Friday, October 5, 2012

AJI Jakarta Menolak Outsourcing di Industri Media

Sejak era reformasi 1998, pertumbuhan industri media berlangsung dengan pesat dan membentuk kelompok usaha baru di bidang media. Namun pertumbuhan industri media hingga kini belum sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan status dan keselamatan kerja bagi jurnalis. Selain fenomena pemilik media yang masih menolak keberadaan serikat pekerja pers, kini fenomena pekerja tenaga ahli daya (outsourcing) di industri media semakin berkembang. "Fakta ini sangat terlihat di industry televisi," kata Umar Idris, Ketua AJI Jakarta. Sebagai contoh adalah di stasiun televisi SCTV. Permasalahan outsourcing mencuat ketika manajemen SCTV memberlakukan sistem kerja kontrak per 1 Juni 2012 kepada 42 karyawan mereka yang sebelumnya adalah pekerja tetap di stasiun TV swasta nasional itu. Walaupun mereka telah bekerja selama 7 hingga 19 tahun, status mereka berubah sebagai karyawan outsourcing sehingga mereka dipekerjakan oleh pihak ketiga, yaitu PT ISS. Fenomena outsourcing diduga kuat tidak hanya terjadi di stasiun televisi SCTV saja, namun juga di stasiun televisi lain. Sebuah stasiun televisi berbayar yang memproduksi berita, masih dijumpai beberapa jurnalis dan kameramen yang berstatus outsourcing setelah program siaran mereka sebelumnya diakuisi oleh manajemen baru. Bahkan sebuah kantor berita nasional mempekerjakan banyak wartawan dengan status sebagai pekerja outsourcing dengan menyewakan wartawan itu di kantor pemerintah. Fenomena outsourcing industri media jelas mencemaskan mengingat pekerjaan jurnalis dan pekerjaan lain yang berperan penting dalam proses produksi di media telah dilarang oleh Undang-Undang. Pada Pasal 66 (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan dengan jelas bahwa "Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi". Sistem kerja dalam status kontrak atau outsourcing terbukti sangat merugikan karena pekerja tidak mendapatkan perlindungan, fasilitas, dan kepastian hukum dalam jangka panjang. Ia dianggap tak lebih dari sekedar alat, kapan dibutuhkan bisa direkrut dan kapan tidak dibutuhkan mesti siap disingkirkan setiap saat. Pengusaha juga tidak perlu membayar pesangon kepada pekerja yang bekerja dengan sistem ini. Dampak lainnya, tentu saja berimbas kepada menurunnya upah dan kesejahteraan pekerja. Mereka yang bekerja dalam status ini kerap mendapatkan upah yang lebih rendah, tidak mendapatkan jaminan sosial seperti asuransi Jamsostek dan kehilangan berbagai tunjangan lain seperti tunjangan hari raya. Dari sisi posisi tawar, pekerja dalam sistem kontrak atau outsourcing menjadi tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hal ini sebagai konsekuensi dari hubungan kerja yang bersifat individual dan sementara. Kondisi tersebut jelas berbeda dengan hubungan kerja yang bersifat permanen dan kolektif. Selain masalah outsourcing, AJI Jakarta juga mencatat, jurnalis non-organik atau yang populer disebut koresponden/kontributor semakin banyak. Koresponden/kontributor merupakan golongan rentan dalam bisnis media. Seringkali koresponden/kontributor bekerja dengan status hubungan kerja yang tak jelas. Celakanya, walau mereka menanggung resiko selama menjalankan peliputan, mereka sering tidak memiliki jaminan sosial, termasuk kesehatan atau keselamatan kerja. Banyak status koresponden/kontributor yang tak jelas meskipun mereka telah bekerja bertahun-tahun. Untuk itu, bersamaan dengan momentum Aksi Tolak Outsourcing pada 3 Oktober 2012, AJI Jakarta mengeluarkan pernyataan sikap sebagai berikut: pertama, meminta berbagai perusahaan media cetak online televisi dan radio untuk menghentikan praktik outsourcing di industri media massa, terutama untuk posisi jurnalis dan karyawan lain di bagian redaksi. Kedua, mendesak agar berbagai perusahaan media massa tetap memberikan perlindungan jaminan sosial dan keselamatan kerja bagi koresponden dan kontributor.

No comments :