AJI Jakarta Menolak Outsourcing di Industri Media
Sejak era reformasi 1998, pertumbuhan industri media berlangsung dengan pesat dan membentuk kelompok usaha baru di bidang media. Namun pertumbuhan industri media hingga kini belum sejalan dengan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan status dan keselamatan kerja bagi jurnalis. Selain fenomena pemilik media yang masih menolak keberadaan serikat pekerja pers, kini fenomena pekerja tenaga ahli daya (outsourcing) di industri media semakin berkembang. "Fakta ini sangat terlihat di industry televisi," kata Umar Idris, Ketua AJI Jakarta. Sebagai contoh adalah di stasiun televisi SCTV. Permasalahan outsourcing mencuat ketika manajemen SCTV memberlakukan sistem kerja kontrak per 1 Juni 2012 kepada 42 karyawan mereka yang sebelumnya adalah pekerja tetap di stasiun TV swasta nasional itu. Walaupun mereka telah bekerja selama 7 hingga 19 tahun, status mereka berubah sebagai karyawan outsourcing sehingga mereka dipekerjakan oleh pihak ketiga, yaitu PT ISS. Fenomena outsourcing diduga kuat tidak hanya terjadi di stasiun televisi SCTV saja, namun juga di stasiun televisi lain. Sebuah stasiun televisi berbayar yang memproduksi berita, masih dijumpai beberapa jurnalis dan kameramen yang berstatus outsourcing setelah program siaran mereka sebelumnya diakuisi oleh manajemen baru. Bahkan sebuah kantor berita nasional mempekerjakan banyak wartawan dengan status sebagai pekerja outsourcing dengan menyewakan wartawan itu di kantor pemerintah. Fenomena outsourcing industri media jelas mencemaskan mengingat pekerjaan jurnalis dan pekerjaan lain yang berperan penting dalam proses produksi di media telah dilarang oleh Undang-Undang. Pada Pasal 66 (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan dengan jelas bahwa "Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi". Sistem kerja dalam status kontrak atau outsourcing terbukti sangat merugikan karena pekerja tidak mendapatkan perlindungan, fasilitas, dan kepastian hukum dalam jangka panjang. Ia dianggap tak lebih dari sekedar alat, kapan dibutuhkan bisa direkrut dan kapan tidak dibutuhkan mesti siap disingkirkan setiap saat. Pengusaha juga tidak perlu membayar pesangon kepada pekerja yang bekerja dengan sistem ini. Dampak lainnya, tentu saja berimbas kepada menurunnya upah dan kesejahteraan pekerja. Mereka yang bekerja dalam status ini kerap mendapatkan upah yang lebih rendah, tidak mendapatkan jaminan sosial seperti asuransi Jamsostek dan kehilangan berbagai tunjangan lain seperti tunjangan hari raya. Dari sisi posisi tawar, pekerja dalam sistem kontrak atau outsourcing menjadi tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hal ini sebagai konsekuensi dari hubungan kerja yang bersifat individual dan sementara. Kondisi tersebut jelas berbeda dengan hubungan kerja yang bersifat permanen dan kolektif. Selain masalah outsourcing, AJI Jakarta juga mencatat, jurnalis non-organik atau yang populer disebut koresponden/kontributor semakin banyak. Koresponden/kontributor merupakan golongan rentan dalam bisnis media. Seringkali koresponden/kontributor bekerja dengan status hubungan kerja yang tak jelas. Celakanya, walau mereka menanggung resiko selama menjalankan peliputan, mereka sering tidak memiliki jaminan sosial, termasuk kesehatan atau keselamatan kerja. Banyak status koresponden/kontributor yang tak jelas meskipun mereka telah bekerja bertahun-tahun. Untuk itu, bersamaan dengan momentum Aksi Tolak Outsourcing pada 3 Oktober 2012, AJI Jakarta mengeluarkan pernyataan sikap sebagai berikut: pertama, meminta berbagai perusahaan media cetak online televisi dan radio untuk menghentikan praktik outsourcing di industri media massa, terutama untuk posisi jurnalis dan karyawan lain di bagian redaksi. Kedua, mendesak agar berbagai perusahaan media massa tetap memberikan perlindungan jaminan sosial dan keselamatan kerja bagi koresponden dan kontributor. Baca Selengkapnya...Friday, October 5, 2012
Wednesday, May 30, 2012
Usut Pemukulan, Pengeroyokan, dan Pembacokan Jurnalis
Jakarta, Rabu – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Sejak Januari hingga Mei, telah terjadi sedikitnya 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan terhadap jurnalis berulang karena negara terus melakukan praktik impunitas terhadap para pelakunya. Kasus kekerasan kembali terjadi pada Selasa (29/5). Puluhan oknum prajurit TNI Angkatan Laut, Padang, yang memukuli dan merampas paksa kamera, kaset video, dan memori kamera jurnalis di di kawasan BukitLampu, Kelurahan Sungai Baremas, Kecamatan Lubuk Begalung, Padang, Selasa (29/5). Aksi kekerasan itu melukai tujuh jurnalis, yaitu Budi Sunandar (jurnalis Global TV), Sy Ridwan (fotografer Padang Ekspres), Jamaldi (jurnalis Favorit Televisi), Andora Khew (jurnalis SCTV), Julian (jurnalis Trans 7), Afriandi jurnalis Metro TV), dan Deden (jurnalis Trans TV). Para pelaku juga merusak dan merampas peralatan kerja para jurnalis. Pada Selasa, juga terjadi kekerasan terhadap jurnalis di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Jurnalis Harian Kompas Reny Sri Ayu dan jurnalis Harian Mercusuar Moechtar Mahyuddin saat meliput di antrean warga di SPBU Bungku. Keduanya dikeroyok sejumlah orang yang diduga antre membeli bahan bakar minyak dengan jeriken. Sebelumnya, pada Senin (28/5), terjadi perampasan kamera jurnalis Batam TV Bagong Sastra Negara yang meliput kelangkaan bahan bakar minyak di Kota Batam. Perampasan kamera oleh seseorang berpakaian mirip seragam tentara itu terjadi di SPBU Simpang Tobing, Kota Batam. Pada Rabu (23/5), jurnalis Harian Bongkar Darwis Yusuf (52) dibacok Kepala Dinas Perikanan Lampung Utara Kadarsyah di depan kantor pelaku. Pembacokan diduga terkait pemberitaan Harian Bongkar mengenai dugaan penipuan proyek dan penyalahgunaan anggaran pembuatan kolam senilai Rp3,4 miliar yang terletak di lahan warga di Kecamatan Abung Surakarta, Kabupaten Lampung Utara. Bahu Darwis mengalami luka dan mendapat 23 jahitan. Kasus itu melengkapi deretan panjang kasus kekerasan terhadap jurnalis. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat sejak Januari hingga Mei telah terjadi sedikitnya 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Para pelakunya meliputi oknum polisi (5 kasus), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (3 kasus), pegawai negeri sipil pemerintah daerah (3 kasus), oknum TNI (2 kasus), organisasi kemasyakatan (2 kasus), organisasi kemahasiswaan (1 kasus), massa/warga (2 kasus), petugas keamanan perusahaan (1 kasus), orang tidak dikenal (1 kasus). “Kasus kekerasan terhadap terhadap jurnalis selalu berulang karena Negara melalui aparat penegak hukum terus melakukan praktik impunitas yang membuat para pelaku tidak tersentuh hukum. Akibatnya, tidak ada efek jera. Semakin lama, orang menjadi semakin abai bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi,” kata Aryo Wisanggeni G, Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia. Praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang kini terjadi merupakan kelanjutan praktik impunitas dalam delapan kasus pembunuhan jurnalis yang terjadi sejak 1996. Delapan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tak terselesaikan adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar, jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010). “Jika kasus pembunuhan jurnalis saja diabaikan, apalagi kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya. Jurnalis yang bekerja di bawah ancaman kekerasan akan takut memberikan informasi yang utuh kepada masyarakat. Itu mengancam hak konstitusional warga negara untuk memperoleh informasi. Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya merugikan jurnalis, tetapi merugikan publik dan setiap warga negara,” kata Aryo. AJI Indonesia mendesak aparat penegak hukum-baik di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia maupun Tentara Nasional Indonesia-menindak para pelaku kekerasan terhadap jurnalis. AJI Indonesia menuntut para pelaku itu diadili dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, demi mendorong kesadaran setiap warga negara bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi oleh hukum. (AJI Indonesia)
Baca Selengkapnya...Posted by Muhlis Suhaeri at 6:49 PM 0 comments
Labels: Pers