Surat kepada
Sahabat, Korban Sriwijaya Air SJ-182
Kulihat Liuk Jemarimu Dalam Doa yang Terpanjat
Ihsan Adlan Hakim. Tak
pernah terbayang, harus berkabar tentang dirimu, dalam suasana penuh sesak oleh
duka, seperti saat ini. Kalau boleh memilih, tentu aku ingin kembali ke zaman
dulu. Zaman penuh suka cita. Zaman ketika kita menggebrak beragam panggung
festival musik di Pontianak.
Masih lekat dalam ingatanku.
Lirik lagu dari grup band legendaris, kita nyanyikan:
“Aku lari jauh
menggenggam dunia
kepak sayap
bentangkan layar
ombak-ombak mandi bertabur
bintang
silaukan mata
Dunia.. simpan lah tangis
dan duka..”
Ya, itu lirik lagu Menjilat
Matahari dari Godbless.
Seperti aura dalam judul
lagu itu, kita menyanyikannya dengan penuh semangat. Keceriaan dan totalitas.
Khas anak baru gede, sedang ingin pamer kemampuan. Dan aku, bergerak dengan
lincah di panggung Stadion Opu Daeng Manambon, Mempawah, 2003.
Itu panggung pertama Q-Mole.
Band yang kita bentuk bersama. Dalam formasi band itu, aku sebagai vokalis.
Dirimu, Ihsan ‘Keymol’ sebagai pemetik gitar. Sandi tukang betot bas. Isa
penabuh drum. Dan Daus Keyboard.
Kita sangat beruntung malam
itu. Bagaimana tidak? Band berisi para bocah ingusan itu, didapuk sebagai Juara
II, Festival Musik se-Kalimantan Barat.
Duh, bangga sekali kita,
ketika itu.
Mengenang dirimu, aku ingin
menjelajah waktu. Memutar ingatan kembali. Merekonstruksi memori di kepala yang
masih sesak. Oleh bayang aksi kita sebagai anak band.
Selepas festival musik di
Mempawah, bagai pendekar sedang mekar, kita jelajahi panggung demi panggung.
Kita taklukkan jagat musik dengan genre musik yang kita pilih, rock progressif.
Bahkan, Q-Mole sempat
dijuluki sebagai Raja Festival Musik Pelajar Kalbar. Ini, tentu saja bukan
pongah atau narsis, sahabat. Itu fakta. Begitulah adanya.
Medio 2003-2005, adalah
tahun cemerlang dan keceriaan kita. Setiap festival musik, kita pasti keluar
sebagai juara. Piala dan piagam penghargaan, bertabur bagai kupu-kupu yang baru
keluar dari kepompong. Lalu, terbang menjelajah dan melihat dunia. Penuh warna
dan keceriaan. Seperti itulah dunia kita saat itu, sobat.
Sebagian piala itu masih
kita pegang. Ada pula yang disimpan di Freest Studio, milik Om Barry. Pemilik
studio tempat kita berlatih musik. Om Barry baik sekali. Dia sering beri diskon
sewa studio. Tak jarang, Om Barry traktir makan. Kita posisikan dia seperti
manajer.
Aku teringat, mengapa nama
band itu kita beri nama Q-Mole.
Nama itu terinspirasi dari
panggilan akrab dirimu, Ihsan Adlan Hakim alias Keymol. Tak ada arti atau filosofi
khusus. Kesepakatan saja. Nama itu unik. Sekaligus, menghormati dirimu yang
jago banget main gitar. Saking kerennya, kaulah ikon di band kita.
Petikan gitarmu maut dan
melodius. Sesekali, seperti ada roh Eet Syahranie. Kamu mengangguk-anggukkan kepala
saat tampil. Sejenak kemudian, menatap para penonton. Lalu, berlari mengitari
setiap meter panggung.
Di waktu lain, seperti ada
roh John Petrucci, gitaris Dream Theater, seolah merasukimu. Apalagi saat kita
memainkan lagu dengan Arpeggio. Gila, melodinya yang dalam dan impresif itu,
kau mainkan dengan begitu piawai. Deep banget.
Jarimu menari. Menjejak
senar demi senar di atas grip gitar merk Star. Gitar itu bukan merk dagang
terkenal. Kamu beli dengan harga murah. Lalu, dimodifikasi sedemikian rupa. Getaran
resonansi yang keluar, seperti menyihir juri dan penonton festival. Sungguh
jempolan.
Bagaimana juri tak suka,
dirimu punya skill di atas rata-rata gitaris di Kalbar. Belum lagi, aksi “keiya-iyaan” kita
menyebutnya. Dandanan nyentrik ala Rock and Roll. Blue jeans robek disematkan
peniti beberapa biji. Entahlah, dapat inspirasi dari mana gaya itu. Aku kerap
tersenyum sendiri, kala mengingatnya. Mungkin kamu menganggap, gaya itu sangat
funky dan keren.
Style itu bikin band kita
melejit. Terkenal. Keymol menjelma jadi idola anak seumuran. Tak sekadar bagi
pelajar SMPN 3 Pontianak, khususnya yang lanjut studi di SMAN 1. Banyak gitaris
berguru teknik main ‘Si Bodi Gadis Spanyol’ ke dirimu.
Julukan ‘Bang Best’ pun
melekat. Kamu meraih banyak gelar The
Best Player Guitar di berbagai festival.
Perjalanan panggung menuntun
Een, panggilan akrab dalam lingkup keluargamu, ke kampus Institut Kesenian
Jakarta (IKJ). Selepas SMA, kamu hijrah ke ibu kota. Ingin serius jadi gitaris
andal. Formasi Q-Mole, akhirnya ambyar. Kita cari peruntungan dan langkah
masing-masing.
Well, begitu sampai di Jakarta, kau mulai sisi kehidupan
keras ibu kota. Kondisi itu membentuk lelaki mata empat, jadi petualang
tangguh. Tak merepotkan orang tua. Kamu mulai mengumpulkan receh sendiri. Kerja
apa saja. Yang penting dapat cuan. Mulai dari manggung bersama band yang
dibentuk di Jakarta, hingga jualan apa saja. Termasuk, jualan rambut
gondrongmu.
Terdengar konyol. Namun
begitulah. Kamu bercerita, ketika terdesak dan butuh duit, saking tak punya
apa-apa lagi, mahkota di kepala kau cukur. Ditebus rupiah. Rambut hitam
keriting yang dipelihara bertahun-tahun itu, rela terpangkas. Urusan untuk apa,
itu masih jadi rahasia hingga kini. Biar si pembeli rambut dan dirimu saja yang
tahu.
Boleh dikata, kehidupan awal
di Jakarta, penuh perjuangan. Tinggal di kos-kosan di bilangan Cikini, Menteng,
Jakarta Pusat. Turun naik angkot dan bus, adalah rutinitas sehari-hari. Rokok
pun ketengan. Kalau
ada duit baru beli sebungkus. Bahkan, baju saja, kamu beli baju bekas di Pasar
Senen. Sehelai harganya ceban alias sepuluh ribuan.
Lambat laun, di ujung masa
kuliah musik, grafik ekonomi anak ketiga dari empat bersaudara, mulai menapak.
Jualan pernak-pernik telepon genggam mulai kau lakoni. Ada cashing hingga
tongsis dari seller di Tiongkok. Laris manis tanjung kimpul, orang menyebutnya.
Pulang Pontianak, kamu pun tak minder menjajakan dagangan.
Berawal dari itu, jaringan
bisnismu makin besar dan moncer. Tak hanya aksesoris telepon genggam, engkau
pun merambah bisnis vape atau rokok elektrik. Jualan itu kau rintis lewat
online di media sosial. Siapa sangka, akhirnya bisnis itu semakin menggurita.
Di fase ini, status sebagai musisi mulai memudar. Dirimu lebih aktif sebagai
pebisnis.
Kamu memberi nama Gerobak
Vapor, untuk merek dagangmu. Bahkan, kau patenkan nama itu. Namanya saja
gerobak. Bangunan tempat kau jualan adalah gedung beneran. Ada dua di Jakarta.
Satu di antaranya di Jalan Kramat Jaya Baru. Bisnis vapemu merambah Pontianak.
Kau beri merek dagangmu, Area Vapor. Ada lima cabang. Dikelola si adik bungsu.
Tapi, kadung mulai bisnis
dan hidup di Jakarta, kamu sibuk mondar-mandir urus periuk hingga ke luar
negeri. Tak heran bila, kau jarang ke Pontianak. Menjadi sukses adalah ambisi.
Namun, bagimu, kaya adalah jalan mulus jadi orang baik. Banyak harta, lebih
mudah menolong orang. Apa saja bisa dilakukan untuk beri pertolongan.
Aku dan banyak teman lain,
pernah merasakan.
Pernah suatu saat, aku
berada di titik nadir. Ekonomi keluarga merosot. Anjlok. Masalah mulai muncul.
Dirimu membuka diri dengan pertolongan. Nilai bantuan bukan jadi soal. Sebab,
kalau sudah urusan materi, biasanya orang bakal sensitif.
Tapi dirimu tidak. Kamu
menolong dengan ikhlas. Namun, tetap ingin membuat orang bertanggung jawab.
“Selesaikan masalah kau dulu. Kalau udah kelar, udah beres dan
aman, baru kau pikirkan urusan dengan aku An,” begitu ucapmu ketika itu.
Aku melihat kebajikan dan
kebijaksanaan dalam sikapmu. Nilai itu ditanamkan kedua orang tuamu, Haji Nasir
dan Hajjah Kamsiyah. Malahan, adikmu berkisah, Keymol anak paling menanti ridho
orang tua, jika melakukan sesuatu. Termasuk, urusan menjalankan bisnis. Apa
kata orang tua, jadi pijakan ketika melangkah.
Kesibukan membuat kita
hilang kontak. Komunikasi terputus. Situasi itu cukup lama terjadi. Aku
menghilang. Menenggelamkan diri untuk fokus kerja, serta urus keluarga. Akhir
2019, kita bertemu. Semeja lagi di sebuah warung kopi di Jalan Purnama, milik
kawan kita.
Kebetulan, waktu itu kamu
tengah urus bisnis di Pontianak. Bersiap buka cabang toko vape lainnya. Kita
melepas rindu bersama beberapa teman lain. Bahkan, ngejam bareng di
warkop itu. Main lagu lawas semasa ngeband dulu.
Teriak-teriak, genjrang-genjreng hingga
larut malam.
Tak lama kemudian, kamu
melepas lajang. Menikah dengan Putri Wahyuni, kelahiran Pekanbaru, Riau.
Perempuan satu frekuensi. Anak-anak vape. Kenal dari jaringan bisnis rokok
elektrik. Dari vape, kamu tak hanya dapat cuan, tapi juga cinta sejatimu.
Pesta pernikahan pun kamu
gelar di Pekanbaru, Maret 2020. Keymol dan Putri bahagia. Unggahan di akun
Instagram menjelaskan. Potret dua sejoli penuh asmara. Intim. Romantisme
memancar. Di setiap sesi foto, senyum sahabat yang dulu selalu menunggang motor
Honda Astrea Grand, selalu merekah.
Putri hadir pada saat yang
tepat. Macam cerita dalam dongeng. Muncul mendampingi Raja Vapor yang lagi
galau-galaunya, tak kunjung ketemu patahan rusuk kiri.
Kisah asmara dan bahagia
itu, sudah disiapkan untuk dibagi ke keluarga, teman, rekanan dan handai taulan
di Pontianak, dalam sebuah pesta Ngunduh Mantu. Pesta itu bakal berlangsung di
Gedung Pontianak Convention Center (PCC), Jalan Sutan Abdurrahman, Minggu
(16/1/2020).
Segala persiapan sudah
tuntas. Bahkan, 40 persen undangan telah tersebar. Resepsi tinggal menghitung
hari itu, jadi buah bibir para sahabat. Kami menanti kabar kedatanganmu, Sabtu
(9/1/2020).
Aku sudah membayangkan,
keriuhan dan serunya pertemuan. Seperti anak kecil yang kembali menemukan
mainan favoritnya. Saling lempar dan berebut dalam keceriaan. Namun, nasib
berkata lain. Bukan senyum ceria yang terlihat. Malah, sebuah kabar menyentak
yang kami dengar.
Namamu, Ihsan Adlan Hakim,
masuk daftar penumpang pesawat Sriwijaya Air SJ-182, yang hilang kontak di
perairan Kepulauan Seribu, Jakarta.
Berita itu menghempas kami.
Sahabat dan kawan-kawanmu. Rasanya bagai ditabrak truk tronton. Terlempar
sejauh-jauhnya.
Aku mengalami itu. Mendadak
lemas, setelah istri memberitahu dari kursi tamu undangan di hadapanku. Aku
yang tengah mendampingi ibu di pelaminan pernikahan adik waktu itu, langsung
turun ke bawah. Ambyar seketika, saat baca daftar manifest yang viral di WA.
“Bukannya ini Keymol?” sebut
istriku, menunjuk nama Ihsan Adlan Hakim.
Serrr. Darah berdesir. Mata berkaca. Sejurus pipi terasa
basah. Aku tak tahu, mau berbuat apa. Gelagapan. Emosional. Aku segera hubungi
kawan-kawan. Akhirnya, seorang kawan mengangkat panggilan teleponku. Sayup di
ujung telepon, suara pelan bercerita tentang kecelakaan pesawat. Setahu yang
dia pahami. Tak lebih.
Sampai detik ini, saat
tulisan dirangkai dan diramu, nasibmu belum ada kabarnya, sahabat. Membayangkan
kau melewati critical
eleven berujung tragis, terasa perih luar biasa. Sesekali, aku
masih menyeka air mata. Bagaimana, seorang sahabat yang sudah kuanggap sebagai
saudara, jadi satu di antara orang yang alami masa krusial, penerbangan itu.
Sejak hari nahas itu,
lantunan ayat suci Alquran tak putus. Dibacakan para handai taulan dari rumah
sederhana orang tuamu di Jalan Tabrani Ahmad, Gang Ikrar, Nomor 41, Pontianak.
Orang berjubel datang. Meluber, memenuhi wilayah tempat tinggal orang tuamu.
Mereka menanti kehadiranmu,
sahabat. Keluarga yakin, dirimu dan istri bakal hadir. Mereka berharap ada
mukzijat dan kekuatan ilahiah, Sang Maha Kuasa.
Hingga saat ini, aku merasa
masih berjumpa denganmu. Walau dalam ruang dan rapalan doa. Dalam relung dan
lubuk hati paling dasar. Seperti, selarik syair lagu dari Dream Theater, The Spirit Carries On yang
kau suka:
“….If I die tomorrow
I’d be all right because I
believe
That after we’re gone
the spirit carries on..”
Dan, aku pun harus menutup
surat kepadamu. Percayalah, semua akan baik-baik saja sahabat, di mana pun
itu.
Penulis :
Andriadi Perdana
Putra, Jurnalis
Insidepontianak.com, sahabat dekat Ihsan Adlan Hakim, penumpang pesawat
Sriwijaya Air SJ-182
Editor:
Muhlis Suhaeri
Baca Selengkapnya...