Thursday, August 7, 2014

Brigjen Pol Arief Sulistyanto Lahir untuk Mengabdi

Menjadi kaya dan berlimpah harta itu pilihan. Apalagi bagi orang yang memiliki kapasitas diri, jaringan dan otoritas atau kuasa. Setidaknya, itulah kesan ketika wawancara tiga jam dengan Kapolda Kalbar, Brigjen Arief Sulistyanto. Baginya, harta bukan satu-satunya sumber kebahagiaan. Orang harus punya Positioning, Diferensiasi, and Brand. Dalam bahasa sederhananya, punya karakter dan jati diri. 

Lahir dari keluarga pendidik. Ayah, Mardjono, guru agama di STMD. Ibu, Hj Halimah Saadiyah, ibu rumah tangga. Arief nomor dua dari lima bersaudara.Ia menamatkan sekolah dari SD hingga SMA di Nganjuk, Jawa Timur. Namun, bukan perkara mudah menyelesaikan sekolah. Arief harus tinggal dari satu paman ke paman lainnya. Sebab, pada usia 13 tahun, sang ayah meninggal dunia Arief masih tergolong kecil, ketika sang ayah meninggal dunia.

Tak banyak gambaran tentang sosok ayahnya. Selain, ayah orang yang sabar, tidak pernah marah, dan selalu memberikan nasehat. Karakter ibu, orang yang jujur. “Ibu selalu mengajarkan, orang harus bekerja dengan benar,” kata Arief. Masalah biaya membuat Arief harus berpikir ulang, ketika ingin melanjutkan kuliah.

Karenanya, ketika lulus SMA jurusan IPA, dia langsung daftar ke Akabri. Ketika ambil ijasah SMA di sekolahnya, gurunya berseloroh, “Badan kamu kurus begitu. Mana bisa diterima.” Arief mendaftar di Kodam Brawijaya, Jawa Timur.Dalam test itu, nyatanya, Arief merupakan satu-satunya siswa dari Kabupaten Nganjuk yang diterima masuk Akabri tahun 1987. Semua tak menyangka. Termasuk dirinya.

Ketika itu, empat angkatan masih menyatu. Akabri Darat, Laut, Udara dan Kepolisian. Arief memilih Akabri Darat sebagai pilihan pertama. Pilihan kedua, Angkatan Udara. Ketiga, Angkatan Laut. Keempat, Kepolisian. Arief acak saja dalam memilih. Dia tak memilih Angkatan Laut. Alasannya?

Rumahnya jauh dari laut. Tak ada gambaran tentang laut. Begitu pun dengan Kepolisian. Setelah test selama empat bulan di Magelang, dia diterima di Kepolisian. Arief masuk pendidikan di Akpol, Semarang. Setelah mengikuti pendidikan di Semarang, Arief lulus Akpol, menempati rangking empat.

Ada aturan tak tertulis di Akpol, mereka yang lulus 10 besar, bisa memilih penempatan. Biasanya orang bakal memilih penempatan di kota besar, seperti Jakarta. Karir lebih cepat naik. Namun, Arief memilih bertugas di Jawa Timur. Alasannya, lebih dekat dengan keluarga besarnya. Tugas pertama Arief sebagai polisi, dimulai sebagai Pamapta Polresta Surabaya Selatan. Setahun kemudian, pindah ke Kanit Serse.

Tahun 1999, menjabat sebagai Wakasat Serse. Naik pangkat Lettu (red; saat itu kepangkatan masih sama dengan TNI), Arief dipindahkan ke Malang, Jawa Timur sebagai Kasatserse, Polres Malang. Dia bertindak tegas dan menyapu para pelaku pencurian kendaraan bermotor. Arief dapat penghargaan.

Kebetulan, tahun 1991, terjadi kerusuhan. Sebuah gereja di Nguling, Sidoarjo dibakar. Jajaran Polres Sidoarjo, mulai dari Kapolres, Kasatserse, dan petinggi lainnya dicopot, karena insiden tersebut. Arief dipindah ke Sidoarjo sebagai Kasatserse. Sebagai Kapolresnya, Sutanto, mantan Kapolri.

Di sinilah, peran Arief sebagai “pemadam kebakaran” terlihat. Ketika peran polisi dianggap lemah di masyarakat, dia berhasil menegakkan supremasi hukum dan mengembalikan peran polisi di wilayah yang sedang berkonflik tersebut.

Tugas di Sidoarjo dia selesaikan dengan baik.Selanjutnya, 1993, Arief menempati Polres Pasuruan, Jawa Timur, sebagai Kasat Serse. Tahun 1995, Arief masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta.

Dia lulus dan mendapat rangking lima besar.Setiap lulusan 10 besar, dapat penempatan di Jakarta. Arief sudah membayangkan, bakal di tempatkan di Jakarta. Ternyata, hasilnya jauh panggang dari api. Dia malah diminta mengajar di PTIK. Apa boleh buat. Semua harus dikerjakan dengan ikhlas. Dan dia menerima itu. 

Kehidupan Keluarga
Ketika mendapat tugas sebagai Kasatserse di Jawa Timur, Arief meminang Niken Manohara. Pasalnya, keduanya sudah pacaran tujuh tahun. “Kalau ditunda lagi, kasihan anak-anak nanti,” kata Arief.

Niken keluarga polisi. Ayah, kakak dan adiknya, semua polisi. Ketika itu, Niken sedang kuliah kedokteran di Surabaya. Setelah menikah, dia pindah kuliah kedokteran di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Anak pertama, Bhredipta Cresti Socarana, tanggal lahirnya sama dengan nama kampus tersebut, 11 Maret.

Niken tipe perempuan yang mengerti tugas suami. Menjadi istri polisi, berarti harus siap nomaden atau pindah-pindah tempat. Karenanya, ketika dia selesai pendidikan sebagai dokter dan menjadi PNS, Arief memintanya melamar sebagai dokter di lingkungan polisi.

Sehingga ketika pindah ke mana pun, keduanya tetap bisa bersama-sama. Arief merasa nyaman dengan tipikal sang istri. Perempuan yang bisa menerima keadaan sang suami. Tidak mau minta sesuatu yang lebih.

Dia merasa cukup dengan gaji sebagai dokter, dan gaji suami sebagai polisi. Keduanya sudah punya komitmen. Menjalani hidup dengan sederhana. Apa adanya.

Sehingga tak perlu mencari sesuatu secara berlebihan. Yang mengakibatkan, suaminya harus melakukan suatu tindakan menyimpang. “Itu yang membuat kita kerja tenang, dan tidak perlu melakukan sesuatu yang menyimpang,” kata Arief.

Dalam mendidik anak, keduanya juga sepakat bahwa, anak harus diberikan dasar agama yang kuat. Sehingga ketika dewasa, tidak perlu kuatir dengan kegiatan anak. Lalu, apa yang dikatakan pada anak, karena harus pindah-pindah tempat mengikuti tugas sang ayah?

Keduanya memberikan pemahaman pada anak, bahwa pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, merupakan pengalaman yang tak dimiliki orang lain. “Bumi Allah itu luas, dan kita beruntung karena bisa kenal banyak orang dari berbagai suku bangsa dan bahasa,” kata Arief.

Dalam bekerja, Arief selalu berpegang pada satu hal, selalu menjaga martabat pribadi dan keluarga. Dia juga tidak terbiasa untuk sowan atau meminta jabatan. Semua dijalani dengan apa adanya. Begitu pun ketika mendapat tugas-tugas dalam karirnya.

Masa Transisi
Bertugas pada masa transisi demokrasi tahun 1998, merupakan pengalaman tersendiri. Masyarakat yang sebelumnya terkungkung dalam sistem otoriter, Orde Baru, menjadi terbuka. Kondisi itu memiliki konsekuensi tersendiri. Kepolisian yang dianggap sebagai bagian sistem Orde Baru, menjadi sasaran masyarakat sipil.

Di berbagai tempat, polisi menjadi korban sweeping. Begitu pun dengan kantor polisi. Menjadi sasaran amok massa. Siang itu, 13 Mei 1998, Jakarta bergolak. Begitu pun dengan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Kerumunan massa merangsek ke beberapa pusat pertokoan. Mengambil paksa barang di toko. Beberapa toko yang sudah tutup, juga dibongkar paksa. Beberapa polisi dan tentara yang coba mencegah, tak digubris. Letupan senapan ke atas, tak membuat massa takut.

Massa semakin beringas. Markas polisi yang tak jauh dari terminal Pasar Minggu, jadi sasaran. Massa ingin menghancurkan Mapolsek Pasar Minggu.

Arief yang ketika itu menjabat sebagai Kapolsek Metro Pasar Minggu, Polres Jaksel Polda Metro Jaya, segera memerintahkan anak buahnya mengeluarkan semua senjata di gudang. Sang anak buah bingung. “Pak, senjata kita tidak ada yang bisa digunakan. Itu senjata dari tahun 60-an semua,” katanya.

Arief tak peduli. Pokoknya semua senjata harus dikeluarkan semua. Masing-masing personil disuruh pegang senjata, dan diarahkan pada massa yang mulai merangsek ke Mapolres.

Saat itu, hanya ada dua senjata yang bisa digunakan. Satu pistol dan satu senapan serbu, AK 47. Senjata itu diletupkan ke atas sebagai peringatan. Massa tak jadi merangsek maju. Arief tersenyum. Toh, dengan senjata bohong-bohongan itu, massa akhirnya mengundurkan diri.

Dari kondisi itu, Arief belajar satu hal. “Kehadiran seorang pemimpin di tengah situasi chaos, membuat moral anggota tinggi,” tutur Arief.

Dia juga harus bekerja ekstra, mengamankan wilayahnya supaya tidak dilewati barisan bis demonstran mahasiswa. Maklumlah, dari Depok hingga Pasar Minggu, menjadi pusat dari beberapa kampus besar. Mulai dari UI, Gunadarma, Pancasila, IISIP, hingga ISTN.

Terkadang, Arief 'iseng' memasang mobil ‘molen’ pengaduk semen sebagai barikade. Truk besar itu sengaja di parkir di tengah jalan. Bagian kepala truk disorongkan ke depan, seolah-oleh truk sedang rusak.

Tujuannya tentu saja, supaya rombongan bis demontran mahasiswa, tidak melewati Pasar Minggu. Mahasiwa hanya ngedumel, karena jalurnya terhalang truk.

Mereka harus berputar mencari jalur alternatif. Pengalaman menjadi Kapolsek Bekasi di Polres Bekasi, Polda Metro Jaya, 1996, menjadi sangat berguna menangani masa transisi sebagai Kapolsek di Pasar Minggu.

Selanjutnya, Arief bertugas sebagai Kasubbag Mufi Bag Listik Lab Litlistek PPITK PTIK, Pabda Strajemen Padya Renum Paban I/Ren Sper Polri, Sespri Kapolri, Sespri Waka Polri.

Melindungi Kawan
Ketika menjadi Sespri Waka Polri, Arief mendapat kesempatan ikut pendidikan Sespim, 2001. Wakapolri, Bimantoro, minta lima nama orang untuk direkomendasikan masuk Sespim.

Dia minta teman Arief, menulis lima nama. Satu nama yang diminta Wakapolri termasuk nama Arief. Namun, teman tersebut, tak memasukkan nama Arief.

Hal itu membuat Wakapolri marah. “Ini teman kamu, aku minta nama kamu dimasukkan, ternyata namamu tak ada,” kata Arief, menirukan ucapan Wakapolri.

Meski sudah dicurangi, Arief tetap melindungi temannya di hadapan Wakapolri. Arief diberikan katabelece atau surat rekomendasi untuk mengikuti Sespim. Namun, surat itu tak mau dia terima.

Sang mertua yang juga polisi, juga bertanya, ’’Sudah menghadap siapa untuk Sespim?’ “Menghadap Allah,” jawab Arief. Sang mertua hanya geleng-geleng kepala dengan sikapnya.

Padahal, ketika masuk Sespim, dia dengar dari banyak orang yang ikut Sespim, mereka menghadap ke mana saja untuk ikut pendidikan itu.

Ketika pengumuman peserta Sespim, Arief lolos sebagai peserta dan masuk peringkat satu. Dia langsung menghadap Wakapolri.

Dari peristiwa itu, Arief mengambil suatu pelajaran. Kalau dia jadi ambil katabelece dari Wakapolri, dia bakal dianggap lulus karena surat itu. Arief semakin percaya diri.

Dia berani ambil resiko dalam menghadapi sesuatu. Setelah Sespim, Arief bertugas di Pabanda Strajemen Padya Renum Paban I/Ren Spers Polri. Selanjutnya, menjabat sebagai Kapokdik I Subdit Dana Pemerintahan Dit Tipidkor Korserse Polri, 2001-2002.

Pada masa ini, Arief mendapat beasiswa program Doktoral (S3) di bidang ilmu kepolisian, angkatan kedua. Ketika hendak menyelesaikan tugas akhirnya, dia mendapat tugas sebagai Kapolres di Indragiri Hilir, Polda Riau, 2003. Arief langsung tancap gas.

Kalau kesempatan itu tidak diambil, dia tidak bakal dapat kesempatan lagi. Akhirnya, program doktoralnya ditunda. Sang profesor sempat telepon Kapolri, agar tugas sebagai Kapolres ditunda.

Dia bernegosiasi dengan profesornya. Arief bakal menyelesaikan program doktornya, dan menjadikan tugasnya di Indragiri sebagai bahan penelitian.

Di Indragiri, Arief menjadi ‘pemadam kebakaran’ lagi. Mapolres Indragiri dibakar massa. Terjadi disfungsi polisi. Polisi tidak berani menindak warga. Polisi mau memberikan tilang, warga sudah mengancam.

Arief mendekati para tokoh masyarakat. Mereka didatangi dan diajak bermusyawarah. Setelah itu, ketika terjadi masalah, para tokoh masyarakat inilah yang turut menyelesaikan masalah. Hukum kembali tegak. Fungsi polisi kembali berjalan.

Dua tahun bertugas di Indragiri, Arief bergeser menjadi Kapolres Tanjungpinang. Warga Indragiri ingin, dia tetap bertugas di sana. Setahun di Tanjung Pinang, dia ditarik ke Bareskrim.

Selama menjabat sebagai Kapolres di Indragiri dan Tanjung Pinang, dia menjadikan wilayah yang semula dikenal sebagai pusat perjudian, menjadi nol perjudian.

Selanjutnya, Arief Menjabat sebagai Kasubag Prodsus Bag Biro Analisis, Kanit II Dit II/Ekonomi, Koorspripim Polri. Tahun 2010, dia dipercaya menjabat sebagai Dir II/Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri. Bertugas di Bareskrim Ekonomi tantangannya besar.

"Polisi harus berhadapan dengan kejahatan ekonomi. Para pelakunya biasanya pintar, dan hasil kejahatannya besar. Sehingga bisa untuk memperngaruhi para penyidik," kata Arief.

Berkali-kali Arief ditawari uang untuk sebuah kasus yang sedang disidik. Dia kembalikan uang itu, tentunya setelah melapor atasannya. Sehingga tidak ada konflik kepentingan ketika bekerja.

Pada masa-masa inilah, banyak kasus besar yang ditangani. Mulai dari kasus Cicak-Buaya, Rekening Gendut Polri, Gayus Tambunan, terbunuhnya Munir.

Di kasus rekening Gendut Polri, dia bisa menyelesaikan penghitungan yang tidak singkron dilakukan PPATK.

Di kasus Gayus Tambunan, Arief harus mengamputasi para penyidik yang memeriksa Gayus. Dan, Gayus yang semula sudah bebas, harus masuk tahanan lagi.

Dalam kasus Munir, timnya berhasil menerjemahkan secara ilmiah, bagaimana racun yang bekerja di tubuh Munir. Sehingga Pollicarpus yang semula bebas, terbukti sebagai pelaku pembunuhan Munir.

Arief dan timnya juga berhasil menggulung pejabat Bea dan Cukai di Entikong, Kalbar. Akankah, Arief terus bersikap konsisten dan tegas terhadap berbagai pelanggaran dan kejahatan?

Mari kita dukung sikapnya. Juga, kita awasi bersama-sama. Terbit di Koran Suara Pemred, 30-31 Juli 2014 Foto Maya Wuysang, Antara Kalbar

1 comment :

Unknown said...

kalau baca sejarahnya beliau kayaknya hero banget yah..cocok niy jadi kapolri