju bekas di Pasar Senen. Sehelai harganya ceban alias sepuluh ribuan.

Lambat laun, di ujung masa kuliah musik, grafik ekonomi anak ketiga dari empat bersaudara, mulai menapak. Jualan pernak-pernik telepon genggam mulai kau lakoni. Ada cashing hingga tongsis dari seller di Tiongkok. Laris manis tanjung kimpul, orang menyebutnya. Pulang Pontianak, kamu pun tak minder menjajakan dagangan.

Berawal dari itu, jaringan bisnismu makin besar dan moncer. Tak hanya aksesoris telepon genggam, engkau pun merambah bisnis vape atau rokok elektrik. Jualan itu kau rintis lewat online di media sosial. Siapa sangka, akhirnya bisnis itu semakin menggurita. Di fase ini, status sebagai musisi mulai memudar. Dirimu lebih aktif sebagai pebisnis.

Kamu memberi nama Gerobak Vapor, untuk merek dagangmu. Bahkan, kau patenkan nama itu. Namanya saja gerobak. Bangunan tempat kau jualan adalah gedung beneran. Ada dua di Jakarta. Satu di antaranya di Jalan Kramat Jaya Baru. Bisnis vapemu merambah Pontianak. Kau beri merek dagangmu, Area Vapor. Ada lima cabang. Dikelola si adik bungsu.

Tapi, kadung mulai bisnis dan hidup di Jakarta, kamu sibuk mondar-mandir urus periuk hingga ke luar negeri. Tak heran bila, kau jarang ke Pontianak. Menjadi sukses adalah ambisi. Namun, bagimu, kaya adalah jalan mulus jadi orang baik. Banyak harta, lebih mudah menolong orang. Apa saja bisa dilakukan untuk beri pertolongan.

Aku dan banyak teman lain, pernah merasakan.

Pernah suatu saat, aku berada di titik nadir. Ekonomi keluarga merosot. Anjlok. Masalah mulai muncul. Dirimu membuka diri dengan pertolongan. Nilai bantuan bukan jadi soal. Sebab, kalau sudah urusan materi, biasanya orang bakal sensitif.

Tapi dirimu tidak. Kamu menolong dengan ikhlas. Namun, tetap ingin membuat orang bertanggung jawab. “Selesaikan masalah kau dulu. Kalau udah kelar, udah beres dan aman, baru kau pikirkan urusan dengan aku An,” begitu ucapmu ketika itu.

Aku melihat kebajikan dan kebijaksanaan dalam sikapmu. Nilai itu ditanamkan kedua orang tuamu, Haji Nasir dan Hajjah Kamsiyah. Malahan, adikmu berkisah, Keymol anak paling menanti ridho orang tua, jika melakukan sesuatu. Termasuk, urusan menjalankan bisnis. Apa kata orang tua, jadi pijakan ketika melangkah.

Kesibukan membuat kita hilang kontak. Komunikasi terputus. Situasi itu cukup lama terjadi. Aku menghilang. Menenggelamkan diri untuk fokus kerja, serta urus keluarga. Akhir 2019, kita bertemu. Semeja lagi di sebuah warung kopi di Jalan Purnama, milik kawan kita.

Kebetulan, waktu itu kamu tengah urus bisnis di Pontianak. Bersiap buka cabang toko vape lainnya. Kita melepas rindu bersama beberapa teman lain. Bahkan, ngejam bareng di warkop itu. Main lagu lawas semasa ngeband dulu. Teriak-teriak, genjrang-genjreng hingga larut malam.

Tak lama kemudian, kamu melepas lajang. Menikah dengan Putri Wahyuni, kelahiran Pekanbaru, Riau. Perempuan satu frekuensi. Anak-anak vape. Kenal dari jaringan bisnis rokok elektrik. Dari vape, kamu tak hanya dapat cuan, tapi juga cinta sejatimu.

Pesta pernikahan pun kamu gelar di Pekanbaru, Maret 2020. Keymol dan Putri bahagia. Unggahan di akun Instagram menjelaskan. Potret dua sejoli penuh asmara. Intim. Romantisme memancar. Di setiap sesi foto, senyum sahabat yang dulu selalu menunggang motor Honda Astrea Grand, selalu merekah.

Putri hadir pada saat yang tepat. Macam cerita dalam dongeng. Muncul mendampingi Raja Vapor yang lagi galau-galaunya, tak kunjung ketemu patahan rusuk kiri.

Kisah asmara dan bahagia itu, sudah disiapkan untuk dibagi ke keluarga, teman, rekanan dan handai taulan di Pontianak, dalam sebuah pesta Ngunduh Mantu. Pesta itu bakal berlangsung di Gedung Pontianak Convention Center (PCC), Jalan Sutan Abdurrahman, Minggu (16/1/2020).

Segala persiapan sudah tuntas. Bahkan, 40 persen undangan telah tersebar. Resepsi tinggal menghitung hari itu, jadi buah bibir para sahabat. Kami menanti kabar kedatanganmu, Sabtu (9/1/2020).

Aku sudah membayangkan, keriuhan dan serunya pertemuan. Seperti anak kecil yang kembali menemukan mainan favoritnya. Saling lempar dan berebut dalam keceriaan. Namun, nasib berkata lain. Bukan senyum ceria yang terlihat. Malah, sebuah kabar menyentak yang kami dengar.

Namamu, Ihsan Adlan Hakim, masuk daftar penumpang pesawat Sriwijaya Air SJ-182, yang hilang kontak di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta.

Berita itu menghempas kami. Sahabat dan kawan-kawanmu. Rasanya bagai ditabrak truk tronton. Terlempar sejauh-jauhnya.

Aku mengalami itu. Mendadak lemas, setelah istri memberitahu dari kursi tamu undangan di hadapanku. Aku yang tengah mendampingi ibu di pelaminan pernikahan adik waktu itu, langsung turun ke bawah. Ambyar seketika, saat baca daftar manifest yang viral di WA.

“Bukannya ini Keymol?” sebut istriku, menunjuk nama Ihsan Adlan Hakim.

Serrr. Darah berdesir. Mata berkaca. Sejurus pipi terasa basah. Aku tak tahu, mau berbuat apa. Gelagapan. Emosional. Aku segera hubungi kawan-kawan. Akhirnya, seorang kawan mengangkat panggilan teleponku. Sayup di ujung telepon, suara pelan bercerita tentang kecelakaan pesawat. Setahu yang dia pahami. Tak lebih.

Sampai detik ini, saat tulisan dirangkai dan diramu, nasibmu belum ada kabarnya, sahabat. Membayangkan kau melewati critical eleven berujung tragis, terasa perih luar biasa. Sesekali, aku masih menyeka air mata. Bagaimana, seorang sahabat yang sudah kuanggap sebagai saudara, jadi satu di antara orang yang alami masa krusial, penerbangan itu.

Sejak hari nahas itu, lantunan ayat suci Alquran tak putus. Dibacakan para handai taulan dari rumah sederhana orang tuamu di Jalan Tabrani Ahmad, Gang Ikrar, Nomor 41, Pontianak. Orang berjubel datang. Meluber, memenuhi wilayah tempat tinggal orang tuamu.

Mereka menanti kehadiranmu, sahabat. Keluarga yakin, dirimu dan istri bakal hadir. Mereka berharap ada mukzijat dan kekuatan ilahiah, Sang Maha Kuasa.

Hingga saat ini, aku merasa masih berjumpa denganmu. Walau dalam ruang dan rapalan doa. Dalam relung dan lubuk hati paling dasar. Seperti, selarik syair lagu dari Dream Theater, The Spirit Carries On yang kau suka:

“….If I die tomorrow

I’d be all right because I believe

That after we’re gone

the spirit carries on..”

Dan, aku pun harus menutup surat kepadamu. Percayalah, semua akan baik-baik saja sahabat, di mana pun itu.   

Penulis :

Andriadi Perdana Putra, Jurnalis Insidepontianak.com, sahabat dekat Ihsan Adlan Hakim, penumpang pesawat Sriwijaya Air SJ-182

Editor:

Muhlis Suhaeri

No comments :